Sebelumnya, MK pernah mengeluarkan putusan terhadap materi yang sama,
yakni dalam Putusan nomor 101/PUU-VII/2009. Meskipun demikian, para
pemohon masih merasa dirugikan karena putusan MK tersebut dalam
praktiknya tidak dilaksanakan.
“Sesuai dengan perintah Mahkamah, dalam dua tahun setelah putusan ini
dibacakan, organisasi advokat sudah harus melaksanakan kongres bersama,
namun apabila kongres ini tidak terlaksana, maka perselisihan tentang
organisasi advokat diselesaikan di peradilan umum. Dua pertimbangan ini
sama sekali tidak pernah dilaksanakan oleh organisasi advokat de facto yang ada,” papar Abraham Amos dalam sidang panel dengan agenda pemeriksaan pendahuluan, Senin (6/4).
Lebih lanjut, Abraham menyatakan meskipun pasal a quo pernah
diuji sebelumnya, namun merujuk pada Putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013,
maka tidak tertutup kemungkinan untuk diajukan pengujian kembali.
“Apabila undang-undang a quo dalam pelaksanaan ditafsirkan lain dari maksud sebagaimana termuat dalam pertimbangan mahkamah, maka terhadap undang-undang a quo tidak tertutup kemungkinan untuk diajukan pengujian kembali, berdasarkan putusan Nomor 85/PUU-XI/2013,” katanya.
Pada kesempatan itu, salah satu pemohon, Johni Bakar juga menyampaikan
bahwa meskipun sudah terdapat putusan MK, namun ketika organisasinya,
yakni Kongres Advokat Indonesia (KAI) memohon penyumpahan, Pengadilan
Tinggi tetap menolaknya.
“Kalau persoalan masalah sumpah, kami sampaikan dengan bahasa awamnya
kami, kami sudah mohonkan, organisasi ini sudah mohonkan sumpah, tetapi
pengadilan tinggi yang tidak mau. Dimana salahnya kami, organisasi kami
sudah mohonkan secara patut, tetapi tetap tidak dikasih, ujung-ujungnya
ini dijadikan senjata untuk menjegal kami beracara, di mana keadilan,”
papar Johni.
Lebih lanjut, Johni menyatakan bahwa organisasinya sebenarnya bisa
menyelesaikan permasalahan yang ada. Namun yang menjadi kendala adalah
adanya perlakuan yang berbeda oleh Mahkamah Agung terhadap
organisasinya.
“Andai saja Mahkamah Agung tidak merangkul dan menginjak daripada salah
satu organisasi ini, kami berkeyakinan bisa secara mandiri
menyelesaikan persoalan kami, tapi yang menjadi problem, yang satunya
dipeluk, yang satunya dibuang,” ujarnya.
Untuk itu dalam petitumnya, para pemohon meminta agar Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3) UU Advokat, sepanjang frasa “Pengadilan Tinggi” dan frasa “oleh Panitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan” bertentangan terhadap UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.
Selain itu, Pemohon juga meminta agar Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3) UU Advokat, sepanjang frasa “Pengadilan Tinggi” dan frasa “oleh Panitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan” tidak dimaknai sebagai hak mutlak (absolutely right)
Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya, dan penyumpahan Advokat
adalah kewajiban dari organisasi advokat masing-masing dengan segala
akibat hukumnya.
Setelah mendengarkan permohonan, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams
memberikan nasihat terhadap permohonan para pemohon. Menurut Wahiduddin
permohonan tersebut lebih persoalan implementasi norma, bukan
pertentangan norma. Permasalahan implementasi ini, lanjut dia, terkait
dengan belum dilaksanakannya Putusan MK, karena terdapat masalah-masalah
internal yang pada akhirnya menghambat pelaksanaan Putusan MK yang
lalu.
“Jadi, sebetulnya ini nampaknya adalah bersumber pada konflik di
organisasi yang ada ini, sehingga ini coba diajukan lagi, begitu ya,”
kata Wahiduddin.
Sedangkan Hakim Konstitusi Aswanto memberikan masukan kepada Pemohon
agar lebih memfokuskan permohonan. Hal ini dikarenakan permohonan
terlalu panjang, sehingga kerugian konstitusional susah untuk dipahami.
Selain itu, Aswanto juga menyoroti petitum permohonan yang di dalamnya
terdapat inkonsistensi. Di satu sisi pemohon meminta agar beberapa frasa
dalam pasal yang diuji dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, namun
di sisi lain terdapat permintaan agar pasal tersebut dimaknai lain.
“Itu Saudara memohon agar frasa tersebut dinyatakan tidak
konstitusional. Tetapi di sisi lain, pada petitum, coba nanti dilihat di
petitum nomor 4, di petitum nomor 4 meminta supaya dimaknai lain,” kata
Aswanto.
Kemudian Hakim Konstitusi Suhartoyo menyatakan bahwa berdasarkan
putusan-putusan yang dikeluarkan oleh MK, sebenarnya sudah terdapat
akses untuk memberikan jalan keluar terhadap permasalahan penyumpahan.
Namun menurut Suhartoyo, memang dalam praktiknya persoalan penyumpahan
merupakan hal krusial. Lebih lanjut Suhartoyo menanyakan kepada Pemohon
apakah organisasinya sudah mencoba penyelesaian permasalahan melalui
peradilan umum.
“Yang di putusan yang lalu bahwa supaya diselesaikan oleh kedua
organisasi, dan kalau tidak ditemukan kemudian bisa diteruskan atau
diambil alternatif ke penyelesaian di Peradilan Umum, apakah oleh pihak
KAI sudah dicoba penyelesaian melalui peradilan umum?” tanya Suhartoyo.
Selain itu, Suhartoyo juga memberikan masukan agar Pemohon lebih
menyesuaikan antara posita dan petitum permohonan. Suhartoyo juga
memberikan nasihat agar kalangan internal advokat melakukan
instrospeksi.
“Bapak-bapak juga harus introspeksi, jangan menyalahkan. Karena di
internal para advokat sendiri, PERADI maupun KAI juga, selama ini enggak pernah
mau. Artinya bahwa karena ketidakbisaan penyatuan organisasi, itu kan
berimplikasi pada kesulitan di penyumpahan itu sebenarnya,” pungkas
Suhartoyo. (www.hukumonline.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar