Diberlakukannya
Undang-Undang (UU) No.1 tahun 1967 sebagaimana diubah dengan UU No.11 tahun
1970 tentang Penanaman Modal Asing membawa konsekuensi lanjutan dibutuhkannya
profesi jasa Konsultan Hukum. Investor asing membutuhkan pelayanan jasa hukum
di luar litigasi di pengadilan (sebagaimana lazimnya merupakan kebutuhan
korporasi di negara asal investor) dalam berbagai transaksi komersial dan
investasi guna mengamankan dana yang ditanamkan di Indonesia dari segi hukum.
Itulah
awal tumbuhnya profesi Konsultan Hukum di Indonesia. Padahal, sesungguhnya
profesi Konsultan Hukum di luar jasa hukum yang beracara di pengadilan
(litigasi) telah ada secara efektif sekitar akhir tahun 1960-an atau awal tahun
1970-an.
Untuk
memperkuat eksistensi profesi ini, Profesor Dr. Mochtar Kusuma Atmadja
bersama-sama dengan Ali Budiardjo, SH (almarhum) berinisiatif mengajak beberapa
rekan konsultan hukum senior untuk mendirikan Asosiasi Konsultan Hukum
Indonesia (AKHI) sebagai wadah organisasi profesi Konsultan Hukum terutama yang
berkenaan dengan penanaman modal, perseroan, perjanjian, keuangan, dan
perbankan.
AKHI
didirikan oleh 16 praktisi hukum terkemuka dari 9 Kantor Hukum terbesar di
Indonesia yang secara nyata telah menjalankan kegiatannya selaku Konsultan
Hukum pada tanggal 19 Desember 1988 di Jakarta. AKHI merupakan satu-satunya
organisasi Konsultan Hukum. Selain Anggaran Dasar, AKHI juga memiliki kode
etik.
Susunan
pengurus AKHI pada saat pendirian adalah Ali Budiardjo, SH (ketua), Prof. Dr.
Mochtar Kusuma Atmadja (wakil ketua I), Ratna Wulan, SH., LLM (wakil ketua II),
Sulistio, SH (sekretaris), Fred BG Tumbuan, SH (wakil sekretaris), Hoesein
Wiriadinata, SH., LLM (bendahara), dan Dr. Dewi Djarot (wakil bendahara).
Pada
saat ini AKHI dipimpin oleh dua orang Caretaker
Ketua, yaitu Hoesein Wiriadinata, SH., LLM dan Fred BG Tumbuan, SH., LPh dengan
dibantu oleh beberapa anggota AKHI lainnya. Kedua Caretaker tersebut terlibat aktif dalam Tim Penyusun Rancangan
Undang-Undang Advokat (RUU Advokat) sejak akhir 1998 hingga disahkannya menjadi
UU No.18/2003 tentang Advokat (UU Advokat).
Keanggotaan
AKHI bersifat sukarela dan tidak ada konsekuensi hukum bagi Konsultan Hukum
yang tidak bergabung dengan AKHI. Konsultan Hukum yang bukan anggota AKHI tetap
dapat menjalankan profesinya.
Meski
sebagai organisasi Konsultan Hukum non litigasi, namun beberapa orang pendiri
AKHI tersebut sebelumnya telah berpraktek sebagai praktisi hukum litigasi.
Karenanya, dalam rapat pendirian AKHI telah diputuskan bahwa setiap penanda
tangan naskah pendirian dan peserta yang telah berpartisipasi sebelum dan saat
penandatanganan naskah pendirian AKHI secara otomatis menjadi anggota AKHI.
Itulah sebabnya, jangan heran kalau ada pendiri AKHI yang kini menjadi advokat
litigasi ternama.
AKHI
bertujuan untuk (i) mengembangkan dan meningkatkan eksistensi profesi Konsultan
Hukum, (ii) menumbuhkan dan memelihara integritas dan profesionalisme para
Konsultan Hukum, dan (iii) berperan aktif dalam pembangunan hukum nasional
–khususnya- dalam pembinaan profesi hukum.
AKHI
berfungsi sebagai satu-satunya wadah komunikasi dan koordinasi para anggotanya
guna (i) menggalang persatuan dan kesatuan anggota, (ii) menegakkan norma
profesi Konsultan Hukum yang luhur, berwibawa, dan terpercaya yang dilandasi
kode etik profesi, (iii) membela dan melindungi para anggotanya, dan (iv)
meningkatkan peran serta para anggota dalam pembangunan hukum nasional pada
khususnya serta pembangunan negara dan bangsa pada umumnya.
Untuk
dapat diangkat menjadi anggota AKHI disyaratkan (i) warga negara Indonesia
tamatan Fakultas Hukum dari Perguruan Tinggi Negeri (PTN) atau perguruan tinggi
swasta yang dipersamakan dengan PTN atau perguruan tinggi luar negeri yang
ijazahnya diakui oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, (ii) telah
berpraktek sebagai Konsultan Hukum di Indonesia minimal 3 (tiga) tahun, dan
(iii) rekomendasi dari minimal 2 (dua) orang anggota AKHI penandatangan naskah
pendirian AKHI tertanggal 19 Desember 1988 atau 2 (dua) orang anggota AKHI
dengan masa keanggotaan minimal 5 tahun.
Sesungguhnya,
negara telah mengakui eksistensi profesi Konsultan Hukum. Sebabnya, profesi ini
dibutuhkan untuk menunjang berbagai transaksi komersial termasuk investasi
perusahaan asing. Kualitas kelayakan mereka lebih ditentukan oleh masyarakat
pengguna jasa Konsultan Hukum itu sendiri.
Menteri
Kehakiman (Menkeh) telah mengatur penggunaan tenaga ahli hukum asing (khususnya
di kantor Konsultan Hukum, karena untuk advokat litigasi sama sekali dilarang
bagi ahli hukum asing) pertama kali melalui Surat Keputusan (SK) No.J.S.15/24/7
tanggal 6 Juli 1974 tentang Pelaksanaan Pembatasan Penggunaan Tenaga Ahli Hukum
Warga Negara Asing (WNA) Pendatang Pada Usaha Pemberian Jasa Dalam Bidang Hukum
(SK Menkeh 1974).
SK
Menkeh 1974 tersebut kemudian dilengkapi dengan SK Menkeh No.M.01-HT.04.02
tahun 1985 tentang Pembatasan Jangka Waktu Bekerja Ahli Hukum WNA Pada Usaha
Pemberian Jasa Dalam Bidang Hukum (SK Menkeh 1985).
Selanjutnya
kedua SK Menkeh tersebut dicabut dan diganti dengan SK Menkeh No.M.01-HT.04.02
Tahun 1991 sebagaimana telah dinyatakan tidak berlaku dan diganti dengan SK
Menkeh No.M.01.HT.04.02 tahun 1997 tentang Penggunaan Ahli Hukum WNA oleh
Kantor Konsultan Hukum Indonesia.
Dalam
sejarahnya, setiap proses pembuatan peraturan yang terkait dengan Konsultan
Hukum termasuk penggunaan ahli hukum WNA, Menteri Kehakiman selalu meminta
pandangan dari AKHI.
Selain
itu, pada Januari 1991, Menteri Kehakiman pernah membuat rancangan Peraturan
Menteri Kehakiman tentang Konsultan Hukum (RPMK). Pada tahun 1999 AKHI juga
pernah mengajukan rancangan UU tentang Pelayanan Hukum (RUUPH). Dalam RUUPH
terdapat bab khsusus tentang Konsultan Hukum selain Advokat dan Pengacara
Praktek.
Dalam
perkembangannya kedua rancangan (RUUPH dan RPMK) tidak terealisasi menjadi
produk hukum (UU dan Permenkeh). Alasannya antara lain karena intervensi
pemerintah kurang begitu dikehendaki oleh para Konsultan Hukum. Dalam kedua
rancangan tersebut, seseorang yang akan menjalankan profesinya sebagai
Konsultan Hukum harus diangkat oleh Menteri (Kehakiman) dan ini dianggap akan
mengurangi kemandirian Konsultan Hukum dalam menjalankan profesinya.
Setelah
melalui perdebatan yang intens di Dewan Perwakilan Rakyat dan memperhatikan
sejarah eksitensi Konsultan Hukum serta melihat praktek di negara lain,
akhirnya definisi Advokat dalam UU Advokat melingkupi juga profesi Konsultan
Hukum di dalamnya. Perjuangan yang tak sia-sia dari AKHI.
Sebagai
perbandingan, di Inggris dan negara-negara bekas koloninya dikenal terminologi solicitor (non litigasi) dan barister (litigasi) bagi praktisi hukum.
Pada tanggal 4 April 1996
International Bar Association (IBA)
telah mengeluarkan Proposal Pedoman IBA untuk Konsultan Hukum Asing (Foreign Legal Consultant). Di dalamnya
dijelaskan lingkup praktek konsultan hukum asing yang tidak boleh berpraktek
sebagai pembela di pengadilan atau sidang hukum lainnya dalam yurisdiksi negara
yang dikunjungi. Artinya, IBA telah mengakui profesi Konsultan Hukum.
UU
Advokat mendefinisikan advokat adalah
orang yang berprofesi memberi jasa hukum,
baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan ketentuan UU
Advokat. Jasa hukum adalah jasa yang
diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum,
menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum
lain untuk kepentingan hukum klien.
Selanjutnya,
ketentuan peralihan UU Advokat mengatur bahwa Advokat, Penasihat Hukum,
Pengacara Praktek, dan Konsultan Hukum yang telah diangkat pada saat UU Advokat
mulai berlaku (5 April 2003), dinyatakan sebagai Advokat. Dengan demikian, UU
Advokat telah mengakui profesi dan pekerjaan yang dilakukan Konsultan Hukum
yang bersifat non litigasi.
Persoalannya,
bagaimanakah nasib para Konsultan Hukum yang telah lama menjalankan profesinya
(diluar aktivitas di pasar modal), tapi tidak bergabung dalam AKHI? Sebab,
berdasarkan UU Advokat pengangkatan Advokat (termasuk Konsultan Hukum)
dilakukan oleh Organisasi Advokat. Salah satu organisasi Konsultan Hukum
(selain Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal –HKHPM) yang diakui UU Advokat
dalam masa peralihan adalah AKHI.
Karenanya,
Konsultan Hukum yang telah menjadi anggota AKHI sebelum tanggal 5 April 2003
secara otomatis berdasarkan UU Advokat diangkat menjadi Advokat. Bagi para
Konsultan Hukum yang tidak tergabung dalam AKHI, apakah mereka tidak lagi dapat
menjalankan profesinya selaku Konsultan Hukum?
UU
Advokat memberikan ancaman pidana bagi setiap orang yang dengan sengaja
menjalankan pekerjaan profesi Advokat (termasuk sebagai Konsultan Hukum) dan
bertindak seolah-olah sebagai Advokat (dalam hal ini sebagai Konsultan Hukum)
akan diancam pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun dan denda maksimal Rp 50
juta.
Padahal,
sebelum diberlakukannya UU Advokat, keikutsertaan dalam organisasi Konsultan
Hukum semacam AKHI adalah bersifat sukarela dan tidak diwajibkan oleh hukum
yang berlaku.
Ketentuan
peralihan UU Advokat jangan ditafsirkan secara mutlak bahwa bagi Konsultan
Hukum yang sebelum berlakunya UU Advokat tidak tergabung dalam AKHI, tidak lagi
dapat menjalankan profesinya sama sekali tanpa penyelesaian masa transisi. Jika
demikian, maka UU Advokat telah mengingkari kenyataan sosiologis sebagai suatu
syarat terlaksananya hukum dengan baik.
Karenanya,
AKHI sebagai organisasi Konsultan Hukum -yang diakui oleh UU Advokat dalam masa
transisi pembentukan Organisasi Advokat (baru)- sedang menyusun kebijakan yang
dapat mengakomodasikan kepentingan para Konsultan Hukum yang tidak menjadi
anggota AKHI sebelum berlakunya UU Advokat.
Sebagaimana
diamanatkan UU Advokat, ke delapan organisasi yang telah ada sebelum berlakunya
UU Advokat yang terdiri dari AKHI, HKHPM, Ikatan Advokat Indonesia, Assosiasi
Advokat Indonesia, Ikatan Penasihat Hukum Indonesia, Himpunan Advokat dan
Pengacara Indonesia, Serikat Pengacara Indonesia, dan Asosiasi Pengacara
Syariah Indonesia telah membentuk Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) sebagai
masa transisi terbentuknya Organisasi Advokat (baru) berdasarkan UUAdvokat.
Saat ini, "penerus" dari KKAI adalah Perhimpunan Advokat Indonesia
(PERADI) dengan tetap mempertahankan keberadaan 8 organisasi advokat tersebut
tetap ada. ( www.mail-archive.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar