Oleh : JJ Amstrong Sembiring SH, MH (Praktisi Hukum)
Supremasi hukum di Indonesia cuma
pemanis bibir hakim sebagai penguasa ruang sidang. Lihat saja kinerja
institusi hukum, terutama lembaga peradilan dimana banyak masyarakat
pencari keadilan belum puas, danmasih kecewa dengan institusi kehakiman
yang belum bebas dari praktik suap. Padahal kesejahteraan hakim sudah di
atas rata-rata, dengan penghasilan sekitar Rp 10 juta/bulan
untuk hakim baru (0 tahun). “Dari hasil survei, 60 persen responden
menyatakan kekuasaan kehakiman dinilai belum bersih dari praktik suap,”
kata peneliti Indonesian Legal Roundtable (ILR) Erwin Natoesmal dalam
jumpa pers di Warung Daun, Jalan Cikini, Jakarta Pusat, Selasa
(detiknews, 9/4/2013).
Badan Peradilan dalam lingkungan
peradilan umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU No. 8/198 diubah
dengan UU No.8/2004 dan terakhir di ubah dengan UU No. 49 Tahun 2009
tentang Tentang Peradilan Umum memberi difinisi,” Peradilan umum adalah
salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada
umumnya. Pengadilan sebagai ujung tombak pelaku kekuasaan kehakiman bagi
para pencari keadilan harus menjamin terlaksana keadilan dan kepastian
hukum. Tetapi dalam praktik mencari keadilan peradilan belum dapat
memberikan pelayanan sebagai public servise (pelayan publik) yang
memadahi, apalagi berkaitan dengan kekusaan dan kewenangan yang dimiliki
dari putusan yang dijatuhkan justru malah menimbulkan ketidakadilan
bagi pencari keadilan.
Lembaga tersebut terkesan lemah dan
“kurang vitamin” menahan runtuhnya supremasi hukum. Tak heran bila jika
masyarakat pencari keadilan menilai berbagai peristiwa hukum yang
digelar hakim tak lebih dari rangkaian tontonan hukum yang semu. Kinerja
peradilan hingga kini tetap tidak dapat diprediksi, dan opini
masyarakat maupun pasar pun semakin menguat bahwa peradilan tidak dapat
dan belum dapat melaksanakan fungsinya secara independen bebas dari
pengaruh kepentingan. Korupsi dan suap tetap menjadi permasalahan utama
yang membayangi kinerja dan kredibilitas institusi peradilan. Reformasi
peradilan yang berjalan hingga kini kurang memperhatikan strategi dan
arah reformasi yang seharusnya hendak dituju. Dengan kata lain hingga
kini Reformasi Peradilan belum memenuhi harapan publik
Indenpendesi Bukan Semata
Independensi Peradilan secara umum dipakai untuk mewakili lembaga peradilan, termasuk individu-individu hakimnya, sebagai lembaga yang bebas dari intervensi dari pihak lain. Prinsip-prinsip dari Prinsip Dasar Independensi Peradilan Versi PBB menjelaskan bahwa imparsialitas peradilan ditentukan oleh perilaku hakim yang selalu memutus perkara yang diajukan kepada mereka berdasarkan fakta-fakta dan kaitannya dengan hukum yang berlaku, tanpa adanya pembatasan-pembatasan, pengaruh-pengaruh yang tidak seharusnya ada, tekanan-tekanan, ancaman-ancaman, atau intervensi-intervensi, baik secara langsung maupun tidak langsung dari pihak manapun dan dengan alasan apapun.
Independensi Peradilan secara umum dipakai untuk mewakili lembaga peradilan, termasuk individu-individu hakimnya, sebagai lembaga yang bebas dari intervensi dari pihak lain. Prinsip-prinsip dari Prinsip Dasar Independensi Peradilan Versi PBB menjelaskan bahwa imparsialitas peradilan ditentukan oleh perilaku hakim yang selalu memutus perkara yang diajukan kepada mereka berdasarkan fakta-fakta dan kaitannya dengan hukum yang berlaku, tanpa adanya pembatasan-pembatasan, pengaruh-pengaruh yang tidak seharusnya ada, tekanan-tekanan, ancaman-ancaman, atau intervensi-intervensi, baik secara langsung maupun tidak langsung dari pihak manapun dan dengan alasan apapun.
Secara konstitutional, independensi
peradilan merupakan prinsip yang harus dijabarkan, secara eksplisit,
dalam konstitusi guna memastikan adanya jaminan pelaksanaan kekuasaan
yudikatif yang selalu independen. Prinsip 1 dari Prinsip dasar lansiran
PBB menyebutkan: “The independence of the judiciary shall be guaranteed
by the State and enshrined in the Constitution or the law of the
country. It is the duty of all governmental and other institutions to
respect and observe the independence of the judiciary.” Secara Nasional,
pengakuan terhadap independensi peradilan termaktub pada Pasal 24 ayat
(1) UUD 1945 yang berbunyi “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan.”
Dimana independensi peradilan merupakan
hal yang tidak bisa dipisahkan dari keberadaan suatu lembaga peradilan
yang ideal. Katanya jika hal ini absen, maka peranan dari lembaga
peradilan akan terdistorsi dan mengakibatkan turunnya kepercayaan publik
kepada lembaga peradilan khususnya dan penyelenggara negara pada
umumnya. Sayangnya, hal ini tengah dialami oleh lembaga peradilan
Indonesia. Reduksi kepercayaan publik secara konstan adalah diakibatkan
absennya prinsip independensi peradilan dalam upaya melindungi hak warga
negara untuk mendapatkan keadilan dan akses terhadap keadilan.
Penyebabnya, adalah perilaku korup dari institusi peradilan.
Namun justifikasi independensi hakim juga
bukan semata-mata sebagai “alat“, karena sekarang ini profesi hakim itu
telah memiliki sistem etika yang mampu menciptakan disiplin tata kerja
dan menyediakan garis batas tata nilai yang dapat dijadikan pedoman bagi
hakim untuk menyelesaikan tugasnya dalam menjalankan fungsi dan
mengemban profesinya. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim ini merupakan
panduan keutamaan moral bagi hakim, baik dalam menjalankan tugas
profesinya maupun dalam hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan. Hakim
sebagai insan yang memiliki kewajiban moral untuk berinteraksi dengan
komunitas sosialnya, juga terikat dengan norma – norma etika dan
adaptasi kebiasaan yang berlaku dalam tata pergaulan masyarakat.
Namun demikian, untuk menjamin
terciptanya pengadilan yang mandiri dan tidak memihak, diperlukan pula
pemenuhan kecukupan sarana dan prasarana bagi Hakim baik selaku penegak
hukum maupun sebagai warga masyarakat. Untuk itu, menjadi tugas dan
tanggung jawab masyarakat dan Negara memberi jaminan keamanan bagi Hakim
dan Pengadilan, termasuk kecukupan kesejahteraan, kelayakan fasilitas
dan anggaran. Walaupun demikian, meskipun kondisi-kondisi di atas belum
sepenuhnya terwujud, hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan bagi
Hakim untuk tidak berpegang teguh pada kemurnian pelaksanaan tugas dan
tanggung jawab sebagai penegak dan penjaga hukum dan keadilan yang
memberi kepuasan pada pencari keadilan dan masyarakat.
Barangkali ada “joke” dapat kita bisa
refleksikan seabagai sebuah kisah lucu mempunyai intepretasi makna arti
yang dalam sebagaimana kata “independensi” selalu sebagai alat
justifikasi oleh hakim membawa atas nama keadilan dan kenyataan itu
kerap membodohi dan semu semata bagi pencari keadilan. Alkisah tersebut,
dimana beberapa hari sebelum sidang antara 2 perusahaan yang
berperkara, seorang pengacara mendatangi kliennya, seorang pejabat yang
korup. “Saya peringatkan kepada anda, hakim yang akan mengadili
perkara kita ini sangat terkenal sebagai hakim yang bersih. Jadi, kalau
anda benar-benar ingin menang dari lawan kita, jangan sekali-kali
mencoba menyuapnya…” kata pengacara. “Tenang saja pak pengacara…. Saya
tidak akan melakukannya dan saya malah semakin yakin bahwa kitalah yang
akan menang” kata si pejabat. Singkat cerita, waktu persidangan pun
tiba. Tanpa melalui proses yang terlalu lama, hakim pengadilan tersebut
langsung memvonis bersalah Lawan si pengacara dan kliennya tersebut.
Pengacara itu heran ketika seusai sidang
kliennya mengatakan bahwa perkara itu berhasil mereka menangkan karena
dia telah mengirim sejumlah uang kepada hakim tersebut. “Hah….,
bagaimana mungkin ?? Hakim itu terkenal sebagai hakim yang jujur dan
bersih. Apakah dia sudah berubah dan menerima uang dari anda ?? tanya
pengacara. “Hakim itu sama sekali tidak berubah….. Saya mengirim uang
tersebut dengan mengatasnamakan lawan kita….” kata si pejabat sambil
tersenyum penuh kemenangan. (sumber : http://www.kaskus.com)
Menurut Prof. JE Sahetapy menjadi salah
satu pembicara dari 3 narasumber yang hadir dalam diskusi media KPK ini.
Yang lainnya adalah mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Wakil Ketua KPK
Bambang Wdjojanto dan yang menjadi moderatornya yakni Juru Bicara KPK
Johan Budi, SP, mengatakan, “Saya melihat dari sisi politik, zaman Pak
Harto korupsi di bawah meja, sekarang korupsi termasuk mejanya, kurang
ajar koruptornya, dan biasanya di dalam negara,” jelasnya. (sumber,
baranews.co ,Selasa, 28 Januari 2014 ).
Pengacara
Ironis kenyataan, lembaga peradilan sebagai penegakan keadilan Republik Indonesia belum bisa diharapkan. Begitupun Polisi dan Jaksa sebagai aparat hukum, masih banyak yang “nakal”. Faktanya, hukum ternyata hanya mampu meloloskan para pelanggar HAM dan pelaku-pelaku praktek KKN. Sementara disisi lain, para profesional pengacara ‘alpa” lupa daratan dan hanya ingin membangun dunianya sendiri, dengan bergaya hedonisme serta pernak-perniknya. Hedonisme merupakan sebagai bentuk dari kecintaan seseorang pada dunia dipraktekkan dengan kasat mata, sehingga apa saja yang dilakukannya berorientasi pada kepuasan duniawi semata.
Ironis kenyataan, lembaga peradilan sebagai penegakan keadilan Republik Indonesia belum bisa diharapkan. Begitupun Polisi dan Jaksa sebagai aparat hukum, masih banyak yang “nakal”. Faktanya, hukum ternyata hanya mampu meloloskan para pelanggar HAM dan pelaku-pelaku praktek KKN. Sementara disisi lain, para profesional pengacara ‘alpa” lupa daratan dan hanya ingin membangun dunianya sendiri, dengan bergaya hedonisme serta pernak-perniknya. Hedonisme merupakan sebagai bentuk dari kecintaan seseorang pada dunia dipraktekkan dengan kasat mata, sehingga apa saja yang dilakukannya berorientasi pada kepuasan duniawi semata.
Celakanya media massa, dalam hal ini,
turut memiliki pengaruh terhadap penciptaan kriteria daya tarik.
Kecenderungan ini dapat dilihat dari fenomena mulai maraknya menunjukkan
barang-barang mewah yang diperlihatkan . Bukan saja barang-barang yang
memang dekat dengan bidang produksi (mobil, alat-alat telekomunikasi,
dan sebagainya), tetapi juga bidang gaya domestik perawatan tubuh dan
wajah, dan pakaian. Walaupun menunjukkan supaya mereka dapat digolongkan
sebagai pasar yang menjanjikan. Ditambah lagi dengan semakin banyaknya
majalah atau media massa lain yang mulai dari majalah, tabloid, dan
radio semakin mengukuhkan mereka sebagai golongan yang memiliki tempat
khusus dihati pelaku ekonomi yang kapitalistik.
Tak heran juga, jika sebagian para
pengacara tiba-tiba menjadi sadar citra, bergerak menuju lebih sering
atau memelihara pemunculan di berbagai media secara teratur, khususnya
televisi. Mereka hadir terus dan terus berbicara di televisi, sekalipun
apa yang disampaikan tak ada manfaat atau konkretnya: tidak ada yang
langsung bisa dirasakan oleh rakyat setelah mereka mematikan pesawat
televisinya.
Ironis, masih teringat berapa tahun lalu
dalam tayangan sebuah media televisi swasta, seorang pengacara
menyatakan, bila tidak membela kasus Koruptor, tidak ada pekerjaan. Maka
tak heran jika Prof Sahetapy mengatakan, “Kalau ada pengacara
tutup mulut mu jangan bicara, pengacara ini dibayar dengan uang haram
dan halal? Karena bayar pengacara paling mahal. Kalau uang haram, harus
usut pengacara baik itu TPPU,” ujar Guru Besar ilmu hukum di
Universitas Airlangga JE Sahetapy dalam diskusi media KPK berjudul
“Pemberantasan Korupsi Politik, Politisasi Pemberantasan Korupsi” di
KPK, Jakarta (28/1).
Menurut Sahetapy, KPK harus menduga
penghasilan dari para pengacara, apakah dengan membela orang bersalah
para pengacara itu juga turut ‘bermain’ dengan hukum, seperti menyuap
jaksa dan hakim. “Harus (diusut TPPU) begitu. Supaya kapok-kapok
pengacara ini,” ujar Sahetapy. (sumber,baranews.co , Selasa, 28 Januari
2014 )
Di negeri ini profesi pengacara seharus
mempunyai andil buat penegakan hukum yang lebih baik, namum tak
terbantahkan kenyataan tak sedikit banyak yang berinter-play dengan
berbagai pihak guna mempraktekkan hukum pada sebuah institusi hokum,
dimana mereka bekerja semata-mata demi uang.
Hebatnya lagi, mereka bisa berinter-play
dengan lembaga pencari keadilan. Mereka sangat bangga jika membela
pejabat, mantan pejabat atau para konglomerat hitam dari jeratan hukum.
Kabut tebal yang menyelimuti iringan-iringan kepalsuan, kesemuan dan
kepura-puraan telah menghiasi wajah hukum kita selama ini selama
berpuluh-puluh tahun hingga kini.Lebih naif, ada sebuah pengadilan
(misalnya) menghadirkan tersangka, pengacara, jaksa dan saksi. Akan
tetapi, apa yang terjadi di dalamnya tak lebih dari wacana
kepura-puraan. Yang dipentungkan didalam wacana semacam itu bukanlah
substansi dan kebenaran hukum. Melainkan kemampuannya menciptakan sebuah
citra (image) bahwa aparat hukum telah sungguh-sungguh memeriksa, bahwa
Kejaksaan Agung telah serius dalam penyelidikan. Mereka kerap
menari-nari diatas tinta pers dan mempermainkan sumber berita. Dengan
santainya, tanpa beban apapun manipulasi saksi, bukti-bukti, intimidasi
absurb pada institusi. Dan berkolaborasi dengan massa sidang (internal
maupun eksternal) dengan cara mempolitisasi.
Berapa waktu lalu ICW pernah menguraikan
daftar para pengacara hitam, sebagaiberikut daftar advokat ‘nakal’ versi
ICW sebagaimana sumber Tempo, (temp.co, 29 Jul ,2013), sebagai berikut:
- Haposan Hutagalung, Nama Haposan mencuat ketika menangani kasus mafia pajak Gayus Halomoan Tambunan dan kasus suap kepada Komisaris Jenderal Susno Duadji sewaktu menjabat Kepala Bareskrim Polri. Dalam kasus Gayus, sejumlah nama memang terseret masalah, termasuk jaksa Cyrus Sinaga. Haposan kemudian divonis MA 12 tahun penjara ditambah denda Rp 500 juta.
- Lambertus Palang Ama, Seperti juga Haposan, Lambertus diduga terlibat kasus mafia pajak Gayus Halomoan Tambunan. Dia divonis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan 3 tahun penjara ditambah denda Rp 150 juta.
- Ramlan Comel, Pengacara ini diduga korupsi dana overhead di perusahaan PT Bumi Siak Pusako US$194.496 atau setara dengan Rp1,8 miliar. Pada 2005, Comel divonis 2 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Pekan Baru. Namun ia kemudian dibebaskan di Pengadilan Tinggi Riau pada 2005 dan Mahkamah Agung pada pada 2006 (Putusan Nomor 153K/PID/2006). “Saya enggak berani jawab karena nanti malah salah. Silakan selidiki dan teliti ke MA atau Pak Denny (Indrayana), ya, silakan,” kata Ramlan soal ini. Ramlan Comel pada tahun 2010 diterima sebagai hakim adhoc tipikor dan ditempatkan di Pengadilan Tipikor Bandung. Pada tahun 2011 dia menyatakan kepada pimpinan MA mengundurkan diri. Waktu itu, Ramlan merupkan satu dari majelis hakim tipikor yang membebaskan Walikota Bekasi Mochtar Mohammad. Hingga kini dia masih berdinas dan mengadili di Pengadilan Tipikor Bandung.
- Tengku Syaifuddin Popon. Tengku Syaifuddin mencuat ketika menangani perkara korupsi yang melibatkan gubernur Aceh, Abdullah Puteh. Ia diduga berupaya menyuap pegawai pengadilan tinggi tipikor sebesar Rp 250 juta. Tengku pun divonis Pengadilan Tinggi tipikor 2 tahun 8 bulan.
- Harini Wijoso, Hariani masuk advokat bermasalah setelah dianggap berusaha menyuap pegawai MA dan hakim agung. Suap diduga terkait kasus yang melibatkan pengusaha Probosutejo. Dia akhrinya divonis MA tiga tahun penjara dan denda Rp 100 juta.
- Adner Sirait, Adner dituding berupaya menyuap Ibrahim, Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta dalam perkara sengketa tanah seluas 9,9 hektar di Cengkareng, Jakarta Barat, melawan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pada 2010, dia divonis Pengadilan Tipikor 4 tahun 6 bulan dan denda Rp 150 juta.
- Mario C. Bernardo, Pemberian uang kepada pegawai MA Djodi Supratman diduga berkaitan dengan kasus yang tengah berada di tingkat kasasi. Dia ditangkap KPK setelah sebelumnya menyerahkan uang Rp 80 juta kepada pegawai MA Djodi Supratman. Saat ini kasus ini masih diusut KPK.
Data lain disebutkan oleh Komisi Yudisial
menerima 2.046 laporan dari masyarakat terkait perilaku hakim selama
2013. Laporan dugaan penerimaan suap paling banyak disampaikan oleh
masyarakat. “Laporannnya jauh lebih banyak dugaan suap, terlepas
terbukti atau tidak terbukti,” kata Ketua KY Suparman Marzuki dalam
keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (26/12/2013). Selain suap, laporan
yang juga banyak disampaikan oleh masyarakat antara lain perilaku hakim
yang tidak disiplin sidang dan mengabaikan keterangan saksi yang
berkaitan dengan teknis yudusial. “Lalu ketiga, laporan soal perilaku
moral. Seperti narkoba dan perselingkuhan,” ujarnya. (sumber, http://www.pa-sintang.go.id, 24 Februari 2014).
Tak heran kita menyaksikan jika ada
Puluhan warga Bali berunjuk rasa ke kantor pengadilan Negeri Denpasar,
mereka menuntut pencopotan oknum hakim nakal yang dinilai merusak citra
penegak hukum. Oknum hakim nakal tersebut kerap mengeluarkan vonis yang
janggal dan tidak adil. (sumber, http://wartatv.com, 06 maret 2014).
Kemudian ada seorang Fatma Watih Mamonto
(43) warga Girian nampak berteriak-teriak keras dengan menggunakan
megaphone didepan kantor Pengadilan Negeri (PN) Bitung menerikan
unek-uneknya kepada seorang hakim di Pengadilan Negeri (PN) Bitung,
Senin kemarin. Fatma bersama puluhan warga kota Bitung melakukan aksi
unjuk rasa menuntut pemecatatan kepada seorang hakim di PN Bitung
bernama Sugianto yang tidak benar memimpin sidang perdata gugatan
kepemilikan tanah dengan mengeluarkan putusan verstek dengan nomor
130/Pdt.G/2013/PN.Btg atas gugatan kepemilikan yang berada dibelakang
lapangan Maesa Bitung. (sumber manado.tribunnews.com , 27 januari 2014).
Demikian juga tahun 2013 unjuk rasa di
Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang dilakukan oleh Gerakan Mahasiswa
Hukum Indonesia (GMHI) merupakan aliansi dari mahasiswa-mahasiswa hukum
di Jakarta, menyatakan sikap dengan tegas BERANTAS PENGACARA HITAM dan HAKIM HITAM keakar-akarnya karena merusak penegakan hukum di Indonesia.
Para Hakim berserta penegak hukum lainnya
berkerja harus secara professional dan praktek-praktek mafia hukum di
pengadilan. Meraka berunjuk rasa karena melihat banyak
keganjilan-keganjilan secara kasat mata melihat sikap majelis hakim yang
tidak adil, tidak jujur, tidak bertanggung jawab, tidak professional
dan arogan angkuh sombong,, mereka aksi unjuk rasa pada proses sidang
tahap REPLIK, dimana ada penggantian kuasa hukum (pengacara) bernama
Manuarang Manalu, SH meruapakan kawan tim hukum saudara Taripar
Simanjuntak, SH diganti dengan kuasa hukum bernama Mangapul Sitorus, SH,
kemudian diganti lagi oleh Marbun SH dan mereka berempat tersebut
merupakan staf hukum dan pengacara bermitra kepada kantor hukum Rudy
Lontoh & Partners di daerah Menteng Jakarta pusat, demikian juga
pada saat yang bersamaan ada juga penetapan penggantian Ketua Majelis
Hakim dan angota-anggotanya, Anggota Majelis yang baru susunan anggota
adalah Sigit Hariyanto, SH. MH dan Julien Mamahit, SH serta Ketua
Majelis Harijanto, SH, MH.
Ironis sekali, di Indonesia kebenaran
hukum erat hubungan dengan kekuasaan. Kebenaran hukum membutuhkan
pembenaran (justifikasi) kekuasaan. Dalam konteks sebuah sistem hukum
yang tidak bebas dari pengaruh eksekutif, kebenaran hukum akhirnya
dipegang penguasa. Akibatnya, semakin dekat tersangka pada pusat
kekuasaan, semakin besar pula kebenaran hukum untuk terhindar dari jerat
hukum.Di negeri ini beberapa pengacara kerap meniupkan seruling
kemanusiaan (humanis), namun mereka menjadi pengacara hitam yang sangat
loyal sekali membela para koruptor dan pelaku-pelaku praktek KKN.
Kemudian sederetan beberapa pengacara berbicara tentang demokrasi,
sekarang menjadi pengacara hitam yang oportunis dan arogan.
Dalam kondisi demikian, pencarian
kebenaran dan keadilan dinegeri ini menjadi laksana sebuah pencarian di
sebuah lorong gelap. Wajah hukum kita sarat berjuta-juta parasit, virus
dan topeng-topeng. Sulit mengembalikan keasliannya. Supremasi hukum
hanya kepura-puraan dan menambal borok-borok hukum dengan berbagai
kepalsuan (oportunis). Akhirnya, lihatlah para pengacara hitam mencari
kesenangan fana. Mereka menari-nari diatas pelangi nan jauh di langit
biru, tanpa pernah ingin turun kebumi. Ironis sekali !.. [http://kabarnet.in/]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar