Menjadi public enemy hingga mendapat pressure dari masyarakat.
BERITA TERKAIT
Setiap orang yang menjalani proses hukum, memiliki hak untuk mendapatkan bantuan hukum. Setidaknya inilah yang menjadi prinsip Petrus Bala Pattiyona, pengacara senior yang beberapa kali pernah menjadi pembela terdakwa pembunuhan. Menjadi pengacara kasus pembunuhan diakui Petrus memberikan pengaruh kepada dirinya. Setidaknya ketika orang yang dibela dihukum mati padahal tidak bersalah, Petrus mengaku ikut larut dalam putusan hakim tersebut.
“Kalau kasus pembunuhan dukanya ternyata yang dibela tidak bersalah dan dihukum mati itu sedih sekali. Jadi ikut larut dalam keputusan hakim. Ketika 1986 ada klien yang tidak bersalah dan dihukum mati. Sudah melakukan usaha sampai akhir, tetapi kan hukumannya hukuman mati,” ujarnya kepada hukumonline.
Namun tidak semua terdakwa kasus pembunuhan orang dibela Petrus dijatuhi hukuman mati. Ada juga kliennya yang dibebaskan hakim dari hukuman mati. Hal ini tentu saja membuat dia senang. “Jadi dia dituduh melakukan pembunuhan kemudian hakim membebaskan,” paparnya.
Menjadi public enemy (dikecam masyarakat, red) serta tekanan publikjuga menjadi dinamika yang Petrus dapatkan ketika membela orang yang didakwa melakukan pembunuhan. Untuk itu, bisa dikatakan bahwa tekanan publik kepada pengacara sangat luar biasa.
“Saya dulu bela di Pandeglang, saya harus dikawal oleh tentara sampai Serang. Karena emosi masyarakat melihat saya terlalu mati-matian membela orang. Contoh kasus pemerkosaan keluarga Acan tahun 1995, saya satu-satunya orang yang membela orang yang dikejar massa dan sidangnya tidak di pengadilan lagi tetapi di GOR dan dijaga oleh tentara semua,” ujarnya.
Petrus mengatakan, dengan prinsip siapapun harus mendapatkan bantuan hukum, maka pertimbangan memilih klien harus berdasarkan hati nurani. “Sekalipun dia tidak punya uang akan saya bela. Orang yang punya uang dan bersalah pun saya bela. Contohnya saya menolak orang yang butuh bantuan saya, toh dia tetap dibela. Jadi bagaimanapun juga saya akan bela. Tetapi perlakuannya beda, dia tidak boleh menuntut perlakuan istimewa dari saya karena dia orang yang salah. Yang penting dibantu dulu,” jelasnya.
Selain itu, simpati terhadap perasaan keluarga korban juga sangat dibutuhkan. “Saya selalu baik kepada keluarga korban. Saya jelaskan kepada mereka bahwa saya adalah pengacara yang bertugas memberikan bantuan hukum namun tidak membela mati-matian karena kita tahu mereka bersalah. Tapi kita jelaskan orang bersalah sekalipun, punya hak hukum untuk dibela,” paparnya.
Abdi Mujiono, PBH DPC PERADI Cirebon punya pengalaman yang sama dengan Petrus saat dirinya menjadi pengacara untuk terdakwa kasus pembunuhan. Dirinya mendapatkan tekanan, baik dari keluarga korban maupun masyarakat.
“Saya sendiri pernah mengalami. Saya mendampingi keluarga korban tidak terima atas terdakwa dengan membawa banyak massa pada saat persidangan dan cukup memberi tekanan psikis kepada terdakwa, pengacara, dan hakim. Dan hal itu yang dikatakan pengalaman yang seru. Karena wajar lah keluarga korban tidak terima atas perlakuan pelaku. Secara mental cukup mengkhawatirkan dan takut ribut. Dan memberikan dampak mental kepada terdawka. Dan faktor persidangan juga bisa berubah,” katanya.
Sedangkan pengalaman suka adalah datang dari keluarga korban, misalnya keluarga korban kondusif, terdakwa bisa memberikan secara gamblang mengenai keadaannya. Saksi-saksi juga bisa menjelaskan keterangan yang sejelasnya. Itulah yang membuat Abdi bahagia.
“Karena kan pidana adalah seni. Karena faktor persidangan yang kita ungkap. Karena fakta persidangan yang mengungkap semua fakta yang terjadi atau delik perkara bagaimana,” tuturnya.
Tekanan publik juga sudah biasa dialami Abdi ketika menjadi pengacara kasus pembunuhan. Mengatasi situasi ini, Abdi biasanya tetap berupaya menjelaskan duduk persoalan kasusnya secara jelas agar masyarakat yang merupakan orang awam hukum dapat memahami.
“Kami penasehat hukum yang ditunjuk oleh pengadilan, hanya mendampingi terhadap hak- hak terdakwa. Kewajiban dari undang-undang untuk mendampingi yang diancam lebih dari lima tahun. Kita hanya mendampingi sesuai undang-undang, dan berusaha secara maksimal agar terdakwa mendapatkan hak-haknya,” jelasnya. (www.hukumonline.com)
“Kalau kasus pembunuhan dukanya ternyata yang dibela tidak bersalah dan dihukum mati itu sedih sekali. Jadi ikut larut dalam keputusan hakim. Ketika 1986 ada klien yang tidak bersalah dan dihukum mati. Sudah melakukan usaha sampai akhir, tetapi kan hukumannya hukuman mati,” ujarnya kepada hukumonline.
Namun tidak semua terdakwa kasus pembunuhan orang dibela Petrus dijatuhi hukuman mati. Ada juga kliennya yang dibebaskan hakim dari hukuman mati. Hal ini tentu saja membuat dia senang. “Jadi dia dituduh melakukan pembunuhan kemudian hakim membebaskan,” paparnya.
Menjadi public enemy (dikecam masyarakat, red) serta tekanan publikjuga menjadi dinamika yang Petrus dapatkan ketika membela orang yang didakwa melakukan pembunuhan. Untuk itu, bisa dikatakan bahwa tekanan publik kepada pengacara sangat luar biasa.
“Saya dulu bela di Pandeglang, saya harus dikawal oleh tentara sampai Serang. Karena emosi masyarakat melihat saya terlalu mati-matian membela orang. Contoh kasus pemerkosaan keluarga Acan tahun 1995, saya satu-satunya orang yang membela orang yang dikejar massa dan sidangnya tidak di pengadilan lagi tetapi di GOR dan dijaga oleh tentara semua,” ujarnya.
Petrus mengatakan, dengan prinsip siapapun harus mendapatkan bantuan hukum, maka pertimbangan memilih klien harus berdasarkan hati nurani. “Sekalipun dia tidak punya uang akan saya bela. Orang yang punya uang dan bersalah pun saya bela. Contohnya saya menolak orang yang butuh bantuan saya, toh dia tetap dibela. Jadi bagaimanapun juga saya akan bela. Tetapi perlakuannya beda, dia tidak boleh menuntut perlakuan istimewa dari saya karena dia orang yang salah. Yang penting dibantu dulu,” jelasnya.
Selain itu, simpati terhadap perasaan keluarga korban juga sangat dibutuhkan. “Saya selalu baik kepada keluarga korban. Saya jelaskan kepada mereka bahwa saya adalah pengacara yang bertugas memberikan bantuan hukum namun tidak membela mati-matian karena kita tahu mereka bersalah. Tapi kita jelaskan orang bersalah sekalipun, punya hak hukum untuk dibela,” paparnya.
Abdi Mujiono, PBH DPC PERADI Cirebon punya pengalaman yang sama dengan Petrus saat dirinya menjadi pengacara untuk terdakwa kasus pembunuhan. Dirinya mendapatkan tekanan, baik dari keluarga korban maupun masyarakat.
“Saya sendiri pernah mengalami. Saya mendampingi keluarga korban tidak terima atas terdakwa dengan membawa banyak massa pada saat persidangan dan cukup memberi tekanan psikis kepada terdakwa, pengacara, dan hakim. Dan hal itu yang dikatakan pengalaman yang seru. Karena wajar lah keluarga korban tidak terima atas perlakuan pelaku. Secara mental cukup mengkhawatirkan dan takut ribut. Dan memberikan dampak mental kepada terdawka. Dan faktor persidangan juga bisa berubah,” katanya.
Sedangkan pengalaman suka adalah datang dari keluarga korban, misalnya keluarga korban kondusif, terdakwa bisa memberikan secara gamblang mengenai keadaannya. Saksi-saksi juga bisa menjelaskan keterangan yang sejelasnya. Itulah yang membuat Abdi bahagia.
“Karena kan pidana adalah seni. Karena faktor persidangan yang kita ungkap. Karena fakta persidangan yang mengungkap semua fakta yang terjadi atau delik perkara bagaimana,” tuturnya.
Tekanan publik juga sudah biasa dialami Abdi ketika menjadi pengacara kasus pembunuhan. Mengatasi situasi ini, Abdi biasanya tetap berupaya menjelaskan duduk persoalan kasusnya secara jelas agar masyarakat yang merupakan orang awam hukum dapat memahami.
“Kami penasehat hukum yang ditunjuk oleh pengadilan, hanya mendampingi terhadap hak- hak terdakwa. Kewajiban dari undang-undang untuk mendampingi yang diancam lebih dari lima tahun. Kita hanya mendampingi sesuai undang-undang, dan berusaha secara maksimal agar terdakwa mendapatkan hak-haknya,” jelasnya. (www.hukumonline.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar