Basuki Tjahaja Purnama/Ahok bersama Trimoelja D Soerjadi (Foto: FB Trimoelja) |
Trimoelja D Soerjadi menjadi pengacara Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam kasus dugaan penistaan agama.
Majalah.Online - Dulu ia dikenal sebagai pengacara yang gigih dalam menangani kasus Marsinah pada 1993 silam. Marsinah, buruh pabrik arloji PT Catur Putra Surya (CPS), tewas secara misterius, dan sampai sekarang belum diketahui siapakah pembunuhnya.
“Sampai kapan pun pemerintah harus berusaha mengungkap kasus Marsinah. Itu menjadi pekerjaan rumah bangsa ini,” kata Trimoelja dikutip dari narablog Lambertus Hurek, Editor Radar Surabaya (4/11/06).
Baca: Setujukah Anda Bila Ahok Menjadi Presiden?
Advokat senior ini arek Suroboyo asli lahir pada 7 Januari 1939, adalah jebolan Fakultas Hukum UNAIR 1979. Menangani kasus Marsinah yang sarat rekayasa, membuat namanya melambung ke blantika hukum nasional dan internasional. Tidak takut waktu itu?
“Kenapa takut? Saya justru senang menangani kasus-kasus menantang seperti itu. Ada tantangan,” tegas suami Diah Eko Rahayu itu.
Dengan menangani kasus-kasus berisiko tinggi, macam Marsinah, Trimoelja ‘dipaksa’ untuk mengasah kemampuannya mengungkap berbagai rekayasa hukum di lapangan. Dia juga ingin membuktikan bahwa para terdakwa di pengadilan belum tentu bersalah. Asas praduga tak bersalah, kata dia, jangan sampai dilupakan.
“Kalau saya membela Yudi Susanto (pemilik PT CPS), itu bukan berarti saya membela pembunuh Marsinah. Sebab, saya tahu bahwa sejak awal kasus ini sarat dengan rekayasa,” tutur putra almarhum Mr Soerjadi ini.
Sang ayah dikenal sebagai presiden Landraad di Pengadilan Negeri Surabaya saat penjajahan Belanda, 1930-an.
Ketika menangani kasus Marsinah, Trimoelja mendapat banyak teror. Di Pengadilan Negeri Surabaya, Trimoelja di-bully ratusan ‘suporter’ karena dianggap keblinger membela dalang pembunuhan Marsinah. Mobilnya, yang diparkir di rumah, pun dirusak orang tak dikenal. Toh, Tri tak gentar.
Baca: Setujukah Anda Bila Ahok Menjadi Presiden?
“Kenapa takut? Saya justru senang menangani kasus-kasus menantang seperti itu. Ada tantangan,” tegas suami Diah Eko Rahayu itu.
Dengan menangani kasus-kasus berisiko tinggi, macam Marsinah, Trimoelja ‘dipaksa’ untuk mengasah kemampuannya mengungkap berbagai rekayasa hukum di lapangan. Dia juga ingin membuktikan bahwa para terdakwa di pengadilan belum tentu bersalah. Asas praduga tak bersalah, kata dia, jangan sampai dilupakan.
“Kalau saya membela Yudi Susanto (pemilik PT CPS), itu bukan berarti saya membela pembunuh Marsinah. Sebab, saya tahu bahwa sejak awal kasus ini sarat dengan rekayasa,” tutur putra almarhum Mr Soerjadi ini.
Sang ayah dikenal sebagai presiden Landraad di Pengadilan Negeri Surabaya saat penjajahan Belanda, 1930-an.
Ketika menangani kasus Marsinah, Trimoelja mendapat banyak teror. Di Pengadilan Negeri Surabaya, Trimoelja di-bully ratusan ‘suporter’ karena dianggap keblinger membela dalang pembunuhan Marsinah. Mobilnya, yang diparkir di rumah, pun dirusak orang tak dikenal. Toh, Tri tak gentar.
Saat membacakan nota pembelaan, Trimoelja justru menjadikan teror ketakutan ini sebagai bahan yang menarik. “The Republic of Fear,” begitu judul pledoi Trimoelja D Soerjadi yang bersejarah itu.
Pada 30 Juni 1994 PN Surabaya memvonis Yudi Susanto dengan hukuman 17 tahun penjara. Tri tak menyerah. Dia yakin kebenaran akan berpihak padanya. Dan, di Pengadilan Tinggi Jawa Timur, 22 November 1994, Yudi Susanto dinyatakan bebas murni.
Tesis Trimoelja tentang rekayasa hukum dalam kasus Marsinah semakin sahih ketika pada 3 Mei 1995 Mahkamah Agung membebaskan semua terdakwa kasus Marsinah dari segala tuduhan.
"Saya yakin sejak awal para terdakwa kasus Marsinah, termasuk Yudi Susanto, adalah hasil rekayasa untuk menutupi kejadian yang sebenarnya," tegas Trimoelja.
Lalu, siapakah pembunuh Marsinah? Menurutnya, bila dilihat dari kronologi kejadian 23 tahun lalu, sebetulnya aparat penegak hukum bisa mengungkap kasus ini dengan mudah. Tinggal: berani atau tidak? Mau atau tidak?
Selain Marsinah, masih banyak lagi kasus-kasus berisiko (risiko kehilangan nyawa, juga risiko tidak dibayar) ditangani Trimoelja. Di masa Orde Baru kasus-kasus ini selalu bersifat struktural alias bertalian dengan rezim otoriter saat itu. Sebut saja perkara aktivis Partai Rakyat Demokratik (Dita Indah Sari, Coen Husein Pontoh, dan Mochamad Soleh).
Ada lagi kasus David Hendra (1992), Hermawan Hertanto (1992), Muhadi di Magetan (1994), Permadi di Sleman, kasus pernikahan Budi-Lanny (umat Konghucu), kasus Partai Demokrasi Indonesia, hingga kasus pembredelan majalah TEMPO. Tidak banyak yang tahu, Trimoelja juga menangani kasus-kasus rakyat miskin (sehingga tak bisa bayar pengacara) macam kasus Muhadi (sopir) serta seorang keturunan Tionghoa miskin.
Pada 10 Desember 1994, Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia mengganjar kerja keras dan idealisme Trimoelja dengan Yap Thiam Hien Award. Ini adalah penghargaan tertinggi terhadap orang yang dinilai berjasa dalam memperjuangkan HAM di Indonesia.
Goenawan Moehammad, Ketua Yapusham, saat pemberian penghargaan ini, mengatakan, "Dari seribu pengacara, hanya satu yang berhasil menjadi pengacara sejati. Dialah Trimoelja." (http://www.majalah.online/2016/12/trimoelja-d-soeradi-pengacara-ahok-ini.html)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar