Selasa, 18 Agustus 2015

Lawyer Tanpa Gelar Sarjana Hukum

“Does being a great lawyer mean being a fantastic researcher? Is it the ability to intimidate an adversary in negotiations? Mastery of black law? Is it empathizing with clients? Is it performance in a courtroom? Is it all of the above?”
Di Indonesia mungkin pamor corporate lawyer tidak terlalu dikenal masyarakat, hanya dunia korporasi yang mengenal mereka. Masyarakat lebih mengenal tokoh advokat, umumnya disebut pengacara, yang berperkara di pengadilan. Kadang ada juga pengacara yang tidak sering tampil bersidang namun sosoknya selalu menghiasi media online dan offline (siapa ya, hehe).
Padahal sepak terjang corporate lawyer tidak lepas dari perkembangan ekonomi di Indonesia. Mereka adalah sosok yang terlibat di balik berbagai transaksi, mulai dari merger dan akuisisi, IPO, spin off, investasi, kredit sindikasi perbankan hingga transaksi derivatif.
Kiprah tentang dunia corporate lawyer ini yang disajikan secara apik dalam Serial “SUITS”. Tayangan ini disiarkan oleh jaringan televisi Amerika Serikat sejak 2011, kini akan memasuki season 3.
Suits Lawyer Tanpa Gelar Sarjana Hukum
The Begining
Adalah Harvey Specter, seorang corporate lawyer dan partner senior di kantor hukum Pearson & Hardman. Law Firm ini merupakan salah satu kantor hukum ternama di Manhatan, New York, yang hanya merekrut para lulusan dari Harvard Law School. Mengawali karir sebagai asisten jaksa, Harvey kemudian terjun ke dunia lawyer.
Harvey mendapat julukan sebagai closer karena mampu menyelesaikan negosiasi bernilai fantastis dan juga kepiawaiannya menyelesaikan sengketa bisnis melalui suatu kesepakatan, tanpa perlu berperkara di pengadilan.
Setelah diangkat menjadi Senior Partner di Pearson & Hardman, Harvey diminta untuk merekrut seorang associate. Yang unik, tidak cukup hanya sekedar alumnus kaliber Harvard school untuk bisa memenuhi kualifikasinya. Dia meminta agar diberikan kandidat yang kualitasnya seperti dia. Dengan kata lain, Harvey menginginkan agar wingman nya dapat bekerja dan bahkan jika perlu berpikir seperti dia.
Di sinilah terjadi pertemuan unik yang tidak disengaja antara Harvey dengan Mike Ross, seorang pelajar drop out yang memiliki photograpic memory, namun memiliki masalah akibat berbisnis narkoba. Mike memiliki daya ingat dan pemahaman atas bacaaan yang sangat baik. Dalam sesi interview dengan Harvey, Mike mengatakan, “Once I read it I will know it. Once I know it I will understand it. And once I understand it, I‘ll never forget.
Dan dimulailah kisah itu. Harvey yang terkesan dengan bakat dan kemampuan Mike memutuskan untuk meng-hire nya sebagai associate. Namun yang jadi problem, Mike bukan hanya tidak pernah menyelesaikan studi di colege, tapi juga dia tidak pernah lulus dari sekolah Hukum, apalagi dari Harvard. Harvey meminta Mike untuk stop berurusan dengan narkoba, melakukan tur di Harvard School dan merubah penampilan dengan mengenakan fancy suits.
Rahasia ini awalnya hanya diketahui oleh Donna, sekretaris Harvey. Namun kemudian sampai ke telinga Jessica Pearson, Managing Partner Pearson & Hardman. Risiko ancaman pidana akibat fraud pun mengancam law firm tersebut, tak hanya Harvey dan Mike. Intrik mengenai persoalan ini pun terselip dalam kisah-kisah serial SUITS.
Dalam penanganan case duet Harvey-Mike ini dipenuhi strategi dan analisis hukum menarik, dengan didukung oleh kemampuan riset yang baik. Keahlian atau skill dasar yang dibutuhkan oleh seorang lawyer. Tidak ada lagi persoalan tentang typo, retype, atau proofread. Levelnya sudah lebih tinggi, “how to seal the deal or winning the case without going to trial”.
Menarik disimak trik dan strategi penanganan case dari mereka. Tapi ingat, sistem hukum yang digunakan adalah common law system yang pekat dengan asas preseden. Berbeda dengan Indonesia yang menganut civil law system, dimana yurisprudensi sebagai preseden tidak mengikat kasus lainnya yang serupa. Belum lagi penerapan asas sidang cepat, sederhana, biaya ringan. Rasanya koq beda banget ya *tepok jidat*
Ironisnya, Harvey dan Mike pernah menangani kasus yang mirip dengan rahasia mereka. Klien mereka meminta untuk melakukan PHK terhadap salah satu staf akuntan senior yang ternyata tidak pernah meraih gelar di bidang akuntansi. Opsi yang ditawarkan, ketimbang dilaporkan atas fraud, si karyawan diminta melakukan pengunduran diri dan tidak mengajukan gugatan terhadap PHK nya.
“When you dress like a lawyer, think like a lawyer, talk like a lawyer than you become a lawyer” (anonymous quote).
Fenomena Praktik Hukum di Indonesia
Kisah lawyer tanpa degree dari law school dalam serial Suits memang fiktif. Namun bagaimana dengan praktik di Indonesia? Dahulu sebelum diberlakukan Undang-undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat (UU advokat), kita mengenal pokrol bambu, pengacara tanpa izin praktik bahkan ada yang bukan sarjana hukum.
Namun sejak diterbitkannya UU Advokat, kegelisahan bukan hanya menyelimuti para pokrol bambu, tapi juga pada corporate lawyers. Karena kebanyakan dari mereka belum memiliki izin praktik sebagai advokat. Kenapa?
Definisi dalam UU Advokat menyebutkan bahwa profesi advokat memberikan jasa hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan. Sehingga, para corporate lawyers yang “alergi” terhadap pengadilan pun, musti memiliki izin berpraktik sebagai advokat. Bagaimana jika tidak? Terdapat sanksi pidana bagi mereka yang bertindak seolah-olah sebagai advokat. Berarti, menandatangani legal opinion atau engagement letter pun dapat dikualifikasikan bertindak sebagai advokat.
Dari situ kemudian banyak corporate law firm yang merger atau menarik partner baru yang sudah memiliki kartu izin advokat. Bahkan ketika itu, tak sedikit partner dari corporate law firm yang belum memiliki lisensi sebagai advokat dan ramai-ramai mengikuti ujian advokat. Berita tentang ini menjadi sensasional, kala itu Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) menjadi sorotan.
Namun demikian, kegelisahan itu mulai sirna seiring pencabutan sanksi pidana dalam UU advokat terkait pasal 31 UU advokat oleh Mahkamah Konstitusi.
Pasal 31 yang dibatalkan itu selengkapnya berbunyi: Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi advokat, tetapi bukan advokat, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000.-
Mahkamah Konstitusi menyatakan pasal 31 Undang-Undang Advokat tidak berlaku karena bertentangan dengan UUD 1945. Pasal itu dinilai dapat menghalangi peran LBH kampus menjalankan fungsi pelayanan dan bantuan hukum kepada rakyat miskin.
Fakta lainnya, kini, tidak sedikit “practicing lawyer” yang belum menjadi advokat. Bahkan namanya pun menjadi nama kantor hukum itu sendiri. Sejatinya ini merupakan kekhawatiran tersendiri. Apabila terjadi pelanggaran etika profesi, PERADI sebagai organisasi profesi tidak dapat menjatuhkan sanksi kepada para lawyer yang belum bersertifikasi sebagai advokat tersebut.
Meraih Gelar Sarjana Hukum
Terlepas dari itu, patut diakui, bahwa banyak “lawyer” bertalenta yang tidak memiliki gelar sarjana hukum. Saya menemui beberapa nama yang sempat berpraktik demikian di beberapa law firm, walaupun kini sudah tidak lagi. Ada juga mantan pegiat LBH yang alumnus ITB, akhirnya dia meraih gelar sarjana hukumnya sambil dia menjalani dunia advokasi sebagai public defender.
Bahkan di salah satu law firm besar di Jakarta, salah satu partner nya mengawali karir sebagai paralegal, ketika masih mengantongi gelar sarjana sastra. Namun, berbekal pengetahuan, keseriusan dan kesungguhan untuk mengejar karirnya, beliau menempuh jenjang pendidikan tinggi hukum hingga meraih gelar S2 di luar negeri.
Pada akhirnya, semua itu menjadi pilihan. Advokat adalah penegak hukum, apakah mungkin menegakkan hukum dengan cara yang salah? Meminjam kalimat mantan Jaksa Agung, Abdul Rahman Saleh, “tidak bisa membersihkan kotoran dengan sapu kotor”.
Bagi Harvey dalam serial SUITS, “I only care about winning. Because winning is me”. Mungkin karena goal nya adalah kemenangan, maka menempatkan Mike sebagai lawyer adalah satu strategi untuk mempertahankan rekor kemenangannya, sekalipun dia tahu hal tersebut melanggar hukum. Tapi itu hanyalah cerita fiktif. Bagaimana dengan anda?
“Everybody wanna know how it feels.
Everybody wanna see what it’s like.
Living in a beehive, I don’t mind.” #Suits

Bimo Prasetio, advokat
@Brasetio

Tidak ada komentar:

Posting Komentar