Warsito Sanyoto. Foto: Sekaring Ratri/Jawa Pos
PROFESI insurance
investigator yang dilakoni Warsito Sanyoto tergolong langka di
Indonesia. Selain berisiko tinggi, profesi ini tergolong mahal. Dalam
mengungkap kasus, Warsito perlu peralatan canggih serta beberapa
“detektif”. Ratusan kasus kejahatan asuransi pernah ditangani Warsito.
----------
----------
Rumah Warsito Sanyoto di kawasan Taman
Radio Dalam, Jakarta, memang terkesan mewah. Rumah bergaya Italia
tersebut dipenuhi beragam perabot khas negeri pizza. Meski begitu, pria
asli Solo, Jawa Tengah, itu tetap tidak bisa melupakan tanah
kelahirannya. Dia memberikan sentuhan Jawa dalam dekorasi rumahnya.
Misalnya, ada ukiran Jepara dan Kudus yang menghiasi rumah pengacara 69
tahun tersebut.
“Saya memang suka dengan apa pun yang
bergaya Italia, tapi saya juga selalu menyelipkan beberapa dekorasi
Jawa,” ujar Warsito saat ditemui pekan lalu.
Yang juga menarik, hampir di setiap
sudut rumahnya terdapat patung macan. Warna merah dan emas mendominasi
cat ruangan-ruangannya. Menurut pria kelahiran 9 Desember itu, warna
merah-emas serta keberadaan patung macan itu mencerminkan karakter dan
kepribadiannya.
“Merah kan berani. Kalau macan, garang. Keduanya mewakili karakter saya,” katanya lantas terbahak.
Selain pengacara, Warsito adalah
insurance investigator atau insurance advisor. Profesi itu tergolong
langka di Indonesia. Sebagai insurance investigator, dia secara khusus
menangani kasus-kasus kejahatan asuransi. Biasanya dia disewa
perusahaan-perusahaan asuransi untuk menyelidiki ada tidaknya rekayasa
dalam klaim yang diajukan klien.
“Tugas saya menyelidiki
kejadian-kejadian yang dituntut oleh klien atau tertanggung, apakah
kejadian itu murni kecelakaan atau hasil rekayasa. Kalau saya
merekomendasikan murni kecelakaan, perusahaan asurasi wajib membayar
klaim. Tapi, kalau saya bilang itu rekayasa, perusahaan tidak perlu
membayar tertanggung,” urainya.
Warsito yang sudah bertahun-tahun
menggeluti profesi insurance investigator itu mengatakan, modus
kejahatan asuransi di Indonesia cukup beragam. Bahkan, modusnya sudah
menjadi kejahatan yang terorganisasi.
“Sampai ada sindikat kejahatan asuransi di Indonesia. Mereka ahli dalam merekayasa klaim asuransi,” ungkap Warsito.
Sindikat tersebut biasanya piawai
memetakan berbagai modus rekayasa klaim. Mereka terorganisasi dengan
baik. Ada yang bertugas memalsukan surat dokter, ada yang mencari
korban, dan ada pula penyandang dana untuk membayar polis asuransinya.
Itu sudah terencana secara rapi. “Mereka orang-orang yang terbiasa
melakukan hal ini,” lanjutnya.
Warsito memaparkan, modus kejahatan
asuransi biasanya menyasar nilai klaim yang mencapai ratusan juta hingga
miliaran rupiah. Karena itu, banyak pihak yang rela merekayasa kasus
untuk mendapatkan klaim dengan jumlah sangat besar itu. Bahkan, mereka
tidak segan menghabisi nyawa orang lain agar bisa mencairkan klaim
asuransinya.
Doktor dari Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada (UGM) itu mencontohkan kasus kematian palsu yang pernah
ditanganinya. Di Bagan Siapiapi, Riau, seseorang “sebut saja Tukijo”
mendadak diasuransikan jiwanya oleh sebuah perusahaan X. Padahal, Tukijo
yang termasuk miskin itu tidak tahu apa-apa. Dia digambarkan sebagai
direktur perusahaan X tersebut. Karena itu, nilai premi asuransinya
besar.
Selama tiga-empat bulan hidup Tukijo
ditanggung penuh oleh perusahaan. Bahkan, dia dibuatkan rekening
tersendiri untuk menghadapi segala kemungkinan bila meninggal nanti.
Skenario berikutnya, sindikat itu menghabisi Tukijo.
Biar terkesan kematiannya wajar, Tukijo
seolah-olah terjatuh dari kereta yang ditumpanginya. Padahal, yang
sebenarnya, dia dibunuh dengan cara didorong dari dalam gerbong oleh
anggota sindikat itu. Dari situ pihak asuransi mau tidak mau membayar
klaim asuransi atas nama Tukijo. Uang klaim itu akan dinikmati direktur
asli perusahaan tersebut.
“Tapi, keburu terbongkar. Saya melihat
ada yang janggal dalam kasus itu: direktur kok naik kereta. Setelah kami
telusuri, akhirnya terungkap bahwa Tukijo bukan direktur perusahaan X.
Dia orang miskin yang dibayar untuk menyamar menjadi direktur,” cerita
Warsito.
Menurut pria penghobi jetski ini, sangat
banyak kasus serupa terjadi di Indonesia. Misalnya, seorang
pengangguran diasuransikan oleh pemilik perusahaan penyewaan komputer.
Lagi-lagi dia difigurkan sebagai direktur. Untuk meyakinkan, dia
didandani perlente mirip bos. Dia juga disewakan rumah mewah di kawasan
Kalideres.
“Jadi, memang semuanya sudah disiapkan dengan terencana dan rapi,” katanya.
Suatu hari “direktur” itu dibawa ke
rumah sakit. Dua jarinya putus karena terpotong pisau daging. Atas
kejadian itu, dia menuntut perusahaan asuransi membayar klaimnya. Nilai
klaim yang diajukan sekitar Rp 600 juta.
Namun, sebelum membayar klaim, perusahaan asuransi menyewa jasa Warsito.
Detektif kejahatan asuransi itu pun
mencium adanya kejanggalan dalam kasus tersebut. Dia lantas melakukan
reka ulang dengan menggunakan sarung tangan disposable (sekali buang).
Sarung tangan tersebut diisi kapas sehingga mirip tangan yang
sesungguhnya.
“Setelah saya uji coba sampai 55 kali,
terbongkarlah rekayasa itu. Semestinya yang terpotong tidak hanya dua
jari, tapi tiga jari sekaligus. Dan, terbukti bahwa itu sengaja
dipotong. Untuk menahan sakit, direktur abal-abal itu dibius dahulu oleh
algojonya. Bahkan, semula, kelima jarinya mau dipotong, tapi ternyata
si direktur sudah ndak kuat menahan sakit. Akhirnya hanya dua jari yang
dipotong,” paparnya.
Di samping pemalsuan kematian atau
kecatatan, lanjut Warsito, perusahaan-perusahaan besar juga kerap
melakukan penipuan klaim asuransi dengan modus kebakaran pabrik atau
penenggelaman kapal kargo.
Dia mencontohkan kasus tenggelamnya
kapal di wilayah perairan Jakarta. Kapal beserta isinya itu telah
diasuransikan. Menurut keterangan pemilik kargo, kapal itu berisi
barang-barang berharga. Di antaranya sepeda motor. Namun, saat kapal
di-refloating (diapungkan), muatannya ternyata tidak sesuai dengan yang
dilaporkan perusahaan.
“Isinya cuma karpet-karpet bekas yang digulung-gulung. Ada juga ban-ban bekas yang dimasukkan ke dalam peti,” urainya.
Untuk menelusuri unsur kesengajaan dalam
penenggelaman kapal, Warsito mengamati sekitar wilayah tenggelamnya
kapal terlebih dahulu. Dalam penyelidikan itu dia didukung sejumlah
peralatan canggih. Misalnya, kacamata kamera pengintai dan alat dengar
jarak jauh. Bahkan, dia harus membayar orang untuk menyelidiki di
lapangan.
“Yang menenggelamkan kapal itu ternyata orang-orang yang pekerjaannya memang seperti itu,” paparnya.
Ada juga kasus pembakaran pabrik yang
direkayasa. Caleg DPR dari Partai Gerindra itu mengisahkan, ada sebuah
pabrik tripleks yang terbakar. Menurut pihak perusahaan, bahan baku
tripleks terbakar habis. Namun, pihak asuransi tidak langsung percaya.
Mereka lalu menyewa Warsito.
Langkah pertama, Warsito memeriksa
pembukuan perusahaan tersebut untuk mengetahui apakah mereka membeli
bahan baku sejumlah yang dilaporkan. Selanjutnya, dia mengecek berat abu
dari bahan baku yang terbakar. Menurut dia, ada perhitungan tertentu
antara berat abu yang ditimbang dan jumlah bahan baku yang terbakar.
“Kalau berat abunya 100 kilogram,
sementara perusahaan mengklaim bahan baku tripleks yang terbakar
mencapai 8.000 ton, itu sudah kelihatan bohongnya. Benar, setelah kami
telusuri, ternyata yang dibakar bahan baku bekas dan tidak terpakai,”
katanya.
Bagi Warsito, menangani kasus kejahatan
asuransi cukup mengasyikkan. Sudah tidak terhitung banyaknya kasus
kejahatan asuransi yang dia tangani. Padahal, untuk mengungkap sebuah
kasus dibutuhkan waktu yang tidak sebentar.
“Paling cepat sebulan, tapi ada juga
yang sampai enam bulan. Kalau lama, itu karena kasusnya ruwet dan
melibatkan mafia,” ujarnya.
Di samping waktunya yang lama, pekerjaan
Warsito mengancam jiwa. Dia dan keluarga mengaku sudah kenyang menerima
ancaman dari pihak yang tengah diselidiki. Bentuknya melalui telepon,
surat kaleng, sampai bingkisan berisi tikus mati yang dikirimkan ke
kediaman Warsito. Karena itu, semua anaknya memiliki pengawal pribadi.
Awal mula Warsito tertarik dengan
seluk-beluk kejahatan asuransi adalah ketika bekerja di bidang asuransi.
Setelah meraih gelar sarjana muda jurusan hukum di Universitas
Airlangga pada 1969, dia bekerja di sebuah perusahaan asuransi. Bahkan,
Warsito sempat menjadi kepala cabang di Jember.
Sembari bekerja, dia meneruskan sekolah
hingga jenjang S-1 di Universitas Negeri Jember. Pada 1975 dia
memutuskan pindah ke Jakarta. Dia bekerja di Bank Bumidaya dan
ditempatkan di bagian asuransi. Dalam waktu yang sama, dia melanjutkan
studi S-2 di Fakultas Hukum UGM. Tidak lama kemudian, Warsito memutuskan
keluar dari bank itu untuk mendalami bidang hukum, khususnya terkait
kejahatan asuransi.
“Kalau saya pilih hukum pidana atau
perdata, sudah banyak. Karena itu, saya pilih yang langka, hukum
asuransi. Sampai sekarang masih jarang yang menekuni bidang ini karena
memang rumit dan risikonya tinggi,” tandas Warsito.
sumber: http://www.jpnn.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar