"RUU Advokat ini belum sama sekali menjamin profesionalitas, independensi, dan akuntabilitas profesi advokat," kata Direktur Pusat Studi Hukum Dan Kebijakan (PSHK), Ronald Rofiandri, beberapa saat lalu (Kamis, 1/8).
Setidaknya, ungkap, ada beberapa argumentasi mengapa RUU ini diragukan bisa menjamin profesionalitas advokat. Pertama, pembentukan Dewan Advokat Nasional (DAN). Tujuan pembentukan DAN mengarah kepada terbentuknya suatu bar council sebagai atap dari organisasi-organisasi advokat yang bertugas untuk meningkatkan pengetahuan, kompetensi, dan kemahiran serta menetapkan standardisasi pendidikan advokat.
Namun, katanya, masih menjadi pertanyaan sejauh mana kemampuan DAN dalam mengkonsolidasikan organisasi-organisasi advokat. Di tengah banyak dan besarnya kewenangan organisasi advokat yang ada termasuk tidak adanya larangan advokat yang telah diberhentikan menjadi anggota organisasi advokat lain, maka efektivitas dan pengawasan DAN masih diragukan akan berjalan optimal.
"Selain itu, mekanisme pemilihan calon anggota DAN melalui DPR atas rekomendasi Presiden, termasuk pembiayaan yang diperoleh dari APBN, rentan terhadap kemandirian advokat," ungkap Ronald.
Kedua, katanya, perlindungan klien atau penerima jasa hukum. Perlindungan klien dalam RUU Advokat dapat dikatakan minim sekali. Misalkan, tidak adanya pengaturan mengenai transparansi komponen biaya jasa hukum. Hanya terdapat klausul mengenai hak advokat untuk mendapatkan honorarium berdasarkan kesepakatan dengan klien. Selain itu juga, tidak terdapat pengaturan mengenai mekanisme pengaduan oleh klien terhadap advokat yang bertindak tidak profesional
Ketiga, masih katanya, penegasan status dan hak advokat. UU Advokat menyatakan bahwa advokat adalah penegak hukum. Sementara dalam RUU Advokat kedudukan advokat adalah sebagai pilar penegakan hukum. Penegasan terhadap status ini berhubungan dengan hak advokat. Dalam RUU Advokat dinyatakan bahwa salah satu hak advokat adalah memperoleh informasi, data, dan dokumen lain, baik dari instansi pemerintah maupun pihak lain, untuk kepentingan pembelaan kliennya. Karena itu perlu kehati-hatian dan kecermatan dalam merumuskan lebih lanjut mengenai hak advokat sebagai penegak hukum ini.
"Hak yang identik dengan kewenangan penegak hukum ini membuka celah besar advokat menjadi perantara dari suatu tindak pidana. Selain itu, hak advokat ini juga dapat bertentangan dengan undang-undang lainnya misalnya UU Perbankan," jelas Ronald.
Keempat, kata Ronald lagi, terkait dengan eksistensi advokat asing. UU Advokat mendelegasikan pengaturan tentang advokat asing ke dalam Peraturan Menteri, sedangkan RUU Advokat menempatkannya melalui Peraturan Pemerintah (PP). Perubahan jenis dan bentuk produk hukum ini tidak solutif terhadap akar permasalahan. Kehadiran dan bentuk kerjasama antara kantor hukum asing dengan Indonesia belum diatur sama sekali.
"Pengaturan yang minim ini juga belum memuat mengenai peran, tugas, dan fungsi dari pihak-pihak yang memiliki wewenang terhadap keberadaan advokat asing dan kantor hukum asing," demikian Ronald. [www.rmol.co]
Komentar Pembaca
Tidak ada komentar:
Posting Komentar