(Studi tentang Kajian Historis Yuridis)
Ditulis Oleh: GUNAWAN,S.H.
A. Pendahuluan
Tulisan
ini dimaksudkan untuk memberikan deskripsi sejarah kedudukan advokat di
Indonesia, menguraikan perkembangan advokat secara yuridis di
Indonesia dari masa pra kemerdekaan sampai lahirnya undang-undang No. 18
Tahun 2003 Tentang Advokat.
Dalam
prefektif sejarah, disadari bahwa perjalanan profesi advokat di
Indonesia tidak bisa lepas dari keterkaitannya dengan perubahan sosial.
Para advokat Indonesia terseret dalam arus perubahan tersebut. Pada masa
pra kemerdekaan dan saat ini setelah Indonesia merdeka, secara individu
banyak advokat terlibat dalam perjuangan kemerdekaan, terutama
perjuangan politik dan diplomasi. Kala itu, kaum intelektual dan
pemimpin politik Indonesia memang terbatas pada mereka yang berasal dari
kalangan advokat, dokter, insinyur dan pamong peraja. Mereka terdidik
dalam alam romantisme liberal dan etika berpikir Eropa Barat termasuk
Belanda. Karena kedudukan yang cukup terhormat itu, maka perannya cukup
signifikan dalam menentukan sikap politik para pemimpin Indonesia pada
masanya, seperti ikut merumuskan dasar-dasar konstitusi Indonesaia.[[2]]
Di
era kemerdekaan, pada masa pemerintahan Sukarno dimana politik menjadi
panglima, para advokat diam tidak bisa ikut melakukan revolusi. Dimasa
itu pula kita mencatat sejarah peradilan yang relatif bersih dan
berwibawa.
Bahkan
dimasa pemerintahan Suharto yang represif menggunakan kekuatan militer,
Persatuan Advokat Indonesai (peradin) dengan berani dan terbuka membela
secara probono para politikus komunis dan simpatisannya yang diadili
dengan tuduhan makar tehadap Negara Republik Indonesia, dihadapan
Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub).
Dari
sekilas sejarah (peran) para advokat tersebut, menunjukkan bahwa
sumbangan pemikiran para advokat berkualitas, yang menjadi pemimpin
politik dan sosial sejak 1923,
adalah sangat besar. Pada masa itu, advokat Indonesia pertama Mr. Besar
Martokoesoemo, membuka kantor advokat ditegal, selain pak Besar sendiri,
ada Sartono, Alisastroamidjojo, Wilopa, Muh Roem, Ko Tjang Sing, Muh
Yamin, Iskaq Tjokrohadisuryo, lukman Wiradinata, Suardi Tasrif, Ani
Abbas Manoppo, Yap Thiam Hien, dan lain-lain dan generasi yang aktif
sebelum dan sesudah kemerdekaan sampai 1960-an dan beberapa diantaranya
sampai 1980-an. [[3]]
Hanya
saja, akibat ombang-ambing politik, sebagai profesi para advokat
Indonesia mengalami perubahan yang membingungkan. Kalau mereka bisa
aktif dalam politik pada zaman parlementer, dan dihormati oleh hakim dan
jaksa sebagai unsur biasa dalam sistem peradilan. Pada zaman Demokrasi
Terpinpin sebaliknya, Mereka mulai dijauhkan dari lembaga formal,
diisolasi sebagai unsur swasta, dan sering diperlakukan seperti musuh
oleh hakim dan jaksa.[[4]]
Pada permulaan 1960-an korupsi peradilan mulai menonjol yang dimulai dari kantor kejaksaan, dari situ kepengadilan dan
pada akhirnya meluas pada advokat yang sulit membela kliennya kecuali
ikut main dalam sistem birokrasi peradilan yang korup. Kondisi demikian,
hingga pasca lahirnya undang-undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat
masih belum berubah. Pada hal Pasal 5 undang-undang No. 18 Tahun 2003, ayat (1) menyatakan bahwa Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan. [[5]] Artinya kedudukan advokat sama dengan penegak hukum lainnya yaitu polisi, jaksa dan hakim atau yang disebut dengan catur wangsa.
Sebagai
organisasi profesi, advokat melalui pasal 28 undang-undang No. 18 Tahun
2003 tentang Advokat diamanatkan untuk membentuk wadah tunggal
organisasi advokat, yang kemudian lahir PERADI (Perhimpunan Advokat
Indonesia), namun dalam perkembangannya di internal organisasi advokat
itu sendiri (PERADI) malahan terjadi perpecahan, sehingga muncul lagi
organisasi advokat lain yaitu KAI (Kongres Advokat Indonesia). Hal itu
tentunya sangat memprihatinkan dan patut menjadi bahan perenungan yang
mendalam, meskipun ada adagium yang sudah diketahui secara luas
“Tegakkan hukum walaupun langit runtuh” nampaknya harapan itu sangat
jauh dari kenyataan yang dihadapi.
Untuk itu, tulisan ini mencoba memberikan kajian dari aspek historis yuridis perkembangan advokat di Indonesia dari masa
pra kemerdekaan sampai lahirnya undang-undang No. 18 Tahun 2003 Tentang
Advokat, dari berbagai literatur serta analisa ringkas terhadap
aspek-aspek yang terkait dengan obyek kajian ini.
B. Kedudukan Advokat Pra Kemerdekaan
Jika ditilik sejarahnya, fungsi advokat sebenarnya tidak lahir secara genuine
dari kultur hukum masyarakat Indonesia. Fungsi ini baru muncul sejalan
dengan ditransplantasikannya sistem hukum dan peradilan formal oleh
pemerintah Hindia Belanda.
Sistem peradilan Hindia Belanda terbagi dalam empat jenis peradilan yang berlainan. Pertama, pengadilan pemerintah untuk orang Eropa meliputi pengadilan tingkat pertama residentiegerecht yang menjadi wewenang residen Belanda; pengadilan banding raad van justitie di ibukota dan pengadilan tertinggi, hoogerechtshof. Kedua, pengadilan pemerintah untuk orang bukan golongan eropa, pengadilan agama Islam, dan pengadilan adat. [[6]]
Pengadilan pemerintah bagi orang Indonesia juga memiliki tiga tingkatan yakni districtsgerecht, regentschapsgerecht, dan landraad. Landraad inilah yang menjadi cikal bakal pengadilan negeri Indonesia. Pada tahun 1938, putusan landraad dapat dibanding pada raad van justitie Sebagian besar hakim landraad
adalah orang Belanda, namun sejak 1920-an dan 1930-an beberapa orang
ahli hukum Indonesia berpendidikan hukum diangkat sebagai hakim.
Pengadilan Indonesia menggunakan KUH Pidana dengan hukum acara yang
dikenal Herziene Inlandse Reglement (HIR).[[7]]
Pemerintah
kolonial tidak mendorong orang-orang Indonesia untuk bekerja sebagai
advokat. Pada 1909 pemerintah kolonial mendirikan Rechtsschool di Batavia dan membuka kesempatan
pendidikan hukum bagi orang pribumi hingga tahun 1922, namun kesempatan
hanya dimanfaatkan kaum priyayi. Pada tahun 1928, Rechtsschool meluluskan hampir 150 orang rechtskundigen (sarjana hukum). Namun mereka ini hanya menjadi panitera, jaksa dan hakim tidak sebagai notaris dan advokat.[[8]]
Hingga
pada tahun 1940 terdapat hampir tiga ratus orang Indonesia asli menjadi
ahli hukum sampai pada pendudukan Jepang. Para advokat Indonesia
angkatan pertama menetap di Belanda sebagai advokat. Diantara empat
puluh orang Indonesia yang meraih gelar sarjana hukum di Leiden, tidak
kurang dari enam belas orang menjadi advokat sepulang ke Indonesia.[[9]]
Salah
seorang tokoh yang mendorong perkembangan advokat Indonesia adalah Mr.
Besar Martokusumo. Pada saat itu tidak satupun kantor advokat yang besar
kecuali kantor Mr. Besar di Tegal dan Semarang, dan kantor advokat Mr.
Iskak di Batavia. Bagi advokat Indonesia asli memulai praktik adalah
langkah yang sulit. Hal ini terjadi karena advokat Belanda mengganggap
mereka sebagai ancaman dalam persaingan. [[10]]
Sebenarnya
transplantasi sistem peradilan Barat tidak otomatis mengintrodusir
fungsi advokat di dalamnya. Sebagai bukti, pemerintah Hindia Belanda
sengaja memberlakukan Herziene Indonesisch Reglement (HIR) sebagai hukum acara bagi kalangan pribumi yang tidak mengenal fungsi advokat, bukannya Reglement op de Strafvordering (SV) dan Reglement op de Rechtsvordering (RV) yang memang dikhususkan buat masyarakat Eropa di Hindia Belanda. [[11]]
HIR (Herziene Indonesisch Reglement)
dibentuk dengan cara pandang yang "menggampangkan" permasalahan hukum
masyarakat pribumi, karena itu aturannya dibuat sangat sederhana. Semua
proses beracara juga dipusatkan pada kewenangan (diskresi) hakim. Sebab
selain berwenang mengadili, hakim dalam HIR juga diberi kewenangan
menyusun surat dakwaan (bukan jaksa), serta memberi nasehat hukum kepada
terdakwa atau pihak-pihak yang berperkara (bukan advokat atau ahli
hukum lain yang kompeten). Hal ini diperburuk oleh kualifikasi para
pelaku peradilan di HIR yang tidak ditentukan secara memadai. Hanya
hakim yang disyaratkan harus memiliki keahlian hukum tertentu, sementara
fungsi jaksa cukup dilakukan oleh pejabat pamong praja, dan nasehat
hukum (jika bukan hakim yang melaksanakan) bisa diberikan oleh siapa
saja selama disetujui pihak berperkara.[[12]]
Sebagai
perbandingan, pemberlakuan SV dan RV didasarkan pada penghargaan akan
kultur hukum masyarakat Eropa yang sudah maju. Kedua ketentuan hukum
acara tersebut cukup gamblang menjabarkan prinsip-prinsip peradilan yang
baik. Hakim, jaksa, dan advokat harus berasal dari mereka yang
menyandang status sarjana hukum, serta masing-masing diberi fungsi yang
jelas untuk saling mengawasi dan saling mengimbangi. [13]
Akibatnya profesi advokat berkembang maju di pengadilan-pengadilan yang menyelesaikan sengketa hukum masyarakat Eropa (Raad van Justitie), dan secara kontras mengalami kemandegan di pengadilan-pengadilan pribumi (Landraad). Jika bagi advokat Eropa dibuat pengaturan lanjutan berupa Reglement op de Rechterlijk Organisatie
(RO) yang tujuannya mengintegrasikan fungsi advokat sebagai unsur
penting dari administrasi peradilan secara keseluruhan, maka orang-orang
pribumi yang memberikan nasehat hukum (lazim disebut "pokrol bambu")
diatur dengan ketentuan seperti Stbl. 1927-496. Dasar Stbl. 1927-496
adalah pemikiran negatif tentang pokrol bambu dan bertujuan melindungi
masyarakat dari penipuan yang mungkin dilakukan pokrol bambu. [[14]]
Adapun pengaturan advokat dapat ditemukan diberbagai peraturan pada masa pra kemerdekaan adalah sebagai berikut:
a. Staatblad Tahun 1847 Nomor 23 dan Staatblad Tahun 1848 Nomor 57 tentang Reglement op de rechtelijk organisatie en het beleid de justitie in Indonesie atau dikenal dengan RO, pada Pasal 185 s/d 192 mengatur tentang “advocaten en procureurs” yaitu penasehat hukum yang bergelar sarjana hukum.
b. Staatblad Tahun 1847 Nomor 40 tentang Reglement op de Rechtsvordering (RV), dalam peradilan khusus golongan Eropa (Raad van Justitie) ditentukan bahwa para pihak harus diwakili oleh seorang advokat atau procureur.
c. Penetapan
Raja tanggal 4 Mei 1926 Nomor 251 jo. 486 tentang Peraturan Cara
Melakukan Menjalankan Hukuman Bersyarat, pada Bab I Bagian II Pasal 3
ayat 3 ditentukan bahwa orang yang dihukum dan orang yang wajib
memberikan bantuan hukum kepadanya sebelum permulaan pemeriksaan.
d. Staatblad Tahun
1926 nomor 487 tentang Pengawasan Orang yang Memberikan Bantuan Hukum,
ditentukan bahwa pengawasan terhadap orang-orang yang memberikan bantuan
hukum atau orang yang dikuasakan untuk menunjuk lembaga dan orang yang
boleh diperintah memberi bantuan.
e. Staatblad Tahun 1927 Nomor 496 tentang Regeling van de bijstaan en vertegenwoordiging van partijen in burgerlijke zaken voor de landraden, mengatur tentang penasehat hukum yang disebut “zaakwaarnemers’ atau pada masa tersebut dikenal dengan “pokrol”.
f. Staatblad Tahun 1941 Nomor 44 tentang Herziene Inlandsch Reglement (HIR),
dalam Pasal 83 h ayat 6 ditentukan bahwa jika seseorang dituduh
bersalah melakukan sesuatu kejahatan yang dapat dihukum dengan hukuman
mati, maka magistraat hendak menanyakan kepadanya, maukah ia dibantu di
pengadilan oleh seorang penasehat hukum. Dan Pasal 254 menentukan bahwa
dalam persidangan tiap-tiap orang yang dituduh berhak dibantu oleh
pembela untuk mempertahankan dirinya.
g. Staatblad Tahun 1944 Nomor 44 tentang Het Herziene Inlandsch Reglement atau
RIB (Reglemen Indonesia yang diperbaharui), menurut Pasal 123
dimungkinkan kepada pihak yang berperkara untuk diwakili oleh orang
lain.
Berbagai
ketentuan hukum diatas mendasari profesi advokat pada masa pra
kemerdekaan, meski masih mengutamakan advokat Belanda. Akan tetapi
berbagai pengaturan itu sedikitnya telah mendasari perkembangan advokat
Indonesia pada masa selanjutnya. [[15]]
C. Kedudukan Advokat Pasca Kemerdekaan
Perkembangan
pengaturan profesi advokat di Indonesia dilanjutkan pada masa
pendudukan Jepang. Pemerintah kolonial Jepang tidak melakukan perubahan
yang berarti mengenai profesi ini. Hal ini terbukti pada UU Nomor 1
Tahun 1946 tentang Pemberlakuan Wetboek van strafrecht voor Nederlands Indie tetapi digunakan istilah KUH Pidana. UU ini memuat pengaturan tentang kedudukan advokat dan procureur dan orang-orang yang memberikan bantuan hukum.
Pengaturan
profesi advokat secara sporadis tersebar dalam berbagai ketentuan
perundang-undangan termasuk didalamnya ketentuan pada masa kolonial
Belanda. Bahkan pengaturan profesi advokat sejak proklamasi 17 Agustus
1945 justru kurang mendapat perhatian. Hal ini ditunjukkan dengan tidak
ditemukannya istilah advokat atau istilah lain yang sepadan dimasukkan
dalam UUD 1945. Demikian pula pada UUD RIS 1949 yang digantikan dengan
UUDS 1950.
Memang
pada pasca-kemerdekaan satu-persatu undang-undang organik di bidang
peradilan dan kekuasaan kehakiman diberlakukan, lengkap dengan
fluktuasinya. Kadang menunjukkan pergerakan positif, kadang justru
berbalik arah sesuai tarik-ulur kepentingan politik pemerintah di
dalamnya. Mulai dari UU No. 1 tahun 1950 tentang Susunan dan Kekuasaan
Jalannya Mahkamah Agung Indonesia yang mengakui hak pemohon kasasi untuk
mendapatkan bantuan hukum, hingga UU No. 13 tahun 1965 tentang hal sama
yang membenarkan intervensi langsung Presiden sebagai pemimpin besar
revolusi ke dalam jalannya peradilan. Padahal satu tahun sebelumnya,
baru diberlakukan UU No. 19 tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, yang mengintroduksi hak untuk mendapatkan bantuan
hukum bagi masyarakat walau dengan batasan-batasan tertentu.[[16]]
Namun
yang jelas, materi pengaturan tentang bantuan hukum yang berarti juga
menyinggung fungsi advokat pada perundang-undangan di atas, hanya
dilekatkan secara simbolis, dan tidak pernah diturunkan dalam ketentuan
yang lebih operasional. Sehingga tidak keliru jika dikatakan bahwa pada
masa tersebut, tidak ada kebijakan yang pasti tentang bantuan hukum,
maupun tentang profesi advokat yang bertugas menyediakannya.
Sementara
akibat sengketa hukumnya seringkali harus diselesaikan secara formal
lewat mekanisme peradilan, sesungguhnya masyarakat mulai merasakan
kebutuhan akan fungsi advokat. Kebutuhan ini diindikasikan dengan
meluasnya peran pokrol bambu yang makin terasa akrab dan terjangkau oleh
masyarakat. Pada prakteknya pun, profesi advokat di Indonesia terus
berkembang. Di banyak kota besar mulai bermunculan kantor-kantor hukum
advokat profesional, menggantikan advokat-advokat Belanda yang semakin
berkurang jumlahnya menjelang dan sesudah pembebasan Irian Barat.
Berbagai organisasi yang menaungi para advokat (Balie van Advocaten) pun
banyak berdiri, termasuk Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) yang
didirikan pada tahun 1963.[[17]]
Guna
mengisi kekosongan hukum saat itu, akibat tidak kunjung diperjelasnya
fungsi advokat dalam perundang-undangan di bidang peradilan sementara
praktek pemberian bantuan hukum secara empirik terus dijalankan,
pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Kehakiman RI No. 1 tahun 1965
tentang Pokrol sebagai acuan awal. Pengaturan ini kemudian diikuti oleh
berbagai peraturan Mahkamah Agung dan Pengadilan-pengadilan Tinggi di
bawahnya tentang pendaftaran advokat dan pengacara.[[18]]
Memasuki
tahun 1970, sebenarnya ada sebuah titik terang bagi kejelasan fungsi
iadvokat. Lewat pemberlakuan UU No. 14 tahun 1970 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, pemerintah membuka lebih
luas pintu bagi advokat untuk memasuki sistem kekuasaan kehakiman.
Selain menjamin hak setiap orang yang berperkara untuk mendapatkan
bantuan hukum, Pasal 38 UU tersebut juga mengamanatkan diaturnya
undang-undang tersendiri mengenai bantuan hukum. [[19]]
Amanat
UU itulah yang menjadi dasar dimulainya perjuangan advokat Indonesia
untuk menggolkan undang-undang khusus yang mengatur profesinya. Pada
kongres (Peradin) yang kedua tahun 1969, Peradin Jawa Tengah mulai
memperkenalkan naskah RUU Profesi Advokat.
Tetapi
upaya para advokat di Peradin tersebut tidak “sepenuhnya” berhasil.
Dikatakan tidak sepenuhnya berhasil karena, walau RUU Profesi Advokat
yang muatannya mengusung isu kemandirian dan kejelasan fungsi profesi
tidak kunjung diakomodasikan oleh pemerintah dan DPR, namun lewat
pemberlakuan KUHAP (UU No. 8 tahun 1981), sebagian materi bantuan hukum
diatur secara cukup komprehensif. Di dalamnya dimuat antara lain: hak
advokat (penasehat hukum) untuk menghubungi tersangka sejak saat
ditangkap atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan; hak untuk
menghubungi dan berbicara dengan tersangka pada setiap tingkat
pemeriksaan dan setiap waktu dalam rangka pembelaan perkara; serta hak
untuk mengirimkan dan menerima surat dari tersangka setiap kali
dikehendaki.[[20]]
Sayangnya,
tidak begitu lama advokat menikmati dampak positif dari ketentuan
KUHAP, khususnya di lingkungan peradilan pidana, beberapa undang-undang
yang diberlakukan kemudian ternyata memberi pukulan telak bagi
kemandirian advokat secara lembaga. UU No. 14 tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung misalnya, semakin menguatkan fungsi pembinaan dan
pengawasan terhadap advokat oleh Mahkamah Agung dan pemerintah. Ditambah
dengan UU No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang
menundukkan organisasi-organisasi advokat yang ada saat itu ke dalam
wilayah pembinaan pemerintah, sehingga setiap saat dapat dibekukan jika
dinilai oleh penguasa telah “melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan
dan ketertiban umum.” Akibatnya Peradin yang pernah menandai masa
kejayaan advokat di Indonesia terus dilemahkan, sampai akhirnya
tenggelam sama sekali.[[21]]
Prosedur
pengawasan terhadap advokat sendiri kemudian dirinci dalam UU No. 2
tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Bahkan materi pengaturannya diperluas
hingga ke tingkat penindakan dengan melibatkan para Ketua Pengadilan
Negeri yang melaksanakan pengawasan secara operasional. Materi
pengaturan inilah yang kemudian menimbulkan tidak sedikit benturan
antara advokat dengan hakim di lapangan. Salah satunya benturan antara
advokat Adnan Buyung Nasution dengan majelis hakim dalam perkara HR
Dharsono. Kejadian tersebut memicu lahirnya SKB Ketua Mahkamah Agung RI
No. KMA/005/SKB/VII/1987, No. M.03-PR.08.95 tahun 1987 tentang Tata Cara
Pengawasan, Penindakan, dan Pembelaan Diri Penasehat Hukum, yang secara
signifikan mereduksi kemandirian advokat dengan mensub-ordinatkan
advokat berikut organisasinya terhadap pengadilan dan pemerintah. Malah
SKB tersebut secara sepihak dijadikan salah satu pranata hukum bagi
contempt of court di Indonesia. [[22]]
Berbagai
peraturan perundang-undangan yang lahir berikutnya, relatif tidak
membawa perubahan penting bagi kebutuhan advokat. UU No. 5 tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, UU No. 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, UU No. 31
tahun 1997 tentang Peradilan Militer, dan UU No. 4 tahun 1998 tentang
Kepailitan, kesemuanya secara sporadis menyinggung fungsi advokat.
Berbeda dengan UU No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal yang
berkontribusi penting dalam menguatkan pelembagaan profesi advokat di
bidang non-litigasi.
Sehingga
ironi dalam pembangunan hukum di Indonesia, tidak mengatur secara
khusus profesi advokat sebagaimana profesi hukum lainnya, padahal
profesi ini sebagai salah satu unsur penegak hukum. Akibatnya
menimbulkan berbagai keprihatinan dan kesimpangsiuran menyangkut profesi
tersebut. Seirama dengan merosotnya wibawa hukum (authority of law) dan supremasi hukum (supremacy of law), maka profesi hukum ini juga terbawa arus kemerosotan.
Meskipun
demikian secara implisit, terdapat beberapa ketentuan yang
mengisyaratkan pengakuan terhadap profesi ini, antara lain sebagai
berikut :
a. UU Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan untuk Jawa dan Madura, dalam Pasal 7 ayat 1 menyebutkan bahwa peminta atau wakil dalam arti orang yang diberi kuasa untuk itu yaitu pembela atau penasehat hukum.
b. UU Nomor 1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung dalam Pasal 42 memberikan istilah pemberi bantuan hukum dengan kata PEMBELA.
c. UU
Drt. Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara Penyelenggaraan
Kekuasaan dan Acara Pengadilan sipil, memuat ketentuan tentang bantuan
hukum bagi tersangka atapun terdakwa.
d. UU Nomor 19 Tahun 1964 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang kemudian diganti dengan UU Nomor 14 Tahun 1970, menyatakan bahwa setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.
e. UU Nomor 13 Tahun 1965 tentang Mahkamah Agung, diganti dengan UU Nomor 14 Tahun 1985, pada Pasal 54 bahwa penasehat hukum adalah mereka yang melakukan kegiatan memberikan nasehat hukum yang berhubungan suatu proses di muka pengadilan.
f. UU
Nomor 1 Tahun 1981 tentang KUHAP, dalam Pasal 54 s/d 57 dan 69 s/d 74
mengatur hak-hak tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan penasehat
hukum dan tata cara penasehat hukum berhubungan dengan tersangka dan
terdakwa.
g. UU
Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, mengakui keberadaan
penasehat hukum dalam memberi bantuan hukum kepada tersangka atau
terdakwa.
h. Surat Edaran dan Surat Keputusan Bersama Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman, dan sebagainya.
Bahkan sebenarnya Pasal 38 UU Nomor 14 Tahun 197[23],
telah mengisyaratkan perlunya pengaturan profesi advokat dalam UU
tersendiri. Namun hal itupun tidak menjadi perhatian pemerintah hingga
akhirnya tuntutan pengaturan tersebut semakin besar di kalangan
organisasi advokat. Setelah 33 tahun, barulah perjuangan itu berhasil
melalui UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. [[24]]
D. Lahirnya Undang-undang Advokat (Undang-undang No.18 Tahun 2003)
Lahirnya
undang-undang advokat, merupakan hasil perjuangan yang panjang sejak
dulu, selama ini advokat selalu menjadi “anak bawang” dalam sistem hukum
dan sistem peradilan. Hampir seluruh peraturan perundang-undangan yang
dibuat tentang peradilan tidak mengakui secara tegas fungsi advokat di
dalamnya. Bahkan sebagian produk perundang-undangan tersebut justru
mendatangkan intervensi eksternal atas advokat oleh pemerintah dan
birokrasi peradilan. Penghargaan terhadap fungsi advokat dalam
undang-undang mengenai peradilan biasanya baru datang bersamaan dengan
diintrodusirnya prinsip-prinsip peradilan yang baik, seperti ketika
dibentuknya UU Kekuasaan Kehakiman dan KUHAP (yang umumnya lebih kuat
disebabkan oleh desakan internasional). Namun karena diatur secara
simbolis, maka permasalahan tentang fungsi advokat tidak secara nyata
diselesaikan, sebagaimana tidak nyatanya penyelesaian masalah-masalah
yang menghambat terciptanya fair trial. Oleh sebab itulah upaya
mempertegas pengakuan negara terhadap fungsi advokat dalam sistem
peradilan harus sejalan dengan upaya mengakomodasikan sebesar-besarnya
kepentingan publik dalam pelaksanaan peradilan.
Memang
secara garis besar, perjuangan advokat Indonesia untuk menggolkan
undang-undang tentang profesi advokat dilatari oleh faktor bahwa advokat
dalam prakteknya sering mendapatkan perlakuan tidak seimbang dari unsur
peradilan formal (hakim, jaksa, polisi, panitera) saat menjalankan
profesinya. Namun ternyata dalam perkembangannya, bukan itu faktor
utama. Ketidakjelasan fungsi, ketidakpastian kebijakan baik tentang
rekrutmen, pengawasan, sampai ke penindakan, belakangan malah menjadi
tambang emas bagi sebagian advokat. Sebab sekalipun SKB tahun 1987 (yang
sering dijadikan simbol intervensi pemerintah dan peradilan terhadap
urusan profesi) secara formal, pada realisasinya para hakim di
pengadilan-pengadilan tidak cukup waktu (sebagian barangkali "tidak
cukup moral") untuk menegakkan ketentuan SKB tersebut. Hasilnya, advokat
dapat leluasa menjalankan praktek profesinya dengan cara-cara tidak
etis, bahkan kadang melanggar kaedah hukum, tanpa pengawasan yang
berarti.[[25]]
Agaknya
faktor yang paling menentukan perjuangan mendapatkan undang-undang
Advokat, adalah polarisasi di kalangan advokat yang semakin kuat.
Konflik internal di tubuh organisasi advokat menyeruak silih berganti,
bersamaan dengan terus bermainnya kepentingan pemerintah untuk
melemahkan organisasi advokat. Sehingga komunitas profesi yang kuat yang
mampu meletakkan fungsi profesi dalam kerangka sistem peradilan tidak
pernah terwujud di Indonesia. Dan akhirnya mereka mulai mencari bantuan
pihak luar untuk ikut menyelesaikan persoalannya, dalam hal ini pilihan
jatuh pada negara.[[26]]
Berawal
dari Kongres Peradin tahun 1969, perjuangan advokat untuk mengupayakan
undang-undang profesinya terangkat kembali ke permukaan pada Kongres
Peradin tahun 1973. RUU Pokok Advokat yang dibicarakan dalam Kongres
tersebut merupakan hasil godokan Peradin-Peradin di Jawa Tengah, dengan
membandingkan undang-undang sejenis yang ada di negara-negara lain
seperti India, Jepang, RRC, dan Muangthai, termasuk juga Belanda. Namun
upaya ini terhenti sejalan dengan melemahnya Peradin di tahun-tahun
berikutnya. Apalagi saat itu tidak sedikit pimpinan dan anggota Peradin
yang menolak usulan tersebut. Diwakili oleh Yap Thiam Hien, mereka
percaya bahwa keberadaan undang-undang advokat malah potensial semakin
membahayakan kemandirian advokat sendiri.[[27]]
Setelah
terbentuknya Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) pada tahun 1985, upaya
mengusung RUU Advokat kembali dilakukan. Namun kala itu political will
pemerintah tidak cukup memadai untuk membawa gagasan tersebut secara
resmi dalam proses legislasi. RUU Advokat bahkan sempat beberapa kali
berubah, baik nama maupun konsep pengaturannya. Hingga akhirnya pada
tahun 2000, satu klausul dalam Letter of Intent antara pemerintah RI
dengan International Monetary Fund (IMF) menyerukan perlunya diajukan
RUU tentang Profesi Advokat ke DPR-RI, agar seluruh advokat yang
berpraktek di Pengadilan disyaratkan untuk memiliki izin praktek, dan
mentaati ketentuan kode etik profesi yang seragam.[[28]]
Dalam
rangka melaksanakan klausul tersebut, pemerintah akhirnya membentuk tim
perumus RUU tentang Profesi Advokat yang dipimpin oleh HAS Natabaya
(mantan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional) sebagai ketua dan Adnan
Buyung Nasution sebagai wakil ketua, dengan merangkul perwakilan dari
beberapa organisasi advokat yang ada, seperti Ikadin, Asosiasi Advokat
Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), dan Asosiasi
Konsultan Hukum Indonesia (AKHI). Tim tersebut berhasil menyelesaikan
tugasnya pada bulan September 2000, dengan mengajukan RUU yang dibuat
kepada pimpinan DPR RI melalui surat No. R.19/PU/9/2000.[[29]]
Sebenarnya
sampai saat ini pun belum pernah dicapai kesepakatan bulat dan tuntas
di antara para advokat mengenai perlu tidaknya profesi mereka diatur
dalam undang-undang tersendiri. Selalu terdapat dua pandangan yang
saling berseberangan. Pandangan pertama, sebagai pandangan mayoritas di
kalangan advokat, menyatakan bahwa undang-undang profesi advokat mutlak
diperlukan untuk menyetarakan status antara profesi advokat dengan
unsur-unsur peradilan lainnya (seperti polisi, jaksa, dan hakim). Tanpa
status yang setara, advokat akan terus menjadi "anak bawang" dalam
proses peradilan, dan selalu dipandang sama swastanya dengan klien yang
diwakili. Akibatnya, advokat tidak dapat menjalankan perannya secara
optimal karena rentan terhadap tindak diskriminasi, intervensi, dan
represi baik dari polisi, jaksa, maupun hakim.[[30]]
1. Kronologi Lahirnya Undang-undang Advokat (Undang-undang No.18 Tahun 2003)
Berikut
ini kami sajikan kronologis perjalanan Undang-undang No.18/2003 tentang
Advokat. Untuk mengetahui lebih jauh sikap masing-masing fraksi
mengenai pembahasan undang-undang ini saat dibahas pada September 2000,
sebagai berikut:
28 September 2000,
Presiden Abdurrahman Wahid, lewat surat bernomor R.19/Pu/9/2000,
menyampaikan RUU tentang Profesi Advokat ke DPR. Isinya berjumlah 35
pasal;
28 Oktober 2000
, Pemerintah, lewat Menteri Kehakiman Moh. Machfud MD, menyampaikan
keterangan pemerintah atas RUU Profesi Advokat di depan Rapat Paripurna
DPR;
15 November 2000, Fraksi-fraksi yang ada di DPR menyampaikan pemandangan umum terhadap usulan Pemerintah
21 November 2000,
Jawaban Pemerintah atas Pemandangan Umum Fraksi-Fraksi terhadap RUU
Profesi Advokat. Saat itu Pemerintah sudah diwakili Menteri Kehakiman
baru Prof. Yusril Ihza Mahendra.
27 Februari 2001, Badan Musyawarah DPR menugaskan Komisi II untuk membahas RUU tentang Profesi Advokat.
05 Februari 2002, Rapat Kerja Komisi II dengan Menteri Kehakiman dan HAM membahas materi RUU secara umum.
25-26 Februari 2002, Panja memulai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).
27 Februari 2002, Panja mengundang organisasi advokat yang tergabung dalam KKAI untuk membahas organisasi profesi dan kode etik advokat.
23 Mei 2002,
Tujuh organisasi advokat (Ikadin, AAI, IPHI, HAPI, SPI, AKHI, HKHPM)
menetapkan Kode Etik dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Profesi
Advokat.
17 Februari 2003,
Rapat Panja memutuskan untuk membentuk dan menugaskan Tim Perumus dan
Tim Sinkronisasi untuk merumuskan substansi RUU Profesi Advokat yang
sebelumnya sudah disepakati Panja. Tim langsung dipimpin oleh Ketua
Komisi II DPR Agustin Teras Narang.
20-21 Februari 2003, Pembahasan di Tim Perumus.
25 Februari 2003, Laporan Tim Sinkronisasi RUU Advokat dalam Rapat Panja Komisi II DPR
05 Maret 2003,
Rapat kerja kembali dengan Menteri Kehakiman untuk mendengarkan laporan
Panja dan kemudian disempurnakan untuk dibawa ke pembicaraan tingkat
dua.
06 Maret 2003,
Laporan Komisi II yang kemudian dilanjutkan pendapat akhir
Fraksi-fraksi. Pada hari yang sama Rapat Paripurna DPR menyetujui RUU
Profesi Advokat untuk disahkan menjadi Undang-Undang.
05 April 2003, RUU Profesi Advokat diundangkan Mensesneg ke dalam Lembaran Negara, tanpa tanda tangan Presiden Megawati. [[31]]
2. Uji Materil Undang-undang Advokat ke Mahkamah Konstitusi
Menurut Ketua Mahkama Konstitusi saat itu, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie SH, dapat disimpulkan bahwa undang-undang Advokat bermasalah, baik itu dari segi isi maupun proses pembentukannya (hukumonline.com, 1/12/06). Meski sejauh ini hanya satu permohonan pengujian undang-undang Advokat yang dikabulkan Mahkamah Konstitusi.
Pada 2006 silam, ada tiga permohonan pengujian undang-undang Advokat ke Mahkamah Konstitusi, sedang sisanya di tahun 2004 dan 2003. Satu-satunya permohonan judicial review undang-undang Advokat yang dikabulkan Mahkamah Konstitusi pada
9 Desember 2004 adalah yang diajukan oleh Tongat dkk yang berakhir
dengan Pasal 31 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (No.
006/PUU-II/2004). Putusan ini tergolong berat bagi profesi advokat
karena Pasal 31 adalah satu-satunya ketentuan pidana dalam undang-undang Advokat yang diharapkan dapat melindungi publik dari praktik advokat gadungan.[[32]]
Meski pada akhirnya Mahkamah Konstitusi menolak permohonan-permohonan tersebut di atas, namun Mahkamah Konstitusi membuat sejumlah pendapat yang penting dalam sebagian putusan atas perkara-perkara tersebut. Dalam perkara Sudjono cs misalnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan kedelapan
organisasi pendiri PERADI tetap eksis namun kewenangannya sebagai
organisasi profesi advokat, yaitu dalam hal kewenangan membuat kode
etik, menguji, mengawasi, dan memberhentikan Advokat, secara resmi
kewenangan tersebut telah menjadi kewenangan PERADI.[[33]]
Mahkamah Konstitusi juga
menyatakan bahwa kedelapan Organisasi Advokat pendiri PERADI tetap
memiliki kewenangan selain kewenangan yang telah menjadi kewenangan
PERADI, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa Pasal 28 Ayat (1) UU
Advokat meniadakan eksistensi kedelapan organisasi, yang karenanya
melanggar prinsip kebebasan berserikat dan berkumpul sebagaimana diatur
UUD 1945. [[34]]
Dalam
putusan perkara No.014/PUU-IV/2006 itu, secara tegas menyatakan PERADI
sebagai satu-satunya wadah profesi Advokat pada dasarnya adalah organ
negara dalam arti luas yang bersifat mandiri yang juga melaksanakan
fungsi negara. Fungsi negara yang dimaksud oleh Mahkamah Konstitusi ,
dengan merujuk pada putusan atas perkara No. 006/PUU-II/2004, adalah
kewajiban para advokat pada umumnya untuk memberikan akses pada keadilan
bagi semua orang. [[35]]
“…akses
pada keadilan adalah bagian tak terpisahkan dari ciri lain negara hukum
yaitu bahwa hukum harus transparan dan dapat diakses oleh semua orang
(accessible to all), sebagaimana diakui dalam perkembangan pemikiran
kontemporer tentang negara hukum. Jika seorang warga negara karena
alasan finansial tidak memiliki akses demikian maka adalah kewajiban
negara, dan sesungguhnya juga kewajiban para advokat untuk
memfasilitasinya, bukan justru menutupnya (vide Barry M. Hager, The Rule
of Law, 2000, hal. 33).” Demikian bunyi pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam perkara No. 006/PUU-II/2004.[[36]]
Maraknya judicial review yang mendera undang-undang Advokat tidak sepenuhnya mencerminkan seluruh kritik yang ada terhadap undang-undang Advokat. Advokat secara umum memiliki kritik tersendiri terhadap isi undang-undang Advokat maupun
pelaksanaannya. Dalam berbagai kesempatan misalnya, PERADI kerap
mengeluhkan belum adanya pengakuan yang tulus akan status advokat
sebagai penegak hukum dari unsur penegak hukum lain. Peran advokat
hingga kini cenderung masih dianggap berada di luar sistem penegakan
hukum. [[37]]
E. Wadah Tunggal Advokat di Indonesia
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas
bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara hukum
menuntut antara lain adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di
hadapan hukum (equality before the law).
Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar juga menentukan bahwa setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Dalam
usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, peran dan fungsi Advokat sebagai profesi
yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab merupakan hal yang penting, di
samping lembaga peradilan dan instansi penegak hukum seperti kepolisian
dan kejaksaan. Melalui jasa hukum yang diberikan, Advokat menjalankan
tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk
kepentingan masyarakat pencari keadilan, termasuk usaha
memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamental mereka di
depan hukum. Advokat sebagai salah satu unsur sistem peradilan merupakan
salah satu pilar dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi
manusia. [[38]]
Sebagai
organisasi profesi, advokat melalui pasal 28 undang-undang No. 18 Tahun
2003 diamanatkan untuk membentuk wadah tunggal organisasi advokat, yang
kemudian lahir PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia).
Namun
dalam perkembangannya di internal organisasi advokat itu sendiri
(PERADI) malahan terjadi perpecahan, sehingga muncul lagi organisasi
advokat yaitu KAI (Kongres Advokat Indonesia). Hal itu tentunya sangat
memprihatinkan dan patut menjadi bahan perenungan yang mendalam.
Sebenarnya pada dua dasawarsa 1980 hingga 1990, justru
sudah timbul berbagai macam pergeseran di kalangan intern organisasi
advokat. Fenomena yang dapat diajukan adalah munculnya asosiasi
pengacara baru sesudah era PERADIN antara lain IKADIN Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia ( AAI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI) ,Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), Asosiasi
Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal
(HKHPM), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI) dan Asosiasi
Pengacara Syariah Indonesia (APSI).
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi perkara
No.014/PUU-IV/2006 itu, secara tegas menyatakan PERADI sebagai
satu-satunya wadah profesi Advokat pada dasarnya adalah organ negara
dalam arti luas yang bersifat mandiri yang juga melaksanakan fungsi
negara. Fungsi negara yang dimaksud oleh MK, dengan merujuk pada putusan
atas perkara No. 006/PUU-II/2004, adalah kewajiban para advokat pada
umumnya untuk memberikan akses pada keadilan bagi semua orang.
MK
juga menyatakan bahwa kedelapan Organisasi Advokat pendiri PERADI tetap
memiliki kewenangan selain kewenangan yang telah menjadi kewenangan
PERADI, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa Pasal 28 Ayat (1) UU
Advokat meniadakan eksistensi kedelapan organisasi, yang karenanya
melanggar prinsip kebebasan berserikat dan berkumpul sebagaimana diatur
UUD 1945.
Namun
dalam perjalanannya organisasi advokat PERADI terpecah oleh karena
adanya ketidak puasan dari anggota PERADI itu sendiri yang menganggap
pendirian organisasi advokat Peradi sebagai wadah tunggal organisasi
advokat sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang Advokat tidak
demokratis sehingga muncul gagasan untuk membentuk organsasi advokat
yang baru yang lebih demokratis yaitu KAI (Kongres Advokat Indonesia),
setelah sempat diwarnai beberapa interupsi, advokat senior Adnan Buyung
Nasution akhirnya menengahi dengan memunculkan nama KAI (Kongres Advokat
Indonesia).
Akhirnya muncul perseteruan diantara kedua organsasi advokat tersebut. Reaksi PERADI menilai
KAI merupakan upaya beberapa advokat yang ingin menciderai, menentang
dan atau menolak eksistensi PERADI. Padahal, masih menurut iklan itu,
para advokat yang dimaksud adalah anggota PERADI. Sebagian diantaranya
bahkan menjadi bidan lahirnya PERADI dan sekarang duduk di kepengurusan.
PERADI
mengklaim KAI tidak sah karena bertentangan dengan UU No. 18 Tahun 2003
tentang Advokat. KAI dinilai akan merugikan dan menafikan eksistensi
sekitar 19.000 advokat yang terdaftar sebagai anggota PERADI. Soal
keabsahan, PERADI menegaskan merekalah organisasi profesi advokat yang
diamanatkan UU Advokat. Pendiriannya pun sudah sesuai mekanisme, delapan
organisasi yang disebut UU Advokat bersepakat mendirikan PERADI. [[39]]
F. Penutup
Dari sekilas uraian sejarah para advokat tersebut di atas, ada beberapa hal yang perlu dicatat yaitu sebagai berikut:
Pertanama,
pada awalnya secara perorangan para advokat pernah menjadi bagian yang
sangat penting dalam pembentukan negara ini, baik pembentukan institusi,
politik hukum, maupun etika profesi para penegak hukum;
Kedua,
dalam keterbatasan represi, para advokat secara perorangan organisasi
masih mampu berperan di dalam gerakan penegakkan hak asasi manusia di
Indonesia;
Ketiga,
pada masa jatuhnya Orde Baru sampai sekarang ini, para advokat sebagai
individu maupun organisasi menjadi sangat dilemahkan, hingga tidak mampu
menolong dirinya sendiri untuk berperan dalam menentukan politik hukum
dan reformasi hukum (termasuk institusi hukum), penegakkan hukum dan
keadilan, hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, yang menjadi
agenda utama reformasi. Bahkan, ada beberapa memperlihatkan indikasi
yang jelas tentang keterlibatannya dalam praktek-praktek koruptif di
badan peradilan; Keempat,
walaupun pada mulanya kedudukan advokat dipinggirkan baik oleh
pemerintah penjajahan maupan pemerintahan Indonesia setelah merdeka,
namun dalam perkembangannya karena peranan advokat sangat penting dan
dibutuhkan oleh masyarakat pencari keadilan maka diberbagai
perundang-undangan diatur tentang kedudukan advokat, puncaknya
pengaturan advokat diatur khusus dalam undang-undang yaitu undang-undang
no 18 tahun 2003 tentang advokat. Namun sayangnya pasca lahirnya
undang-undang no 18 tahun 2003 tentang advokat, terjadi perpecahan di
internal organisasi advokat itu sendiri yaitu PERADI dan KAI yang
masing-masing mengklaim sebagai wadah tunggal organisasi advokat, hal
itu sangat disayangkan karena advokat dianggap tidak dapat melaksanakan
amanah sebagaimana ketentuan pasal 28 undang-undang no.18 tahun 2003
tentang advokat, dan pada akhirnya akan merugikan bagi kalangan profesi
advokat itu sendiri dan juga masyarakat pada umumnya.
Daftar Pustaka:
1. Tanjung H.Khaerul, Istilah Advokat, Pengacara, Penasehat Hukum & Konsultan Hukum
2. S.Lev Daniel, 2001, Kata Pengantar: Advokat Indonesia Mencari Legitimasi (PSHK)
3. Kadafi Binziad, Ruu Tentang Profesi Advokat dan Sejarah Pengaturan Advokat di Indonesia, www.mappi.com
5. Hakim Amrie, Catatan Reflektif atas Pengujian-Pengujian UU Advokat, [12/3/07], www. Hukumonline.com
6. Panas Menjelang Kongres Advokat Indonesia, [16/5/08],
7. S.H, M.H Sujadi Suparjo, Kajian Singkat Terhadap Permasalahan Bantuan Hukum dan Peranan Pengacara di Indonesia, www.mappi.com
8. SH, MH, Maryono Didik, Pembentukan Organisasi Advokat ( Suatu Analisis berdasarkan Undang-Undang Advokat ), 2006 www.Solusihukum.com,
9. Undang-undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat
[1] .Makalah untuk tugas mata kuliah Sejarah Hukum, dosen Dr.Agus Raharjo,SH.Mhum, MH Unsued, Purwokerto, 2008.
[11] . Binziad Hadfi, Ruu Tentang Provesi Advokat dan Sejarah Pengaturan Advokat di Indonesia, hal. 2
[27]. Binzaid Khadafi, Ibid.,hal.4-6
[28]. Binzaid Khadafi, Ibid.,hal.4-6
[32] . Amrie Hakim, Catatan Refleksi Atas Pengujian-pengujian UU Advokat, www.hukumonline.com [12/3/07]
[37]. Amrie Hakim, Catatan Refleksi Atas Pengujian-pengujian UU Advokat, www.hukumonline.com [12/3/07]
[38] . Didik Maryono, Kajian Singkat Terhadap Permasalahan Bantuan Hukum dan Peranan Pengacara di Indonesia, www.ssolusihukum.com, 20 mey 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar