Minggu, 12 April 2015

Profesi Advokat di Jurang Kehancuran


Munas Ricuh, Peradi Pecah Jadi Tiga Kubu. [www.tempo.co] Munas Ricuh, Peradi Pecah Jadi Tiga Kubu. [www.tempo.co]
 Indonesia negeri gaduh kalau tak mau disebut frustrasi. Kegaduhan telah terjadi di seluruh lini mulai dari partai politik (parpol), parlemen, kabinet, hingga penegakan hukum mencakup dunia advokat.

Profesi yang memberikan pendampingan hukum terhadap para pencari keadilan masih terus bertikai, berebut mengurusi wadah tunggal Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi).
Bukti nyata kekisruhan pada dunia advokat, terjadi dalam Munas II Peradi yang digelar di Makassar, baru-baru ini. Pertikaian yang terjadi bukan dalam sikap adu argumentasi yang memancing nalar, tetapi umpatan bahkan menjurus pada anarki. 
Profesi advokat yang disebut mulia tak tercermin di Hotel Grand Clarion, Jumat (27/3), sehari setelah munas dibuka oleh Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno, mewakili Wapres Jusuf Kalla.
Organisasi sekelas advokat, bukannya menjadikan forum tertinggi seperti munas sebagai ajang konsolidasi justru  menghasilkan tiga pengurus yang masing-masing mengklaim punya legitimasi.
Otto Hasibuan mengklaim masih menjabat sebagai Ketum DPN Peradi yang sah karena belum demisioner. Dirinya menunda munas dengan agenda utama membentuk pengurus Peradi periode 2015-2020 hingga paling cepat tiga bulan tanpa membuka agenda sidang dengan pertimbangan keamanan sebagaimana tuntutan 48 DPC Peradi.
Peserta yang kecewa dalam forum tetap melanjutkan munas dengan menunjuk tiga pejabat sementara (caretaker) pimpinan Peradi yakni, Hasanuddin Nasution, Humphrey Djemat, dan Luhut Pangaribuan untuk menggelar munaslub dengan sistem one man one vote dalam waktu lima bulan ke depan.
Sedangkan kandidat calon Ketum Peradi, Juniver Girsang mendeklarasikan diri sebagai ketum yang sah setelah didukung 35 DPC secara aklamasi.
Agenda utamanya mengadakan rekonsiliasi dengan seluruh pihak termasuk dengan advokat yang telah keluar dari Peradi. Dirinya tidak mengakui adanya pejabat sementara dalam Peradi karena tidak diatur dalam AD/ART.
"Saya menyampaikan ke cabang, kita (advokat) ini sudah kritis jangan lagi ada perpecahan. Satu periode saja saya memimpin untuk  rekonsiliasi karena advokat sudah tidak dihargai masyarakat dan oleh penegak hukum lain. Saya berharap Bang Otto bisa membicarakan lagi masalah ini, duduk bersama, buang ego masing-masing, kalau terjadi rekonsiliasi maka saya serahkan (jabatan) bagi yang mampu," kata Juniver, di Jakarta, Selasa (31/3).
Saling sikut merebut kekuasaan dalam organisasi advokat yang terjadi secara terus-menerus diduga hanya karena demi gengsi selain untuk mengelola uang yang besar di Peradi. Bukan bertujuan pada pengabdian kepada masyarakat dan hukum itu sendiri.
Padahal, status penegak hukum bagi advokat sebagaimana ketentuan UU No 18/2003 tentang Advokat seharusnya diaplikasikan penuh dengan wibawa. Maraknya konflik menandakan pula bahwa, status penegak hukum bagi advokat setara dengan institusi penegak hukum lainnya, diragukan.
"Tak semua advokat paham tentang hak dan kewajiban penegak hukum. Perseteruan klasik yang berujung pada keinginan mendominasi organisasi agar terbuka peluang yang berkaitan memegang kekuasaan dan uang menunjukan sebagian advokat miskin idealisme dan terkontaminasi politik praktis. Profesionalitas dan etika kurang mendapat perhatian," kata pakar hukum Yesmil Anwar.
Masa depan advokat semakin gelap kendati perannya dalam pembaruan sistem hukum di Indonesia cukup genting. Kericuhan yang dibuat sendiri oleh pengurus serta anggota Peradi memperkuat stigma advokat membela yang bayar ketimbang membela yang benar.
Profesi tersebut bahkan bukan hanya tak lagi dihargai masyarakat melainkan, tinggal menunggu terperosok ke dalam jurang kehancuran.
"Jelas sekarang saja (advokat) sudah tidak dihargai. Berbeda dengan Singapura lawyer dihargai, bapak bangsanya saja Lee Kuan Yew orang hukum yang bisa menerapkan nilai-nilai disiplin, sederhana, hemat, efisien, bersih, jujur serta bebas korupsi sebagai jalan hidup sehari-hari," kata Ketum Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) Frans Hendra Winarta.
Menurutnya, sekarang ini dunia advokat kekurangan sosok panutan. Tak ada lagi senior yang punya kredibilitas, integritas, yang pendapatnya bisa menenangkan bahkan diterima oleh faksi-faksi di tubuh organisasi advokat. Hal itu juga terjadi karena kesalahan penerapan organisasi advokat sebagai wadah tunggal.
Frans mengungkapkan, wadah tunggal organisasi advokat merupakan gagasan rezim orde baru agar mudah dikontrol kekuasaan. Ketika era reformasi, sistem single bar yang dipaksa untuk diberlakukan justru memperluas konflik-konflik dalam dunia profesinya.
Dengan begitu, RUU Advokat yang meniadakan sistem wadah tunggal menjadi wadah banyak (multi bar) menjadi penting kembali digaungkan.
"Maka RUU Advokat harus segera digolkan oleh DPR dan pemerintah karena dengan multi bar akan ada persaingan sehat. Sekarang organisasi advokat komersial karena yang diurus hanya Penyelenggara Khusus Pendidikan Advokat (PKPA), kursus advokat, dan ijin praktek. Ribuan perkara pelanggaran etika tidak diproses dan mengakibatkan suburnya korupsi yudisial," ujarnya.
Dikatakan, advokat sebagai profesi mulia sekarang ini hanya menjadi slogan. Padahal, budaya suatu bangsa dapat dilihat dari perilaku advokatnya.
Peradi selaku wadah tunggal terbukti gagal menunjukan kewibawaanya karena tidak memiliki sosok-sosok panutan sehingga kesulitan mengurusi organisasinya sendiri.
"Jadi pembersihan organisasi advokat harus dimulai dari dalam dan ada persaingan sehat serta  demokratis. Sulit kalau mengandalkan calon-calon pimpinan sekarang. Setelah politikus maka advokat yang gemar ribut dan gila kekuasaan juga suka permainan politik uang. Organisasi advokat sekarang dikelola seperti organisasi parpol," katanya.

Titik Balik

Mantan hakim konstitusi yang pernah memeriksa dan mengadili perkara UU Advokat, Maruarar Siahaan menilai, kisruh pada Munas II Peradi di Makassar harus dijadikan titik balik meniadakan sistem wadah tunggal dalam organisasinya. Hal itu merupakan salah satu cara untuk memperbaiki keadaan di kalangan advokat agar menjadi dewasa.
"Saya kira memang salah satu cara memperbaiki keadaan organisasi advokat jangan bersifat tunggal. Harus ada saingan yang dapat memberikan perbandingan, UU Advokat yang baru sebenarnya sudah mengatur demikian, tapi tampaknya Peradi sendiri menolak gagasan itu. Peristiwa Makassar itu harus menjadi titik balik pendapat Peradi atau DPR untuk mengatur organisasi advokat tidak tunggal," katanya.
Kisruh di kalangan advokat juga menandakan pengurus Peradi tak mampu mengelola organisasi tersebut. Sebab, kericuhan pada munas secara telak menunjukan menurunnya kualitas pengurus.
Repotnya, Peradi sendiri yang paling ngotot mempertahankan sistem wadah tunggal dengan dalih sistem itu konstitusional.
"Memang kisruh itu menunjukkan bahwa organisasi advokat tidak pernah menjadi dewasa dan pengurus tidak mampu mengelola organisasi tunggal advokat. Satu petunjuk lain yang didapat dari peristiwa munas itu, kualitas pengurus belum mencapai tingkat yang mampu menjadi pemimpin, itu yang membuat kita prihatin," jelasnya.
Peneliti PSHK Miko S Ginting mengungkapkan hal yang senada. Kepemimpinan di Peradi selama ini tak mampu melakukan rekonsiliasi dan konsolidasi terhadap organisasi-organisasi advokat sehingga, keberadaan Peradi sebagai wadah tunggal tak membawa dampak pada penguatan kelembagaan. Belum lagi mengenai transparansi dan akuntabilitasnya.
Sebagai wadah tunggal, Peradi yang terbentuk pada 21 Desember 2004 gagal mengakomodir sekat-sekat perbedaan sikap dan pikiran antaradvokat. Maka, agenda perlindungan dan penguatan kode etik bagi advokat otomatis terbengkalai karena perbedaan-perbedaan cara pandang yang ada tidak diluruskan.
"Selain persoalan ketokohan karena semua dari mereka merasa sebagai tokoh, agenda utama organisasi advokat yaitu dalam melakukan konsiliasi dan konsolidasi advokat, penguatan kelembagaan, dan pemberian perlindungan bagi advokat dalam menjalankan profesinya tidak berjalan," ujar Miko.
Ketua YLBHI Alvon K Palma mengakui, untuk menjadi seorang advokat memerlukan biaya yang besar. Selain mengeluarkan biaya PKPA yang minimal mencapai Rp 5 juta, calon advokat juga harus mengikuti ujian profesi advokat (UPA).  Setelah lulus harus magang dalam jangka waktu tertentu dan tidak mendapatkan gaji.
"Apalagi jika bukan tinggal di daerah perkotaan, jika tidak ditopang dengan modal yang besar maka akan sulit menjadi advokat. Setelah ikut PKPA dan UPA, dia harus magang yang tidak mendapat gaji dalam waktu tertentu. Butuh modal untuk bertahan hidup sampai memenuhi syarat sebagai advokat hingga dilantik. Setelah itu belum tentu mendapat perkara untuk menghidupi dirinya," kata Alvon.
Dirinya tidak menampik jika disebut, perebutan kekuasaan di Peradi berkaitan dengan pengelolaan uang yang cukup besar. Setiap tahunnya, ribuan orang mengikuti PKPA dan UPA. Sementara, pengelolaan organisasi tidak akuntabel.
Namun demikian, yang memprihatinkan bagi Alvon, adanya konflik yang tanpa henti mengakibatkan advokat semakin jauh dari cita-cita profesinya yang mulia yakni, menjadi pilar utama perwujudan negara hukum termasuk menjadi agen perubahan sosial.
"Organisasi yang ideal adalah organisasi yang mewadahi seluruh advokat yang terafiliasi dalam organisasi asal. Nantinya organisasi induk berperan untuk memastikan layanan sebagai standar kualitas pendampingan hukum kepada klien, standar etik, dan standar kualitas advokat atau akreditasi.
Dengan demikian, advokat menjadi pembela yang benar," bebernya.
Rentetan konflik di tubuh organisasi advokat juga membawa dampak buruk lainnya bagi masyarakat pencari keadilan. Saking asyiknya berkonflik mengedepankan ego diri sendiri maupun kepentingan kelompoknya, advokat tak lagi mementingkan layanan jasa pro bono membela masyarakat lemah yang membutuhkan perlindungan hukum.
"Dan jauh lebih berbahaya (konflik di organisasi advokat) adalah menjauhkan peranan advokat untuk melayani masyarakat miskin dalam pemberian layanan pro bono. Sebab yang akan mengkoordinir hal ini adalah wadah organisasi. Jika tidak jelas siapa yang menjabat maka tidak akan jelas mekanisme pelaksanaan pro bononya," kata Alvon.
Apakah advokat lebih memilih tercebur dalam jurang kehancuran ketimbang kemuliaan profesinya? [http://sp.beritasatu.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar