Indonesia
negeri gaduh kalau tak mau disebut frustrasi. Kegaduhan telah terjadi
di seluruh lini mulai dari partai politik (parpol), parlemen,
kabinet, hingga penegakan hukum mencakup dunia advokat.
Profesi yang
memberikan pendampingan hukum terhadap para pencari keadilan masih
terus bertikai, berebut mengurusi wadah tunggal Perhimpunan Advokat
Indonesia (Peradi).
Bukti nyata
kekisruhan pada dunia advokat, terjadi dalam Munas II Peradi yang
digelar di Makassar, baru-baru ini. Pertikaian yang terjadi bukan
dalam sikap adu argumentasi yang memancing nalar, tetapi umpatan
bahkan menjurus pada anarki.
Profesi advokat yang
disebut mulia tak tercermin di Hotel Grand Clarion, Jumat (27/3),
sehari setelah munas dibuka oleh Menko Polhukam Tedjo Edhy
Purdijatno, mewakili Wapres Jusuf Kalla.
Organisasi sekelas advokat,
bukannya menjadikan forum tertinggi seperti munas sebagai ajang
konsolidasi justru menghasilkan tiga pengurus yang
masing-masing mengklaim punya legitimasi.
Otto Hasibuan
mengklaim masih menjabat sebagai Ketum DPN Peradi yang sah karena
belum demisioner. Dirinya menunda munas dengan agenda utama membentuk
pengurus Peradi periode 2015-2020 hingga paling cepat tiga bulan
tanpa membuka agenda sidang dengan pertimbangan keamanan sebagaimana
tuntutan 48 DPC Peradi.
Peserta yang kecewa
dalam forum tetap melanjutkan munas dengan menunjuk tiga pejabat
sementara (caretaker) pimpinan Peradi yakni, Hasanuddin Nasution,
Humphrey Djemat, dan Luhut Pangaribuan untuk menggelar munaslub
dengan sistem one man one vote dalam waktu lima bulan ke
depan.
Sedangkan kandidat
calon Ketum Peradi, Juniver Girsang mendeklarasikan diri sebagai
ketum yang sah setelah didukung 35 DPC secara aklamasi.
Agenda
utamanya mengadakan rekonsiliasi dengan seluruh pihak termasuk dengan
advokat yang telah keluar dari Peradi. Dirinya tidak mengakui adanya
pejabat sementara dalam Peradi karena tidak diatur dalam AD/ART.
"Saya menyampaikan
ke cabang, kita (advokat) ini sudah kritis jangan lagi ada
perpecahan. Satu periode saja saya memimpin untuk rekonsiliasi
karena advokat sudah tidak dihargai masyarakat dan oleh penegak hukum
lain. Saya berharap Bang Otto bisa membicarakan lagi masalah ini,
duduk bersama, buang ego masing-masing, kalau terjadi rekonsiliasi
maka saya serahkan (jabatan) bagi yang mampu," kata Juniver, di
Jakarta, Selasa (31/3).
Saling sikut merebut
kekuasaan dalam organisasi advokat yang terjadi secara terus-menerus
diduga hanya karena demi gengsi selain untuk mengelola uang
yang besar di Peradi. Bukan bertujuan pada pengabdian kepada
masyarakat dan hukum itu sendiri.
Padahal, status
penegak hukum bagi advokat sebagaimana ketentuan UU No 18/2003
tentang Advokat seharusnya diaplikasikan penuh dengan wibawa.
Maraknya konflik menandakan pula bahwa, status penegak hukum bagi
advokat setara dengan institusi penegak hukum lainnya, diragukan.
"Tak semua advokat
paham tentang hak dan kewajiban penegak hukum. Perseteruan klasik
yang berujung pada keinginan mendominasi organisasi agar terbuka
peluang yang berkaitan memegang kekuasaan dan uang menunjukan
sebagian advokat miskin idealisme dan terkontaminasi politik praktis.
Profesionalitas dan etika kurang mendapat perhatian," kata pakar
hukum Yesmil Anwar.
Masa depan advokat
semakin gelap kendati perannya dalam pembaruan sistem hukum di
Indonesia cukup genting. Kericuhan yang dibuat sendiri oleh pengurus
serta anggota Peradi memperkuat stigma advokat membela yang bayar
ketimbang membela yang benar.
Profesi tersebut bahkan bukan hanya tak
lagi dihargai masyarakat melainkan, tinggal menunggu terperosok ke
dalam jurang kehancuran.
"Jelas sekarang
saja (advokat) sudah tidak dihargai. Berbeda dengan Singapura lawyer
dihargai, bapak bangsanya saja Lee Kuan Yew orang hukum yang bisa
menerapkan nilai-nilai disiplin, sederhana, hemat, efisien, bersih,
jujur serta bebas korupsi sebagai jalan hidup sehari-hari," kata
Ketum Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) Frans Hendra Winarta.
Menurutnya, sekarang
ini dunia advokat kekurangan sosok panutan. Tak ada lagi senior yang
punya kredibilitas, integritas, yang pendapatnya bisa menenangkan
bahkan diterima oleh faksi-faksi di tubuh organisasi advokat. Hal itu
juga terjadi karena kesalahan penerapan organisasi advokat sebagai
wadah tunggal.
Frans mengungkapkan,
wadah tunggal organisasi advokat merupakan gagasan rezim orde baru
agar mudah dikontrol kekuasaan. Ketika era reformasi, sistem single
bar yang dipaksa untuk diberlakukan justru memperluas
konflik-konflik dalam dunia profesinya.
Dengan begitu, RUU Advokat
yang meniadakan sistem wadah tunggal menjadi wadah banyak (multi bar)
menjadi penting kembali digaungkan.
"Maka RUU Advokat
harus segera digolkan oleh DPR dan pemerintah karena dengan multi
bar akan ada persaingan sehat. Sekarang organisasi advokat
komersial karena yang diurus hanya Penyelenggara Khusus Pendidikan
Advokat (PKPA), kursus advokat, dan ijin praktek. Ribuan perkara
pelanggaran etika tidak diproses dan mengakibatkan suburnya korupsi
yudisial," ujarnya.
Dikatakan, advokat
sebagai profesi mulia sekarang ini hanya menjadi slogan. Padahal,
budaya suatu bangsa dapat dilihat dari perilaku advokatnya.
Peradi
selaku wadah tunggal terbukti gagal menunjukan kewibawaanya karena
tidak memiliki sosok-sosok panutan sehingga kesulitan mengurusi
organisasinya sendiri.
"Jadi pembersihan
organisasi advokat harus dimulai dari dalam dan ada persaingan sehat
serta demokratis. Sulit kalau mengandalkan calon-calon pimpinan
sekarang. Setelah politikus maka advokat yang gemar ribut dan gila
kekuasaan juga suka permainan politik uang. Organisasi advokat
sekarang dikelola seperti organisasi parpol," katanya.
Titik Balik
Mantan hakim
konstitusi yang pernah memeriksa dan mengadili perkara UU Advokat,
Maruarar Siahaan menilai, kisruh pada Munas II Peradi di Makassar
harus dijadikan titik balik meniadakan sistem wadah tunggal dalam
organisasinya. Hal itu merupakan salah satu cara untuk memperbaiki
keadaan di kalangan advokat agar menjadi dewasa.
"Saya kira memang
salah satu cara memperbaiki keadaan organisasi advokat jangan
bersifat tunggal. Harus ada saingan yang dapat memberikan
perbandingan, UU Advokat yang baru sebenarnya sudah mengatur
demikian, tapi tampaknya Peradi sendiri menolak gagasan itu.
Peristiwa Makassar itu harus menjadi titik balik pendapat Peradi atau
DPR untuk mengatur organisasi advokat tidak tunggal," katanya.
Kisruh di kalangan
advokat juga menandakan pengurus Peradi tak mampu mengelola
organisasi tersebut. Sebab, kericuhan pada munas secara telak
menunjukan menurunnya kualitas pengurus.
Repotnya, Peradi sendiri
yang paling ngotot mempertahankan sistem wadah tunggal dengan dalih
sistem itu konstitusional.
"Memang kisruh itu
menunjukkan bahwa organisasi advokat tidak pernah menjadi dewasa dan
pengurus tidak mampu mengelola organisasi tunggal advokat. Satu
petunjuk lain yang didapat dari peristiwa munas itu, kualitas
pengurus belum mencapai tingkat yang mampu menjadi pemimpin, itu yang
membuat kita prihatin," jelasnya.
Peneliti PSHK Miko S
Ginting mengungkapkan hal yang senada. Kepemimpinan di Peradi selama
ini tak mampu melakukan rekonsiliasi dan konsolidasi terhadap
organisasi-organisasi advokat sehingga, keberadaan Peradi sebagai
wadah tunggal tak membawa dampak pada penguatan kelembagaan. Belum
lagi mengenai transparansi dan akuntabilitasnya.
Sebagai wadah
tunggal, Peradi yang terbentuk pada 21 Desember 2004 gagal
mengakomodir sekat-sekat perbedaan sikap dan pikiran antaradvokat.
Maka, agenda perlindungan dan penguatan kode etik bagi advokat
otomatis terbengkalai karena perbedaan-perbedaan cara pandang yang
ada tidak diluruskan.
"Selain persoalan
ketokohan karena semua dari mereka merasa sebagai tokoh, agenda utama
organisasi advokat yaitu dalam melakukan konsiliasi dan konsolidasi
advokat, penguatan kelembagaan, dan pemberian perlindungan bagi
advokat dalam menjalankan profesinya tidak berjalan," ujar Miko.
Ketua YLBHI Alvon K
Palma mengakui, untuk menjadi seorang advokat memerlukan biaya yang
besar. Selain mengeluarkan biaya PKPA yang minimal mencapai Rp 5
juta, calon advokat juga harus mengikuti ujian profesi advokat (UPA).
Setelah lulus harus magang dalam jangka waktu tertentu dan
tidak mendapatkan gaji.
"Apalagi jika
bukan tinggal di daerah perkotaan, jika tidak ditopang dengan modal
yang besar maka akan sulit menjadi advokat. Setelah ikut PKPA dan
UPA, dia harus magang yang tidak mendapat gaji dalam waktu tertentu.
Butuh modal untuk bertahan hidup sampai memenuhi syarat sebagai
advokat hingga dilantik. Setelah itu belum tentu mendapat perkara
untuk menghidupi dirinya," kata Alvon.
Dirinya tidak
menampik jika disebut, perebutan kekuasaan di Peradi berkaitan dengan
pengelolaan uang yang cukup besar. Setiap tahunnya, ribuan orang
mengikuti PKPA dan UPA. Sementara, pengelolaan organisasi tidak
akuntabel.
Namun demikian, yang
memprihatinkan bagi Alvon, adanya konflik yang tanpa henti
mengakibatkan advokat semakin jauh dari cita-cita profesinya yang
mulia yakni, menjadi pilar utama perwujudan negara hukum termasuk
menjadi agen perubahan sosial.
"Organisasi yang
ideal adalah organisasi yang mewadahi seluruh advokat yang
terafiliasi dalam organisasi asal. Nantinya organisasi induk berperan
untuk memastikan layanan sebagai standar kualitas pendampingan hukum
kepada klien, standar etik, dan standar kualitas advokat atau
akreditasi.
Dengan demikian,
advokat menjadi pembela yang benar," bebernya.
Rentetan konflik di
tubuh organisasi advokat juga membawa dampak buruk lainnya bagi
masyarakat pencari keadilan. Saking asyiknya berkonflik mengedepankan
ego diri sendiri maupun kepentingan kelompoknya, advokat tak lagi
mementingkan layanan jasa pro bono membela masyarakat lemah yang
membutuhkan perlindungan hukum.
"Dan jauh lebih
berbahaya (konflik di organisasi advokat) adalah menjauhkan peranan
advokat untuk melayani masyarakat miskin dalam pemberian layanan pro
bono. Sebab yang akan mengkoordinir hal ini adalah wadah organisasi.
Jika tidak jelas siapa yang menjabat maka tidak akan jelas mekanisme
pelaksanaan pro bononya," kata Alvon.
Apakah advokat lebih
memilih tercebur dalam jurang kehancuran ketimbang kemuliaan
profesinya? [http://sp.beritasatu.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar