Tony Budijaja (Istimewa)
Solopos.com, SOLO — Miliaran rupiah telah dihabiskan, namun
Musyawarah Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (Munas Peradi) yang
diselenggarakan di Makassar pada 26-27 Maret 2015, gagal melaksanakan
hajatan utamanya, yakni memilih seorang ketua umum yang baru.
Berdasarkan Anggaran Dasar Peradi, Otto Hasibuan yang sudah menjabat sebagai Ketua Umum selama dua periode (10 tahun) harus mengakhiri masa jabatannya dan tidak boleh diangkat kembali.
Meski Munas Peradi telah secara resmi dibuka oleh pemerintah yang diwakili oleh Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Tedjo Edhy Purdijatno, pada hari ke-2 Ketua Umum Peradi tiba-tiba menyatakan Munas Peradi ditunda hingga 3-6 bulan ke depan karena alasan keamanan.
Di pihak lain, para peserta yang tidak setuju atas sikap Ketua Umum Peradi itu kemudian mengambil alih pelaksanaan munas dan alhasil Peradi sekarang memiliki tiga versi kepimpinanan.
Keributan di antara para advokat memang bukan sesuatu yang baru. Ini sudah sering terjadi dan masyarakat tampaknya terbiasa menanggapinya.
Sejarah Indonesia menunjukkan, belum pernah ada satu organisasi advokat pun yang berhasil menyatukan seluruh advokat di negeri ini.
Pada 5 April 2003, lembaga pembuat undang-undang (DPR) kita secara mengejutkan mengesahkan UU No. 18/2003 tentang Advokat yang mengharuskan seluruh advokat Indonesia untuk bersatu di bawah satu wadah tunggal advokat (single bar association).
Meski Presiden Megawati Soekarnoputri waktu itu menolak untuk membubuhkan tanda tangannya, berdasarkan konstitusi UU Advokat itu sah berlaku.
Akibat desakan UU Advokat yang memberikan batas waktu dua tahun untuk pembentukan wadah tunggal itu, baru pada 21 Desember 2004, para pemimpin delapan organisasi advokat terbesar di Indonesia berhasil berkumpul dan menandatangani deklarasi pendirian Peradi.
Setelah pendiriannya, berbagai pertikaian internal terus-menerus menghantam Peradi. Beragam gugatan, baik itu di Mahkamah Konstitusi (MK) maupun lembaga peradilan umum, terus-menerus menghantam Peradi.
UU Advokat tercatat sebagai UU yang paling sering diajukan ke MK untuk pengujian materi. Banyak kalangan menganggap bahwa UU Advokat yang menjadi akar penyebab kemelut organisasi advokat yang berkepanjangan selama ini.
UU Advokat memberikan wewenang (power) yang sangat besar bagi wadah tunggal itu. Kewenangan itu termasuk menyelenggarakan pendidikan, pengangkatan, pengawasan, penindakan, hingga pemecatan. Di banyak negara, wewenang itu dibagi-bagi ke beberapa lembaga.
Kemelut yang sekarang dialami Peradi sebenarnya sudah bisa ditebak saat UU Advokat disahkan DPR. Harus diingat bahwa inisiatif untuk membentuk wadah tunggal itu sebenarnya bukan datang dari bawah (kalangan advokat pada umumnya), tapi lobi kelompok tertentu.
Tidak adanya suatu blue print yang jelas dan sosialisasi yang cukup mengakibatkan pada waktu itu banyak advokat menentang atau setidak-tidaknya meragukan efektivitas pembentukan wadah tunggal itu.
Keberhasilan pembentukan wadah tunggal jelas bergantung pada persetujuan seluruh advokat yang akan menjadi anggotanya, visi dan misi organisasi itu, serta kemampuan kepemimpinan para pengurusnya.
Jelas apa yang menjadi cita-cita pembuat UU Advokat, yakni agar lahir satu wadah profesi advokat yang bebas dan mandiri, belum terwujud. Semakin hari, persatuan di kalangan advokat tampaknya semakin jauh dari kenyataan.
Di Peradi semakin banyak advokat (termasuk advokat senior) yang memutuskan meninggalkan Peradi dan mendirikan organisasi advokat baru, seperti Kongres Advokat Indonesia (KAI) yang sekarang berupaya menjadi organisasi tandingan Peradi.
Tanggung Jawab
Bila tidak segera dibenahi, Peradi niscaya akan tinggal sekadar nama. Peradi hanya akan disebut sebagai organisasi advokat yang pernah berdiri tetapi sudah tidak berfungsi lagi.
Bila pemerintah ingin mempertahankan Peradi, pemerintah harus cepat bertindak. Karena konsep wadah tunggal advokat, khususnya mekanisme pembentukan dan kepemimpinannya, tidak diatur secara jelas oleh UU Advokat.
Pemerintah, khususnya Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia perlu melakukan langkah-langkah aktif termasuk memberikan petunjuk penafsiran atas ketentuan-ketentuan di dalam UU Advokat yang selama ini menimbulkan polemik dan kontroversi.
Sesuai dengan konstitusi, pemerintah punya kewajiban memastikan agar proses pembentukan dan pengoperasian wadah tunggal advokat itu benar-benar berjalan sesuai maksud dan tujuan UU Advokat.
Sungguh disayangkan, selama ini fungsi dan peranan advokat dan organisasi advokat kurang dihargai oleh pemerintah. Tidak seperti di banyak negara, organisasi advokat di Indonesia belum diperlakukan sebagai mitra pemerintah, pengadilan, dan legislator dalam upaya pembangunan hukum dan sistem hukum.
Jangan lupa, tanpa advokat dan organisasi advokat yang kuat segala upaya pembangunan hukum yang direncanakan pemerintah tidak akan berhasil dan negara hukum yang dicita-citakan juga tidak akan pernah terwujud.
Pemerintah Indonesia perlu mencontoh negara tetangga Singapura tentang bagaimana mentransformasi negara dari negara kelas III menjadi negara kelas I melalui pembangunan hukum dan penguatan profesi hukum.
Sungguh malang nasib advokat Indonesia, bila pemerintah terus menutup mata atas berbagai tekanan yang tengah menimpa mereka.
Sekarang ini, profesi advokat di Indonesia bukan saja ditekan oleh kehadiran advokat dan kantor hukum asing yang punya keunggulan besar dalam hal keahlian, teknologi, dan dana, tapi juga ditekan oleh ketiadaan penghargaan dan dukungan dari pemerintahnya sendiri.
Selama ini, banyak anggapan keliru mengenai kemandirian advokat. Kemandirian advokat itu tidak berarti advokat tidak membutuhkan dukungan negara atau tidak boleh berhubungan dengan pemerintah.
Justru, pengakuan negara atau pemerintah sangat dibutuhkan bagi profesi advokat mengingat profesi ini tidak mempunyai akar sejarah atau budaya yang kuat di Indonesia.
Terlampau besar tantangan yang kini dihadapi profesi advokat Indonesia. Demikian pula, begitu banyak pekerjaan rumah yang sudah ditetapkan oleh UU Advokat yang masih belum berjalan secara efektif.
Pekerjaan rumah itu, antara lain penyelenggaraan sistem pendidikan hukum berkelanjutan, sistem pengawasan advokat (termasuk advokat asing), dan sistem pemberian bantuan hukum cuma-cuma. Tantangan besar ini tidak akan mungkin dapat diatasi tanpa dukungan pemerintah. (http://jogja.solopos.com)
Berdasarkan Anggaran Dasar Peradi, Otto Hasibuan yang sudah menjabat sebagai Ketua Umum selama dua periode (10 tahun) harus mengakhiri masa jabatannya dan tidak boleh diangkat kembali.
Meski Munas Peradi telah secara resmi dibuka oleh pemerintah yang diwakili oleh Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Tedjo Edhy Purdijatno, pada hari ke-2 Ketua Umum Peradi tiba-tiba menyatakan Munas Peradi ditunda hingga 3-6 bulan ke depan karena alasan keamanan.
Di pihak lain, para peserta yang tidak setuju atas sikap Ketua Umum Peradi itu kemudian mengambil alih pelaksanaan munas dan alhasil Peradi sekarang memiliki tiga versi kepimpinanan.
Keributan di antara para advokat memang bukan sesuatu yang baru. Ini sudah sering terjadi dan masyarakat tampaknya terbiasa menanggapinya.
Sejarah Indonesia menunjukkan, belum pernah ada satu organisasi advokat pun yang berhasil menyatukan seluruh advokat di negeri ini.
Pada 5 April 2003, lembaga pembuat undang-undang (DPR) kita secara mengejutkan mengesahkan UU No. 18/2003 tentang Advokat yang mengharuskan seluruh advokat Indonesia untuk bersatu di bawah satu wadah tunggal advokat (single bar association).
Meski Presiden Megawati Soekarnoputri waktu itu menolak untuk membubuhkan tanda tangannya, berdasarkan konstitusi UU Advokat itu sah berlaku.
Akibat desakan UU Advokat yang memberikan batas waktu dua tahun untuk pembentukan wadah tunggal itu, baru pada 21 Desember 2004, para pemimpin delapan organisasi advokat terbesar di Indonesia berhasil berkumpul dan menandatangani deklarasi pendirian Peradi.
Setelah pendiriannya, berbagai pertikaian internal terus-menerus menghantam Peradi. Beragam gugatan, baik itu di Mahkamah Konstitusi (MK) maupun lembaga peradilan umum, terus-menerus menghantam Peradi.
UU Advokat tercatat sebagai UU yang paling sering diajukan ke MK untuk pengujian materi. Banyak kalangan menganggap bahwa UU Advokat yang menjadi akar penyebab kemelut organisasi advokat yang berkepanjangan selama ini.
UU Advokat memberikan wewenang (power) yang sangat besar bagi wadah tunggal itu. Kewenangan itu termasuk menyelenggarakan pendidikan, pengangkatan, pengawasan, penindakan, hingga pemecatan. Di banyak negara, wewenang itu dibagi-bagi ke beberapa lembaga.
Kemelut yang sekarang dialami Peradi sebenarnya sudah bisa ditebak saat UU Advokat disahkan DPR. Harus diingat bahwa inisiatif untuk membentuk wadah tunggal itu sebenarnya bukan datang dari bawah (kalangan advokat pada umumnya), tapi lobi kelompok tertentu.
Tidak adanya suatu blue print yang jelas dan sosialisasi yang cukup mengakibatkan pada waktu itu banyak advokat menentang atau setidak-tidaknya meragukan efektivitas pembentukan wadah tunggal itu.
Keberhasilan pembentukan wadah tunggal jelas bergantung pada persetujuan seluruh advokat yang akan menjadi anggotanya, visi dan misi organisasi itu, serta kemampuan kepemimpinan para pengurusnya.
Jelas apa yang menjadi cita-cita pembuat UU Advokat, yakni agar lahir satu wadah profesi advokat yang bebas dan mandiri, belum terwujud. Semakin hari, persatuan di kalangan advokat tampaknya semakin jauh dari kenyataan.
Di Peradi semakin banyak advokat (termasuk advokat senior) yang memutuskan meninggalkan Peradi dan mendirikan organisasi advokat baru, seperti Kongres Advokat Indonesia (KAI) yang sekarang berupaya menjadi organisasi tandingan Peradi.
Tanggung Jawab
Bila tidak segera dibenahi, Peradi niscaya akan tinggal sekadar nama. Peradi hanya akan disebut sebagai organisasi advokat yang pernah berdiri tetapi sudah tidak berfungsi lagi.
Bila pemerintah ingin mempertahankan Peradi, pemerintah harus cepat bertindak. Karena konsep wadah tunggal advokat, khususnya mekanisme pembentukan dan kepemimpinannya, tidak diatur secara jelas oleh UU Advokat.
Pemerintah, khususnya Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia perlu melakukan langkah-langkah aktif termasuk memberikan petunjuk penafsiran atas ketentuan-ketentuan di dalam UU Advokat yang selama ini menimbulkan polemik dan kontroversi.
Sesuai dengan konstitusi, pemerintah punya kewajiban memastikan agar proses pembentukan dan pengoperasian wadah tunggal advokat itu benar-benar berjalan sesuai maksud dan tujuan UU Advokat.
Sungguh disayangkan, selama ini fungsi dan peranan advokat dan organisasi advokat kurang dihargai oleh pemerintah. Tidak seperti di banyak negara, organisasi advokat di Indonesia belum diperlakukan sebagai mitra pemerintah, pengadilan, dan legislator dalam upaya pembangunan hukum dan sistem hukum.
Jangan lupa, tanpa advokat dan organisasi advokat yang kuat segala upaya pembangunan hukum yang direncanakan pemerintah tidak akan berhasil dan negara hukum yang dicita-citakan juga tidak akan pernah terwujud.
Pemerintah Indonesia perlu mencontoh negara tetangga Singapura tentang bagaimana mentransformasi negara dari negara kelas III menjadi negara kelas I melalui pembangunan hukum dan penguatan profesi hukum.
Sungguh malang nasib advokat Indonesia, bila pemerintah terus menutup mata atas berbagai tekanan yang tengah menimpa mereka.
Sekarang ini, profesi advokat di Indonesia bukan saja ditekan oleh kehadiran advokat dan kantor hukum asing yang punya keunggulan besar dalam hal keahlian, teknologi, dan dana, tapi juga ditekan oleh ketiadaan penghargaan dan dukungan dari pemerintahnya sendiri.
Selama ini, banyak anggapan keliru mengenai kemandirian advokat. Kemandirian advokat itu tidak berarti advokat tidak membutuhkan dukungan negara atau tidak boleh berhubungan dengan pemerintah.
Justru, pengakuan negara atau pemerintah sangat dibutuhkan bagi profesi advokat mengingat profesi ini tidak mempunyai akar sejarah atau budaya yang kuat di Indonesia.
Terlampau besar tantangan yang kini dihadapi profesi advokat Indonesia. Demikian pula, begitu banyak pekerjaan rumah yang sudah ditetapkan oleh UU Advokat yang masih belum berjalan secara efektif.
Pekerjaan rumah itu, antara lain penyelenggaraan sistem pendidikan hukum berkelanjutan, sistem pengawasan advokat (termasuk advokat asing), dan sistem pemberian bantuan hukum cuma-cuma. Tantangan besar ini tidak akan mungkin dapat diatasi tanpa dukungan pemerintah. (http://jogja.solopos.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar