A.Konsep Hak Asasi Manusia
Perjuangan akan kekokohan praktik penghormatan harkat dan martabat, Hak Asasi Manusia. Adalah sejarah dari perjalanan panjang. Perjuangan dari peperangan yang telah mengorbankan jutaan manusia. Ada peristiwa perang. Perang dunia pertama dan perang dunia kedua. Ada pembantain etnis, ras, seperti yang terjadi dalam regim Hitler. Ada pembantaian etnis di Ruanda (ICTR), ada pemusnahan secara paksa etnis di Yogoslavia (ICTY). Pemberontakan di Tiananmen. Pemusnahan etnis di Kamboja. Dan berbagai peristiwa kekejaman lainnya menjadikan Hak Asasi Manusia penting untuk dipositifkan sebagaimana usul David Hume, Austin dan Hart.
Hak Asasi Manusia sebagai hak yang lahir secara adil kodrati (Hobbes, Rosseau, Kant, Vasak, Weissbrodt; Lih, Davidson, 1994: 30 – 63) mutlak untuk diberi kepastian dalam tatanan yang fundamental. Agar tidak menjadi impian, cita-cita dan angan-angan semata. Maka yang amat menonjol dalam konvensi (bisa dibaca: perjanjian) sebagai instrumen hukum adalah pengakuan hak-hak politik. Bukan hak-hak ekonomi, hak sosial dan budaya. Kalau dilihat dalam realitasnya organ PBB memang dalam struktur organisasinya adalah pertarungan dua buah ideologi. Pertarungan antara liberalisme dan sosialisme. Dapat dikatakan pertarungan antara ICCPR yang terlegitimasi dalam organ Dewan Keamanan dan ICESCR yang diejawantahkan dalam organ Majelis Umum yang banyak dipegang atau diisi oleh negara berkembang untuk memperjuang hak-hak ekonomi, sosial dan kebudayaan.
Terlepas dari dua kepentingan tersebut, jelasnya hak-hak politik tetap menaruh harapan bagi perlakuan yang adil, fair, dan sama dari negara untuk menghargai hak kodrati yang melekat pada setiap individu sebagai hak dasar yang sudah ada (Thomas Aquinas) sejak ia lahir. Kalaupun ada peran negara untuk menghormati hak individu sebagai hak dasar adalah prinsip resiprositas (timbal balik/ reciprocity, lih, Cessie, 2005: 237) semata sebagai penyerahan kepercayaan dalam suatu kontrak sosial.
Dapat dikatakan, semua negara (=195) di dunia tidak ada yang tidak mengakui Hak Asasi Manusia sebagai hak yang penting untuk dimasukkan dalam landasan konstitusionalnya. Apalagi negara yang mengutamakan prinsip negara hukum (rechtstaar/ rule of law) maka harus meletakkan jaminan dan perlindungan terhadap hukum dan Hak Asasi Manusia. karena jaminan dan pelayanan Hak Asasi Manusia sebagai salah satu unsur negara hukum.
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Oleh karena itu Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menunjukan nilai normatifnya Hak Asasi Manusia sebagai hak yang fundamental. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 “semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam martabat dan hak. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan harus bertindak sesama manusia dalam semangat persaudaraan.”
Di Indonesia, pengertian Hak Asasi Manusia (HAM) ditegaskan dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”
Implementasi Hak Asasi Manusia secara tersirat sebenarnya sudah diakui dalam KUHAP. Menurut ketentuan Pasal 117 ayat 1, “keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun.” Artinya dengan adanya Pasal tersebut, pemeriksaan oleh penyidik untuk kepentingan penyidikan harus sesuai dan menghormati HAM.
Selain itu, pemuatan hak asasi dalam tugas kepolisian sebagai penyidik, juga ditegaskan dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, “Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan terhadap masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.” Kemudian juga ditegaskan dalam Pasal 19 ayat 1 “bahwa polisi harus senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum, dan mengindahkan norma agama, kesopanan, dan kesusilaan dan menjunjung tinggi HAM.”
Dalam kaitannya dengan wewenang polisi dalam melakukan pemeriksaan terhadap tersangka guna mendapatkan keterangan yang berkaitan dengan suatu tindak pidana, maka prinsip yang harus dipegang adalah berdasarkan Pasal 33 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 menegaskan “bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakukan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
Mengenai arti dari penyiksaan itu sendiri kemudian ditegaskan dalam Pasal 1 butir 4 :
“Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau untuk rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan atau pejabat publik.”
Dalam proses peradilan pidana yang merupakan serangkaian rantai-rantai (the series of chains). Polisi yang menempati posisi sebagai penjaga pintu (as agate of keeper), meminjam istilah Sunarto dalam Muladi, 2005: 142), tentunya juga harus memperhatikan hak-hak tersangka. Universal Declaration of Human Right diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1949). Deklarasi ini memuat 30 Pasal yang memuat berbagai hak asasi. Seperti hak untuk hidup, hak untuk istirahat, dan hak untuk mendapatkan hiburan.
Dalam konteks dengan kewenangan polisi sebagai penyidik hak yang penting untuk diperhatikan adalah hak untuk hidup, yang meliputi hak untuk bebas dari eksekusi di luar pengadilan (extra judicial execution), dan penghilangan paksa (disapearences), hak untuk bebas dari penyiksaan dan penangkapan di luar wewenang (freedom from torture and arbitary arrest). Olehnya itu, penting untuk melihat bagaimana semestinya perlakuan tersangka yang relevan dalam DUHAM. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam DUHAM jika duraikan secara sistematis, sebagai berikut:
a. Semua orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu (Pasal 3).
b. Tidak seorangpun boleh disiksa atau diperlakukan atau dihukum secara tidak manusiawi atau dihina (Pasal 5)
c. Semua orang berhak atas atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada (Pasal 6).
d. Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi, semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan deklarasi ini (Pasal 7)
e. Tidak seorangpun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang sewenang-wenang (Pasal 9).
f. Setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan suatu tindak pidana, dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya menurut hukum dalam suatu pengadilan yang terbuka, dimana ia memperoleh semua jaminan untuk pembelaannya (Pasal 11 ayat 1 ).
International Convenant on Civil and Political Rigt (ICCPR) tampaknya juga memberikan pengaturan hak hidup sebagai hak fundamental. Konvenan ini menjunjung tingi hak atas kebebasan dan keamanan pribadi serta memberi fondasi bagi perlindungan dalam penahanan. Dalam Pasal 9 ICCPR menegaskan:
a. Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak seorangpun dapat ditangkap secara sewenang-wenang. Tidak seorangpun dapat dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum.
b. Setiap orang ditangkap wajib diberitahu pada saat penangkapannya dan harus segera mungkin diberitahu mengenai tuduhan yang dikenakan kepadanya.
c. Setiap orang yang ditahan atau berdasarkan tuduhan pidana, wajib segera dihadapkan ke pejabat pengadilan atau pejabat lain yang diberi kewenangan oleh hukum untuk menjalankan kekuasaan peradilan, dan berhak untuk diadili dalam jangka waktu yang wajar, atau dibebaskan. Bukan merupakan suatu ketentuan umum, bahwa orang yang menunggu diadili harus ditahan, tetapi pembebasan dapat diberikan dengan atas dasar jaminan untuk hadir pada waktu persidangan, pada setiap tahap pengadilan dan pada pelaksanaan putusan, apabila diputuskan demikian.
d. Siapapun yang dirampas, kebebasannya dengan cara penangkapan, penahanan, berhak untuk disidangkan di depan pengadilan tanpa menunda-nunda dapat menentukan keabsahan penangkapannya dan memerintahkan pembebasannya apabila penahanan tidak sah menurut hukum.
Dalam memperkuat dan menjamin ketentuan untuk perlindungan HAM dalam due process of law pada sistem peradilan pidana. Terutama dalam tahap/ fase pra-ajudikasi. Dapat jiuga didasarkan pada konvensi anti penyiksaan yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998. Penyiksaan berdasarkan konvensi ini diartikan:
“Sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari dari orang ketiga atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi apabila rasa sakit atau penderitaan itu ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan atau sepengetahuan pejabat publik. Hal ini tidak meliputi rasa sakit dan penderitaan yang semata-mata timbul melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku.”
Konsep dasar Hak Asasi Manusia adalah ketentuan yang pada mulanya hanya berada dalam perdebatan sebagai bagian hukum alam. Kemudian dipositifkan dalam suatu ketentuan normatif sebagai Ilmu Hukum Murni (Kelsen). Atau sebagai ilmu hukum positif/ normatif (Mewissen). Telah mempengaruhi sistem peradilan pidana mulai dari tingkat peyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Pengadilan yang mengadili terdakwa harus bersikap fair dan tidak memihak (imparsialitas), beban pembuktian dibebankan bukan kepada terdakwa (defendant), melainkan kepada penyidk dan penuntun. Semua prinsip KUHAP tersebut adalah, bahagian dari implementasi konsep dasar HAM.
B. Urgensi Penyidikan dan Kewenangan Penyidik dalam KUHAP
Apa pentingnya penyidikan (opsporing/ Belanda, investigation/ inggris, penyiasatan atau siasat/ Malaysia) ? adalah tidak lain untuk melindungi hak seorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana. Maka harus ada bukti permulaan yang cukup untuk melakukan penangkapan. Penyidikan sebagai rangkaian dari proses penyelidikan, bermaksud untuk menemukan titik terang siapa pelaku atau tersangkanya. Pasal 1 butir 2 menegaskan “penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini (baca: KUHAP) untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya”
Penyidikan diatur di dalam Pasal 102 s/d Pasal 138 Bagian ke-dua BAB XIV KUHAP. Penyidik dan penyidik pembantu diatur dalam Pasal 6 s/d Pasal 13 bagian kesatu dan kedua BAB IV KUHAP.
Selain penyidikan ada serangkaian tindakan yang mengawalinya. Tindakan pejabat tersebut disebut penyelidikan. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. (Pasal 1 butir 5).
Di dalam buku pedoman pelaksanaan KUHAP ditegaskan latar belakang, motivasi, dan urgensi diintrodusirnya fungsi penyelidikan sebagai rangkaian, atau tindakan awal dari penyidikan dalam menemukan titik terang siapa pelakunya (dader) yaitu:
a. Adanya perlindungan dan jaminan terhadap Hak Asasi Manusia.
b. Adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa.
c. Ketatnya pengawasan dan adanya lembaga ganti rugi dan rehabilitasi.
d. Tidak setiap peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu menampakkan bentuknya secara jelas sebagai tindak pidana, maka sebelum melangkah lebih lanjut dengan melakukan penyidikan, dengan konsekuensi digunakannnya upaya paksa, perlu ditentukan lebih dahulu berdasarkan data dan keterangan yang didapat dari hasil penyelidikan bahwa peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu benar adanya merupakan tindak pidana sehingga dapat dilanjutkan dengan tindakan penyidikan.
Jika diamati secara sepintas lalu. Penyelidikan sepertinya identik dengan penyidikan. Tetapi sebagaimana dikemukakan oleh Yahya Harahap (2002a: 109) kedua istilah tersebut sungguh berbeda.
“Perbedaannya dapat dilihat dari sudut pejabat yang melaksanakannya. Penyelidik pejabat yang melaksanakannya adalah penyelidik yang terdiri atas pejabat Polri saja tanpa ada pejabat lainnya. Sedangkan penyidikan dilakukan oleh penyidik yang terdiri atas pejabat polri dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu (lih: Pasal 6 KUHAP dan Pasal 2 ayat 2 PP Nomor 27 Tahun 1983). Perbedaan lain yakni dari segi penekanannya. Penyelidikan pada tindakan mencari dan menemukan peristiwa yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidana, sedangkan penyidikan titik berat penekanannya diletakkan pada tindakan mencari serta mengumpulkan bukti, supaya tindak pidana yang ditemukan menjadi terang, serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya.”
Pada dasarnya tujuan dari pada penyidikan terhadap tindak pidana menurut Rusli Muhammad (2007: 58 - 60) bagi pejabat penyidik diharapkan dapat diperoleh keterangan berupa:
a. Jenis dan kualifikasi tindak pidana yang terjadi.
b. Waktu tindak pidana dilakukan.
c. Tempat terjadinya tindak pidana.
d. Dengan apa tindak pidana dilakukan.
e. Alasan dilakukannya tindak pidana.
f. Siapa pelaku tindak pidana
Penyidikan yang dilakukan oleh penyidik harus diberitahukan kepada Penuntut Umum. Jika penyidikan telah selesai, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada Penuntut Umum. Kadang-kadang hasil penyidikan dinilai oleh Penuntut Umum kurang lengkap sehingga perlu dilengkapi penyidik. Jika terjadi demikian, Penuntut Umum harus segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi. Apabila berkas perkaranya dikembalikan, penyidik harus segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari Penuntut Umum.
Dalam melaksanakan tugas dan penyidikan untuk mengungkap suatu tindak pidana. Penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 7 ayat 1 KUHAP jo. Pasal 16 ayat 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Yang menegaskan bahwa wewenang penyidik adalah:
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana.
b. Melakukan tindak pertama pada saat ditempat kejadian.
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka.
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.
e. Melakukan pemeriksan surat dan penyitaan surat.
f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.
i. Mengadakan penghentian penyidikan.
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Proses penyidikan tersebut, dilakukan oleh pejabat penyidk sebagai suatu mekanisme yang panjang berdasarkan ketentuan KUHAP dapat digambar sebagaimana dikemukakan oleh Rusli Muhammad (2007: 60 – 66) antara lain:
a. Diawali dengan adanya bahan masukan suatu tindak pidana (Pasal 106, Pasal 7 ayat 1, Pasal 1 butir 19 KUHAP).
b. Melakukan tindakan pertama ditempat kejadian.
c. Pemanggilan dan pemeriksaan tersangka dan saksi (Pasal 112 dan Pasal 113).
d. Melakukan upaya paksa yang diperlukan (Pasal 16 – Pasal 49)
e. Pembuatan berita acara penyidikan (Pasal 112)
f. Penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum. (bandingkan juga dengan Yahya Harahap, 2002a: 134-150; Yesmil Anwar, 2009: 83;, Marpaung, 2009: 12- 14: Soetomo, 1998: 20-21; Hamzah, 2006: 123 – 125)
Tindakan lain penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti untuk membuat terang tindak pidana yang terjadi dan sekaligus menemukan siapa tersangkanya, kadang-kadang harus menggunakan upaya paksa yang mengurangi kemerdekaan seseorang dan mengganggu kebebasan. Namun semua itu dijamin dan dilindungi oleh undang-undang. Asalkan penggunaan wewenang yang dilaksanakan oleh penyidik tersebut, sesuai dengan ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan tersebut.
Hal ini penting karena kalau sampai terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia yang tidak sesuai dengan persyaratan sebagaimana yang ditentukan oleh Undang-undang, maka oknum penyidik tersebut dapat pula diambil tindakan hukum (lih: Pasal 422 KUHP).
KUHAP telah menentukan adanya beberapa tindakan atau upaya paksa yang dapat dilakukan sehubungan dengan tindak pidana yang yang dilakukan oleh seseorang, berbagai upaya paksa tersebut, dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Penangkapan, suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila cukup bukti guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang (Pasal 1 butir 20).
b. Penahanan, penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim, dengan penetapannya dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang (pasal 1 butir 21).
c. Penggeledahan. Dalam KUHAP tindakan penggeledahan dibagi dua yakni:
- penggeledahan rumah, tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang (Pasal 17).
- Penggeledahan badan, tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawahnya, serta untuk disita (Pasal 18).
d. Penyitaan, serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan (Pasal 16).
Setiap tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik yang bertentangan dengan ketentuan KUHAP. Penangkapan, panahanan, penggeledahan, penyitaan. Tersangka, kuasa hukum/ keluarganya yang merasa dalam tindakan upaya paksa tidak sesuai dengan mekanisme, tatacara, syarat-syarat dan alasan tindakan upaya paksa dapat melakukan upaya hukum praperadilan atas tidak sahnya upaya paksa. Tidak sahnya penangkapan, tidak sahnya penahan, tidak sahnya penggeledahan, tidak sahnya penyitaan (lih: Pasal 1 butir 10 dan Pasal 77 KUHAP). Bahkan atas kerugian dari terjadinya penangkapan yang salah orang (salah tangkap/ eror in persona), tersangka/ kuasa hukum atau kelurganya dapat mengajukan permohonan ganti rugi dan rehabilitasi (Pasal 95 KUHAP)
C. Prinsip-prinsip KUHAP
Prinsip atau asas hukum, sebagai sarana yang membuat hukum itu hidup, tumbuh dan berkembang serta menunjukan kalau hukum itu bukan sekedar kosmos kaedah. Kekosongan atau kumpulan dari peraturan belaka, sebab asas hukum itu mengandung nilai-nilai dan tuntutan etis. Asas hukum tidak akan habis kekuatannya dengan melahirkan suatu peraturan hukum, melainkan tetap saja ada dan akan melahirkan suatu peraturan selanjutnya.
Asas hukum menjadi alat anasir untuk mengisi kekosongan dan kesenjangan hukum. Asas hukum akan menghindari keterbelakangan aturan normatif dari realitas. Dari hukum yang normatif dan terus berjalan tertatih-tatih di belakang kenyataan (het recht hint antcher).
Banyak yang memberikan komentar diantara ahli yuridis mengenai asas/ prinsip hukum sebagai ground norm (Kelsen) dan penting dalam penyusunan sebuah aturan, sebagaimana dikemukakan oleh Suparto Wijoyo (2005: 45 – 49):
a. Asas hukum itu adalah tendensi-tendensi, yang disyaratkan pada hukum oleh pandangan kesusilaan kita (Paul Scholten}.
b. Asas hukum adalah ukuran-ukuran hukumiyah-etis, yang memberikan arah pembentukan hukum (Karl Larens).
c. Dari asas itulah hukum positif memperoleh makna hukumnya. Di dalamnya juga terdapat kriterium yang dengannya kualitas dari hukum itu dapat dinilai, hukum itu dapat dipahami dengan berlatar belakang suatu asas yang melandasi (Meuwissen)
d. Asas adalah anggapan-anggapan pertimbangan-pertimbangan fundamental yang merupakan dasar diletakkannya tingkahlaku kemasyarakatan (King Gie dan Ten Berg).
Dari uraian di atas, menunjukan betapa pentingnya asas hukum agar termuat dalam suatu peraturan perundang-undangan. Asas hukum adalah jiwa (soul) dan jantung dari peraturan hukum sehingga hukum itu menjadi kuat landasan sosiologis dan filsufisnya. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana memiliki landasan asas atau prinsip yang berfungsi sebagai patokan dalam penerapan penegakan hukum.
Asas yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, menurut Rusli Muhammad (2007: 15 - 24) terbagi atas asas yang bersifat umum dan asas yang bersifat khusus.
1. Asas umum
Asas umum merupakan asas yang menjadi dasar dan berlaku pada semua tingkat pemeriksaan, baik pada tingkat penyidikan, penuntutan maupun persidangan. Asas tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Asas kebenaran materil.
Asas ini berpedoman pada tujuan dari pada hukum acara pidana pada pencarian kebenaran sejati, mencari kebenaran yang sesungguhnya. mencari kebenaran materil (Beyond reasonal doubt). Melalui asas ini, para komponen pengadilan, hakim, jaksa,dan pengacara masih berusaha membuktikan pengakuan terdakwa tersebut dengan mengajukan bukti-bukti lainnya baik berupa saksi-saksi maupun barang bukti lainnya.
b. Asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya murah.
Asas ini menghendaki agar peradilan dilakukan dengan cepat. artinya, dalam melaksanakan peradilan diharapkan dapat diselesaikan dengan sesegera mungkin dan dalam waktu yang singkat. Sederhana mengandung arti bahwa dalam menyelenggarakan peradilan dilakukan dengan simpel, singkat dan tidak berbelit-belit. Biaya murah berarti penyelenggaraan peradilan dilakukan dengan menekan sedemikian rupa agar terjangkau oleh pencari keadilan, menghindari pemborosan, dan tindakan bermewah-mewahan yang hanya dapat dinikmati oleh yang berduit saja (seperti pameo dalam realisme hukum, why the have come out a head/ Mark Galanter).
Dalam Pasal 3 e Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan masalah asas ini ‘peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana, dan biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak harus ditetapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan. Yahya Harahap (2002a: 53) mengomentari asas ini dengan mengaitkan dengan ketentuan yang relevan dengan KUHAP terlihat dengan term “dengan segera’ Seperti segera mendapatkan pemeriksaan dari penyidik (Pasal 50 ayat 1). Beberapa rumusan Pasal-Pasal KUHAP diantaranya, Pasal 24 ayat 4, Pasal 25 ayat 4, Pasal 26 ayat 4, Pasal 27 ayat 4, Pasal 28 ayat 4, Pasal 50, Pasal 102 ayat 1, Pasal 107 ayat 3, Pasal 110 dan Pasal 140.
c. Asas praduga tidak bersalah.
Asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) adalah suatu asas yang menghendaki agar setiap orang yang terlibat dalam perkara pidana harus dianggap belum bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya itu. Dalam pemeriksaan perkara pada semua tingkatan pemeriksaan semua pihak harus menganggap bagaimanapun juga tersangka/ terdakwa maupun dalam menggunakan istilah sewaktu berdialog terdakwa.
Prinsip ini dipatuhi sebab merupakan prinsip selain mendapat pengakuan di dalam sidang pengadilan, juga mendapat pengakuan di dalam rumusan perundang-perundangan yaitu terdapat dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan “setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Prinsip ini berjalan dalam persidangan. Baik di dalam maupun di luar persidangan. Di dalam sidang tampak adanya nuansa yang masih menghargai terdakwa dengan tidak memborgol terdakwa, demikian juga terdakwa tidak boleh ditanya pertanyaan yang sifatnya menjeratkan.
d. Asas accusatoir
Asas accusatoir menunjukan bahwa seorang terdakwa yang diperiksa dalam sidang pengadilan bukan lagi sebagai objek pemeriksaan. Melainkan sebagai subjek. Asas accusatoir telah memperlihatkan suatu pemeriksaan terbuka, dimana setiap orang dapat menghadiri dan menyaksikan jalannya pemeriksaan. Terdakwa mempunyai hak yang sama nilainya dengan penuntut umum, sedangkan hakim berada di atas kedua belah pihak untuk menyelesaikan perkara pidana menurut hukum pidana yang berlaku.
Sebagai realisasi prinsip accusatoir di pengadilan terlihat. Terdakwa bebas berkata-kata. Bersikap sepanjang untuk membela diri dan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, seringnya terdakwa diam tanpa menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Adanya penasihat hukum yang mendampingi terdakwa untuk membela hak-haknya. Selain itu, terdakwa bebas mencabut pengakuan-pengakuan yang pernah ia kemukakan di luar sidang dan ini dapat dikabulkan sepanjang hal itu logis dan beralasan.
2. Asas khusus
Yang dimaksud dengan asas khusus adalah asas-asas yang hanya berlaku dan/ atau berkenaan dengan dilakukannya persidangan di pengadilan, asas-asas tersebut adalah sebagai berikut:
a. Asas legalitas
Asas legalitas, asas yang menghendaki bahwa penuntut umum wajib menuntut semua perkara pidana yang terjadi tanpa memandang siapa dan bagaimana keadaan pelakunya ke muka sidang pengadilan.
Menurut yahya harahap (2002a: 36), berdasarkan asas legalitas maka setiap orang, tersangka, terdakwa mempunyai kedudukan sama sederajat di hadapan hukum (equal before the law), mempunyai kedudukan perlindungan yang sama oleh hukum (equal protection on the law), mendapat perlakuan yang adil dan sama di bawah hukum (equal justice under law).
b. Asas sidang terbuka untuk umum
Setiap sidang yang dilaksanakan harus dapat disaksikan oleh umum. Pengunjung bebas melihat dan mendengar langsung jalannya persidangan. Tidak ada larangan menghadiri persidangan sepanjang tidak mengganggu jalannya persidangan itu. Bukti bahwa sidang terbuka untuk umum ditandai dengan ucapan hakim ketika membuka sidang dengan ucapan, “sidang dibuka dan terbuka untuk umum” ucapan hakim tersebut harus ada sebab tanpa ucapan tersebut sidang terancam batal.
Mengenai hal ini dapat di lihat Pasal 154 ayat 3 menegaskan “untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.”
Sidang harus terbuka untuk umum, suatu kehendak agar adanya kontrol langsung dari masyarakat terhadap jalannya persidangan itu. Adanya penyaksian dan pengontrolan masyarakat secara langsung ini diharapkan dapat memperkecil kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh hakim sehingga persidanganpun dapat berjalan dengan jujur tanpa pemihakan.
c. Asas peradilan dilakukan oleh hakim karena jabatannya.
Tidak ada suatu jabatan yang berhak untuk melakukan peradilan atau pemeriksaan hingga mengambil putusan kecuali hanya diberikan hakim. Hakim adalah jabatan yang bertugas, untuk mengadili setiap perkara yang diajukan kepadanya. Ini berarti bahwa pengambilan keputusan tentang salah tidaknya terdakwa di persidangan dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap (Pasal 31 Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman)
d. Asas pemeriksaan langsung.
Prinsip ini menghendaki agar pemeriksaan yang dilakukan itu harus menghadap terdakwa di depan sidang pengadilan, termasuk menghadapkan seluruh saksi-saksi yang ditunjuk langsung. Artinya hakim dan terdakwa atau para saksi berada dalam satu sidang yang tidak dibatasi oleh suatu tabir apapun. Dengan demikian, kehadiran terdakwa dan saksi dalam suatu persidangan pengadilan adalah mutlak, tanpa kehadirannya berarti sidang tidak akan mungkin dilakukan.
Ketentuan hal tersebut dapat disimpulkan dari Pasal 154 KUHAP menegaskan bahwa “hakim ketua sidang memerintahkan supaya terdakwa dipanggil masuk dan jika ia dalam tahanan, ia dihadapkan dalam keadaan bebas.”
e. Asas komunikasi dengan tanya jawab langsung.
Prinsip ini menghendaki bahwa di dalam persidangan hakim, terdakwa, dan saksi adalah berhubungan melalui pertanyaan langsung, lisan tanpa melalui perantara. Tidak pula melalui surat menyurat. Semua pertanyaan yang diajukan kepada terdakwa dan saksi harus diarahkan langsung dan semua pertanyaan yang muncul, baik dari jaksa penuntut umum maupun penasihat hukum juga harus melalui hakim, kemudian hakim meneruskan pertanyaan itu kepada terdakwa atau saksi.
Tanya jawab langsung hanya berlaku antara hakim dengan terdakwa dan saksi, bagi jaksa penuntut umum dan penasihat hukum pertanyaan diajukan kepada terdakwa dan saksi tidak boleh langsung, tetapi harus melalui hakim. Hakimlah yang akan meneruskan pertanyaan itu kepada terdakwa atau saksi.
Namun, semua jawaban yang diberikan, baik oleh terdakwa maupun saksi adalah jawaban yang langsung. Artinya mereka sendirilah yang menjawab pertanyaan-pertanyaan itu bukan hakim atau orang yang berada di luar persidangan.
Masih banyak muatan dan dasar yang dapat diajdikan sebagai prinsip / asas hukum dalam kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang diintrodusir dan disarikan oleh berbagai penulis dilapangan hukum acara pidana. Seperti Yahya Harahap (2002 a), Hamzah (2006). Marpaung (2009) yang tidak membagi penekanan pada asas umum dan asas khusus, namun apa yang dikemukakannya, sebahagian juga sudah diulas oleh Rusli Muhammad seperti telah diuraikan di atas.
Selain itu juga dalam tulisan L & jaw law Firm, juga menguraikan asas-asas yang harus dipatuhi sehingga tidak menimbulkan permasalahan hukum dalam peradilan pidana, yaitu:
a. Perintah tertulis.
b. Peradilan cepat (Pasal 50 KUHAP).
c. Memperoleh bantuan hukum (Pasal 54 KUHAP).
d. Terbuka (Pasal 64 KUHAP).
e. Presumption of innocence (Pasal 1 ayat 1 KUHAP, ju. Pasal 8 Undang-Undang nomor 4 Tahun 2004).
f. Pembuktian (Pasal 66 KUHAP).
g. Nonretroaktif (Pasal 1 ayat 1 jo. Pasal 4 dan Pasal 18 ayat 2 Undang-Undang nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM)
h. Concursus idealis (Pasal 63 ayat 1 KUHAP)
i. Pemberian ganti rugi (Pasal 95 ayat Pasal 97 KUHAP)
j. Wajib diberitahukan dakwaan dan dasar dakwaan oleh penuntut umum kepada terdakwa (Pasal 51 b).
k. Hadirnya terdakwa (Pasal 155 ayat 2 ).
l. Pengawasan pelaksanaan putusan.
m. Kejaksaan sebagai satu-satunya penuntut umum dan polisi sebagai penyidik.
n. Oportunitas.
o. Pemeriksaan secara langsung (Pasal 154 KUHAP).
p. Personalitas aktif dan personalitas pasif.
Asas persidangan terbuka untuk umum, asas pemeriksaan langsung dan komonikasi secara langsung, mendapat penjelasan dan komentar dari Bambang Poernomo (dalam Rusli Muhammad, 2007: 24) sebagai berikut:
a. Asas sidang terbuka untuk umum atau disebut geopend en openbaar verklaard, untuk kepentingan sosial.
b. Asas pemeriksaan langsung atau disebut het beginsel van onmidddelijkheid, untuk kepentingan Hak Asasi Manusia dan kebenaran yang dicapai melalui persidangan karena ada larangan mendapatkan bahan-bahan keterangan yang diperoleh dari luar sidang.
c. Asas komunikasi secara langsung dengan tanya jawab langsung antara dua pihak atau disebut oral debat agar terdapat pembahasan dengan jelas dan memperoleh gambaran perbuatan yang terjadi dari orang yang bersangkutan secara orisinil.
Jika diamati, semua asas/ prinsip KUHAP duraikan oleh beberapa penulis. Keberadaan asas juga menjadi pondasi pembentukan aturan yang mengutamakan kepentingan hak dan asasi setiap orang. Penempatan hak dan kewajiban secara proporsional antara penegak hukum, seperti kepolisian sebagai penyelidik dan penyidik, kejaksaan sebagai penuntut umum. Hakim sebagai pemeriksa dan pemutus sanksi atas tindak pidana. Agar tidak bertindak sewenang-wenang yang dapat mencabut hak dasar, hak kepemilikan. Terutama hak hidup dalam mendapatkan perlakuan yang layak di depan hukum.
D. Hak-hak Tersangka dalam Tingkat Penyidikan
Persepsi/ opini publik memandang hukum dari sudut eksternal, tidak melihat hukum secara integral, secara holistik. Tidak semata dari paradigma barbarian.
Sering seorang tersangka dikaitkan seolah-olah telah dihukum sebagai pelaku bersalah (guilty). Padahal seorang itu masih dalam tingkat penyelidikan, masih dalam tingkat penyidikan. Belum ada putusan pengadilan yang Berkekuatan Hukum Tetap (BHT).
Pertanyaan dari kalangan awam hukum (yang tidak mengerti hukum sebagai sebuah due process, telah menghukum seorang yang telah tertangkap sebagai orang yang benar dan terbukti bersalah. Mengapa seorang yang nyata-nyata bersalah belum juga dikenakan sanski pidana ? padahal orang tersebut sebagai tersangka baru dalam tingkat penyidikan. Kenapa seorang yang sudah bersalah, masih harus dilindungi hak asasinya ? kenapa tidak sekali langsung di hukum lalu dijatuhkan sanksi pada waktu itu.
Itulah yang membedakan hukum rimba (Hobbes) dengan hukum ciptaan manusia (Thomas Aquinas). Sekalipun manusia menghukum sesama manusia, tetap harus memberikan penghukuman secara manusiawi (humanity). Banyak bentuk eksekusi/ pidana mati yang dulunya dianggap tak manusiawi seperti mengikat korban di suatu tiang pancang, kemudian kedua tangan dan kakinya diikat dengan pelana kuda, lalu kuda tersebut dicambuk supaya berlari kencang, hingga tangan dan kaki seorang yang dihukum itu terpisah.
Di sebuah tanah lapang luas, seorang terpidana mati dieksekusi dengan potong leher. Di tempat keramaian. Ironisnya, masih ada seorang yang kecurian tasnya di tempat keramaian tersebut. Efektifkah pidana mati sebagai tindakan untuk menakut-nakuti/ fear (psikologi Zwang) ?
Sepertinya, tidak ! Maka lebih baik dari tujuan dan filosofi pemidanaan adalah rehabilitasi. Mengembalikan dalam keadaan semula (rehability). Menyembuhkan pelaku tindak pidana, agar kelak tetap dapat diterima oleh masyarakat/ khalayak.
Embrio munculnya perlakuan yang manusiawi terhadap pidana mati. Sedikit demi sedikit. Ada yang tembak mati. Ada dengan suntikan. Bahkan di era hukum modern (law and modern mind: Jerome Frank). Intervensi HAM telah mengundang perdebatan, pro dan kontra, masih layakkah pidana mati menjadi sanksi pidana ?
Perkembangan hukum modern juga yang telah menjadikan suatu negara sebagai negara yang berdasarkan atas hukum. Konsekuensinya adalah harus memberikan perlakuan yang sama. Penghormatan HAM, dan peradilan yang fair, bebas dan mandiri. Maka dalam setiap tindakan upaya paksa institusi negara oleh pejabat harus berdasarkan atas hukum dengan menghormati hak asasi dan kepentingan seorang yang diduga (patut di duga) sebagai pelaku (dader) tindak pidana.
Dalam hal ini pejabat penyidik yang memiliki tugas untuk menegakkan hukum, hukum pidana yang berada dalam ranah hukum publik. Upaya paksa seperti penggeledahan, penangkapan, dan penahanan tetap, harus memperhatikan hak-hak seorang yang di geledah, ditangkap dan ditahan.
1. Hak-hak Tersangka Saat Digeledah
Pada prinsipnya, tak seorangpun boleh dipaksa menjalani gangguan secara sewenang-wenang dan tidak sah terhadap kekuasaan pribadinya, kelurganya, rumahnya, atau surat menyuratnya. Sekalipun demikian undang-undang memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penggeledahan demi kepentingan penyidikan.
Penggeledahan di satu pihak berarti pemakaian paksaan untuk melaksanakan penyidikan oleh polisi, dilain pihak merupakan campur tangan tingkat berat terhadap keleluasaan serta hak milik pribadi seorang yang dilindungi oleh hukum. Adanya dua kepentingan ini mengharuskan penggeledahan dilakukan secara cermat dan hati-hati agar satu segi tidak menimbulkan kerugian pada milik orang lain sementara kepentingan penyidikanpun tetap dapat dilaksanakan.
Berikut ini, adalah hak seorang tersangka dan keluarganya yang digeledah atau rumahnya digeledah yaitu:
a. Berhak untuk menanyakan tanda pengenal penyidik yang akan melakukan penggeledahan.
b. Berhak untuk menanyakan surat perintah penggeledahan.
c. Berhak untuk mendapatkan penjelasan mengenai alasan penggeledahan.
d. Berhak untuk menandatangani berita acara penggeledahan.
e. Berhak untuk mendapatkan salinan berita acara
f. Berhak untuk mendapatkan perlakuan yang manusiawi saat digeledah.
g. Berhak untuk mencabut berita acara yang salinannya diberikan setelah lewat dua hari rumah digeledah (lih, L & J Law Firm, 2010: 31)
2. Hak-hak Tersangka Saat Ditangkap
Tujuan penangkapam ditegaskan dalam Pasal 16 KUHAP, yakni untuk kepentingan penyelidikan atau untuk kepentingan penyidikan. Sementara itu alasan penangkapan ditentukan dalam Pasal 17 KUHAP.
Berdasarkan Pasal ini, alasan penangkapan adalah adanya dugaan keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Bukti permulaan yang cukup inilah bukti yang menjadi permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14. Ini menunjukan bahwa penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang benar-benar melakukan tindak pidana (Pasal17 KUHAP).
Dari Pasal 18 dan Pasal 19 KUHAP dapat disimpulkankan, hak seorang yang ditangkap, yaitu:
a. Hak untuk meminta surat tugas dan surat perintah penangkapan terhadap dirinya kepada petugas yang melakukan penangkapan.
b. Hak untuk meminta penjelasan tentang tuduhan kejahatan yang dituduhkan kepadanya, tempat ia akan dibawah/ diperiksa atau ditahan, serta bukti awal terhadap tuduhan yang dituduhkannya.
c. Hak untuk diperlakukan sebagai orang yang tidak bersalah.
d. Hak untuk memperoleh perlakuan yang manusiawi dan hak-hak yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku selama penangkapan.
e. Hak untuk mendapatkan bantuan juru bahasa atau penerjemah yang akan menjelaskan kepada tersangka bahasa yang mudah dipahami.
f. Hak untuk mendapatkan juru bahasa yang menguasai bahasa isyarat apabila ia adalah seorang yang tuna rungu atau tunawicara.
g. Hak untuk segera mendapat pemeriksaan dari polisi atau penyidik.
h. Hak untuk didampingi oleh satu penasihat hukum atau lebih penasihat hukum yang dipilih sendiri untuk mendapatkan bantuan hukum.
i. Hak untuk mendapatkan penasihat hukum secara cuma-cuma atau gratis.
j. Hak untuk mengungkapkan pendapat baik secara lisan maupun tulisan tanpa adanya tekanan.
k. Hak untuk diam dalam arti tidak mengeluarkan pernyataan ataupun pengakuan. Jadi tidak diperkenankan adanya tekanan. (L & J. Firm, 2010: 48 – 49)
3. Hak-hak Tersangka Saat Ditahan
Pada umumnya terdapat tiga dasar penahanan. Pertama, dasar keadaan atau keperluan. Perintah penahanan atau penahanan lanjutan terhadap tersangka yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekuatiran bahwa tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi tindak pidana. Bukti permulaan yang cukup dapat diartikan bahwa aparat penegak hukum sudah mempunyai minimal dua alat bukti yang mendukung penahanan tersangka.
Kedua, dasar yuridis. Penahanan hanya dapat dilakukan kepada tersangka atau terdakwa melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian dalam tindak pidana tersebut dalam hal:
a. Tindak pidana itu diancam dengan penjara lima Tahun atau lebih.
b. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal-Pasal tertentu KUHAP, Undang-Undang Kepabeanan, Undang-Undang Imigrasi, Undang-undang Narkotika dan Obat Terlarang (Pasal 21 ayat 4 KUHAP)
Ketiga, dasar administratif. Dalam praktiknya, kondisi atau keadaan administratif juga sangat menentukan apakah tersangka ditahan atau tidak. Misalnya dalam hal tersangka berdomisili di tempat yang cukup jauh dari kantor polisi yang menyidik perkara tersebut. Dalam kondisi ini penahanan dilakukan dengan maksud untuk memudahkan dilakukan penyidikan.
Dalam proses penahanan, seorang tersangka memiliki hak-hak yang mesti diperhatikan oleh pejabat yang berwenang melakukan penahanan. Hak tersebut meliputi:
a. Menghubungi dan didampingi oleh penasihat hukum atau advokat.
b. Segera diperiksa oleh penyidik setelah ditahan.
c. Menghubungi dan menerima kunjungan pihak keluarga atau orang lain untuk kepentingan penangguhan penahanan atau usaha mendapat bantuan hukum.
d. Meminta atau mengajukan penangguhan penahanan.
e. Menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadi untuk kepentingan kesehatan.
f. Mendapat penangguhan penahanan atau perubahan status tahanan.
g. Menghubungi atau menerima kunjungan sanak keluarga.
h. Mengirim surat atau menerima surat dari penasihat hukum tanpa diperiksa oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim atau pejabat atau rumah tahanan negara.
i. Mengajukan keberatan atas penahanan atau jenis penahanan kepada penyidik.
j. Menghubungi dan menerima kunjungan rohaniawan.
k. Bebas dari tekanan seperti diintimidasi, ditakut-takuti dan disiksa secara fisik. (lih, L & J Law Firm, 2010: 59)
E. Asas Praduga Tidak Bersalah (Persumption Of Inocence)
Herbert L. Packer dalam bukunya yang terkenal The Limits of the Criminal Sanction (1968: 197); mengemukakan bahwa ada dua model dalam Sistem Peradilan Pidana, yaitu Crime Control Model (CCM), dan Due Process Model (DPM).
Dalam praktiknya, pertama, crime control model lebih mengutamakan profesionalisme pada aparat penegak hukum untuk menyingkap, mencari dan menemukan pelaku tindak pidana. Profesional yang merupakan sifatnya, maka peraturan yang bersifat formal sering dilanggar, dan kadang-kadang untuk mendapatkan barang bukti, para profesionalis ini memaksakan cara-cara illegal untuk tujuan cepat dan effisiensi. Sehingga untuk menghindari hambatan dari proses pidana itu maka kewenangan kebijakan dari penegak hukum itu seringkali diperluas. Dan dalam kenyataannya bahwa Crime Control Model ini sering dipertentangkan sebagai kurang manusiawi dan tidak menghormati Hak Asasi Manusia.
Kemudian model yang kedua yakni due process model dengan ciri-ciri selalu menganggap penting adanya refresif kejahatan, yaitu tahap ajudicatif (dalam sidang pengadilan harus ditentukan salah tidaknya tersangka), atas dasar legal guilt.
Kemudian selalu mengadakan chek and recheck (obstacle couse) dan hal ini harus diuji menurut peraturan. Ciri berikutnya adalah menghormati undang-undang. Kemudian menempatkan kedudukan yang sama bagi setiap orang di depan hukum (quality control). Sehingga model ini dikatakan orang lebih manusiawi dan menghormati Hak Asasi Manusia.
Dapat dikatakan dari sinilah, model sistem peradilan, due proces model, due proces of law ada implementasi unsur Hak Asasi Manusia dalam Hukum Acara Pidana. Dan memang asas praduga tak bersalah oleh berbagai penulis seperti Harahap (2002a), dan Hamzah (2006) mencantumkan serta menguraikan prinsip-prinsip KUHAP sebagai salah satu penghormatan hak asasi, mesti ada prinsip praduga tak bersalah pada orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Asas hukum praduga tak bersalah, sejak abad ke 11 dikenal di dalam sistem hukum Common Law, khususnya di Inggris, dalam Bill of Rights (1648). Asas hukum ini dilatarbelakangi oleh pemikiran individualistik - liberalistik yang berkembang sejak pertengahan abad ke 19 sampai saat ini.
Hak seseorang tersangka untuk tidak dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya (praduga tak bersalah) sesungguhnya juga bukan hak yang bersifat absolut, baik dari sisi formil maupun sisi materiel, karena hak ini tidak termasuk non-derogable rights seperti halnya hak untuk hidup atau hak untuk tidak dituntut dengan hukum yang berlaku surut (non-retroaktif).
Bahkan UUD 1945 dan Perubahannya, sama sekali tidak memuat hak, praduga tak bersalah, asas ini hanya dimuat dalam Pasal 8 UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan di dalam Penjelasan Umum UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
Rumusan kalimat dalam Pasal 8 UU Kekuasaan Kehakiman (2004), dan Penjelasan Umum KUHAP adalah ”Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/ atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya, dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Rumusan kalimat tersebut di atas, berbeda maknanya secara signifikan dengan rumusan asas praduga tak bersalah di dalam Pasal 14 Pasal 2, Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik (1966), yang dirumuskan dengan kalimat singkat: ”Everyone charged with criminal offence shall have the right to be presumed innocent until proved guilty according to law”.
Menurut Romli Atmasasmita (http://arisirawan. Wordpress.com/2010/05/23/) Untuk mencegah tafsir hukum yang berbeda-beda di atas, tampaknya solusi realistik telah diberikan oleh Kovenan, yaitu dengan merinci luas lingkup atas tafsir hukum ”hak untuk dianggap tidak bersalah” yang meliputi 8 (delapan) hak, yaitu:
1. Hak untuk diberitahukan jenis kejahatan yang didakwakan.
2. Hak untuk disediakan waktu yang cukup dalam mempersiapkan pembelaannya dan berkomunikasi dengan penasehat hukum yang bersangkutan.
3. Hak untuk diadili tanpa ditunda-tunda.
4. Hak untuk diadili yang dihadiri oleh yang bersangkutan.
5. Hak untuk didampingi penasehat hukum jika yang bersangkutan tidak mampu.
6. Hak untuk diperiksa dan memeriksa saksi-saksi yang berlawan dengan yang bersangkutan.
7. Hak untuk memperoleh penerjemah jika diperlukan oleh yang bersangkutan.
8. Hak untuk tidak memberikan keterangan yang merugikan dirinya atau hak untuk tidak dipaksa mengakui perbuatannya.
Sejalan dengan Konvenan tersebut, asas praduga tak bersalah harus diartikan, bahwa selama terhadap seorang tersangka/ terdakwa diberikan secara penuh hak-hak hukum sebagaimana dirinci dalam konvenan tersebut, maka selama itu pula perlindungan atas asas praduga tak bersalah, telah selesai dipenuhi oleh lembaga penegak hukum.
Jika Packer (1968) dan Friedman (1994) mengemukakan bahwa dasar yang memotivasi perancang Undang-Undang KUHAP adalah due process of law, maka lain halnya dengan Harahap (2002a: 40) justru melihat dari adanya penekanan prinsip accusatoir (accusatory procedure), yang menempatkan kedudukan tersangka dalam setiap tingkat pemeriksaan:
a. Adalah subjek, bukan sebagai objek pemeriksaan, karena itu tersangka harus didudukan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat dan martabat harga diri.
b. Yang menjadi objek pemeriksaan dalam prinsip accusatoir adalah kesalahan tindak pidana, yang dilakukan tersangka. Karena itulah pemeriksan ditujukan
Olehnya itu, karena menempatkan tersangka bukan lagi sebagai objek yang terperiksa (accusatoir), maka dengan mengacu pada penjelasan umum butir 3 huruf c, asas presumption of innocent telah menjadi landasan dalam penerbitan KUHAP. Bahkan hak tersangka selama pemeriksaan telah ditegaskan dalam KUHAP yang harus dihormati dan diperhatikan oleh penyidik sebagai berikut:
a. Hak untuk memberikan keterangan secara bebas tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun (Pasal 117 ayat 1 KUHAP).
b. Hak untuk dicatat keterangan yang diberikannya dengan seteliti-telitinya sesuai dengan kata-kata yang dipergunakan oleh tersangka sendiri (Pasal 117 ayat 2 KUHAP).
c. Hak untuk meneliti dan membaca kembali hasil pemeriksaan sebelum tersangka menandatanganinya (Pasal 118 ayat 1 KUHAP).
Jaminan asas praduga tak bersalah dan prinsip pemeriksaan accusatoir ditegakkan dalam segala tingkat pemeriksaan. Untuk menopang asas praduga tak bersalah dan prinsip accusatoir dalam penegakan hukum. KUHAP telah memberi perisai kepada tersangka/ terdakwa berupa seperangkat hak-hak kemanusiaan yang wajib dihormati dan dilindungi oleh aparat penegak hukum.
Dengan perisai hak-hak yang diakui oleh hukum , secara teoritis sejak semula tahap pemeriksaan, tersangka/ terdakwa sudah mempunyai posisi yang setaraf dengan pejabat pemeriksa dalam kedudukan hukum, berhak menuntut perlakukan yang ditegaskan dalam KUHAP:
a. Segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya ditujukan kepada penuntut umum (Pasal 50 ayat 1).
b. Segera diajukan ke pengadilan dan segera diadili oleh pengadilan (Pasal 50 ayat 2 dan 3).
c. Tersangka berhak untuk diberitahu dengan jelas dengan bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai (Pasal 51 ayat 1).
d. Berhak untuk diberitahu dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai (Pasal 51 ayat 2).
e. Berhak memberi keterangan secara bebas baik kepada penyidik pada taraf penyidikan maupun pada proses pemeriksaan di sidang pengadilan (Pasal 52).
f. Berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan, juru bahasa pada setiap tingkat pemeriksaan, jika tersangka/ terdakwa tidak mengerti bahasa Indonesia (Pasal 53 ayat 1 jo. Pasal 177 ayat 1).
g. Berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan (Pasal 54).
h. Berhak memilih sendiri penasihat hukum yang disukainya (Pasal 55).
i. Berhak mengunjungi dan dikunjungi dokter pribadinya selama ia dalam tahanan (Pasal 58).
j. Berhak untuk diberitahukan kepada keluarganya atau orang yang serumah dengan dia atas penahanan yang dilakukan terhadap dirinya. Pemberitahuan itu dilakukan oleh pejabat yang bersangkutan (Pasal 59).
k. Berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan artau orang lain guna mendapatkan jaminan atas penangguhan penahanan atau bantuan hukum (Pasal 60).
l. Berhak secara langsung atau dengan perantaraan penasihat hukumnya untuk menghubungi dan menerima kunjungan atas sanak keluarga, sekalipun hal itu tidak ada sangkutpautnya dengan kepentingan tersangka/ terdakwa (Pasal 61)
m. Berhak mengirim surat dan menerima surat setiap kali diperlukannya yaitu kepada dan dari penasihat hukum dan sanak kelurganya (Pasal 62 ayat 1).
n. Surat menyurat ini tidak boleh diperiksa oleh aparat penegak hukum, kecuali jika terdapat cukup alasan untuk menduga adanya penyalahgunaan surat menyurat tersebut (Pasal 62 ayat 2 ).
o. Terdakwa berhak untuk diadili dalam sidang pengadilan yang terbuka untuk umum (Pasal 64).
p. Berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan bagi dirinya (saksi a de charge, Pasal 65).
q. Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (Pasal 66).
r. Berhak menuntut ganti rugi dan rehabilitasi atas setiap tindakan dan perlakukan, penagkapan, penahanan, dan penuntutan yang tidak sah atau yang bertentangan degan hukum (Pasal 68). (Lih, Harahap, 2002a: 41 – 42, bandingkan juga dengan Yesmil Anwar dan Adang, 2009: 294 – 296)
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa ada dua yang mendasari sehingga presumption of innocenct eksis dalam KUHAP, yakni due process of model dan prinsip aqusatoir, semua itu dirangkai oleh penghargaan dan penghornatan terhadap Hak Asasi Manusia.
Terlepas dari asas praduga tak bersalah yang terkesan individualis, hanya mengutamakan hak tersangka, lalu melupakan hak atas kepentingan umum (public interest). Tidaklah menjadi alasan, oleh karena KUHAP juga menganut prinsip kebenaran sejati alias materil. Bahkan dalam penekanan hak asasi yang lebih jauh, sudah mejadi kewajiban untuk mengutamakan hak-hak seorang tersangka sebelum pemeriksaan dengan penerapan prinsip Miranda Rule (a right to remaint silent, a right to the presence of an attorney or the right counsil).
F. Praperadilan Sebagai Upaya Hukum Tersangka dalam Tingkat Penyidikan
Lembaga praperadilan merupakan hasil usaha tuntutan terhadap perlindungan Hak Asasi Manusia, terutama mereka yang terlibat di dalam perkara pidana. Tujuan dibentuknya praperadilan adalah demi tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi tersangka dalam tingkat pemeriksaan penyidikan.
Preperadilan berfungsi sebagai alat kontrol terhadap penyidik karena penyalahgunaan wewenang yang diberikan kepadanya, kontrol tersebut dilakukan dengan beberapa cara:
a. Control vertical, kontrol dari atas ke bawah.
b. Control horizontal, kontrol kesamping antara penyidik, penuntut umum, timbal balik, tersangka, keluarganya atau pihak ketiga.
Wewenang yang diberikan oleh penyidik berdasarkan ketentuan dalam KUHAP, dapat melakukan tindakan upaya paksa. Seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. Tujuan dari upaya paksa tersebut, tidak lain adalah guna kepentingan umum. Melindungi hak-hak publik dengan atas nama kekuasaan/kewenangan pejabat negara (penyidik). Penyidikan dengan tindakan atau upaya paksa terhadap orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana adalah untuk mencari bukti dan titik terang siapa pelaku (dader) atau tersangkanya.
Penyidik dalam melakukan tindakan upaya paksa berada dalam batasan dan ketentuan yang diikat oleh, syarat, alasan, dan tata cara upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. Jika penyidik melakukan tindak yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku/ KUHAP (undue process of law) atau melakukan tindakan upaya paksa seperti penangkapan dan salah orang dalam penangkapan. Maka terhadap orang, keluarga atau kuasa hukumnya dapat melakukan upaya hukum praperadilan melalui Pengadilan Negeri atas tidak sahnya upaya paksa (dwangs).
Ketentuan tentang wewenang praperadilan ditegaskan dalam Pasal 1 butir 10 jo. Pasal 77 KUHAP. Dapat dikatakan, bersumber dari pasal-pasal tersebut, akan tetapi ada lagi kewenangan lain yakni memeriksa dan memutus ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana juga ditegaskan dalam Pasal 95 dan Pasal 97.
Lebih jelasnya, Yahya Harahap (2002b: 4) mengemukakan wewenang yang diberikan Undang-Undang kepada praperadilan sebagai berikut:
a. Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya upaya paksa.
b. Memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan.
c. Memeriksa tuntutan ganti rugi.
d. Memeriksa permintaan rehabilitasi.
e. Memeriksa terhadap sah/ tidaknya tindakan penyitaan.
Berdasarkan wewenang praperadilan, ketentuan tentang siapa yang berwenang mengajukan praperadilan dapat terlihat di sini. Pihak yang dapat mengajukan praperadilan sebagaimana ditegaskan dalam pasal 79 dan Pasal 80 KUHAP
Pasal 79: Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebut alasannya.
Pasal 80: Permintaan untuk pemeriksaan sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebut alasannya.
Dengan memerhatikan ketentuan Pasal 79, Pasal 80 KUHAP tersebut dapat diketahui siapa saja yang diberi wewenang untuk mengajukan praperadilan:, yaitu:
a. Tersangka, keluarga, atau kuasa hukumnya.
b. Penyidik atau penuntut umum.
c. Pihak ketiga yang berkepentingan.
Praperadilan sebagai upaya hukum yang memberikan hak kepada tersangka, kuasa hukum atau keluarganya dalam kaitannya dengan fungsi hukum acara pidana dan tujuan praperadilan yakni untuk melindungi para tersangka dan terdakwa dari tindakan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum, menurut Wahyu Effendi (Rusli Muhammad, 2007: 94) yaitu:
a. Agar aparat penegak hukum hati-hati dalam melakukan tindakan hukum dan setiap tindakan hukum harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku, dalam arti ia harus mampu menahan diri serta menjauhkan diri dari tindakan sewenang-wenang.
b. Ganti kerugian dan rehabilitasi merupakan upaya untuk melindungi warga negara yang diduga untuk melakukan kejahatan yang ternyata tanpa didukung dengan bukti-bukti yang meyakinkan sebagai akibat dari sikap dan perlakuan dari penegak hukum yang tidak mengindahkan prinsip hak-hak asasi manusia.
c. Hakim dalam menentukan ganti kerugian harus memperhitungkan dan mempertimbangkan dengan seksama, baik untuk kepentingan orang yang dirugikan maupun dari sudut kemampuan finansial pemerintah, dalam memenuhi dan melaksanakan keputusan hakim itu.
d. Dengan rehabilitasi, maka orang tersebut telah dipulihkan haknya sesuai dengan keadaan semula yang diduga telah melakukan kejahatan.
e. Kejujuran yang telah dijiwai KUHAP harus diimbangi dengan integritas dan dedikasi oleh aparat penegak hukum karena tanpa adanya keseimbangan itu semuanya akan sia-sia belaka.
Titk berat pemeriksaan praperadilan dimulai untuk menentukan apakah petugas telah melaksanakan atau tidak melaksanakan pemeriksaan terhadap tersangka sesuai dengan undang-undang atau apakah petugas telah melaksanakan perintah jabatan atau tidak. Selain itu, tindakan sewenang-wenang yang menyebabkan kekeliruan dalam penerapan hukum yang mengakibatkan kerugian dan hak asasi tersangka menjadi kurang terlindungi.
G. Miranda rule Sebagai Hak Tersangka Sebelum Pemeriksaan
Di sebuah negara bagian, di Amerika Serikat. Arizona. 1963, seorang pemuda yang bernama Ernesto Miranda ditangkap oleh kepolisian karena diduga melakukan tindakan kriminal penculikan dan pemerkosaan terhadap seorang perempuan berusia 18 Tahun.
Ernesto Miranda, lalu ditangkap dan diseret ke ruang interogasi. Ernesto Miranda akhirmya membuat pernyataan tertulis bahwa ia telah menculik dan memperkosa perempuan yang dimaksud. Namun, pada awalnya ia tidak diberikan hak untuk mendapatkan pengacara guna mendampinginya dalam pemeriksaan tersebut. Pernyataan tertulis yang dibuat oleh Miranda kemudian dijadikan alat bukti pengakuan terdakwa, sehingga dihukum penjara selama 20 Tahun.
Atas vonis di persidangan. Ernesto Miranda dan kuasa hukumnya mengajukan keberatan ke Mahkamah Agung Amerika Serikat dengan argumentasi hukum 3 kasus yang serupa. Pengakuan yang dibuat Miranda tidak sah, karena pada awalnya, sebelum pemeriksan, tidak diberikan hak-haknya sebagai tersangka. Namun hal tersebut di Tahun 1966 tidak membuat Miranda bebas, hanya penangguhan hukuman saja.
Di tingkat Mahkamah Agung. Jaksa Penuntut Umum mencari pengakuan lain yang dapat memberatkan Ernesto Miranda. Sebuah pengakuan akhirnya didapat dari mantan kekasihnya. Yang mebuat Ernesto Miranda dihukum penjara selama 11 Tahun. Baru 1972 dibebaskan bersyarat. Setelah bebas iapun masih sering ditangkap dan dikembalikan ke penjara untuk beberapa kali.
1976, Ernesto Miranda yang berumur 34 Tahun, ditemukan meninggal setelah ditikam pisau dalam perkelahian di sebuah Bar. Polisi menangkap, yang diduga menikam Ernesto Miranda. Hal yang membedakan dengan kasus Miranda adalah orang yang diduga membunuhnya itu tidak mau menjawab pertanyaan dari Kepolisian dalam pemeriksaan. Akhirnya orang tersebutpun dilepaskan dan tidak ada seorangpun didakwa melakukan pembunuhan terhadap Miranda.
Ada banyak hal yang menjadi signifikan, menjadi catatan, dan penelitian ilmiah (scientific) dalam peritiwa tersebut. Adalah pengabaian hak-hak Miranda. Kematian Miranda. Disparitas dalam pemeriksaan oleh kepolisian. Tidak tertangkapnya pembunuh Miranda. Negara Amerika, negara yang dianggap sebagai negara tonggak berdirinya Hak Asasi Manusia. Lalu mengapa masih terjadi pelanggaran hak asasi tersangka ? atas nama Ernesto Miranda yang menjamin perlindungan hak, mengutamakan hak indiviudu (paham negara hukum liberal). Dengan adanya pernyataan juga dari Mahkamah Agung pada Tahun 1966 yang menyatakan bahwa pengakuan Miranda tidak sah. Barulah hak-hak tersangka mulai diperhatikan, dan nama Ernesto Miranda diabadikan sebagai tonggak prinsip perlindungan terhadap tersangka, sebelum pemeriksaan yang dikenal dengan term, miranda rule principle.
Miranda principle dalam praktiknya dibagi menjadi tiga bagian sebagaimana dikemukakan Sofyan Lubis (2010: 15 – 18) sebagai berikut:
a. Miranda rule adalah suatu aturan yang mengatur hak-hak seseorang yang dituduh atau disangka melakukan tindak pidana, sebelum diperiksa oleh penyidik, aturan tersebut mewajibkan polisi untuk memberikan hak-hak seseorang, hak untuk diam. Karena segala sesuatu yang dikatakan seorang tersangka dapat digunakan untuk melawannya/ memberatkannya di pengadilan, kemudian hak untuk mendapatkan. Menghubungi penasihat hukum/ advokat untuk membela hak-hak hukumnya, dan jika ia tidak mampu. Maka ia berhak untuk disediakan penasihat hukum/ advokat oleh negara. Dalam hal ini tentu oleh institusi yang bersangkutan.
b. Miranda right, identik dengan miranda rule. Cuma lebih ditekankan pada hak untuk diam, dan menolak untuk menjawab pertanyaan polisi atau yang menangkap sebelum diperiksa oleh penyidik. Hak untuk menghubungi penasihat hukum dan mendapatkan bantuan hukum dari penasihat hukum/ advokat yang bersangkutan. Hak untuk memilih sendiri penasihat hukum. Hak untuk disedikan penasihat hukum, jika tersangka tidak mampu menyediakan penasihat hukum sendiri.
c. Miranda warning adalah peringatan yang harus diberikan oleh penyidik kepada tersangka. Dalam praktiknya di Amerika warning ini dikenal dengan the four miranda warning, “you have the right to remain silent, anything you say can be used against you in acourt of law. You have the right to speak to an attorney, and to attorney present during any questioning. If yuo can’t affor a lawyer, one will be provide for you at government expense..” tersangka sebelum diinterogasi harus diberikan informasi jelas bahwa ia berhak untuk diam, dan segala apa yang dikatakannya bisa digunakan untuk melawannya di pengadilan. Tersangka berhak untuk mendapatkan bantuan dari penasiaht hukum jika tersangka tidak mampu maka akan disediakan penasihat hukum secara gratis.
Prinsip-prinsip miranda rule, di negara Indonesia telah diakomodasi ke dalam KUHAP, yaitu hak untuk mendapatkan/ menghubungi penasihat hukum/ advokat, dan jika tidak mampu maka berhak untuk disediakan penasihat hukum/ advokat. Hak untuk mendapatkan bantuan hukum diakomodasi dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 114. KUHAP. Sedangkan jika tidak mampu, tersangka berhak untuk disediakan penasihat hukum oleh pejabat bersangkutan atau penyidik (Pasal 56 ayat 1 KUHAP).
Oleh karenanya, mengingat hak-hak seorang atas miranda rule dapat juga dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran hak hukum dan Hak Asasi Manusia sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19 ayat 4 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM “hak untuk mendapatkan bantuan hukum sejak penyidikan sampai adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, (lih juga: Pasal 17, Pasal 5 ayat 2, Pasal 18 ayat 1, Pasal 18 ayat 3, Pasal 18 ayat 2, Pasal 18 ayat 5 UU HAM).”
Maka setiap adanya pelanggaran atas miranda rule disebut juga sebagai pelanggaran hak asasi tersangka. atas pelanggaran tersebut tersangka berhak mengajukan tuntutan atau keberatan melalui upaya praperadilan, khususnya perkara praperadilan yang disangkakan dilakukan oleh tersangka yang diancam dengan pidan lima Tahun ka atas sebagaimana ditegaskan dalam pasasl 56 ayat 1 KUHAP. (http://www.damang.web.id/)
Perjuangan akan kekokohan praktik penghormatan harkat dan martabat, Hak Asasi Manusia. Adalah sejarah dari perjalanan panjang. Perjuangan dari peperangan yang telah mengorbankan jutaan manusia. Ada peristiwa perang. Perang dunia pertama dan perang dunia kedua. Ada pembantain etnis, ras, seperti yang terjadi dalam regim Hitler. Ada pembantaian etnis di Ruanda (ICTR), ada pemusnahan secara paksa etnis di Yogoslavia (ICTY). Pemberontakan di Tiananmen. Pemusnahan etnis di Kamboja. Dan berbagai peristiwa kekejaman lainnya menjadikan Hak Asasi Manusia penting untuk dipositifkan sebagaimana usul David Hume, Austin dan Hart.
Hak Asasi Manusia sebagai hak yang lahir secara adil kodrati (Hobbes, Rosseau, Kant, Vasak, Weissbrodt; Lih, Davidson, 1994: 30 – 63) mutlak untuk diberi kepastian dalam tatanan yang fundamental. Agar tidak menjadi impian, cita-cita dan angan-angan semata. Maka yang amat menonjol dalam konvensi (bisa dibaca: perjanjian) sebagai instrumen hukum adalah pengakuan hak-hak politik. Bukan hak-hak ekonomi, hak sosial dan budaya. Kalau dilihat dalam realitasnya organ PBB memang dalam struktur organisasinya adalah pertarungan dua buah ideologi. Pertarungan antara liberalisme dan sosialisme. Dapat dikatakan pertarungan antara ICCPR yang terlegitimasi dalam organ Dewan Keamanan dan ICESCR yang diejawantahkan dalam organ Majelis Umum yang banyak dipegang atau diisi oleh negara berkembang untuk memperjuang hak-hak ekonomi, sosial dan kebudayaan.
Terlepas dari dua kepentingan tersebut, jelasnya hak-hak politik tetap menaruh harapan bagi perlakuan yang adil, fair, dan sama dari negara untuk menghargai hak kodrati yang melekat pada setiap individu sebagai hak dasar yang sudah ada (Thomas Aquinas) sejak ia lahir. Kalaupun ada peran negara untuk menghormati hak individu sebagai hak dasar adalah prinsip resiprositas (timbal balik/ reciprocity, lih, Cessie, 2005: 237) semata sebagai penyerahan kepercayaan dalam suatu kontrak sosial.
Dapat dikatakan, semua negara (=195) di dunia tidak ada yang tidak mengakui Hak Asasi Manusia sebagai hak yang penting untuk dimasukkan dalam landasan konstitusionalnya. Apalagi negara yang mengutamakan prinsip negara hukum (rechtstaar/ rule of law) maka harus meletakkan jaminan dan perlindungan terhadap hukum dan Hak Asasi Manusia. karena jaminan dan pelayanan Hak Asasi Manusia sebagai salah satu unsur negara hukum.
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Oleh karena itu Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menunjukan nilai normatifnya Hak Asasi Manusia sebagai hak yang fundamental. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 “semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam martabat dan hak. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan harus bertindak sesama manusia dalam semangat persaudaraan.”
Di Indonesia, pengertian Hak Asasi Manusia (HAM) ditegaskan dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”
Implementasi Hak Asasi Manusia secara tersirat sebenarnya sudah diakui dalam KUHAP. Menurut ketentuan Pasal 117 ayat 1, “keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun.” Artinya dengan adanya Pasal tersebut, pemeriksaan oleh penyidik untuk kepentingan penyidikan harus sesuai dan menghormati HAM.
Selain itu, pemuatan hak asasi dalam tugas kepolisian sebagai penyidik, juga ditegaskan dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, “Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan terhadap masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.” Kemudian juga ditegaskan dalam Pasal 19 ayat 1 “bahwa polisi harus senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum, dan mengindahkan norma agama, kesopanan, dan kesusilaan dan menjunjung tinggi HAM.”
Dalam kaitannya dengan wewenang polisi dalam melakukan pemeriksaan terhadap tersangka guna mendapatkan keterangan yang berkaitan dengan suatu tindak pidana, maka prinsip yang harus dipegang adalah berdasarkan Pasal 33 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 menegaskan “bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakukan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
Mengenai arti dari penyiksaan itu sendiri kemudian ditegaskan dalam Pasal 1 butir 4 :
“Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau untuk rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan atau pejabat publik.”
Dalam proses peradilan pidana yang merupakan serangkaian rantai-rantai (the series of chains). Polisi yang menempati posisi sebagai penjaga pintu (as agate of keeper), meminjam istilah Sunarto dalam Muladi, 2005: 142), tentunya juga harus memperhatikan hak-hak tersangka. Universal Declaration of Human Right diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1949). Deklarasi ini memuat 30 Pasal yang memuat berbagai hak asasi. Seperti hak untuk hidup, hak untuk istirahat, dan hak untuk mendapatkan hiburan.
Dalam konteks dengan kewenangan polisi sebagai penyidik hak yang penting untuk diperhatikan adalah hak untuk hidup, yang meliputi hak untuk bebas dari eksekusi di luar pengadilan (extra judicial execution), dan penghilangan paksa (disapearences), hak untuk bebas dari penyiksaan dan penangkapan di luar wewenang (freedom from torture and arbitary arrest). Olehnya itu, penting untuk melihat bagaimana semestinya perlakuan tersangka yang relevan dalam DUHAM. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam DUHAM jika duraikan secara sistematis, sebagai berikut:
a. Semua orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu (Pasal 3).
b. Tidak seorangpun boleh disiksa atau diperlakukan atau dihukum secara tidak manusiawi atau dihina (Pasal 5)
c. Semua orang berhak atas atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada (Pasal 6).
d. Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi, semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan deklarasi ini (Pasal 7)
e. Tidak seorangpun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang sewenang-wenang (Pasal 9).
f. Setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan suatu tindak pidana, dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya menurut hukum dalam suatu pengadilan yang terbuka, dimana ia memperoleh semua jaminan untuk pembelaannya (Pasal 11 ayat 1 ).
International Convenant on Civil and Political Rigt (ICCPR) tampaknya juga memberikan pengaturan hak hidup sebagai hak fundamental. Konvenan ini menjunjung tingi hak atas kebebasan dan keamanan pribadi serta memberi fondasi bagi perlindungan dalam penahanan. Dalam Pasal 9 ICCPR menegaskan:
a. Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak seorangpun dapat ditangkap secara sewenang-wenang. Tidak seorangpun dapat dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum.
b. Setiap orang ditangkap wajib diberitahu pada saat penangkapannya dan harus segera mungkin diberitahu mengenai tuduhan yang dikenakan kepadanya.
c. Setiap orang yang ditahan atau berdasarkan tuduhan pidana, wajib segera dihadapkan ke pejabat pengadilan atau pejabat lain yang diberi kewenangan oleh hukum untuk menjalankan kekuasaan peradilan, dan berhak untuk diadili dalam jangka waktu yang wajar, atau dibebaskan. Bukan merupakan suatu ketentuan umum, bahwa orang yang menunggu diadili harus ditahan, tetapi pembebasan dapat diberikan dengan atas dasar jaminan untuk hadir pada waktu persidangan, pada setiap tahap pengadilan dan pada pelaksanaan putusan, apabila diputuskan demikian.
d. Siapapun yang dirampas, kebebasannya dengan cara penangkapan, penahanan, berhak untuk disidangkan di depan pengadilan tanpa menunda-nunda dapat menentukan keabsahan penangkapannya dan memerintahkan pembebasannya apabila penahanan tidak sah menurut hukum.
Dalam memperkuat dan menjamin ketentuan untuk perlindungan HAM dalam due process of law pada sistem peradilan pidana. Terutama dalam tahap/ fase pra-ajudikasi. Dapat jiuga didasarkan pada konvensi anti penyiksaan yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998. Penyiksaan berdasarkan konvensi ini diartikan:
“Sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari dari orang ketiga atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi apabila rasa sakit atau penderitaan itu ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan atau sepengetahuan pejabat publik. Hal ini tidak meliputi rasa sakit dan penderitaan yang semata-mata timbul melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku.”
Konsep dasar Hak Asasi Manusia adalah ketentuan yang pada mulanya hanya berada dalam perdebatan sebagai bagian hukum alam. Kemudian dipositifkan dalam suatu ketentuan normatif sebagai Ilmu Hukum Murni (Kelsen). Atau sebagai ilmu hukum positif/ normatif (Mewissen). Telah mempengaruhi sistem peradilan pidana mulai dari tingkat peyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Pengadilan yang mengadili terdakwa harus bersikap fair dan tidak memihak (imparsialitas), beban pembuktian dibebankan bukan kepada terdakwa (defendant), melainkan kepada penyidk dan penuntun. Semua prinsip KUHAP tersebut adalah, bahagian dari implementasi konsep dasar HAM.
B. Urgensi Penyidikan dan Kewenangan Penyidik dalam KUHAP
Apa pentingnya penyidikan (opsporing/ Belanda, investigation/ inggris, penyiasatan atau siasat/ Malaysia) ? adalah tidak lain untuk melindungi hak seorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana. Maka harus ada bukti permulaan yang cukup untuk melakukan penangkapan. Penyidikan sebagai rangkaian dari proses penyelidikan, bermaksud untuk menemukan titik terang siapa pelaku atau tersangkanya. Pasal 1 butir 2 menegaskan “penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini (baca: KUHAP) untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya”
Penyidikan diatur di dalam Pasal 102 s/d Pasal 138 Bagian ke-dua BAB XIV KUHAP. Penyidik dan penyidik pembantu diatur dalam Pasal 6 s/d Pasal 13 bagian kesatu dan kedua BAB IV KUHAP.
Selain penyidikan ada serangkaian tindakan yang mengawalinya. Tindakan pejabat tersebut disebut penyelidikan. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. (Pasal 1 butir 5).
Di dalam buku pedoman pelaksanaan KUHAP ditegaskan latar belakang, motivasi, dan urgensi diintrodusirnya fungsi penyelidikan sebagai rangkaian, atau tindakan awal dari penyidikan dalam menemukan titik terang siapa pelakunya (dader) yaitu:
a. Adanya perlindungan dan jaminan terhadap Hak Asasi Manusia.
b. Adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa.
c. Ketatnya pengawasan dan adanya lembaga ganti rugi dan rehabilitasi.
d. Tidak setiap peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu menampakkan bentuknya secara jelas sebagai tindak pidana, maka sebelum melangkah lebih lanjut dengan melakukan penyidikan, dengan konsekuensi digunakannnya upaya paksa, perlu ditentukan lebih dahulu berdasarkan data dan keterangan yang didapat dari hasil penyelidikan bahwa peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu benar adanya merupakan tindak pidana sehingga dapat dilanjutkan dengan tindakan penyidikan.
Jika diamati secara sepintas lalu. Penyelidikan sepertinya identik dengan penyidikan. Tetapi sebagaimana dikemukakan oleh Yahya Harahap (2002a: 109) kedua istilah tersebut sungguh berbeda.
“Perbedaannya dapat dilihat dari sudut pejabat yang melaksanakannya. Penyelidik pejabat yang melaksanakannya adalah penyelidik yang terdiri atas pejabat Polri saja tanpa ada pejabat lainnya. Sedangkan penyidikan dilakukan oleh penyidik yang terdiri atas pejabat polri dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu (lih: Pasal 6 KUHAP dan Pasal 2 ayat 2 PP Nomor 27 Tahun 1983). Perbedaan lain yakni dari segi penekanannya. Penyelidikan pada tindakan mencari dan menemukan peristiwa yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidana, sedangkan penyidikan titik berat penekanannya diletakkan pada tindakan mencari serta mengumpulkan bukti, supaya tindak pidana yang ditemukan menjadi terang, serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya.”
Pada dasarnya tujuan dari pada penyidikan terhadap tindak pidana menurut Rusli Muhammad (2007: 58 - 60) bagi pejabat penyidik diharapkan dapat diperoleh keterangan berupa:
a. Jenis dan kualifikasi tindak pidana yang terjadi.
b. Waktu tindak pidana dilakukan.
c. Tempat terjadinya tindak pidana.
d. Dengan apa tindak pidana dilakukan.
e. Alasan dilakukannya tindak pidana.
f. Siapa pelaku tindak pidana
Penyidikan yang dilakukan oleh penyidik harus diberitahukan kepada Penuntut Umum. Jika penyidikan telah selesai, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada Penuntut Umum. Kadang-kadang hasil penyidikan dinilai oleh Penuntut Umum kurang lengkap sehingga perlu dilengkapi penyidik. Jika terjadi demikian, Penuntut Umum harus segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi. Apabila berkas perkaranya dikembalikan, penyidik harus segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari Penuntut Umum.
Dalam melaksanakan tugas dan penyidikan untuk mengungkap suatu tindak pidana. Penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 7 ayat 1 KUHAP jo. Pasal 16 ayat 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Yang menegaskan bahwa wewenang penyidik adalah:
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana.
b. Melakukan tindak pertama pada saat ditempat kejadian.
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka.
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.
e. Melakukan pemeriksan surat dan penyitaan surat.
f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.
i. Mengadakan penghentian penyidikan.
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Proses penyidikan tersebut, dilakukan oleh pejabat penyidk sebagai suatu mekanisme yang panjang berdasarkan ketentuan KUHAP dapat digambar sebagaimana dikemukakan oleh Rusli Muhammad (2007: 60 – 66) antara lain:
a. Diawali dengan adanya bahan masukan suatu tindak pidana (Pasal 106, Pasal 7 ayat 1, Pasal 1 butir 19 KUHAP).
b. Melakukan tindakan pertama ditempat kejadian.
c. Pemanggilan dan pemeriksaan tersangka dan saksi (Pasal 112 dan Pasal 113).
d. Melakukan upaya paksa yang diperlukan (Pasal 16 – Pasal 49)
e. Pembuatan berita acara penyidikan (Pasal 112)
f. Penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum. (bandingkan juga dengan Yahya Harahap, 2002a: 134-150; Yesmil Anwar, 2009: 83;, Marpaung, 2009: 12- 14: Soetomo, 1998: 20-21; Hamzah, 2006: 123 – 125)
Tindakan lain penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti untuk membuat terang tindak pidana yang terjadi dan sekaligus menemukan siapa tersangkanya, kadang-kadang harus menggunakan upaya paksa yang mengurangi kemerdekaan seseorang dan mengganggu kebebasan. Namun semua itu dijamin dan dilindungi oleh undang-undang. Asalkan penggunaan wewenang yang dilaksanakan oleh penyidik tersebut, sesuai dengan ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan tersebut.
Hal ini penting karena kalau sampai terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia yang tidak sesuai dengan persyaratan sebagaimana yang ditentukan oleh Undang-undang, maka oknum penyidik tersebut dapat pula diambil tindakan hukum (lih: Pasal 422 KUHP).
KUHAP telah menentukan adanya beberapa tindakan atau upaya paksa yang dapat dilakukan sehubungan dengan tindak pidana yang yang dilakukan oleh seseorang, berbagai upaya paksa tersebut, dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Penangkapan, suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila cukup bukti guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang (Pasal 1 butir 20).
b. Penahanan, penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim, dengan penetapannya dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang (pasal 1 butir 21).
c. Penggeledahan. Dalam KUHAP tindakan penggeledahan dibagi dua yakni:
- penggeledahan rumah, tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang (Pasal 17).
- Penggeledahan badan, tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawahnya, serta untuk disita (Pasal 18).
d. Penyitaan, serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan (Pasal 16).
Setiap tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik yang bertentangan dengan ketentuan KUHAP. Penangkapan, panahanan, penggeledahan, penyitaan. Tersangka, kuasa hukum/ keluarganya yang merasa dalam tindakan upaya paksa tidak sesuai dengan mekanisme, tatacara, syarat-syarat dan alasan tindakan upaya paksa dapat melakukan upaya hukum praperadilan atas tidak sahnya upaya paksa. Tidak sahnya penangkapan, tidak sahnya penahan, tidak sahnya penggeledahan, tidak sahnya penyitaan (lih: Pasal 1 butir 10 dan Pasal 77 KUHAP). Bahkan atas kerugian dari terjadinya penangkapan yang salah orang (salah tangkap/ eror in persona), tersangka/ kuasa hukum atau kelurganya dapat mengajukan permohonan ganti rugi dan rehabilitasi (Pasal 95 KUHAP)
C. Prinsip-prinsip KUHAP
Prinsip atau asas hukum, sebagai sarana yang membuat hukum itu hidup, tumbuh dan berkembang serta menunjukan kalau hukum itu bukan sekedar kosmos kaedah. Kekosongan atau kumpulan dari peraturan belaka, sebab asas hukum itu mengandung nilai-nilai dan tuntutan etis. Asas hukum tidak akan habis kekuatannya dengan melahirkan suatu peraturan hukum, melainkan tetap saja ada dan akan melahirkan suatu peraturan selanjutnya.
Asas hukum menjadi alat anasir untuk mengisi kekosongan dan kesenjangan hukum. Asas hukum akan menghindari keterbelakangan aturan normatif dari realitas. Dari hukum yang normatif dan terus berjalan tertatih-tatih di belakang kenyataan (het recht hint antcher).
Banyak yang memberikan komentar diantara ahli yuridis mengenai asas/ prinsip hukum sebagai ground norm (Kelsen) dan penting dalam penyusunan sebuah aturan, sebagaimana dikemukakan oleh Suparto Wijoyo (2005: 45 – 49):
a. Asas hukum itu adalah tendensi-tendensi, yang disyaratkan pada hukum oleh pandangan kesusilaan kita (Paul Scholten}.
b. Asas hukum adalah ukuran-ukuran hukumiyah-etis, yang memberikan arah pembentukan hukum (Karl Larens).
c. Dari asas itulah hukum positif memperoleh makna hukumnya. Di dalamnya juga terdapat kriterium yang dengannya kualitas dari hukum itu dapat dinilai, hukum itu dapat dipahami dengan berlatar belakang suatu asas yang melandasi (Meuwissen)
d. Asas adalah anggapan-anggapan pertimbangan-pertimbangan fundamental yang merupakan dasar diletakkannya tingkahlaku kemasyarakatan (King Gie dan Ten Berg).
Dari uraian di atas, menunjukan betapa pentingnya asas hukum agar termuat dalam suatu peraturan perundang-undangan. Asas hukum adalah jiwa (soul) dan jantung dari peraturan hukum sehingga hukum itu menjadi kuat landasan sosiologis dan filsufisnya. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana memiliki landasan asas atau prinsip yang berfungsi sebagai patokan dalam penerapan penegakan hukum.
Asas yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, menurut Rusli Muhammad (2007: 15 - 24) terbagi atas asas yang bersifat umum dan asas yang bersifat khusus.
1. Asas umum
Asas umum merupakan asas yang menjadi dasar dan berlaku pada semua tingkat pemeriksaan, baik pada tingkat penyidikan, penuntutan maupun persidangan. Asas tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Asas kebenaran materil.
Asas ini berpedoman pada tujuan dari pada hukum acara pidana pada pencarian kebenaran sejati, mencari kebenaran yang sesungguhnya. mencari kebenaran materil (Beyond reasonal doubt). Melalui asas ini, para komponen pengadilan, hakim, jaksa,dan pengacara masih berusaha membuktikan pengakuan terdakwa tersebut dengan mengajukan bukti-bukti lainnya baik berupa saksi-saksi maupun barang bukti lainnya.
b. Asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya murah.
Asas ini menghendaki agar peradilan dilakukan dengan cepat. artinya, dalam melaksanakan peradilan diharapkan dapat diselesaikan dengan sesegera mungkin dan dalam waktu yang singkat. Sederhana mengandung arti bahwa dalam menyelenggarakan peradilan dilakukan dengan simpel, singkat dan tidak berbelit-belit. Biaya murah berarti penyelenggaraan peradilan dilakukan dengan menekan sedemikian rupa agar terjangkau oleh pencari keadilan, menghindari pemborosan, dan tindakan bermewah-mewahan yang hanya dapat dinikmati oleh yang berduit saja (seperti pameo dalam realisme hukum, why the have come out a head/ Mark Galanter).
Dalam Pasal 3 e Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan masalah asas ini ‘peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana, dan biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak harus ditetapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan. Yahya Harahap (2002a: 53) mengomentari asas ini dengan mengaitkan dengan ketentuan yang relevan dengan KUHAP terlihat dengan term “dengan segera’ Seperti segera mendapatkan pemeriksaan dari penyidik (Pasal 50 ayat 1). Beberapa rumusan Pasal-Pasal KUHAP diantaranya, Pasal 24 ayat 4, Pasal 25 ayat 4, Pasal 26 ayat 4, Pasal 27 ayat 4, Pasal 28 ayat 4, Pasal 50, Pasal 102 ayat 1, Pasal 107 ayat 3, Pasal 110 dan Pasal 140.
c. Asas praduga tidak bersalah.
Asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) adalah suatu asas yang menghendaki agar setiap orang yang terlibat dalam perkara pidana harus dianggap belum bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya itu. Dalam pemeriksaan perkara pada semua tingkatan pemeriksaan semua pihak harus menganggap bagaimanapun juga tersangka/ terdakwa maupun dalam menggunakan istilah sewaktu berdialog terdakwa.
Prinsip ini dipatuhi sebab merupakan prinsip selain mendapat pengakuan di dalam sidang pengadilan, juga mendapat pengakuan di dalam rumusan perundang-perundangan yaitu terdapat dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan “setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Prinsip ini berjalan dalam persidangan. Baik di dalam maupun di luar persidangan. Di dalam sidang tampak adanya nuansa yang masih menghargai terdakwa dengan tidak memborgol terdakwa, demikian juga terdakwa tidak boleh ditanya pertanyaan yang sifatnya menjeratkan.
d. Asas accusatoir
Asas accusatoir menunjukan bahwa seorang terdakwa yang diperiksa dalam sidang pengadilan bukan lagi sebagai objek pemeriksaan. Melainkan sebagai subjek. Asas accusatoir telah memperlihatkan suatu pemeriksaan terbuka, dimana setiap orang dapat menghadiri dan menyaksikan jalannya pemeriksaan. Terdakwa mempunyai hak yang sama nilainya dengan penuntut umum, sedangkan hakim berada di atas kedua belah pihak untuk menyelesaikan perkara pidana menurut hukum pidana yang berlaku.
Sebagai realisasi prinsip accusatoir di pengadilan terlihat. Terdakwa bebas berkata-kata. Bersikap sepanjang untuk membela diri dan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, seringnya terdakwa diam tanpa menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Adanya penasihat hukum yang mendampingi terdakwa untuk membela hak-haknya. Selain itu, terdakwa bebas mencabut pengakuan-pengakuan yang pernah ia kemukakan di luar sidang dan ini dapat dikabulkan sepanjang hal itu logis dan beralasan.
2. Asas khusus
Yang dimaksud dengan asas khusus adalah asas-asas yang hanya berlaku dan/ atau berkenaan dengan dilakukannya persidangan di pengadilan, asas-asas tersebut adalah sebagai berikut:
a. Asas legalitas
Asas legalitas, asas yang menghendaki bahwa penuntut umum wajib menuntut semua perkara pidana yang terjadi tanpa memandang siapa dan bagaimana keadaan pelakunya ke muka sidang pengadilan.
Menurut yahya harahap (2002a: 36), berdasarkan asas legalitas maka setiap orang, tersangka, terdakwa mempunyai kedudukan sama sederajat di hadapan hukum (equal before the law), mempunyai kedudukan perlindungan yang sama oleh hukum (equal protection on the law), mendapat perlakuan yang adil dan sama di bawah hukum (equal justice under law).
b. Asas sidang terbuka untuk umum
Setiap sidang yang dilaksanakan harus dapat disaksikan oleh umum. Pengunjung bebas melihat dan mendengar langsung jalannya persidangan. Tidak ada larangan menghadiri persidangan sepanjang tidak mengganggu jalannya persidangan itu. Bukti bahwa sidang terbuka untuk umum ditandai dengan ucapan hakim ketika membuka sidang dengan ucapan, “sidang dibuka dan terbuka untuk umum” ucapan hakim tersebut harus ada sebab tanpa ucapan tersebut sidang terancam batal.
Mengenai hal ini dapat di lihat Pasal 154 ayat 3 menegaskan “untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.”
Sidang harus terbuka untuk umum, suatu kehendak agar adanya kontrol langsung dari masyarakat terhadap jalannya persidangan itu. Adanya penyaksian dan pengontrolan masyarakat secara langsung ini diharapkan dapat memperkecil kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh hakim sehingga persidanganpun dapat berjalan dengan jujur tanpa pemihakan.
c. Asas peradilan dilakukan oleh hakim karena jabatannya.
Tidak ada suatu jabatan yang berhak untuk melakukan peradilan atau pemeriksaan hingga mengambil putusan kecuali hanya diberikan hakim. Hakim adalah jabatan yang bertugas, untuk mengadili setiap perkara yang diajukan kepadanya. Ini berarti bahwa pengambilan keputusan tentang salah tidaknya terdakwa di persidangan dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap (Pasal 31 Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman)
d. Asas pemeriksaan langsung.
Prinsip ini menghendaki agar pemeriksaan yang dilakukan itu harus menghadap terdakwa di depan sidang pengadilan, termasuk menghadapkan seluruh saksi-saksi yang ditunjuk langsung. Artinya hakim dan terdakwa atau para saksi berada dalam satu sidang yang tidak dibatasi oleh suatu tabir apapun. Dengan demikian, kehadiran terdakwa dan saksi dalam suatu persidangan pengadilan adalah mutlak, tanpa kehadirannya berarti sidang tidak akan mungkin dilakukan.
Ketentuan hal tersebut dapat disimpulkan dari Pasal 154 KUHAP menegaskan bahwa “hakim ketua sidang memerintahkan supaya terdakwa dipanggil masuk dan jika ia dalam tahanan, ia dihadapkan dalam keadaan bebas.”
e. Asas komunikasi dengan tanya jawab langsung.
Prinsip ini menghendaki bahwa di dalam persidangan hakim, terdakwa, dan saksi adalah berhubungan melalui pertanyaan langsung, lisan tanpa melalui perantara. Tidak pula melalui surat menyurat. Semua pertanyaan yang diajukan kepada terdakwa dan saksi harus diarahkan langsung dan semua pertanyaan yang muncul, baik dari jaksa penuntut umum maupun penasihat hukum juga harus melalui hakim, kemudian hakim meneruskan pertanyaan itu kepada terdakwa atau saksi.
Tanya jawab langsung hanya berlaku antara hakim dengan terdakwa dan saksi, bagi jaksa penuntut umum dan penasihat hukum pertanyaan diajukan kepada terdakwa dan saksi tidak boleh langsung, tetapi harus melalui hakim. Hakimlah yang akan meneruskan pertanyaan itu kepada terdakwa atau saksi.
Namun, semua jawaban yang diberikan, baik oleh terdakwa maupun saksi adalah jawaban yang langsung. Artinya mereka sendirilah yang menjawab pertanyaan-pertanyaan itu bukan hakim atau orang yang berada di luar persidangan.
Masih banyak muatan dan dasar yang dapat diajdikan sebagai prinsip / asas hukum dalam kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang diintrodusir dan disarikan oleh berbagai penulis dilapangan hukum acara pidana. Seperti Yahya Harahap (2002 a), Hamzah (2006). Marpaung (2009) yang tidak membagi penekanan pada asas umum dan asas khusus, namun apa yang dikemukakannya, sebahagian juga sudah diulas oleh Rusli Muhammad seperti telah diuraikan di atas.
Selain itu juga dalam tulisan L & jaw law Firm, juga menguraikan asas-asas yang harus dipatuhi sehingga tidak menimbulkan permasalahan hukum dalam peradilan pidana, yaitu:
a. Perintah tertulis.
b. Peradilan cepat (Pasal 50 KUHAP).
c. Memperoleh bantuan hukum (Pasal 54 KUHAP).
d. Terbuka (Pasal 64 KUHAP).
e. Presumption of innocence (Pasal 1 ayat 1 KUHAP, ju. Pasal 8 Undang-Undang nomor 4 Tahun 2004).
f. Pembuktian (Pasal 66 KUHAP).
g. Nonretroaktif (Pasal 1 ayat 1 jo. Pasal 4 dan Pasal 18 ayat 2 Undang-Undang nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM)
h. Concursus idealis (Pasal 63 ayat 1 KUHAP)
i. Pemberian ganti rugi (Pasal 95 ayat Pasal 97 KUHAP)
j. Wajib diberitahukan dakwaan dan dasar dakwaan oleh penuntut umum kepada terdakwa (Pasal 51 b).
k. Hadirnya terdakwa (Pasal 155 ayat 2 ).
l. Pengawasan pelaksanaan putusan.
m. Kejaksaan sebagai satu-satunya penuntut umum dan polisi sebagai penyidik.
n. Oportunitas.
o. Pemeriksaan secara langsung (Pasal 154 KUHAP).
p. Personalitas aktif dan personalitas pasif.
Asas persidangan terbuka untuk umum, asas pemeriksaan langsung dan komonikasi secara langsung, mendapat penjelasan dan komentar dari Bambang Poernomo (dalam Rusli Muhammad, 2007: 24) sebagai berikut:
a. Asas sidang terbuka untuk umum atau disebut geopend en openbaar verklaard, untuk kepentingan sosial.
b. Asas pemeriksaan langsung atau disebut het beginsel van onmidddelijkheid, untuk kepentingan Hak Asasi Manusia dan kebenaran yang dicapai melalui persidangan karena ada larangan mendapatkan bahan-bahan keterangan yang diperoleh dari luar sidang.
c. Asas komunikasi secara langsung dengan tanya jawab langsung antara dua pihak atau disebut oral debat agar terdapat pembahasan dengan jelas dan memperoleh gambaran perbuatan yang terjadi dari orang yang bersangkutan secara orisinil.
Jika diamati, semua asas/ prinsip KUHAP duraikan oleh beberapa penulis. Keberadaan asas juga menjadi pondasi pembentukan aturan yang mengutamakan kepentingan hak dan asasi setiap orang. Penempatan hak dan kewajiban secara proporsional antara penegak hukum, seperti kepolisian sebagai penyelidik dan penyidik, kejaksaan sebagai penuntut umum. Hakim sebagai pemeriksa dan pemutus sanksi atas tindak pidana. Agar tidak bertindak sewenang-wenang yang dapat mencabut hak dasar, hak kepemilikan. Terutama hak hidup dalam mendapatkan perlakuan yang layak di depan hukum.
D. Hak-hak Tersangka dalam Tingkat Penyidikan
Persepsi/ opini publik memandang hukum dari sudut eksternal, tidak melihat hukum secara integral, secara holistik. Tidak semata dari paradigma barbarian.
Sering seorang tersangka dikaitkan seolah-olah telah dihukum sebagai pelaku bersalah (guilty). Padahal seorang itu masih dalam tingkat penyelidikan, masih dalam tingkat penyidikan. Belum ada putusan pengadilan yang Berkekuatan Hukum Tetap (BHT).
Pertanyaan dari kalangan awam hukum (yang tidak mengerti hukum sebagai sebuah due process, telah menghukum seorang yang telah tertangkap sebagai orang yang benar dan terbukti bersalah. Mengapa seorang yang nyata-nyata bersalah belum juga dikenakan sanski pidana ? padahal orang tersebut sebagai tersangka baru dalam tingkat penyidikan. Kenapa seorang yang sudah bersalah, masih harus dilindungi hak asasinya ? kenapa tidak sekali langsung di hukum lalu dijatuhkan sanksi pada waktu itu.
Itulah yang membedakan hukum rimba (Hobbes) dengan hukum ciptaan manusia (Thomas Aquinas). Sekalipun manusia menghukum sesama manusia, tetap harus memberikan penghukuman secara manusiawi (humanity). Banyak bentuk eksekusi/ pidana mati yang dulunya dianggap tak manusiawi seperti mengikat korban di suatu tiang pancang, kemudian kedua tangan dan kakinya diikat dengan pelana kuda, lalu kuda tersebut dicambuk supaya berlari kencang, hingga tangan dan kaki seorang yang dihukum itu terpisah.
Di sebuah tanah lapang luas, seorang terpidana mati dieksekusi dengan potong leher. Di tempat keramaian. Ironisnya, masih ada seorang yang kecurian tasnya di tempat keramaian tersebut. Efektifkah pidana mati sebagai tindakan untuk menakut-nakuti/ fear (psikologi Zwang) ?
Sepertinya, tidak ! Maka lebih baik dari tujuan dan filosofi pemidanaan adalah rehabilitasi. Mengembalikan dalam keadaan semula (rehability). Menyembuhkan pelaku tindak pidana, agar kelak tetap dapat diterima oleh masyarakat/ khalayak.
Embrio munculnya perlakuan yang manusiawi terhadap pidana mati. Sedikit demi sedikit. Ada yang tembak mati. Ada dengan suntikan. Bahkan di era hukum modern (law and modern mind: Jerome Frank). Intervensi HAM telah mengundang perdebatan, pro dan kontra, masih layakkah pidana mati menjadi sanksi pidana ?
Perkembangan hukum modern juga yang telah menjadikan suatu negara sebagai negara yang berdasarkan atas hukum. Konsekuensinya adalah harus memberikan perlakuan yang sama. Penghormatan HAM, dan peradilan yang fair, bebas dan mandiri. Maka dalam setiap tindakan upaya paksa institusi negara oleh pejabat harus berdasarkan atas hukum dengan menghormati hak asasi dan kepentingan seorang yang diduga (patut di duga) sebagai pelaku (dader) tindak pidana.
Dalam hal ini pejabat penyidik yang memiliki tugas untuk menegakkan hukum, hukum pidana yang berada dalam ranah hukum publik. Upaya paksa seperti penggeledahan, penangkapan, dan penahanan tetap, harus memperhatikan hak-hak seorang yang di geledah, ditangkap dan ditahan.
1. Hak-hak Tersangka Saat Digeledah
Pada prinsipnya, tak seorangpun boleh dipaksa menjalani gangguan secara sewenang-wenang dan tidak sah terhadap kekuasaan pribadinya, kelurganya, rumahnya, atau surat menyuratnya. Sekalipun demikian undang-undang memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penggeledahan demi kepentingan penyidikan.
Penggeledahan di satu pihak berarti pemakaian paksaan untuk melaksanakan penyidikan oleh polisi, dilain pihak merupakan campur tangan tingkat berat terhadap keleluasaan serta hak milik pribadi seorang yang dilindungi oleh hukum. Adanya dua kepentingan ini mengharuskan penggeledahan dilakukan secara cermat dan hati-hati agar satu segi tidak menimbulkan kerugian pada milik orang lain sementara kepentingan penyidikanpun tetap dapat dilaksanakan.
Berikut ini, adalah hak seorang tersangka dan keluarganya yang digeledah atau rumahnya digeledah yaitu:
a. Berhak untuk menanyakan tanda pengenal penyidik yang akan melakukan penggeledahan.
b. Berhak untuk menanyakan surat perintah penggeledahan.
c. Berhak untuk mendapatkan penjelasan mengenai alasan penggeledahan.
d. Berhak untuk menandatangani berita acara penggeledahan.
e. Berhak untuk mendapatkan salinan berita acara
f. Berhak untuk mendapatkan perlakuan yang manusiawi saat digeledah.
g. Berhak untuk mencabut berita acara yang salinannya diberikan setelah lewat dua hari rumah digeledah (lih, L & J Law Firm, 2010: 31)
2. Hak-hak Tersangka Saat Ditangkap
Tujuan penangkapam ditegaskan dalam Pasal 16 KUHAP, yakni untuk kepentingan penyelidikan atau untuk kepentingan penyidikan. Sementara itu alasan penangkapan ditentukan dalam Pasal 17 KUHAP.
Berdasarkan Pasal ini, alasan penangkapan adalah adanya dugaan keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Bukti permulaan yang cukup inilah bukti yang menjadi permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14. Ini menunjukan bahwa penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang benar-benar melakukan tindak pidana (Pasal17 KUHAP).
Dari Pasal 18 dan Pasal 19 KUHAP dapat disimpulkankan, hak seorang yang ditangkap, yaitu:
a. Hak untuk meminta surat tugas dan surat perintah penangkapan terhadap dirinya kepada petugas yang melakukan penangkapan.
b. Hak untuk meminta penjelasan tentang tuduhan kejahatan yang dituduhkan kepadanya, tempat ia akan dibawah/ diperiksa atau ditahan, serta bukti awal terhadap tuduhan yang dituduhkannya.
c. Hak untuk diperlakukan sebagai orang yang tidak bersalah.
d. Hak untuk memperoleh perlakuan yang manusiawi dan hak-hak yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku selama penangkapan.
e. Hak untuk mendapatkan bantuan juru bahasa atau penerjemah yang akan menjelaskan kepada tersangka bahasa yang mudah dipahami.
f. Hak untuk mendapatkan juru bahasa yang menguasai bahasa isyarat apabila ia adalah seorang yang tuna rungu atau tunawicara.
g. Hak untuk segera mendapat pemeriksaan dari polisi atau penyidik.
h. Hak untuk didampingi oleh satu penasihat hukum atau lebih penasihat hukum yang dipilih sendiri untuk mendapatkan bantuan hukum.
i. Hak untuk mendapatkan penasihat hukum secara cuma-cuma atau gratis.
j. Hak untuk mengungkapkan pendapat baik secara lisan maupun tulisan tanpa adanya tekanan.
k. Hak untuk diam dalam arti tidak mengeluarkan pernyataan ataupun pengakuan. Jadi tidak diperkenankan adanya tekanan. (L & J. Firm, 2010: 48 – 49)
3. Hak-hak Tersangka Saat Ditahan
Pada umumnya terdapat tiga dasar penahanan. Pertama, dasar keadaan atau keperluan. Perintah penahanan atau penahanan lanjutan terhadap tersangka yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekuatiran bahwa tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi tindak pidana. Bukti permulaan yang cukup dapat diartikan bahwa aparat penegak hukum sudah mempunyai minimal dua alat bukti yang mendukung penahanan tersangka.
Kedua, dasar yuridis. Penahanan hanya dapat dilakukan kepada tersangka atau terdakwa melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian dalam tindak pidana tersebut dalam hal:
a. Tindak pidana itu diancam dengan penjara lima Tahun atau lebih.
b. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal-Pasal tertentu KUHAP, Undang-Undang Kepabeanan, Undang-Undang Imigrasi, Undang-undang Narkotika dan Obat Terlarang (Pasal 21 ayat 4 KUHAP)
Ketiga, dasar administratif. Dalam praktiknya, kondisi atau keadaan administratif juga sangat menentukan apakah tersangka ditahan atau tidak. Misalnya dalam hal tersangka berdomisili di tempat yang cukup jauh dari kantor polisi yang menyidik perkara tersebut. Dalam kondisi ini penahanan dilakukan dengan maksud untuk memudahkan dilakukan penyidikan.
Dalam proses penahanan, seorang tersangka memiliki hak-hak yang mesti diperhatikan oleh pejabat yang berwenang melakukan penahanan. Hak tersebut meliputi:
a. Menghubungi dan didampingi oleh penasihat hukum atau advokat.
b. Segera diperiksa oleh penyidik setelah ditahan.
c. Menghubungi dan menerima kunjungan pihak keluarga atau orang lain untuk kepentingan penangguhan penahanan atau usaha mendapat bantuan hukum.
d. Meminta atau mengajukan penangguhan penahanan.
e. Menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadi untuk kepentingan kesehatan.
f. Mendapat penangguhan penahanan atau perubahan status tahanan.
g. Menghubungi atau menerima kunjungan sanak keluarga.
h. Mengirim surat atau menerima surat dari penasihat hukum tanpa diperiksa oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim atau pejabat atau rumah tahanan negara.
i. Mengajukan keberatan atas penahanan atau jenis penahanan kepada penyidik.
j. Menghubungi dan menerima kunjungan rohaniawan.
k. Bebas dari tekanan seperti diintimidasi, ditakut-takuti dan disiksa secara fisik. (lih, L & J Law Firm, 2010: 59)
E. Asas Praduga Tidak Bersalah (Persumption Of Inocence)
Herbert L. Packer dalam bukunya yang terkenal The Limits of the Criminal Sanction (1968: 197); mengemukakan bahwa ada dua model dalam Sistem Peradilan Pidana, yaitu Crime Control Model (CCM), dan Due Process Model (DPM).
Dalam praktiknya, pertama, crime control model lebih mengutamakan profesionalisme pada aparat penegak hukum untuk menyingkap, mencari dan menemukan pelaku tindak pidana. Profesional yang merupakan sifatnya, maka peraturan yang bersifat formal sering dilanggar, dan kadang-kadang untuk mendapatkan barang bukti, para profesionalis ini memaksakan cara-cara illegal untuk tujuan cepat dan effisiensi. Sehingga untuk menghindari hambatan dari proses pidana itu maka kewenangan kebijakan dari penegak hukum itu seringkali diperluas. Dan dalam kenyataannya bahwa Crime Control Model ini sering dipertentangkan sebagai kurang manusiawi dan tidak menghormati Hak Asasi Manusia.
Kemudian model yang kedua yakni due process model dengan ciri-ciri selalu menganggap penting adanya refresif kejahatan, yaitu tahap ajudicatif (dalam sidang pengadilan harus ditentukan salah tidaknya tersangka), atas dasar legal guilt.
Kemudian selalu mengadakan chek and recheck (obstacle couse) dan hal ini harus diuji menurut peraturan. Ciri berikutnya adalah menghormati undang-undang. Kemudian menempatkan kedudukan yang sama bagi setiap orang di depan hukum (quality control). Sehingga model ini dikatakan orang lebih manusiawi dan menghormati Hak Asasi Manusia.
Dapat dikatakan dari sinilah, model sistem peradilan, due proces model, due proces of law ada implementasi unsur Hak Asasi Manusia dalam Hukum Acara Pidana. Dan memang asas praduga tak bersalah oleh berbagai penulis seperti Harahap (2002a), dan Hamzah (2006) mencantumkan serta menguraikan prinsip-prinsip KUHAP sebagai salah satu penghormatan hak asasi, mesti ada prinsip praduga tak bersalah pada orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Asas hukum praduga tak bersalah, sejak abad ke 11 dikenal di dalam sistem hukum Common Law, khususnya di Inggris, dalam Bill of Rights (1648). Asas hukum ini dilatarbelakangi oleh pemikiran individualistik - liberalistik yang berkembang sejak pertengahan abad ke 19 sampai saat ini.
Hak seseorang tersangka untuk tidak dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya (praduga tak bersalah) sesungguhnya juga bukan hak yang bersifat absolut, baik dari sisi formil maupun sisi materiel, karena hak ini tidak termasuk non-derogable rights seperti halnya hak untuk hidup atau hak untuk tidak dituntut dengan hukum yang berlaku surut (non-retroaktif).
Bahkan UUD 1945 dan Perubahannya, sama sekali tidak memuat hak, praduga tak bersalah, asas ini hanya dimuat dalam Pasal 8 UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan di dalam Penjelasan Umum UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
Rumusan kalimat dalam Pasal 8 UU Kekuasaan Kehakiman (2004), dan Penjelasan Umum KUHAP adalah ”Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/ atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya, dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Rumusan kalimat tersebut di atas, berbeda maknanya secara signifikan dengan rumusan asas praduga tak bersalah di dalam Pasal 14 Pasal 2, Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik (1966), yang dirumuskan dengan kalimat singkat: ”Everyone charged with criminal offence shall have the right to be presumed innocent until proved guilty according to law”.
Menurut Romli Atmasasmita (http://arisirawan. Wordpress.com/2010/05/23/) Untuk mencegah tafsir hukum yang berbeda-beda di atas, tampaknya solusi realistik telah diberikan oleh Kovenan, yaitu dengan merinci luas lingkup atas tafsir hukum ”hak untuk dianggap tidak bersalah” yang meliputi 8 (delapan) hak, yaitu:
1. Hak untuk diberitahukan jenis kejahatan yang didakwakan.
2. Hak untuk disediakan waktu yang cukup dalam mempersiapkan pembelaannya dan berkomunikasi dengan penasehat hukum yang bersangkutan.
3. Hak untuk diadili tanpa ditunda-tunda.
4. Hak untuk diadili yang dihadiri oleh yang bersangkutan.
5. Hak untuk didampingi penasehat hukum jika yang bersangkutan tidak mampu.
6. Hak untuk diperiksa dan memeriksa saksi-saksi yang berlawan dengan yang bersangkutan.
7. Hak untuk memperoleh penerjemah jika diperlukan oleh yang bersangkutan.
8. Hak untuk tidak memberikan keterangan yang merugikan dirinya atau hak untuk tidak dipaksa mengakui perbuatannya.
Sejalan dengan Konvenan tersebut, asas praduga tak bersalah harus diartikan, bahwa selama terhadap seorang tersangka/ terdakwa diberikan secara penuh hak-hak hukum sebagaimana dirinci dalam konvenan tersebut, maka selama itu pula perlindungan atas asas praduga tak bersalah, telah selesai dipenuhi oleh lembaga penegak hukum.
Jika Packer (1968) dan Friedman (1994) mengemukakan bahwa dasar yang memotivasi perancang Undang-Undang KUHAP adalah due process of law, maka lain halnya dengan Harahap (2002a: 40) justru melihat dari adanya penekanan prinsip accusatoir (accusatory procedure), yang menempatkan kedudukan tersangka dalam setiap tingkat pemeriksaan:
a. Adalah subjek, bukan sebagai objek pemeriksaan, karena itu tersangka harus didudukan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat dan martabat harga diri.
b. Yang menjadi objek pemeriksaan dalam prinsip accusatoir adalah kesalahan tindak pidana, yang dilakukan tersangka. Karena itulah pemeriksan ditujukan
Olehnya itu, karena menempatkan tersangka bukan lagi sebagai objek yang terperiksa (accusatoir), maka dengan mengacu pada penjelasan umum butir 3 huruf c, asas presumption of innocent telah menjadi landasan dalam penerbitan KUHAP. Bahkan hak tersangka selama pemeriksaan telah ditegaskan dalam KUHAP yang harus dihormati dan diperhatikan oleh penyidik sebagai berikut:
a. Hak untuk memberikan keterangan secara bebas tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun (Pasal 117 ayat 1 KUHAP).
b. Hak untuk dicatat keterangan yang diberikannya dengan seteliti-telitinya sesuai dengan kata-kata yang dipergunakan oleh tersangka sendiri (Pasal 117 ayat 2 KUHAP).
c. Hak untuk meneliti dan membaca kembali hasil pemeriksaan sebelum tersangka menandatanganinya (Pasal 118 ayat 1 KUHAP).
Jaminan asas praduga tak bersalah dan prinsip pemeriksaan accusatoir ditegakkan dalam segala tingkat pemeriksaan. Untuk menopang asas praduga tak bersalah dan prinsip accusatoir dalam penegakan hukum. KUHAP telah memberi perisai kepada tersangka/ terdakwa berupa seperangkat hak-hak kemanusiaan yang wajib dihormati dan dilindungi oleh aparat penegak hukum.
Dengan perisai hak-hak yang diakui oleh hukum , secara teoritis sejak semula tahap pemeriksaan, tersangka/ terdakwa sudah mempunyai posisi yang setaraf dengan pejabat pemeriksa dalam kedudukan hukum, berhak menuntut perlakukan yang ditegaskan dalam KUHAP:
a. Segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya ditujukan kepada penuntut umum (Pasal 50 ayat 1).
b. Segera diajukan ke pengadilan dan segera diadili oleh pengadilan (Pasal 50 ayat 2 dan 3).
c. Tersangka berhak untuk diberitahu dengan jelas dengan bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai (Pasal 51 ayat 1).
d. Berhak untuk diberitahu dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai (Pasal 51 ayat 2).
e. Berhak memberi keterangan secara bebas baik kepada penyidik pada taraf penyidikan maupun pada proses pemeriksaan di sidang pengadilan (Pasal 52).
f. Berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan, juru bahasa pada setiap tingkat pemeriksaan, jika tersangka/ terdakwa tidak mengerti bahasa Indonesia (Pasal 53 ayat 1 jo. Pasal 177 ayat 1).
g. Berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan (Pasal 54).
h. Berhak memilih sendiri penasihat hukum yang disukainya (Pasal 55).
i. Berhak mengunjungi dan dikunjungi dokter pribadinya selama ia dalam tahanan (Pasal 58).
j. Berhak untuk diberitahukan kepada keluarganya atau orang yang serumah dengan dia atas penahanan yang dilakukan terhadap dirinya. Pemberitahuan itu dilakukan oleh pejabat yang bersangkutan (Pasal 59).
k. Berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan artau orang lain guna mendapatkan jaminan atas penangguhan penahanan atau bantuan hukum (Pasal 60).
l. Berhak secara langsung atau dengan perantaraan penasihat hukumnya untuk menghubungi dan menerima kunjungan atas sanak keluarga, sekalipun hal itu tidak ada sangkutpautnya dengan kepentingan tersangka/ terdakwa (Pasal 61)
m. Berhak mengirim surat dan menerima surat setiap kali diperlukannya yaitu kepada dan dari penasihat hukum dan sanak kelurganya (Pasal 62 ayat 1).
n. Surat menyurat ini tidak boleh diperiksa oleh aparat penegak hukum, kecuali jika terdapat cukup alasan untuk menduga adanya penyalahgunaan surat menyurat tersebut (Pasal 62 ayat 2 ).
o. Terdakwa berhak untuk diadili dalam sidang pengadilan yang terbuka untuk umum (Pasal 64).
p. Berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan bagi dirinya (saksi a de charge, Pasal 65).
q. Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (Pasal 66).
r. Berhak menuntut ganti rugi dan rehabilitasi atas setiap tindakan dan perlakukan, penagkapan, penahanan, dan penuntutan yang tidak sah atau yang bertentangan degan hukum (Pasal 68). (Lih, Harahap, 2002a: 41 – 42, bandingkan juga dengan Yesmil Anwar dan Adang, 2009: 294 – 296)
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa ada dua yang mendasari sehingga presumption of innocenct eksis dalam KUHAP, yakni due process of model dan prinsip aqusatoir, semua itu dirangkai oleh penghargaan dan penghornatan terhadap Hak Asasi Manusia.
Terlepas dari asas praduga tak bersalah yang terkesan individualis, hanya mengutamakan hak tersangka, lalu melupakan hak atas kepentingan umum (public interest). Tidaklah menjadi alasan, oleh karena KUHAP juga menganut prinsip kebenaran sejati alias materil. Bahkan dalam penekanan hak asasi yang lebih jauh, sudah mejadi kewajiban untuk mengutamakan hak-hak seorang tersangka sebelum pemeriksaan dengan penerapan prinsip Miranda Rule (a right to remaint silent, a right to the presence of an attorney or the right counsil).
F. Praperadilan Sebagai Upaya Hukum Tersangka dalam Tingkat Penyidikan
Lembaga praperadilan merupakan hasil usaha tuntutan terhadap perlindungan Hak Asasi Manusia, terutama mereka yang terlibat di dalam perkara pidana. Tujuan dibentuknya praperadilan adalah demi tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi tersangka dalam tingkat pemeriksaan penyidikan.
Preperadilan berfungsi sebagai alat kontrol terhadap penyidik karena penyalahgunaan wewenang yang diberikan kepadanya, kontrol tersebut dilakukan dengan beberapa cara:
a. Control vertical, kontrol dari atas ke bawah.
b. Control horizontal, kontrol kesamping antara penyidik, penuntut umum, timbal balik, tersangka, keluarganya atau pihak ketiga.
Wewenang yang diberikan oleh penyidik berdasarkan ketentuan dalam KUHAP, dapat melakukan tindakan upaya paksa. Seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. Tujuan dari upaya paksa tersebut, tidak lain adalah guna kepentingan umum. Melindungi hak-hak publik dengan atas nama kekuasaan/kewenangan pejabat negara (penyidik). Penyidikan dengan tindakan atau upaya paksa terhadap orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana adalah untuk mencari bukti dan titik terang siapa pelaku (dader) atau tersangkanya.
Penyidik dalam melakukan tindakan upaya paksa berada dalam batasan dan ketentuan yang diikat oleh, syarat, alasan, dan tata cara upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. Jika penyidik melakukan tindak yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku/ KUHAP (undue process of law) atau melakukan tindakan upaya paksa seperti penangkapan dan salah orang dalam penangkapan. Maka terhadap orang, keluarga atau kuasa hukumnya dapat melakukan upaya hukum praperadilan melalui Pengadilan Negeri atas tidak sahnya upaya paksa (dwangs).
Ketentuan tentang wewenang praperadilan ditegaskan dalam Pasal 1 butir 10 jo. Pasal 77 KUHAP. Dapat dikatakan, bersumber dari pasal-pasal tersebut, akan tetapi ada lagi kewenangan lain yakni memeriksa dan memutus ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana juga ditegaskan dalam Pasal 95 dan Pasal 97.
Lebih jelasnya, Yahya Harahap (2002b: 4) mengemukakan wewenang yang diberikan Undang-Undang kepada praperadilan sebagai berikut:
a. Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya upaya paksa.
b. Memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan.
c. Memeriksa tuntutan ganti rugi.
d. Memeriksa permintaan rehabilitasi.
e. Memeriksa terhadap sah/ tidaknya tindakan penyitaan.
Berdasarkan wewenang praperadilan, ketentuan tentang siapa yang berwenang mengajukan praperadilan dapat terlihat di sini. Pihak yang dapat mengajukan praperadilan sebagaimana ditegaskan dalam pasal 79 dan Pasal 80 KUHAP
Pasal 79: Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebut alasannya.
Pasal 80: Permintaan untuk pemeriksaan sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebut alasannya.
Dengan memerhatikan ketentuan Pasal 79, Pasal 80 KUHAP tersebut dapat diketahui siapa saja yang diberi wewenang untuk mengajukan praperadilan:, yaitu:
a. Tersangka, keluarga, atau kuasa hukumnya.
b. Penyidik atau penuntut umum.
c. Pihak ketiga yang berkepentingan.
Praperadilan sebagai upaya hukum yang memberikan hak kepada tersangka, kuasa hukum atau keluarganya dalam kaitannya dengan fungsi hukum acara pidana dan tujuan praperadilan yakni untuk melindungi para tersangka dan terdakwa dari tindakan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum, menurut Wahyu Effendi (Rusli Muhammad, 2007: 94) yaitu:
a. Agar aparat penegak hukum hati-hati dalam melakukan tindakan hukum dan setiap tindakan hukum harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku, dalam arti ia harus mampu menahan diri serta menjauhkan diri dari tindakan sewenang-wenang.
b. Ganti kerugian dan rehabilitasi merupakan upaya untuk melindungi warga negara yang diduga untuk melakukan kejahatan yang ternyata tanpa didukung dengan bukti-bukti yang meyakinkan sebagai akibat dari sikap dan perlakuan dari penegak hukum yang tidak mengindahkan prinsip hak-hak asasi manusia.
c. Hakim dalam menentukan ganti kerugian harus memperhitungkan dan mempertimbangkan dengan seksama, baik untuk kepentingan orang yang dirugikan maupun dari sudut kemampuan finansial pemerintah, dalam memenuhi dan melaksanakan keputusan hakim itu.
d. Dengan rehabilitasi, maka orang tersebut telah dipulihkan haknya sesuai dengan keadaan semula yang diduga telah melakukan kejahatan.
e. Kejujuran yang telah dijiwai KUHAP harus diimbangi dengan integritas dan dedikasi oleh aparat penegak hukum karena tanpa adanya keseimbangan itu semuanya akan sia-sia belaka.
Titk berat pemeriksaan praperadilan dimulai untuk menentukan apakah petugas telah melaksanakan atau tidak melaksanakan pemeriksaan terhadap tersangka sesuai dengan undang-undang atau apakah petugas telah melaksanakan perintah jabatan atau tidak. Selain itu, tindakan sewenang-wenang yang menyebabkan kekeliruan dalam penerapan hukum yang mengakibatkan kerugian dan hak asasi tersangka menjadi kurang terlindungi.
G. Miranda rule Sebagai Hak Tersangka Sebelum Pemeriksaan
Di sebuah negara bagian, di Amerika Serikat. Arizona. 1963, seorang pemuda yang bernama Ernesto Miranda ditangkap oleh kepolisian karena diduga melakukan tindakan kriminal penculikan dan pemerkosaan terhadap seorang perempuan berusia 18 Tahun.
Ernesto Miranda, lalu ditangkap dan diseret ke ruang interogasi. Ernesto Miranda akhirmya membuat pernyataan tertulis bahwa ia telah menculik dan memperkosa perempuan yang dimaksud. Namun, pada awalnya ia tidak diberikan hak untuk mendapatkan pengacara guna mendampinginya dalam pemeriksaan tersebut. Pernyataan tertulis yang dibuat oleh Miranda kemudian dijadikan alat bukti pengakuan terdakwa, sehingga dihukum penjara selama 20 Tahun.
Atas vonis di persidangan. Ernesto Miranda dan kuasa hukumnya mengajukan keberatan ke Mahkamah Agung Amerika Serikat dengan argumentasi hukum 3 kasus yang serupa. Pengakuan yang dibuat Miranda tidak sah, karena pada awalnya, sebelum pemeriksan, tidak diberikan hak-haknya sebagai tersangka. Namun hal tersebut di Tahun 1966 tidak membuat Miranda bebas, hanya penangguhan hukuman saja.
Di tingkat Mahkamah Agung. Jaksa Penuntut Umum mencari pengakuan lain yang dapat memberatkan Ernesto Miranda. Sebuah pengakuan akhirnya didapat dari mantan kekasihnya. Yang mebuat Ernesto Miranda dihukum penjara selama 11 Tahun. Baru 1972 dibebaskan bersyarat. Setelah bebas iapun masih sering ditangkap dan dikembalikan ke penjara untuk beberapa kali.
1976, Ernesto Miranda yang berumur 34 Tahun, ditemukan meninggal setelah ditikam pisau dalam perkelahian di sebuah Bar. Polisi menangkap, yang diduga menikam Ernesto Miranda. Hal yang membedakan dengan kasus Miranda adalah orang yang diduga membunuhnya itu tidak mau menjawab pertanyaan dari Kepolisian dalam pemeriksaan. Akhirnya orang tersebutpun dilepaskan dan tidak ada seorangpun didakwa melakukan pembunuhan terhadap Miranda.
Ada banyak hal yang menjadi signifikan, menjadi catatan, dan penelitian ilmiah (scientific) dalam peritiwa tersebut. Adalah pengabaian hak-hak Miranda. Kematian Miranda. Disparitas dalam pemeriksaan oleh kepolisian. Tidak tertangkapnya pembunuh Miranda. Negara Amerika, negara yang dianggap sebagai negara tonggak berdirinya Hak Asasi Manusia. Lalu mengapa masih terjadi pelanggaran hak asasi tersangka ? atas nama Ernesto Miranda yang menjamin perlindungan hak, mengutamakan hak indiviudu (paham negara hukum liberal). Dengan adanya pernyataan juga dari Mahkamah Agung pada Tahun 1966 yang menyatakan bahwa pengakuan Miranda tidak sah. Barulah hak-hak tersangka mulai diperhatikan, dan nama Ernesto Miranda diabadikan sebagai tonggak prinsip perlindungan terhadap tersangka, sebelum pemeriksaan yang dikenal dengan term, miranda rule principle.
Miranda principle dalam praktiknya dibagi menjadi tiga bagian sebagaimana dikemukakan Sofyan Lubis (2010: 15 – 18) sebagai berikut:
a. Miranda rule adalah suatu aturan yang mengatur hak-hak seseorang yang dituduh atau disangka melakukan tindak pidana, sebelum diperiksa oleh penyidik, aturan tersebut mewajibkan polisi untuk memberikan hak-hak seseorang, hak untuk diam. Karena segala sesuatu yang dikatakan seorang tersangka dapat digunakan untuk melawannya/ memberatkannya di pengadilan, kemudian hak untuk mendapatkan. Menghubungi penasihat hukum/ advokat untuk membela hak-hak hukumnya, dan jika ia tidak mampu. Maka ia berhak untuk disediakan penasihat hukum/ advokat oleh negara. Dalam hal ini tentu oleh institusi yang bersangkutan.
b. Miranda right, identik dengan miranda rule. Cuma lebih ditekankan pada hak untuk diam, dan menolak untuk menjawab pertanyaan polisi atau yang menangkap sebelum diperiksa oleh penyidik. Hak untuk menghubungi penasihat hukum dan mendapatkan bantuan hukum dari penasihat hukum/ advokat yang bersangkutan. Hak untuk memilih sendiri penasihat hukum. Hak untuk disedikan penasihat hukum, jika tersangka tidak mampu menyediakan penasihat hukum sendiri.
c. Miranda warning adalah peringatan yang harus diberikan oleh penyidik kepada tersangka. Dalam praktiknya di Amerika warning ini dikenal dengan the four miranda warning, “you have the right to remain silent, anything you say can be used against you in acourt of law. You have the right to speak to an attorney, and to attorney present during any questioning. If yuo can’t affor a lawyer, one will be provide for you at government expense..” tersangka sebelum diinterogasi harus diberikan informasi jelas bahwa ia berhak untuk diam, dan segala apa yang dikatakannya bisa digunakan untuk melawannya di pengadilan. Tersangka berhak untuk mendapatkan bantuan dari penasiaht hukum jika tersangka tidak mampu maka akan disediakan penasihat hukum secara gratis.
Prinsip-prinsip miranda rule, di negara Indonesia telah diakomodasi ke dalam KUHAP, yaitu hak untuk mendapatkan/ menghubungi penasihat hukum/ advokat, dan jika tidak mampu maka berhak untuk disediakan penasihat hukum/ advokat. Hak untuk mendapatkan bantuan hukum diakomodasi dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 114. KUHAP. Sedangkan jika tidak mampu, tersangka berhak untuk disediakan penasihat hukum oleh pejabat bersangkutan atau penyidik (Pasal 56 ayat 1 KUHAP).
Oleh karenanya, mengingat hak-hak seorang atas miranda rule dapat juga dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran hak hukum dan Hak Asasi Manusia sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19 ayat 4 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM “hak untuk mendapatkan bantuan hukum sejak penyidikan sampai adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, (lih juga: Pasal 17, Pasal 5 ayat 2, Pasal 18 ayat 1, Pasal 18 ayat 3, Pasal 18 ayat 2, Pasal 18 ayat 5 UU HAM).”
Maka setiap adanya pelanggaran atas miranda rule disebut juga sebagai pelanggaran hak asasi tersangka. atas pelanggaran tersebut tersangka berhak mengajukan tuntutan atau keberatan melalui upaya praperadilan, khususnya perkara praperadilan yang disangkakan dilakukan oleh tersangka yang diancam dengan pidan lima Tahun ka atas sebagaimana ditegaskan dalam pasasl 56 ayat 1 KUHAP. (http://www.damang.web.id/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar