Pelaksana tugas (Plt) Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Indriyanto Seno Adji mengatakan pola praperadilan pasca putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) berpotensi membahayakan alat bukti dan penegakan hukum.
Pasalnya, penegak hukum selaku termohon praperadilan wajib menunjukan
alat bukti asli yang mereka miliki di sidang praperadilan.
"Pola pemeriksaan terbalik atau 'reversal of evidence processing' ini
justru riskan dan membahayakan penegakan hukum terhadap pemberantasan
korupsi, sehingga membuat peluang besar pihak-pihak terkait, saksi atau
tersangka, dapat menyamarkan alat bukti, baik itu menghilangkan,
mengaburkan atau merusak alat bukti," katanya, Selasa (19/5).
Mengacu pengalaman terdahulu, KPK harus menanggung kekalahan setelah
hakim tunggal Yuningtyas Upiek Kartikawati mengabulkan praperadilan
mantan Walikota Makassar Ilham Arief Sirajuddin di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan. Upiek membatalkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik)
berikut tindakan-tindakan lain yang menyertai penyidikan Ilham.
Upiek menganggap KPK selaku termohon tidak dapat menunjukan dua alat
bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan Ilham sebagai tersangka. Ia
menilai bukti-bukti fotocopy yang diserahkan KPK tidak cukup untuk
membuktikan bahwa KPK memiliki dua alat bukti yang cukup untuk
menetapkan Ilham sebagai tersangka.
Belajar dari pengalaman tersebut, KPK dalam sidang praperadilan mantan
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo membawa setumpuk alat
bukti untuk meyakinkan hakim tunggal Haswandi. Bahkan, KPK membawa
semua dokumen, mulai dari penyelidikan hingga penyelidikan perkara Hadi
untuk diserahkan kepada hakim.
Indriyanto berpendapat, pola baru yang diterapkan dalam praperadilan
ini, tidak sesuai dengan filosofi tertutup pada proses praajudikasi,
seperti penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. "(Semestinya) Filosofi
tertutup tentang alat bukti harus tetap dipertahankan sesuai aturan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)," ujarnya.
Tidak hanya KUHAP, berdasarkan penelusuran hukumonline, Pasal 17
UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) juga
mengatur mengenai informasi yang dikecualikan untuk dibuka. Antara lain,
informasi yang apabila dibuka dan diberikan dapat menghambat proses
penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana.
Adapun aturan lain dalam Pasal 18 ayat (3) UU KIP yang memperbolehkan
pembukaan informasi untuk kepentingan pemeriksaan perkara pidana di
pengadilan. Namun, pembukaan informasi tersebut hanya dapat dilakukan
dengan cara meminta izin kepada Presiden sebagaiaman diatur dalam Pasal
18 ayat (4) UU KIP.
Pasal 18 ayat (6) UU KIP
Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5)
diberikan oleh Presiden kepada Kepala Kepolisian RI, Jaksa Agung, Ketua
Komisi Pemberantasan Korupsi, Pimpinan Lembaga Negara Penegak Hukum
lainnya atau Ketua Mahkamah Agung.
|
Menanggapi kekhawatiran KPK akan rusak, hilang, atau disalahgunakannya
alat bukti yang dihadirkan di sidang praperadilan, Humas Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan I Made Sutrisna mengatakan, setiap bukti berupa
fotocopy yang diajukan di persidangan, termasuk sidang praperadilan
wajib ditunjukan aslinya di muka hakim.
"Memangnya bukti-bukti itu mau diapakan di persidangan, sampai rusak
atau hilang? (Bukti-bukti itu) Hanya ditunjukkan saja bahwa fotocopy ini
di-copy dari aslinya ini. Begitu saja kok. Tidak (disimpan di
pengadilan). Itu hanya untuk meyakinkan hakim bahwa fotocopy yang
diajukan bersumber dari aslinya," tuturnya.
Sebagaimana diketahui, 28 April 2015 lalu, MK merombak ketentuan Pasal
77 huruf a KUHAP tentang objek praperadilan dan sejumlah pasal lain di
dalam KUHAP tentang bukti permulaan yang cukup. MK menganggap Pasal 77
huruf a KUHAP inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai, termasuk
penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
Begitu pula dengan frasa "bukti permulaan yang cukup' dan 'bukti yang
cukup". MK menyatakan kedua frasa itu harus ditafsirkan
sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai
pemeriksaan calon tersangka, kecuali tindak pidana yang penetapan
tersangkanya dimungkinkan tanpa kehadirannya (in absentia).
Putusan MK inilah yang menjadi salah satu pertimbangan hakim tunggal
Upiek ketika memeriksa sah atau tidaknya penetapan tersangka Ilham.
Dengan alasan KPK tidak dapat menunjukan bukti permulaan yang cukup,
Upik menilai penetapan tersangka Ilham tidak sah. Alhasil, ia
membatalkan penetapan tersangka Ilham. (www.hukumonline.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar