* Hj. Elza Syarief, SH, MH
Ketika dijodohkan di usia muda, Elza sempat depresi. Namun, ia bangkit. Garis hidupnya berubah ketika mulai meniti karier sebagai pengacara. Kini, ia menjelma menjadi pengacara kenamaan.
Seperti yang sudah-sudah, hidupku tetap bagai burung dalam sangkar. Semua serba diawasi dan teratur. Saat liburan pun kegiatanku terjadwal. Di saat semua teman jalan-jalan atau kemping, aku sibuk dengan berbagai les. Memang, sih, didikan orang tua berbuah. Aku jadi juara pelajar teladan se provinsi Lampung.
Itu sebabnya, meski jarang main ke luar rumah, banyak orang yang mengenalku. Senang sekali waktu ulang tahun ke-17, guru dan murid sekolahku diundang semua. Ya, memang hampir semua mengenalku. Kupikir, inilah ulang tahunku yang paling spesial. Apalagi, aku sempat berdansa dengan Ayah.
Seingatku, hanya sekali seumur hidupku aku merasakan jalan-jalan bareng teman-teman. Waktu itu aku lulus SMA. Sebagai acara perpisahan, kami berwisata ke Jakarta. Guruku sampai membujuk Ibu, supaya memperbolehkan aku ikut. Wah, ibuku tuh sampai wanti-wanti agar aku dijaga baik-baik. Sampai di Jakarta pun, kakek datang bawakan kasur dan makanan.
BERJALAN DI KEGELAPAN Lulus SMA aku pindah ke Jakarta, sementara Ayah ditugaskan ke Aceh. Aku sempat kuliah beberapa bulan di sekolah sekretaris. Belum selesai, Ibu keburu menjodohkanku dengan pria yang jauh lebih tua. Terus terang aku sangat kaget. Aku, kan, masih kecil, belum genap 19 tahun! Takut rasanya karena aku belum ngerti apa-apa. Pacaran pun belum pernah, kok, ya mau dinikahkan.
Tapi toh semua harus kujalani juga. Aku merasa kebingungan karena tak tahu bagaimana menjadi seorang istri. Puncaknya, ketika aku hamil dan harus ikut suami tugas ke Bandung, aku merasa depresi berat. Selalu menangis histeris dan minta pulang. Lagi-lagi, Ibu tetap bersikeras memaksa aku harus tinggal.
Suatu malam dalam keadaan kalut, aku lari dari rumah. Jalan kaki entah ke mana dengan perut yang makin membesar. Waktu itu lampu kota Bandung mati total. Dalam kegelapan itu aku terus berjalan. Jelas semua kelabakan mencariku. Akhirnya, aku ditemukan mematung ketakutan di sebuah sudut jalan.
Satu-satunya orang yang membelaku hanya kakek. Dia menyesali kenapa aku harus cepat-cepat dijodohkan. Sayang, tak lama kakek berpulang. Saat itu kandunganku sudah masuk tujuh bulan. Segeralah aku pergi ke Jakarta dan memutuskan tak mau lagi pulang ke Bandung. Hingga akhirnya lahirlah anak pertamaku, Lia Alazia, 5 juli 1977.
Setelah itu, suamiku pindah ke Jakarta dan bekerja di Kejaksaan Agung. Kami kembali tinggal bersama, hingga aku melahirkan putri kedua, Mia Vinita, tiga tahun kemudian. Apa mau dikata, mahligai pernikahan kami tak bisa lebih lama dipertahankan. Memang tak kupungkiri, sebagian juga karena salahku. Aku menghadapi masalah besar, tapi belum mampu berpikir secara dewasa. Sementara, suami tak tahan hingga mungkin lari ke pangkuan wanita lain.
Tak tahulah. Yang pasti aku kembali sakit, kembali depresi. Sampai harus dibawa ke psikiater. Aku diobati intensif selama enam bulan. Dirawat dan diberi obat tidur agar berhenti menjerit-jerit histeris. Akhirnya demi kebaikanku, kami memutuskan bercerai di tahun 1981.
MENDADAK TENAR Ya begitulah, aku seperti kehilangan kendali. Satu-satunya jalan, aku banyak istigfar mendekatkan diri pada Allah. Sampai pada suatu hari dokter mengetes IQ-ku. Ternyata nilainya sangat tinggi. Dari situ aku mulai berpikir untuk menata hidup. Aku bangkit sedikit demi sedikit. Awalnya aku menyibukkan diri dengan ikut kursus gunting rambut dan desain baju.
Aku juga mulai berpikir untuk melanjutkan kuliah. Iseng-iseng aku ikut tes dan ternyata lulus. Aku masuk ke Fakultas Hukum, Universitas Jayabaya dengan pertimbangan tak jauh dari rumahku di Pulomas. Aku masih bisa mengurus anak-anak. Empat tahun kuliah, aku lulus dengan nilai tertinggi.
Tamat kuliah aku sebetulnya ingin jadi pegawai di kantor Ayah. Tapi, dia melarang dengan alasan tak mau aku hanya jadi bawahannya. Singkat cerita, aku malah bantu-bantu teman yang ikut kursus advokat. Misalnya saja menyiapkan materi untuk sidang. Sampai akhirnya tahun 1986, aku menjadi asisten pengacara Ikatan Warga Satya (IWS).
Masih kuingat, aku pertama kali menangani kasus buruh yaitu satpam dari Telkom yang di PHK karena ada penciutan pekerja. Syukurlah, aku berhasil mendamaikan. Meski tetap di-PHK, mereka mendapatkan penghargaan sehingga mudah mencari pekerjaan di tempat lain. Pesangon untuk mereka juga dinaikkan. Aku pun ketiban rejeki mendapat honor pertama sebesar Rp 300 ribu. Di tahun itu, honor yang kuterima termasuk luar biasa banyak.
Karena merasa kurang berkembang di IWS, tahun 1987 aku menjadi partner pengacara Palmer Situmorang, SH & Associate. Kasus demi kasus besar berhasil aku tangani. Termasuk itu lo, kasus Pratiwi yang dihukum 15 tahun karena pembunuhan berencana terhadap seorang dosen. Wah saat itu aku tenar mendadak. Dikejar wartawan dan masuk KOMPAS dan Majalah Tempo. Bangga benar rasanya. (http://nostalgia.tabloidnova.com/) |
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar