Sabtu, 11 Oktober 2014

Pengacara Selebritis dan Tanggung Jawab Profesi

Amrie Hakim*)

Ibu rumah tangga dan anak-anak sekarang sangat akrab dengan nama sejumlah pengacara ibukota macam Elza Syarief, Farhat Abbas, Hotman Paris Hutapea, atau Ruhut Sitompul. Fenomena itu tidak mengagetkan karena wajah mereka kerap berseliweran nyaris tiap hari di layar kaca, dari pagi hingga petang.


Kompas (22/01/2006) mencatat bahwa dalam sehari, pemirsa bisa menikmati setidaknya delapan dari 26 judul acara infotainment yang ditayangkan setiap hari. Berkat berbagai acara infotainment itulah, mereka pun menyandang sebutan baru yang lumayan keren; pengacara selebritis.

Sejauh ini, memang tidak ada definisi yang baku soal apa itu pengacara selebritis. Tapi biasanya istilah itu identik dengan para pengacara yang kerap mendampingi kalangan selebritis sebagai klien mereka. Atau bisa juga panggilan itu ditujukan untuk para pengacara yang sudah (terlanjur) menjadi selebritis. Para pengacara yang menjadi langganan para selebritis dan karenanya kerap muncul di televisi biasanya sudah dianggap selebritis oleh publik atau setidaknya oleh para kru infotainment.
Para pengacara selebritis ini agaknya menjadi fenomena tersendiri semenjak maraknya tayangan infotainment di televisi beberapa waktu terakhir. Setiap ada selebritis yang tersangkut masalah hukum, di sana pasti ada pengacara yang mendampingi dan, tentu saja, ikut berbicara. Tidak jarang, kehadiran para pengacara ini jauh lebih dominan dan lebih seru ketimbang klien yang mereka wakili. Contoh yang paling aktual adalah kasus yang kini sedang ramai yaitu soal keretakan rumah tangga pasangan artis Dea Mirella dan Eel.

Kasus ini unik karena sudah berkembang sedemikian rupa dan telah melebar menjadi pertikaian antarpengacara yang mewakili klien mereka. Sekadar sedikit bercerita, Elza Syarief yang mewakili Dea Mirella dilaporkan ke polisi oleh Eel, yang didampingi Ferry F
irman Nurwahyu, dengan tuduhan membongkar aib anak kedua pasangan itu. Menghadapi kasus pelaporan itu, Elza kemudian merekrut Farhat Abbas untuk menjadi pengacaranya.

Lucunya, belum lama menjadi pengacara Elza, Farhat malah terselip lidah saat berbicara kepada awak infotainment; dia menyebut pengacara Eel, Ferry Nurwahyu, sebagai orang yang awam hukum. Ferry yang merasa tersinggung dengan ucapan Farhat tersebut kemu
dian melaporkan Farhat ke polisi. Alhasil, kini Elza Syarief dan pengacaranya, Farhat Abbas, malah sama-sama berstatus sebagai terlapor. Pihak pengurus Himpunan Advokat/Pengacara Indonesia (HAPI), tempat Elza dan Farhat, bernaung juga telah berusaha menengahi sengketa itu. Belum lama ini, masalah tersebut akhirnya sampai juga ke meja Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi).

Itu baru satu contoh (kasus) di mana pengacara memegang peran utama dalam drama realitas tayangan infotainment. Tentu masih banyak lagi kasus hukum yang masuk infotainment di mana sosok pengacara menjadi t
ema sentralnya. Misalnya saja saat Elza Syarief diberhentikan oleh kliennya, Tamara Bleszynski, dalam kasus perceraian aktris cantik itu. Hal yang sebenarnya lumrah saja dalam hubungan pengacara-klien itu menjadi besar di lensa infotainment karena menyangkut Tamara dan Elza yang disebut sebagai "pengacara selebritis andal". Atau juga saat Hotman Paris mendampingi suami Sophia Latjuba, Michael Villareal, yang sempat tersandung kasus korupsi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu.

Budaya hukum populer dan opini publik

Hukum saat ini telah memasuki era imaji, begitu kata Richard K. Sherwin dalam eseinya bertajuk "Celebrity Lawyers and the Cult of Personality" (2003). Menurutnya, para pengacara yang dipandang paling terkenal adalah para ikon showbiz, pesohor di dalam budaya selebritas. Sherwin termasuk salah seorang akademisi yang mencermati fenomena pengacara selebritis di AS yang mencapai puncaknya saat meledaknya persidangan perkara O.J. Simpson pada 1995 lampau.

Sherwin, profesor hukum pada New York Law School, berpendapat, pengacara sebagai selebritis secara sadar telah menjadi bagian dari "mutually assured seduction that goes on between TV journalists and producers and the lawyer pundits, anchors, and screen personalities who help entertainment king". Sederhanya, Sherwin menilai para pengacara selebritis telah jatuh pada godaan popularitas yang dijanjikan dunia hiburan (televisi).

Dalam esei yang sama, Sherwin mengatakan bahwa para pengacara jenis ini telah "menjebakkan" diri mereka dalam skenario yang disusun oleh produser (program) televisi. Televisi, di pihak lain, sebagai media budaya populer dianggap sebagai guru paling digdaya dan persuasif yang pernah ada. Demikian tulis Michael Asimow dalam eseinya "Bad Lawyer in the Movies" (Nova Law Review, 2000).

Asimow, profesor hukum di UCLA School of Law, sangat percaya bahwa penggambaran (personalitas) pengacara yang kerap tampil di televisi (dan film) mampu membentuk (dan mengubah) persepsi publik mengenai profesi pengacara secara umum, melebihi pengalaman pribadi masing-masing individu dalam masyarakat itu sendiri. Selama ini publik senantiasa mengasosiasikan pengacara dengan babak terburuk kehidupan mereka, seperti perceraian, pembagian harta waris orangtua, sengketa dengan kantor pajak, persoalan terkait pinjaman di bank, atau masalah kepailitan. Dan bagi mereka yang belum pernah mengalaminya, mendapat pengalaman  itu di televisi.

Seorang teman di kantor saya misalnya, pernah berkomentar bahwa kehadiran pengacara tertentu dalam sebuah kasus peceraian sudah menjadi jaminan bahwa perceraian itu pasti akan terjadi. Persepsi itu ternyata dia peroleh setelah memperhatikan sejumlah kasus yang ditangani si pengacara wanita itu selalu sukses membawa pasangan selebritis ke pintu perceraian. Atau, seorang ibu rumah tangga sangat gregetan melihat tingkah seorang pengacara ditampilkan sebagai sosok yang terlalu mudah mengumbar komentar soal urusan "ranjang" pasangan selebritis kepada infotainment. Padahal, komentar-komentar semacam itulah yang dapat mendongkrak rating tayangan infotainment.

Asimow mendiagnosa ada tujuh faktor  yang dapat mempengaruhi persepsi publik mengenai pengacara. Pertama, faktor yang terkait dengan profesi kepengacaraan itu sendiri,  misalnya besarnya penghasilan pengacara atau meningkatnya jumlah pengacara dan kasus litigasi. Kedua, persidangan yang mendapat publisitas besar-besaran. Ketiga, faktor yang berkaitan dengan perubahan di  masyarakat,  misalnya semakin tingginya angka perceraian. Keempat, faktor terkait proses litigasi. Kelima, iklan pengacara (faktor ini mungkin dapat diabaikan dalam kasus Indonesia). Keenam, faktor hubungan masyarakat yang buruk. Ketujuh, stereotipe seorang pengacara sebagai manusia (umumnya berdasarkan pengalaman pribadi, keluarga atau teman).

Terkait faktor yang terakhir, sebagian masyarakat mungkin masih ingat tentang kasus rumah tangga yang menimpa salah seorang pengacara muda yang kebetulan beristrikan seorang artis. Penikahan secara sirri pengacara tersebut dengan wanita lain yang dilakukan tanpa sepengetahuan istri pertamanya kemudian tercium infotainment. Kasus itu kemudian diekspos habis-habisan selama beberapa pekan dan menjadi laporan utama sejumlah media elektronik juga cetak. Drama realitas (reality drama) pun tersaji dengan sang pengacara muda sebagai pemeran utamanya, dan kedua istrinya sebagai pemeran pendamping. Publik pun diarahkan untuk menilai siapa yang menjadi tokoh protagonis dan antagonis dalam drama realitas itu.

Gambaran-gambaran personalitas (segelintir) pengacara yang kurang baik dalam tayangan televisi itulah yang menjadi kecemasan Sherwin dan Asimow. Pasalnya, akar dari hukum dan praktik hukum tidak pernah lepas dari institusi sosial, politik, ekonomi, dan masyarakat tertentu. Hukum tidak otonom dan tidak bersifat tetap (unchangable). Karena itu, sebagaimana dikatakan Asimow, jika secara umum masyarakat membenci hukum dan pengacara, hal itu akan direfleksikan pada produk perundang-undangan yang dikeluarkan legislatif. Dan yang lebih mengerikan lagi, tambah Asimow, kesediaan publik untuk menggunakan sistem peradilan dan kepercayaan mereka akan supremasi hukum akan menurun jika mereka membenci para pengacara.

Sementara, Sherwin prihatin dengan maraknya fenomena pengacara selebritis karena khawatir akan menutupi peran banyak pengacara lain yang selama ini berjuang demi kepentingan masyarakat banyak. Mereka adalah para pengacara yang perjuangannya tidak pernah terendus radar budaya pop. Para pengacara berdedikasi yang masih menjunjung tinggi idealisme argumentasi yang penuh kehati-hatian, keadilan yang setara, dan supremasi hukum di atas godaan uang, kekuasaan, dan kultus selebritas. Para pengacara yang berbicara atas nama kaum miskin dan tak berdaya. Kompleksitas mereka tak terjemahkan ke dalam gambar dan suara yang menghibur.

Tanggung jawab profesi
Gambaran masyarakat Indonesia mengenai pengacara mungkin juga tidak jauh berbeda. Selama ini, publik lebih sering melihat sosok pengacara yang berada di belakang para tersangka/terdakwa koruptor, membela kalangan artis,  atau pengacara sebagai kolektor mobil super mewah dan pemilik rumah bak istana nan megah. Segala macam gambaran yang kian menegaskan bahwa pengacara lebih mendekati kegiatan bisnis ketimbang sebuah profesi.

Advokat adalah suatu profesi yang nobel dan sebenarnya penuh dengan pengabdian kepada pihak yang lemah (buta hukum), demikian seperti pernah dikatakan seorang pengacara senior (almarhum) Yap Thiam Hien sebagaimana dikutip Arief T. Surowidjojo dalam Tanggung Jawab Profesi Advokat (Hukum, Demokrasi & Etika: Lentera Menuju Perubahan, 2003). Itulah ungkapan perasaan Pak Yap tentang betapa mulianya profesi advokat yang dijalaninya.

Kita memang telah lama kehilangan (dan merindukan) sosok pengacara yang dapat dijadikan teladan, seperti Yap Thiam Hien. Kita yakin bahwa saat ini ada banyak pengacara yang sebenarnya dapat menjadi panutan bagi masyarakat, dan juga bagi rekan seprofesi mereka. Mereka adalah para advokat yang sepenuhnya sadar bahwa mereka mempunyai peran dan posisi serta sanggup menggulirkan perubahan-perubahan yang berarti, dan tidak malah menghabiskan waktu mereka dalam kurungan pekerjaaan profesi. Peran (profesi) pengacara semacam ini boleh jadi sangat jauh dari gambaran publik mengenai pengacara sebagaimana mereka saksikan di layar kaca.

Asimow percaya bahwa budaya hukum populer (tayangan televisi dan film) merefleksikan opini publik yang telah terbentuk sebelumnya mengenai pengacara. Dia mencermati bahwa persepsi publik mengenai pengacara belakangan ini sangat negatif yang ditunjukkan dari munculnya tokoh-tokoh pengacara yang memegang peranan buruk di dalam film-film Hollywood sejak 1970an. Padahal, pada periode sebelumnya, pengacara kerap digambarkan sebagai sosok yang baik dan jujur, profesional yang kompeten, dan tidak jarang sebagai pahlawan.

Untuk kasus Indonesia, gambaran pengacara dalam budaya pop antara lain dapat dilihat dari film berjudul Jatuh Cinta Lagi yang baru-baru ini dirilis. Film ini menceritakan percintaan Lila (diperankan oleh Krisdayanti), pengacara probono yang membela rakyat kecil dan perempuan teraniaya, dengan Andre (Gary Iskak), pengacara jetset yang suka berganti pacar. Dalam film itu kedua tokoh saling berhadapan dalam kasus perceraian artis dangdut Dea Angelia, sebagai klien dari Gatot, dengan pasangannya Gatot yang diwakili Lila. Keduanya berebut hak asuh atas anak mereka.

Sekilas film itu terkesan ingin menggambarkan dua jenis pengacara yang dikenal publik kita, pengacara idealis yang membela kaum lemah dan pengacara selebritis sebagai kaum berpunya. Namun, sebagaimana diulas Kompas (5/3/2006), ternyata tokoh Lila merupakan jiplakan dari tokoh Lucy yang diperankan Sandra Bullock dalam film Hollywood berjudul Two Weeks Notice. Di satu sisi, hal itu bisa dipandang sebagai tidak kreatifnya sang pembuat film. Tapi di sisi lain, hal demikian juga menunjukkan betapa publik tidak dapat menggambarkan bagaimana figur seorang pengacara probono yang membela rakyat kecil dan perempuan teraniaya yang jarang terekspos di televisi. Sementara, film itu demikian mendetil saat mengisahkan kasus perceraian dan perebutan hak asuh anak pasangan selebritis yang kerap mencuat di infotainment.

Agaknya berpulang kepada para pengacara itu sendiri bagaimana mengubah persepsi publik mengenai profesi yang mereka jalani. Bagaimana agar publik menjadi tahu bahwa tak melulu pengacara mengejar popularitas. Bagaimana supaya masyarakat tahu bahwa gelimang uang bukanlah tujuan utama seorang sarjana hukum memilih menjadi pengacara. Dibutuhkan (lebih) banyak pengacara yang penuh pengabdian kepada pihak yang lemah untuk menyeimbangi para pengacara yang hanya mengejar uang dan ketenaran belaka.

*) Penulis adalah alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Kini bekerja di sebuah stasiun televisi swasta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar