Dalam sebuah diskusi mengenai RUU Bantuan Hukum, salah satu poin krusial yang menjadi bahan pembahasan yang penting adalah tentang kedudukan Paralegal dalam gerakan bantuan hukum. Paralegal secara definisi menurut saya adalah orang – orang yang dilatih secara khusus untuk memiliki kemampuan dasar serta pengetahuan dasar dalam pemberian beberapa tindakan hukum namun berada di bawah supervisi seorang advokat. Dalam definisi tersebut, paralegal tidak hanya terbatas pada mahasiswa hukum atau sarjana hukum namun juga masyarakat umum yang memang dilatih secara khusus untuk memiliki kemampuan membantu pekerjaan seorang advokat. Dalam konteks ini paralegal punya kedudukan yang sama seperti paramedis yaitu mantri, bidan, atau perawat yang tetap tidak bisa menggantikan fungsi sentral dari seorang dokter.
Paralegal tidak hanya ditemukan dalam organisasi bantuan hukum namun juga dapat ditemukan dalam firma – firma hukum raksasa. Mungkin ada yang pernah membaca salah satu novel dari John Grisham, Street Lawyer, disitu ada sedikit cerita tentang Paralegal dan pekerjaan apa saja yang dilakukan oleh seorang Paralegal. Di Indonesia sendiri paralegal memiliki kedudukan yang cukup unik, di masa lalu ia lebih dikenal dengan pokrol bambu. Pokrol Bambu dulu di adaptasi untuk menjembatani kekurangan tenaga Advokat yang masih sangat sedikit jumlahnya di Indonesia.
Salah satu yang menjadi perhatian saya adalah soal paralegal ini, karena beberapa kelompok seperti Pokja Paralegal menuntut diakuinya peran paralegal dalam bantuan hukum. Dalam satu sisi saya mengerti bahwa peran paralegal memang masih dibutuhkan karena ketersediaan Advokat yang belum merata di seluruh Indonesia. Berdasarkan data dari PERADI per 30 Maret 2010, jumlah anggota PERADI terbanyak berada di Jawa yaitu sejumlah 7954 anggota dan kemudian diikuti dengan Sumatera sebanyak 2351 anggota. Di Jawa sendiri konsentrasi terbesar advokat berada di Jakarta Selatan 1860 anggota dan diikuti di Jakarta Pusat sebanyak 1103 anggota. Sementara di Sumatera konsentrasi advokat terbesar berada di Medan dengan jumlah 1045 anggota. Dengan data itu dibanding dengan luas wilayah Indonesia dan jumlah penduduk Indonesia maka ketersediaan Advokat terkait dengan aksesibilitas masyarakat miskin terhadap keadilan memang masih minim.
Salah satu yang menjadi perhatian saya adalah soal paralegal ini, karena beberapa kelompok seperti Pokja Paralegal menuntut diakuinya peran paralegal dalam bantuan hukum. Dalam satu sisi saya mengerti bahwa peran paralegal memang masih dibutuhkan karena ketersediaan Advokat yang belum merata di seluruh Indonesia. Berdasarkan data dari PERADI per 30 Maret 2010, jumlah anggota PERADI terbanyak berada di Jawa yaitu sejumlah 7954 anggota dan kemudian diikuti dengan Sumatera sebanyak 2351 anggota. Di Jawa sendiri konsentrasi terbesar advokat berada di Jakarta Selatan 1860 anggota dan diikuti di Jakarta Pusat sebanyak 1103 anggota. Sementara di Sumatera konsentrasi advokat terbesar berada di Medan dengan jumlah 1045 anggota. Dengan data itu dibanding dengan luas wilayah Indonesia dan jumlah penduduk Indonesia maka ketersediaan Advokat terkait dengan aksesibilitas masyarakat miskin terhadap keadilan memang masih minim.
Dari titik ini saya memandang bahwa peran Paralegal memang masih penting dan pasti juga dibutuhkan oleh masyarakat. Namun pada saat yang sama memberikan peran yang besar dan mendudukan Paralegal dalam kedudukan yang setara dengan Advokat tentu menjadi masalah besar. Saya sendiri dalam posisi masih menerima jika Paralegal hendak masuk dalam bagian di RUU Bantuan Hukum sepanjang Paralegal berada di bawah pengawasan Advokat. Selain itu ada dua alasan mendasar saya saat saya menolak keras jika Paralegal bisa masuk dalam ruang sidang apalagi tanpa supervisi seorang Advokat yaitu:
Soal Psikologis
Soal psikologis ini penting, bagaimana jika masyarakat miskin tahu bahwa yang mendampingi mereka sebagai kuasa hukum di Pengadilan bukanlah seorang Advokat dan orang tersebut harus berhadapan dengan seorang Penuntut yang memiliki kualifikasi khusus dan tinggi. Tidakkah mereka akan dikecewakan, dan akan beranggapan bahwa hanya orang – orang kaya saja yang berhak di dampingi oleh Advokat sementara si miskin hanya mendapat kuasa sekelas Paralegal. Dari sini perimbangan politik antara si miskin yang diwakili oleh Paralegal dengan negara yang diwakili oleh Penuntut menjadi semakin tidak seimbang.
Soal psikologis ini penting, bagaimana jika masyarakat miskin tahu bahwa yang mendampingi mereka sebagai kuasa hukum di Pengadilan bukanlah seorang Advokat dan orang tersebut harus berhadapan dengan seorang Penuntut yang memiliki kualifikasi khusus dan tinggi. Tidakkah mereka akan dikecewakan, dan akan beranggapan bahwa hanya orang – orang kaya saja yang berhak di dampingi oleh Advokat sementara si miskin hanya mendapat kuasa sekelas Paralegal. Dari sini perimbangan politik antara si miskin yang diwakili oleh Paralegal dengan negara yang diwakili oleh Penuntut menjadi semakin tidak seimbang.
Soal Pengawasan
Siapakah yang mengawasi Paralegal jika ia diperkenankan masuk ke ruang sidang jika tanpa supervisi seorang Advokat? Ingatlah pada umumnya Paralegal hanya dibekali kemampuan dan pengetahuan dasar tentang hukum dan beberapa tindakan hukum tertentu.
Siapakah yang mengawasi Paralegal jika ia diperkenankan masuk ke ruang sidang jika tanpa supervisi seorang Advokat? Ingatlah pada umumnya Paralegal hanya dibekali kemampuan dan pengetahuan dasar tentang hukum dan beberapa tindakan hukum tertentu.
Saya sempat mengingatkan bahwa Pengawasan terhadap Advokat saja masih lemah, dan masih cukup banyak Advokat yang malah terlibat dalam sebuah mafia hukum yang secara prinsip telah merugikan kepentingan keadilan. Nah, jika Paralegal hendak diberikan ruang yang sama dengan Advokat, tidakkah kita memberikan suatu celah untuk munculnya Mafia – Mafia baru? Berkedok Paralegal yang kemudian bergaya seperti seorang Advokat namun bertingkah laku yang melanggar hukum dan etika
Saya sendiri punya pengalaman di suatu kasus pidana, dimana klien saya pernah ditawari untuk didampingi seorang yang mengaku Advokat namun ketika saya cek di data anggota PERADI, ia bukan anggota dari PERADI. Well, mungkin saja ia anggota KAI atau PERADIN. Namun berdasarkan pemaparan rekan saya, orang tersebut mengaku sebagai anggota dan pengurus di PERADI DPC Jakarta Pusat, tapi sayangnya ketika ditelusuri nama yang bersangkutan sama sekali tidak terdaftar di database anggota PERADI. Dugaan saya ia adalah orang seperti Paralegal yang berlagak seperti Advokat dan mempunyai jaringan luas di kalangan penegak hukum tertentu akan tetapi sama sekali tidak menjalankan apa yang seharusnya dijalankan
Dalam beberapa kesempatan saya selalu menyatakan bahwa sebaiknya Paralegal ini hanya berada di lingkungan organisasi bantuan hukum dan bukan memiliki kedudukan yang sama dengan Advokat. Paralegal dalam Organisasi Bantuan Hukum ini bisa melakukan tindakan – tindakan tertentu dibawah pengawasan seorang Advokat. Begitu juga di dalam ruang sidang, saya pribadi tidak keberatan jika Paralegal masuk ke dalam ruang sidang namun tetap berada di bawah pengawasan Advokat. Artinya si Advokat itu tetap ada di ruang sidang dan bukannya malah tidak ada Advokatnya sama sekali. Nah, artinya jika Paralegal ini melakukan tindakan di luar koridor yang telah ditentukan maka si Advokat ini yang akan diberikan sanksi baik secara etika maupun secara hukum.
Beberapa teman baik saya bertanya, bagaimana jika di Pengadilan itu tidak ada Advokat sama sekali? Saya selalu berkata, bisa dikoordinasikan menggunakan sistem Advokat terbang atau jika mau Organisasi Advokat bisa memfungsikan duty lawyer untuk anggota ke beberapa Pengadilan yang memang tidak ada Advokat sama sekali.
Nah, saya sendiri tidak tahu bagaimana proses politik di DPR ke depan terutama berkaitan dengan Paralegal ini, mari kita lihat. (http://anggara.org/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar