Boleh dibilang, kami termasuk keluarga pengacara.
Atuk (kakek) adalah seorang fakrul, atau pengacara kampung zaman Hindia Belanda. Beliau
belajar hukum secara otodidak dan mengerti bahasa Belanda.
Ia memiliki besluit khusus dari Ratu Wilhelmina untuk beracara di pengadilan.
Besluit itu ia peroleh karena ia punya hubungan baik dengan banyak
bangsawan Kesultanan Siak dan bangsawan Kesultanan Deli. Selain itu ia juga
punya koneksi dengan beberapa pegawai tinggi bangsa Belanda.
Anaknya, atau paman saya, adalah seorang sarjana hukum lulusan UGM.
Sedang adik saya kini sedang menyelesaikan S3 hukum Tipikornya di Australia.
Mereka bertiga punya kisah unik masing-masing. Namun ketiga kisah itu mirip satu sama lain.
Atuk pernah 'dibayar' oleh kliennya, seorang disertir kuli kontrak yang ditangkap
tentara Belanda, dengan pisang dan talas. Padahal waktu itu,
kedua makanan itu banyak sekali tumbuh di halaman belakang rumah atuk.
Tapi atuk tetap menerimanya untuk menjaga marwah sang disertir.
Lain lagi cerita paman. Ia pernah hanya 'dibayar' dengan pelukan, ucapan terima kasih
dan tangis bahagia dari kliennya.
Berhubung mengetahui kliennya itu seorang nelayan yang sangat miskin,
paman malah ikut menangis dalam pelukan kliennya itu.
Adapun adik saya, waktu masih kuliah S1 dan magang di
biro hukum paman, pernah membela seorang abang beca yang tersangkut kasus
pencemaran nama baik, junto perbuatan tidak menyenangkan, junto bla bla bla.
Sebagai bayarannya, adik ditawarkan untuk keliling kota Medan naik beca itu
secara gratis! Hahaha...
Beberapa hari kemudian, adik bersama dua orang kawan kuliahnya, datang menagih 'bayaran'
dari abang beca itu. Lalu abang beca itu pun dengan senang hati
mendayung becanya berkeliling kota.
Di tengah perjalanan, salah satu teman adik, Fadli,
(sekarang Mhd.Fadli, S.H, M.H, staf ahli DPRD Batu Bara) ,
memaksa abang beca itu untuk bergantian mendayung.
Berhubung sebelumnya Fadli tidak punya pengalaman, maka tak ayal
beca yang dikemudikannya terus menerus belok ke kiri, dan....
tak terhindarkan lagi, beca mereka berempat pun masuk ke dalam parit.
Dasar anak muda, mereka malah tertawa tak habis-habisnya
di dalam aliran parit Sei Mati.
Garpu depan beca itu patah, akibatnya mereka terpaksa patungan
membeli garpu beca yang baru. Masih untung tak ada yang terluka.
sumber: http://www.kompasiana.com
Atuk (kakek) adalah seorang fakrul, atau pengacara kampung zaman Hindia Belanda. Beliau
belajar hukum secara otodidak dan mengerti bahasa Belanda.
Ia memiliki besluit khusus dari Ratu Wilhelmina untuk beracara di pengadilan.
Besluit itu ia peroleh karena ia punya hubungan baik dengan banyak
bangsawan Kesultanan Siak dan bangsawan Kesultanan Deli. Selain itu ia juga
punya koneksi dengan beberapa pegawai tinggi bangsa Belanda.
Anaknya, atau paman saya, adalah seorang sarjana hukum lulusan UGM.
Sedang adik saya kini sedang menyelesaikan S3 hukum Tipikornya di Australia.
Mereka bertiga punya kisah unik masing-masing. Namun ketiga kisah itu mirip satu sama lain.
Atuk pernah 'dibayar' oleh kliennya, seorang disertir kuli kontrak yang ditangkap
tentara Belanda, dengan pisang dan talas. Padahal waktu itu,
kedua makanan itu banyak sekali tumbuh di halaman belakang rumah atuk.
Tapi atuk tetap menerimanya untuk menjaga marwah sang disertir.
Lain lagi cerita paman. Ia pernah hanya 'dibayar' dengan pelukan, ucapan terima kasih
dan tangis bahagia dari kliennya.
Berhubung mengetahui kliennya itu seorang nelayan yang sangat miskin,
paman malah ikut menangis dalam pelukan kliennya itu.
Adapun adik saya, waktu masih kuliah S1 dan magang di
biro hukum paman, pernah membela seorang abang beca yang tersangkut kasus
pencemaran nama baik, junto perbuatan tidak menyenangkan, junto bla bla bla.
Sebagai bayarannya, adik ditawarkan untuk keliling kota Medan naik beca itu
secara gratis! Hahaha...
Beberapa hari kemudian, adik bersama dua orang kawan kuliahnya, datang menagih 'bayaran'
dari abang beca itu. Lalu abang beca itu pun dengan senang hati
mendayung becanya berkeliling kota.
Di tengah perjalanan, salah satu teman adik, Fadli,
(sekarang Mhd.Fadli, S.H, M.H, staf ahli DPRD Batu Bara) ,
memaksa abang beca itu untuk bergantian mendayung.
Berhubung sebelumnya Fadli tidak punya pengalaman, maka tak ayal
beca yang dikemudikannya terus menerus belok ke kiri, dan....
tak terhindarkan lagi, beca mereka berempat pun masuk ke dalam parit.
Dasar anak muda, mereka malah tertawa tak habis-habisnya
di dalam aliran parit Sei Mati.
Garpu depan beca itu patah, akibatnya mereka terpaksa patungan
membeli garpu beca yang baru. Masih untung tak ada yang terluka.
sumber: http://www.kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar