Rabu, 12 Agustus 2015

Diusulkan, Pemusatan Mekanisme Penegakan Kode Etik Advokat


Gagasan pemusatan mekanisme penegakan kode etik advokat dipandang sulit terwujud selama peleburan delapan organisasi advokat juga belum terealisir.

Sejak Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) berdiri pada Desember 2004, isu peleburan delapan organisasi advokat selalu menjadi perdebatan hangat di kalangan advokat. Ketika Sudjono mengajukan permohonan pengujian UU Advokat ke Mahkamah Konstitusi, masalah ini juga diperdebatkan di kalangan advokat sendiri.

Hampir tiga tahun berselang, isu tersebut tetap hanya menjadi isu dan faktanya kedelapan organisasi advokat masih tetap eksis. Walaupun belum kunjung terealisir, semangat untuk mempersatukan advokat dalam satu payung organisasi selalu saja didengung-dengungkan, khususnya oleh PERADI.

Dalam konteks penegakan kode etik advokat, gagasan peleburan atau lebih tepatnya pemusatan disuarakan oleh Sugeng Teguh Santoso, Sekretaris I Dewan Kehormatan Pusat (DKP) PERADI. Sugeng mengusulkan agar kedelapan organisasi advokat mempercayakan mekanisme penegakan kode etik kepada PERADI. Sebagaimana diketahui, masing-masing delapan organisasi advokat secara struktural memiliki suatu organ yang bertugas menegakkan kode etik advokat.

Menurut Sugeng, tuntutan ini sudah ditegaskan dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Pasal 26 ayat (4) UU Advokat menyatakan Pengawasan atas pelaksanaan kode etik profesi Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat. Sementara, organisasi advokat yang dimaksud adalah satu-satunya wadah profesi Advokat yang dibentuk sesuai UU Advokat. Oleh karena itu, dari sisi saya, mohon pengertian dari kedelapan organisasi bahwa bahwa kewenangan memeriksa yang berujung pada penjatuhan sanksi hanya ada pada PERADI, kata Sugeng, ditemui dalam acara Pelantikan Pengurus DPP SPI beberapa waktu lalu.

Sugeng memandang penegakan kode etik akan lebih efektif apabila diserahkan ke PERADI mengingat kewenangan yang dimilikinya lebih besar dari organisasi advokat lainnya. Dewan Kehormatan organisasi advokat, lanjutnya, paling berat hanya dapat menjatuhkan sanksi berupa pencabutan keanggotaan pada organisasi advokat tersebut, sedangkan PERADI dapat mencabut izin advokat yang bersangkutan.

Melebur dulu
Gagasan yang dilontarkan Sugeng memancing komentar dari beberapa pengurus organisasi advokat. Zul Armain Aziz, Ketua Dewan Kehormatan DPC IKADIN Jakarta Barat, mengatakan wacana pemusatan mekanisme penegakan kode etik tidak relevan selama organisasi advokat belum melebur menjadi satu. Selama peleburan belum terjadi, Zul menduga organisasi advokat manapun tidak akan rela menyerahkan kewenangan pendisiplan anggotanya kepada PERADI.

Sebagai jalan tengah, Zul menawarkan solusi agar PERADI diposisikan sebagai wadah bagi advokat yang merasa tidak puas dengan keputusan dewan kehormatan organisasi advokat dimana ia bernaung. Dengan posisi tersebut maka PERADI akan berfungsi sebagai lembaga koreksi atas putusan dewan kehormatan pada level organisasi advokat. Jadi, menurut saya, harus tetap ada di organisasi advokat masing-masing. PERADI hanya menerima semacam kasasi saja, sambungnya.

Sementara itu, anggota Dewan Kehormatan DPP AAI Soeryadi WS berpendapat gagasan ini harus dikembalikan pada aturan-aturan yang berlaku. Soeryadi mengatakan sepengetahuannya tidak ada ketentuan yang menyatakan mekanisme penegakan kode etik pada level organisasi advokat memiliki keterkaitan dengan mekanisme yang ada di PERADI. Kalau memang dikehendaki seperti itu, harus dibuat aturannya dan disepakati oleh kedelapan organisasi advokat yang ada, ujar Soeryadi, mencoba menawarkan solusi.

Hukum acara masih dibahas
Ditemui pada kesempatan berbeda (16/2), Sugeng menginformasikan jajaran DKP masih intens merumuskan hukum acara. Dia mengatakan perumusan hukum acara sedikit ada kendala karena masing-masing anggota DKP sibuk sehingga sulit bertemu. Namun begitu, Sugeng meyakini kendala tersebut dapat segera diatasi sehingga hukum acara dapat dirampungkan sesuai target, yakni satu bulan.

Dalam dua minggu ini kita akan kompilasi usulan-usulan yang ada, lalu dua minggu berikutnya akan digodok. Seminggu kita bisa bertemu tiga kali, kata Sugeng.

Sedikit memberikan bocoran, hukum acara yang tengah digodok nantinya akan mengatur tentang saksi dan alat bukti, jenis hukuman, biaya perkara, dan akuntabilitas publik. Misalnya, ada usulan apabila advokat yang telah dijatuhi hukuman tetapi tidak menjalankannya atau justru melanggarnya maka hukumannya akan diperberat. Kalau advokat tersebut diskors tetapi diketahui tetap menjalankan praktek, maka akan diperberat sampai pencabutan sebagai advokat, ujarnya, memberi contoh.

Selain hukum acara, akan dirumuskan pula kode etik internal yang akan diberlakukan di kalangan DKP sendiri. Kode etik tersebut diantaranya mengatur bagaimana mekanisme yang berlaku apabila anggota DKP memiliki kepentingan dengan kasus pelanggaran etik yang ditangani.
sumber: http://www.hukumonline.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar