Gagasan pemusatan mekanisme penegakan kode etik
advokat dipandang sulit terwujud selama peleburan delapan organisasi
advokat juga belum terealisir.
Sejak Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) berdiri
pada Desember 2004, isu peleburan delapan organisasi advokat selalu
menjadi perdebatan hangat di kalangan advokat. Ketika Sudjono mengajukan
permohonan pengujian UU Advokat ke Mahkamah Konstitusi, masalah ini
juga diperdebatkan di kalangan advokat sendiri.
Hampir
tiga tahun berselang, isu tersebut tetap hanya menjadi isu dan faktanya
kedelapan organisasi advokat masih tetap eksis. Walaupun belum kunjung
terealisir, semangat untuk mempersatukan advokat dalam satu payung
organisasi selalu saja didengung-dengungkan, khususnya oleh PERADI.
Dalam
konteks penegakan kode etik advokat, gagasan peleburan atau lebih
tepatnya pemusatan disuarakan oleh Sugeng Teguh Santoso, Sekretaris I
Dewan Kehormatan Pusat (DKP) PERADI. Sugeng mengusulkan agar kedelapan
organisasi advokat mempercayakan mekanisme penegakan kode etik kepada
PERADI. Sebagaimana diketahui, masing-masing delapan organisasi advokat
secara struktural memiliki suatu organ yang bertugas menegakkan kode
etik advokat.
Menurut
Sugeng, tuntutan ini sudah ditegaskan dalam UU No. 18 Tahun 2003
tentang Advokat. Pasal 26 ayat (4) UU Advokat menyatakan Pengawasan atas pelaksanaan kode etik profesi Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat.
Sementara, organisasi advokat yang dimaksud adalah satu-satunya wadah
profesi Advokat yang dibentuk sesuai UU Advokat. Oleh karena itu, dari
sisi saya, mohon pengertian dari kedelapan organisasi bahwa bahwa
kewenangan memeriksa yang berujung pada penjatuhan sanksi hanya ada pada
PERADI, kata Sugeng, ditemui dalam acara Pelantikan Pengurus DPP SPI beberapa waktu lalu.
Sugeng
memandang penegakan kode etik akan lebih efektif apabila diserahkan ke
PERADI mengingat kewenangan yang dimilikinya lebih besar dari organisasi
advokat lainnya. Dewan Kehormatan organisasi advokat, lanjutnya, paling
berat hanya dapat menjatuhkan sanksi berupa pencabutan keanggotaan pada
organisasi advokat tersebut, sedangkan PERADI dapat mencabut izin
advokat yang bersangkutan.
Melebur dulu
Gagasan
yang dilontarkan Sugeng memancing komentar dari beberapa pengurus
organisasi advokat. Zul Armain Aziz, Ketua Dewan Kehormatan DPC IKADIN
Jakarta Barat, mengatakan wacana pemusatan mekanisme penegakan kode etik
tidak relevan selama organisasi advokat belum melebur menjadi satu.
Selama peleburan belum terjadi, Zul menduga organisasi advokat manapun
tidak akan rela menyerahkan kewenangan pendisiplan anggotanya kepada
PERADI.
Sebagai
jalan tengah, Zul menawarkan solusi agar PERADI diposisikan sebagai
wadah bagi advokat yang merasa tidak puas dengan keputusan dewan
kehormatan organisasi advokat dimana ia bernaung. Dengan posisi tersebut
maka PERADI akan berfungsi sebagai lembaga koreksi atas putusan dewan
kehormatan pada level organisasi advokat. Jadi, menurut saya, harus
tetap ada di organisasi advokat masing-masing. PERADI hanya menerima
semacam kasasi saja, sambungnya.
Sementara
itu, anggota Dewan Kehormatan DPP AAI Soeryadi WS berpendapat gagasan
ini harus dikembalikan pada aturan-aturan yang berlaku. Soeryadi
mengatakan sepengetahuannya tidak ada ketentuan yang menyatakan
mekanisme penegakan kode etik pada level organisasi advokat memiliki
keterkaitan dengan mekanisme yang ada di PERADI. Kalau memang
dikehendaki seperti itu, harus dibuat aturannya dan disepakati oleh
kedelapan organisasi advokat yang ada, ujar Soeryadi, mencoba menawarkan
solusi.
Hukum acara masih dibahas
Ditemui pada kesempatan berbeda (16/2), Sugeng menginformasikan jajaran DKP masih intens merumuskan hukum acara. Dia
mengatakan perumusan hukum acara sedikit ada kendala karena
masing-masing anggota DKP sibuk sehingga sulit bertemu. Namun begitu,
Sugeng meyakini kendala tersebut dapat segera diatasi sehingga hukum
acara dapat dirampungkan sesuai target, yakni satu bulan.
Dalam
dua minggu ini kita akan kompilasi usulan-usulan yang ada, lalu dua
minggu berikutnya akan digodok. Seminggu kita bisa bertemu tiga kali,
kata Sugeng.
Sedikit
memberikan bocoran, hukum acara yang tengah digodok nantinya akan
mengatur tentang saksi dan alat bukti, jenis hukuman, biaya perkara, dan
akuntabilitas publik. Misalnya, ada usulan apabila advokat yang telah
dijatuhi hukuman tetapi tidak menjalankannya atau justru melanggarnya
maka hukumannya akan diperberat. Kalau advokat tersebut diskors tetapi
diketahui tetap menjalankan praktek, maka akan diperberat sampai
pencabutan sebagai advokat, ujarnya, memberi contoh.
Selain
hukum acara, akan dirumuskan pula kode etik internal yang akan
diberlakukan di kalangan DKP sendiri. Kode etik tersebut diantaranya
mengatur bagaimana mekanisme yang berlaku apabila anggota DKP memiliki
kepentingan dengan kasus pelanggaran etik yang ditangani.
sumber: http://www.hukumonline.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar