Mahkamah Konstitusi diminta membatalkan kewenangan Kepolisian Negara RI untuk meregistrasi dan mengidentifikasi kendaraan bermotor serta kewenangan menerbitkan surat izin mengemudi. Hal itu tidak sesuai dengan maksud konstitusi karena tugas utama Polri adalah melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Polri tidak seharusnya mengurus persoalan teknis seperti itu.
Permohonan diajukan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Polri (Koreksi) yang terdiri dari Alissa Wahid yang mewakili jaringan Gusdurian, Malang Corruption Watch, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia yang diwakili Alvon Kurnia Palma, dan Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah yang diwakili Dahnil Anzhar. Sidang perdana digelar Kamis (6/8) dan dipimpin Hakim Konstitusi Manahan Sitompul.
Mereka mempersoalkan Pasal 15 Ayat (2) Huruf b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan Pasal 64 Ayat (4) dan (6), Pasal 67 Ayat (3), Pasal 68 Ayat (6), Pasal 69 Ayat (2) dan (3), Pasal 72 Ayat (1) dan (3), Pasal 75, Pasal 85 Ayat (5), Pasal 87 Ayat (2), dan Pasal 88 UU No 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal-pasal ini memang menjadi dasar polisi menyelenggarakan registrasi, identifikasi, dan penerbitan SIM. Namun, sejumlah pasal itu dinilai bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945.
"Jika melihat konsep dasar kepolisian sebagaimana yang dimaksud konstitusi, maka kewenangan tersebut tidak ditemukan. Dua undang-undang itu secara salah kaprah memberikan kewenangan kepada kepolisian untuk mengurus hal-hal teknis," kata kuasa hukum Koreksi, Erwin Natoesmal Oemar, kemarin.
Menurut Erwin, tugas utama polisi adalah melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. "Namun, masyarakat tidak pernah terlayani dan penegakan hukum kerap disalahgunakan," ujarnya.
Sebagai pembanding, pemohon kemudian mencontohkan praktik pengurusan SIM di negara lain. Di Malaysia, urusan itu dikerjakan Departemen Transportasi Darat. Model serupa diterapkan di Singapura, Inggris, India, dan Amerika Serikat. Khusus untuk AS, ada bagian khusus, yaitu Departemen Kendaraan Bermotor yang mengurusnya.
Atas dasar itu, Manahan lantas menanyakan apakah pemohon juga meminta agar urusan itu diserahkan kepada Kementerian Perhubungan. Namun, kuasa hukum pemohon lainnya, Julius Ibrani, menolak kesimpulan seperti itu.
"Tidak demikian. Jika kepolisian dinyatakan tidak berwenang lagi, nanti pemerintah yang akan memutuskan instansi mana yang menjalankan urusan tentang SIM/STNK," ujarnya.
Hakim Konstitusi Patrialis Akbar mempertanyakan salah satu anggapan pemohon terkait persepsi publik bahwa polisi masih korup. "Ini asumsi atau dapat dibuktikan," katanya.
Terkait uji materi itu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Agus Rianto belum ingin berkomentar banyak. Ia tak mau berandai-andai mengenai persoalan tersebut. Hanya saja, yang dilakukan Polri sudah sesuai dengan regulasi. "Memang belum sempurna, tetapi kami akan terus berupaya untuk lebih baik dan lebih profesional," ujar Agus.
sumber: http://nasional.kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar