Mulai dari kelompok teroris, ateis, skeptis, hingga kelompok arogan.
UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, menyediakan mekanisme hukum untuk mengajukan perlawanan (challenge).
Perlawanan ini bisa dilakukan terhadap arbiter yang diduga akan
melaksanakan tugasnya dengan memihak salah satu pihak. Mekanisme yang
diatur dalam Pasal 22 UU Abitrase itu biasa disebut dengan hak ingkar.
Satu-satunya arbiter Indonesia yang duduk sebagai anggota International Chamber of Commerce (ICC), Frans Hendra Winarta, mencatat bahwa hak ingkar bisa saja menjadi penghambat proses penyelesaian sengketa itu sendiri. Bahkan, Frans menilai upaya tersebut bisa menjadi langkah dalam rangka menggagalkan arbitrase. Ia mengakui langkah tersebut sering dilakukan oleh salah satu pihak dibantu para advokatnya.
“Apalagi dasar yang diberikan oleh UU Arbitrase mengenai hak ingkar ini terlalu luas dan tidak ada penjelasaannya,” kata Frans di kantornya, Kamis (4/6).
Frans juga sangat menyayangkan, hambatan proses arbitrase sering dilakukan oleh kuasa hukum para pihak. Ia pun menyebut mereka sebagai trouble maker lawyer. Frans mengatakan, para advokat itu menghambat arbitrase lantaran tidak paham dan tidak percaya dengan proses penyelesaian sengketa tersebut.
Ia mengatakan, seringkali para advokat lebih nyaman dengan proses litigasi konvensional. Frans menggolongkan, ada empat kelompok yang sering menghambat arbitrase. Merujuk pada pengelompokan yang dibuat oleh Michael Hwang, Frans menyebut para advokat itu terbagi dalam empat golongan.
“Pertama, mereka yang menurut Michael Hwang sebagai advokat teroris. Kedua, kelompok advokat ateis. Selanjutnya, advokat skeptis. Terakhir, kelompok orang baru yang arogan,” paparnya.
Advokat teroris, menurut Frans adalah mereka yang selalu berusaha untuk menunda dan menggagalkan proses arbitrase. Ia mengatakan, biasanya advokat itu akan mengajukan keberaan atas yurisdiksi yang dimiliki oleh majelis. Hal ini dilakukan agar perkara bisa dibawa ke pengadilan negeri.
Jika advokat tersebut gagal meruntuhkan yurisdiksi majelis, mereka akan mengajukan hak ingkar. Frans menuturkan, hal ini dilakukan untuk menunda proses pemeriksaan. Namun jika langkah ini juga gagal, mereka akan mengajukan gugatan pembatalan.
Advokat ateis adalah advokat lokal yang tidak mau mengikuti proses yang melibatkan advokat atau arbiter asing. Menurut Frans, kebanyakan alasannya hanya karena pengalaman yang minim di dunia arbitrase internasional. Sementara itu, advokat skeptis adalah mereka yang tidak nyaman dengan pilihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Mereka berpendapat, pengadilan selalu lebih baik ketimbang arbitrase.
Terakhir, advokat yang masuk dalam kelompok orang baru. Frans menuturkan, kelompok ini terdiri dari mereka pada advokat yang selalu menunjukan sikap arogan dan menganggap telah mengerti arbitrase. Padahal, menurut Frans, mereka sebenarnya masih membutuhkan banyak bimbingan.
“Pada dasarnya kelompok ini tidak mempunyai niat untuk menghambat atau menunda proses arbitrase. Namun, pada faktanya tindakan mereka secara tidak langsung dapat menghambat proses arbitrase,” ujarnya.
Frans pun punya kiat bagi para arbiter untuk menghindari para trouble maker lawyer. Menurutnya, calon arbiter harus memastikan tidak ada benturan kepentingan dengan para pihak. Ia yakin, jika arbiter bisa bersikap imparsial, maka ia bisa menjalankan tugasnya dengan mandiri dan optimal.
Satu-satunya arbiter Indonesia yang duduk sebagai anggota International Chamber of Commerce (ICC), Frans Hendra Winarta, mencatat bahwa hak ingkar bisa saja menjadi penghambat proses penyelesaian sengketa itu sendiri. Bahkan, Frans menilai upaya tersebut bisa menjadi langkah dalam rangka menggagalkan arbitrase. Ia mengakui langkah tersebut sering dilakukan oleh salah satu pihak dibantu para advokatnya.
“Apalagi dasar yang diberikan oleh UU Arbitrase mengenai hak ingkar ini terlalu luas dan tidak ada penjelasaannya,” kata Frans di kantornya, Kamis (4/6).
Frans juga sangat menyayangkan, hambatan proses arbitrase sering dilakukan oleh kuasa hukum para pihak. Ia pun menyebut mereka sebagai trouble maker lawyer. Frans mengatakan, para advokat itu menghambat arbitrase lantaran tidak paham dan tidak percaya dengan proses penyelesaian sengketa tersebut.
Ia mengatakan, seringkali para advokat lebih nyaman dengan proses litigasi konvensional. Frans menggolongkan, ada empat kelompok yang sering menghambat arbitrase. Merujuk pada pengelompokan yang dibuat oleh Michael Hwang, Frans menyebut para advokat itu terbagi dalam empat golongan.
“Pertama, mereka yang menurut Michael Hwang sebagai advokat teroris. Kedua, kelompok advokat ateis. Selanjutnya, advokat skeptis. Terakhir, kelompok orang baru yang arogan,” paparnya.
Advokat teroris, menurut Frans adalah mereka yang selalu berusaha untuk menunda dan menggagalkan proses arbitrase. Ia mengatakan, biasanya advokat itu akan mengajukan keberaan atas yurisdiksi yang dimiliki oleh majelis. Hal ini dilakukan agar perkara bisa dibawa ke pengadilan negeri.
Jika advokat tersebut gagal meruntuhkan yurisdiksi majelis, mereka akan mengajukan hak ingkar. Frans menuturkan, hal ini dilakukan untuk menunda proses pemeriksaan. Namun jika langkah ini juga gagal, mereka akan mengajukan gugatan pembatalan.
Advokat ateis adalah advokat lokal yang tidak mau mengikuti proses yang melibatkan advokat atau arbiter asing. Menurut Frans, kebanyakan alasannya hanya karena pengalaman yang minim di dunia arbitrase internasional. Sementara itu, advokat skeptis adalah mereka yang tidak nyaman dengan pilihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Mereka berpendapat, pengadilan selalu lebih baik ketimbang arbitrase.
Terakhir, advokat yang masuk dalam kelompok orang baru. Frans menuturkan, kelompok ini terdiri dari mereka pada advokat yang selalu menunjukan sikap arogan dan menganggap telah mengerti arbitrase. Padahal, menurut Frans, mereka sebenarnya masih membutuhkan banyak bimbingan.
“Pada dasarnya kelompok ini tidak mempunyai niat untuk menghambat atau menunda proses arbitrase. Namun, pada faktanya tindakan mereka secara tidak langsung dapat menghambat proses arbitrase,” ujarnya.
Frans pun punya kiat bagi para arbiter untuk menghindari para trouble maker lawyer. Menurutnya, calon arbiter harus memastikan tidak ada benturan kepentingan dengan para pihak. Ia yakin, jika arbiter bisa bersikap imparsial, maka ia bisa menjalankan tugasnya dengan mandiri dan optimal.
(www.hukumonline.com)
Nama
Email
Judul
Tanggapan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar