Cara Irit Pererat Pertemanan dengan Jalan-JalanJika di masa kini pengacara top Indonesia kerap bergaya perlente, bahkan menampilkan kemewahan, jangan harap perilaku serupa ditunjukkan oleh almarhum Yap Thiam Hien. Pengacara peranakan Tionghoa ini kesohor karena hanya mau mendampingi klien yang dianggapnya pantas dibela. Alhasil, dia lebih sering menjadi pengacara kaum miskin.
Karena mengedepankan kejujuran, termasuk pantang menyuap hakim, akhirnya Yap sering kalah di pengadilan. Firma hukumnya kurang laris. Bahkan pengacara yang dikenal penganut Kristen Protestan taat ini, boleh dibilang hidup pas-pasan. Dia malah lebih aktif mengurusi Lembaga Pembela Hak-hak Asasi Manusia (LPHAM) yang didirikan bersama beberapa pengacara idealis pada 29 April 1966.
Karena mengedepankan kejujuran, termasuk pantang menyuap hakim, akhirnya Yap sering kalah di pengadilan. Firma hukumnya kurang laris. Bahkan pengacara yang dikenal penganut Kristen Protestan taat ini, boleh dibilang hidup pas-pasan. Dia malah lebih aktif mengurusi Lembaga Pembela Hak-hak Asasi Manusia (LPHAM) yang didirikan bersama beberapa pengacara idealis pada 29 April 1966.
Pria kelahiran Banda Aceh, 25 Mei 1913 ini menyebut prinsip utamanya bekerja sebagai pengacara adalah 'fiat justitia ruat coelum'. Artinya, keadilan harus tegak, walau langit runtuh sekalipun.
Tak hanya mendampingi orang miskin, Yap membuktikan prinsip hidup itu dengan membela orang yang secara ideologis jelas-jelas berseberangan.
Tercatat, Yap bersedia membela Rahmat Basoeki Soeropranoto, pelaku pengeboman kantor cabang PT Bank Central Asia (BCA) di Pecenongan dan Glodok, Jakarta, pada 1984. Rahmat dikenal sebagai aktivis anti etnis China, dan tergabung dengan beberapa organisasi Islam.
Pria awalnya bekerja sebagai bankir itu beralih jadi ekstremis karena menganggap warga dari etnis minoritas terlalu lama dibiarkan menguasai perekonomian, sehingga meminggirkan kelompok pribumi.
Rahmat mengatakan, awalnya dia dan pengusaha Tashrif Tuasikal, geram melihat kekejaman Orde Baru membantai umat muslim dalam peristiwa Tanjung Priok pada 1984. Dia ditawari Tashrif membantu dana buat meledakkan Depo minyak Plumpang milik PT Pertamina. Tapi BCA akhirnya jadi sasaran, karena sang pemilik waktu itu, Soedono Salim, dianggap simbol etnis China penindas pribumi lewat ekonomi.
Rahmat yang bersimpati, iuran Rp 500.000 kepada rekannya itu untuk membeli peledak. Uang itu termasuk untuk mengajak beberapa orang lain melaksanakan aksi terorisme tersebut.
"Masalah dominasi ekonomi etnik China adalah masalah jati diri dan harga diri bangsa yang maha penting, yang harus dicarikan jalan keluar secara adil dan terhormat," kata Rahmat dalam buku otobiografinya, saat menjelaskan mengapa sangat membenci etnis peranakan.
Akibat perbuatannya, dalam sidang 18 April 1985, jaksa menuntut Rahmat hukuman mati. Selain menewaskan tiga orang, Rahmat dan kawan-kawan dianggap berniat memicu gerakan anti etnis China, bahkan disebut-sebut sudah ada manifesto buat melempari rumah warga Tionghoa dengan batu sebagai aksi susulan. Selain itu, dia dan kelompok pegiat muslim dituduh jaksa mau menggulingkan Presiden Suharto.
Di saat itulah Yap datang memperkuat tim pengacara Rahmat. Itu atas ajakan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang menangani kasus terorisme tersebut. Pelaku peledakan kantor BCA itu mulanya enggan dibela seorang pengacara Tionghoa. Tapi, akhirnya dia bersedia, karena tim LBH meyakinkannya bahwa tidak ada pengacara lain di Indonesia akan lebih gigih membelanya supaya terhindar dari hukuman mati, kecuali Yap.
Walau kliennya seorang pembenci China, Yap tak peduli. Dalam buku No Concessions: The Life of Yap Thiam Hien susunan Daniel S. Lev, pengacara eksentrik ini menilai Rahmat sudah cukup pantas diampuni. "Saya ingin memastikan bahwa orang yang telah mengakui perbuatannya diberikan hak penuh di pengadilan," kata Yap.
Terbukti, pada lanjutan sidang, Yap bersama tim pembela Rahmat mati-matian meyakinkan hakim bahwa vonis mati berlebihan. Hasilnya, pada sidang 9 Mei 1985, hakim luluh. Rahmat 'hanya' divonis penjara 17 tahun.
Yap dalam kliping berita Kompas edisi 10 Mei 1985 tidak menyangka bisa menghindarkan Rahmat dari ganjaran bui terlalu lama. Itupun dia tidak mau membesar-besarkan jasanya.
"Cukup ringan, saya kira tadinya seumur hidup. Ini bukan karena kami hebat membela, tapi karena kemurahan Tuhan," kata Yap seusai sidang.
Rahmat yang sempat tak sudi dibela Yap akhirnya luluh. Setidaknya, di bukunya yang terbit pada 1999, dia mengakui tidak semua peranakan Tionghoa harus dibenci. "Ada keturunan China yang sudah menyatu dengan suka duka bangsa kita, seperti almarhum Dr Yap Thiam Hien, pembela saya dalam kasus peledakan BCA 1984," kata Rahmat.
Rahmat mengatakan, awalnya dia dan pengusaha Tashrif Tuasikal, geram melihat kekejaman Orde Baru membantai umat muslim dalam peristiwa Tanjung Priok pada 1984. Dia ditawari Tashrif membantu dana buat meledakkan Depo minyak Plumpang milik PT Pertamina. Tapi BCA akhirnya jadi sasaran, karena sang pemilik waktu itu, Soedono Salim, dianggap simbol etnis China penindas pribumi lewat ekonomi.
Rahmat yang bersimpati, iuran Rp 500.000 kepada rekannya itu untuk membeli peledak. Uang itu termasuk untuk mengajak beberapa orang lain melaksanakan aksi terorisme tersebut.
"Masalah dominasi ekonomi etnik China adalah masalah jati diri dan harga diri bangsa yang maha penting, yang harus dicarikan jalan keluar secara adil dan terhormat," kata Rahmat dalam buku otobiografinya, saat menjelaskan mengapa sangat membenci etnis peranakan.
Akibat perbuatannya, dalam sidang 18 April 1985, jaksa menuntut Rahmat hukuman mati. Selain menewaskan tiga orang, Rahmat dan kawan-kawan dianggap berniat memicu gerakan anti etnis China, bahkan disebut-sebut sudah ada manifesto buat melempari rumah warga Tionghoa dengan batu sebagai aksi susulan. Selain itu, dia dan kelompok pegiat muslim dituduh jaksa mau menggulingkan Presiden Suharto.
Di saat itulah Yap datang memperkuat tim pengacara Rahmat. Itu atas ajakan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang menangani kasus terorisme tersebut. Pelaku peledakan kantor BCA itu mulanya enggan dibela seorang pengacara Tionghoa. Tapi, akhirnya dia bersedia, karena tim LBH meyakinkannya bahwa tidak ada pengacara lain di Indonesia akan lebih gigih membelanya supaya terhindar dari hukuman mati, kecuali Yap.
Walau kliennya seorang pembenci China, Yap tak peduli. Dalam buku No Concessions: The Life of Yap Thiam Hien susunan Daniel S. Lev, pengacara eksentrik ini menilai Rahmat sudah cukup pantas diampuni. "Saya ingin memastikan bahwa orang yang telah mengakui perbuatannya diberikan hak penuh di pengadilan," kata Yap.
Terbukti, pada lanjutan sidang, Yap bersama tim pembela Rahmat mati-matian meyakinkan hakim bahwa vonis mati berlebihan. Hasilnya, pada sidang 9 Mei 1985, hakim luluh. Rahmat 'hanya' divonis penjara 17 tahun.
Yap dalam kliping berita Kompas edisi 10 Mei 1985 tidak menyangka bisa menghindarkan Rahmat dari ganjaran bui terlalu lama. Itupun dia tidak mau membesar-besarkan jasanya.
"Cukup ringan, saya kira tadinya seumur hidup. Ini bukan karena kami hebat membela, tapi karena kemurahan Tuhan," kata Yap seusai sidang.
Rahmat yang sempat tak sudi dibela Yap akhirnya luluh. Setidaknya, di bukunya yang terbit pada 1999, dia mengakui tidak semua peranakan Tionghoa harus dibenci. "Ada keturunan China yang sudah menyatu dengan suka duka bangsa kita, seperti almarhum Dr Yap Thiam Hien, pembela saya dalam kasus peledakan BCA 1984," kata Rahmat.
[www.merdeka.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar