Selasa, 26 Januari 2016

Supersemar Minta Penundaan Eksekusi




Entah mana yang benar, pengakuan Yayasan Supersemar ataukah penelusuran kejaksaan. Dan juru sita pengadilan lah yang akan membuktikan kebenarannya. 
===================


Setelah sempat tertunda dua kali, akhirnya sidang teguran (aanmaning) eksekusi Yayasan Supersemar digelar oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (20/1). Dalam siding itu pihak Yayasan Supersemar mengaku tidak memiliki aset senilai Rp 4,4 triliun. Karena itu, pihak Supersemar mengaku tak dapat membayarkan denda kepada negara sebagaimana hasil putusan Mahkamah Agung (MA).

"Uang yayasan tidak ada. Aset tidak ada apa-apanya, ya mungkin kurang lebih lima persen saja dari jumlah denda," ujar kuasa hukum Yayasan Supersemar Bambang Hartono di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (20/1). Lima persen itu, yakni berupa sejumlah uang dan 20 persen saham Gedung Granadi yang terletak di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.

Lagi pula, kata Bambang, Yayasan Supersemar tidak pernah menerima dana jutaan dollar AS dari bank milik pemerintah pada periode 1979-1998, sebagaimana yang dituduhkan. Yayasan, hanya menerima dana senilai Rp 309 miliar.

"Kan selama ini yayasan dianggap melanggar hukum karena menerima uang dari delapan bank pemerintah. Totalnya disebut USD 420 juta. Tapi bank pemerintah itu tidak pernah memberi uang dalam bentuk dollar. Dan saya temukan bukti yayasan hanya menerima Rp 309 miliar," jelas Bambang. Sehingga, yayasan berpendapat bahwa negara salah menaksir nilai denda. Yayasan juga berpendapat, putusan pengadilan bermasalah.

"Oleh sebab itu kami sudah ajukan gugatan ke pengadilan 14 Januari 2016 lalu. Intinya kami tidak terima negara menetapkan denda yang tidak sesuai dengan jumlah harta dan aset yang dimiliki yayasan," ujar Bambang.

Pendek kata Yayasan Supersemar minta penundaan eksekusi. Humas PN Jakarta Selatan, Made Sutrisna, mengatakan, pihak Supersemar mengajukan permohonan penundaan eksekusi. Karena sedang melakukan gugatan balik terhadap Kejaksaan Agung (Kejakgung) selaku kuasa hukum negara.

"Tentu ketua pengadilan sebagai pelaksana eksekusi akan mempelajari apakah memang layak ditangguhkan atau bagaimana," ujar Made, di PN Jakarta Selatan, Rabu (20/1).

Menurut Made, jika eksekusi dilakukan maka, hari Rabu (20/1) itu semestinya sudah ada pembicaraan terkait ganti rugi yang harus dibayarkan oleh Supersemar berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA).

Diam-diam Yayasan Supersemar menggugat Kejaksaan Agung dan Presiden RI. Gugatan ini diajukan menjelang pelaksanaan putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengharuskan yayasan itu mengembalikan Rp 4,4 triliun kepada negara. Atau menjelang sidang teguran eksekusi 23 Desember 2015. Dengan alas an mengajukan gugatan itu, Yayasan Supersemar minta penundaan sidang teguran ekskusi dna minta sidang digelar pada 6 Januari 2016. namun persidangan tanggal 6 Januari juga batal digelar dan Yayasan Supersemar minta persidangan tanggal 10 Februari 2016.

Pihak Pengadilan Jakarta Selatan tidak mengabulkan penundaan sampai 10 Februari. Dan sidang teguran eksekusi Yayasan Supersemar akhirnya digelar pada 20 Januari 2016.

Gugatan didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 17 Desember lalu, atau sepekan sebelum sidang aanmaning  untuk eksekusi putusan MA. Dalam situs Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, gugatan ini diregister dengan nomor perkara 783/PDT.G/2015/PN.JKT.SEL. Materi gugatan tentang perbuatan melawan hukum dengan Tergugat I Kejaksaan Agung dan Presiden RI selaku Tergugat II.

Yayasan Supersemar menggugat Kejaksaan Agung dan Presiden RI terkait pemblokiran rekening yayasan milik almarhum mantan Presiden Soeharto. Gugatan tersebut menurut pengamat kejaksaan Kamilov Sagala harusnya jadi perhatian serius.

“Bukan karena ingin membela yayasan tersebut. Wewenang pemblokiran memang seharusnya berada di tangan pengadilan, yakni melalui juru sita. Bukan wewenang kejaksaan melalui tim gabungan yang terdiri dari Jamdatun, Jamintel dan Pusat Pemulihan Aset,” kata Kamilov di Jakarta seperti dilansir http://citraindonesia.com,  Selasa (12/1).

Kamilov berpendapat, meskipun kejaksaan berhak melakukan pemblokiran terhadap aset atau rekening terkait kasus yang ditanganinya, tapi dalam kasus Supersemar ini bukan ranah Kejaksaan. (BN)


Boks:
Sekilas Perkara Supersemar

Yayasan Supersemar didirikan dekade 1970-an. Soeharto mendirikan yayasan ini dengan tujuan mulia: membantu pendidikan siswa berprestasi yang tak mampu.

Soeharto lalu mengeluarkanPeraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 tahun 1976. Isinya mewajibkan kepada bank-bank pemerintah untuk menyetorkan 50 persen dari 5 persen laba bersihnya kepada Yayasan Supersemar.

Dari setoran bertahun-tahun, yayasan bisa mengumpulkan dana ratusan miliar rupiah dan ratusan juta dolar Amerika. Belakangan, menurut catatan http://www.rmol.co yang dilansir pada 28 Desember 2015, dana yayasan disalah-gunakan untuk kepentingan kroni-kroni Soeharto.

Setelah Soeharto lengser, dana yang dikucurkan untuk kroni Soeharto dipersoalkan. Upaya menyeret Soeharto ke pengadilan atas tuduhan korupsi dana yayasan tak berhasil. Sebab, bekas penguasa Orde Baru dinyatakan sakit permanen.

Belakangan, Kejaksaan menerbitkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) terhadap Soeharto karena tak kunjung bisa dibawa ke pengadilan lantaran sakit.

Kejaksaan Agung selaku pengacara negara lalu mencari jalan lain untuk bisa mengembalikan dana yayasan yang sudah diselewengkan. Yakni, dengan mengajukan gugatan perdata kepada Soeharto dan Yayasan Supersemar.

Pada 27 Maret 2008, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan Kejagung. Dalam putusannya, PN Jaksel menghukum Yayasan Supersemar membayar ganti rugi kepada negara sebesar 105 juta dolar Amerika dan Rp 46 miliar. Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta pada 19 Februari 2009.

Yayasan lalu kasasi ke Mahkamah Agung. Majelis kasasi menghukum Yayasan Supersemar membayar kepada negara yaitu 75 persen x 420 juta dolar Amerika atau sama dengan 315 juta dolar Amerika dan 75 persen x Rp 185.918.048.904,75 atau sama dengan Rp 139.438.538.678,56.

Namun saat dilansir menjadi putusan, amar putusan kasasi itu salah ketik. Panitera yang mencatat putusan majelis kasasi seharusnya menulis kewajiban Yayasan Supersemar mengembalikan uang negara Rp 185.918.048.904,75, tetapi tertulis Rp 185.918.904,75.

Preseden salah ketik itu membuat geger karena putusan tidak dapat dieksekusi. Kegagalan eksekusi tersebut membuat jaksa mengajukan peninjauan kembali (PK) pada September 2013.

Vonis PK yang diketuk pada 8 Juli 2015 menyatakan yayasan harus mengembalikan dana kepada negara sebesar 315 juta dolar Amerika dan Rp 185 miliar.

Dalam putusan PK disebutkan Yayasan Supersemar mengucurkan dana ke Bank Duta  hingga mencapai 420 juta dolar Amerika pada 1990.

Lalu mengalir ke PT Sempati Air Rp 13,173 miliar, PT Kiani Lestari dan PT Kiani Sakti Rp 150 miliar. PT Kalhold Utama, Essam Timber, dan PT Tanjung Redep Hutan Tanaman Industri sebanyak Rp 12,744 miliar, dan Kosgoro sebesar Rp 10 miliar. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar