Jumat, 17 Juli 2015

Lima Nasihat Bismar Siregar untuk Pengacara


* Mengenang Bismar

Rezeki di tangan Tuhan, bukan di tangan hakim.
Lima Nasihat Bismar Siregar untuk Pengacara
Sebuah pesan moral yang tercantum pada papan nama Bismar Siregar. Foto: RES


Bismar Siregar dikenal sebagai sosok yang kontroversial ketika menjalankan profesi hakim. Namun, terlepas dari itu, tak sedikit orang yang mengakui kearifan pria asal Sumatera Utara ini. nasihat-nasihat bernada religius sering meluncur dari mulutnya di ruang sidang.

Sebagian nasihat itu pun ada yang tertuju kepada para pengacara. Hukumonline mencoba merangkum, setidaknya ada beberapa nasihat Bismar kepada para advokat. nasihat-nasihat itu dirangkum dari beberapa sumber.

1. Dahulukan Kewajiban daripada Hak
Bismar pernah menulis bahwa profesi pengacara seharusnya tidak semata-mata dianggap sebagai sumber penghasilan yang mengutamakan hak. Ia mengutarakan bahwa ilmu dan profesi pengacara harus diterima sebagai karunia IIahi, yang belum tentu bisa diraih banyak orang.

Oleh karena itu, lanjut Bismar, para pengacara harus sadar sebagai orang yang terpilih dipanggil menunaikan amanah. “Pengacara dalam agama tidak menuntut hak, tetapi mengutamakan kewajiban,” sebutnya dalam buku ‘Bunga Rampai Karangan Tersebar (jilid 2)’.

“Sudahkah kita para sarjana yang bergerak di bidang hukum sampai pada pola sikap demikian? Jawabnya secara tegas sebagian besar belum,” sambungnya.

Bismar menilai keadaan itu merupakan akibat warisan lama, yang mengartikan hukum sebagai persoalan hak dan kewajiban. Menurutnya, pandangan tersebut adalah sebuah kekeliruan, dan menjadi semakin besar dengan didahulukannya penggunaan kata ‘hak’ daripada ‘kewajiban’ di kehidupan sehari-hari.

2. Jangan Gantungkan Rezeki kepada Hakim
Dalam buku ‘Bunga Rampai Karangan Tersebar (jilid 2)’, Bismar juga menasihati para pengacara agar memiliki iman yang kuat, sehingga bisa memahami bahwa rezekinya tidak bergantung kepada hakim, tetapi ada pada Tuhan Yang Maha Esa.

Artinya, para pengacara tidak boleh begitu saja tunduk kepada hakim, sehingga takut dalam menegakkan kebenaran. “Kalau iman baru menggantungkan rezeki dari sang hakim, ia tak mau ataupun menghindarkan diri berkonfrontasi secara terbuka dengan hakim,” tulisnya.

Bismar mengutarakan bahwa pengacara yang menggantungkan rezeki kepada hakim justru telah mengkhianati profesi, dan telah membantu mempercepat proses penyalahgunaan jabatan oleh hakim.

3. Jangan Putar Balikan Fakta
Bismar menyoroti secara khusus seputar perilaku sebagian pengacara yang suka memutarbalikan fakta dalam buku bertajuk ‘Catatan Bijak, Membela Kebenaran Menegakan Keadilan’. Ia mengomentari sebuah kasus seputar hubungan asabah seorang wanita Ny SA Siregar binti HH Siregar.

“Tega amat pengacara memutarbalikkan fakta, berbuat fitnah, menyebut seseorang bertukar agama, yang notabene tidak. Bahkan sebaliknya berdasarkan bukti yang jelas, kliennya itulah yang tukar agama alias murtad. Ia kembali ke agama semula,” tulisnya.

Bismar juga mempertanyakan mata hati hakim yang memutus berdasarkan fakta yang sudah diputarbalikkan. Meski begitu, Bismar sepertinya menyadari bahwa dirinya tak bisa berkomentar banyak karena kasus tersebut –kala itu- masih berproses di tingkat banding. Ia mengaku ‘terpaksa’ menulis dan menyampaikan kritikan itu karena terpanggil untuk mengatakan sesuatu yang benar.  “Berat hati saya menyampaikan tulisan (ungkapan) ini. Namun, bila tidak disampaikan, ada tanggung jawab kepada Tuhan,” tulisnya.

4. Jaga Sumpah yang Diucapkan
Dalam buku ‘Rasa Keadilan’, Bismar menyinggung seputar sumpah pengacara yang seharusnya dipegang teguh oleh mereka yang akan terjun ke dunia profesi jasa hukum ini. Menurutnya, menjaga sumpah adalah cara terbaik untuk menghindari penyelewengan.

“Tentang pengacara, adakalanya bahkan seringkali, sebagai pemula terjadinya penyelewengan. Untuk menghindarkan yang demikian ituah, ingin dikaji tentang etika profesi pengacara melalui sumpah,” sebut Bismar.

Berdasarkan penelusuran hukumonline, lafazh sumpah advokat bisa dilihat pada Pasal 4 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat
 
Sumpah/Janji Advokat
Berdasarkan Pasal 4 UU Advokat

“Demi Allah saya bersumpah/saya berjanji:
  • bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia;
  • bahwa saya untuk memperoleh profesi ini, langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga;
  • bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pemberi jasa hukum akan bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan;
  • bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar pengadilan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan atau pejabat lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagi perkara Klien yang sedang atau akan saya tangani;
  • bahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai advokat;
  • bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di dalam suatu perkara yang meurutu hemat saya merupakan bagian daripada tangung jawab profesi saya sebagai seorang advokat.

Bismar pun bertanya-tanya mengapa dengan adanya sumpah itu, masih ada sebagian pengacara yang gigih mempertahankan yang hitam agar bisa diputihkan dan yang putih bisa dihitamkan.

“Sungguh, hati ini bertanya: Apa dan bagaimana makna sumpah itu bagi pengacara. Kekecewaan. Sekali lagi kecewa. Apa yang harus diperbuat? Dibiarkan? Tidak boleh dicampuri? Sepanjang yang terjadi sampai hari ini, seakan demikianlah keadaannya,” sebut Bismar lagi.

Oleh karena itu, Bismar berpendapat bahwa etika profesi pengacara – juga hakim – sangat penting untuk dibebani pengawasan. “Insya Allah, bisa menjadi bahan pertimbangan, mawas diri, agar tidak dilaknati sumpah jabatan yang diikrarkannya!” pungkasnya.
        
5. Disiplin Waktu
Terakhir, nasihat Bismar untuk para advokat adalah disiplin waktu ketika bersidang. Datanglah tepat waktu. Ini bukan sekadar nasihat, tetapi juga pernah diterapkannya sanksi denda bagi para pihak berperkara (termasuk pengacara) yang terlambat datang ke ruang sidang ketika Bismar menjabat Ketua Pengadilan Jakarta Utara.

Advokat Luhut MP Pangaribuan menjadi saksinya. “Walaupun Pak Bismar itu lembut karena dia juga seniman, sebenarnya disiplinnya keras,” ujarnya ketika ditemui hukumonline.

“Jadi, nggak seperti sekarang, bilangnya mulai jam 9, tapi tak satupun sidang yang dimulai jam 9. Kalau dia (Bismar,-red) sidang ditentukan jam 9, ya jam 9. Kemudian kalau telat, ada denda,” ujar Luhut yang ketika era Bismar itu dirinya sedang memulai karier sebagai pengacara.

“Saya nggak pernah mengalami denda, karena itu terutama dialami para advokat-advokat yang lebih senior pada saat itu,” sambungnya sembari mengungkapkan tak sedikit advokat senior kala itu yang mengkritik aturan tersebut.

Advokat Todung Mulya Lubis juga mengaku pernah dengar aturan tersebut. “Pernah dengar. Kalau saya sih setuju dengan Pak Bismar. Kalau orang dipanggil datang untuk sidang jam 10 misalnya, terus datang jam 11, kalau dia dikenakan denda, saya setuju 100 persen,” tegasnya.

“Saya juga kalau datang sebelum jam sidang. Saya agak Orde Lama kalau soal itu. Kalau soal itu saya ketat. Saya nggak pernah mau terlambat,” pungkasnya.

Bisakah advokat Indonesia masa kini menjalankan lima nasihat Bismar?
 
sumber: www.hukumonline.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar