Mereka
akan diisolir dengan masyarakat Indonesia dan akan ada pihak kepolisian
yang menjaga mereka. Tetapi selama di tempat penampungan sementara,
bagaimana rumah sakitnya, pendidikan, dan lain sebagainya itu tidak
dibahas.
BBC Indonesia
Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Yunita, S.H, mengatakan bahwa masalah pengungsi di Indonesia terus mengemuka karena ketiadaan regulasi yang jelas dan pasti.
Hal itu diutarakan Yunita dalam acara
dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan PAHAM Indonesia
bekerjasama dengan PIARA dan Rumah Zakat dengan tema “Rohingya The
Stateless Refugee” di Sofyan Hotel Betawi, Jalan Cut Mutiah No.09,
Jakarta, Kamis (02/07/2015).
“Sekitar bulan Juni kemarin, jumlah
pengungsi dan pencari suaka di Indonesia itu sekitar 13 ribu. Itu angka
yang semakin lama semakin tinggi. Tetapi belum ada aturan hukum yang
mengatur hal itu,” kata Yunita di hadapan peserta yang juga dihadiri Hidayatullah.com.
Yunita mengungkapkan jika saat ini
Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) sedang menggodok Perpres. Dari hasil
audiensi dengan pihaknya, katanya, pihak Kemenlu akan bertemu dua kali
lagi dengan LBH Jakarta, karena tinggal menyelesaikan masalah teknis
saja, kemudian setelah itu Perpres akan disahkan.
Tetapi, jelas Yunita, perlu menjadi
catatan bagi kita semua, bahwa kita harus mengawal isi dari Perpres itu,
karena sama sekali tidak sempurna. Ada beberapa masalah yang terjadi
dalam menangani pengungsi Rohingya yaitu detensi.
“Mereka sebenarnya ditempatkan di detensi
yang tidak layak. Itu sebenarnya adalah penjara, bukan tempat yang layak
untuk pengungsian,” ungkap Yunita.
Dalam Perpres tersebut, lanjut Yunita, ada
kemajuan yaitu para pengungsi Rohingya akan ditempatkan di tempat
penampungan di antaranya di wilayah barat, tengah dan timur Indonesia.
Tetapi standarnya seperti apa itu belum dijelaskan dalam Perpres
tersebut.
“Apakah tempat penampungan itu akan layak
atau tidak, apakah tempat penampungan itu akan seperti pulau Galang.
Lalu bagaimana teknisnya itu tidak dijelaskan,” kata Yunita.
Karena kalau menurut Perpresnya, kata
Yunita lagi, itu akan diserahkan ke Pemerintah Daerah (Pemda). Dari
hasil penjelasan Perpresnya –dalam draft protapnya, kurang lebih para
pencari suaka dan pengungsi itu akan ditempatkan di suatu lokasi khusus.
“Mereka akan diisolir dengan masyarakat
Indonesia dan akan ada pihak kepolisian yang menjaga mereka. Tetapi
selama di tempat penampungan sementara, bagaimana rumah sakitnya,
pendidikan, dan lain sebagainya itu tidak dibahas. Nah, itu bisa menjadi
masukan buat kita untuk melakukan advokasi Perpresnya,” papar Yunita.
Yunita menyampaikan masukan jika ingin
melakukan advokasi lebih lanjut, sebenarnya bisa melakukan advokasi
aksesi atau ratifikasi dari konvensi 1951.
Yunita menyebutkan pihaknya sudah
melakukan ranham dua kali, dan ini yang ketiga kalinya ranham, tetapi
tidak pernah disahkan sama sekali oleh pemerintah Indonesia karena
alasannya adalah beban. Padahal, menurutnya, sebenarnya ini bukan
masalah waga negara mana tetapi ini masalah kemanusiaan.
“Tidak peduli itu siapa, warga negara
mana, mereka harus diperlakukan dengan layak, setidak-tidaknya sebagai
manusia,” kata Yunita.
Oleh karena itu, menurut Yunita penting
sekali adanya pengaturan tentang aksesi tersebut agar supaya terus
digalakkan di Kemenlu. Sebab, lanjutnya, pertama mengenai masalah
penempatan pengungsi di negara ketiga.
Ditegaskan Yunita, pengungsi Rohingya
tidak akan pernah menjadi warga negara Indonesia selama Indonesia belum
meratifikasi konvensi 1951.
“Jadi, otomatis yang akan pengungsi dapatkan hanya dikembalikan ke negara asalnya atau ke negara ketiga,” pungkas Yunita. (http://www.hidayatullah.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar