Polemik praperadilan masih bergulir. Sejumlah kalangan menilai Mahkamah
Agung (MA) perlu menyikapi fenomena putusan-putusan hakim terkait
praperadilan plus Putusan Mahkamah Konstitusi
(MK) yang memperluas lingkup objek praperadilan. Caranya, dengan
menerbitkan surat edaran atau peraturan terkait hukum acara
praperadilan.
Namun, pihak MA bersikukuh tidak akan mengeluarkan surat edaran atau
peraturan dimaksud. Penegasan ini sebelumnya disampaikan oleh Juru Bicara MA,
Hakim Agung Suhadi. Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh Ketua MA M.
Hatta Ali, ketika ditemui di sela-sela acara pelantikan Deputi Gubernur
Bank Indonesia, Rabu lalu (16/6).
Hatta menegaskan MA tidak akan menerbitkan surat edaran atau peraturan
terkait hukum acara peradilan. Menurut dia, putusan-putusan terkait
praperadilan di sejumlah pengadilan, seperti Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan, merupakan bagian dari independen hakim yang harus dihormati.
“(Jadi) Jangan ganggu independensi hakim!” tegas Hatta.
Lagipula, kata Hatta, putusan-putusan hakim terkait praperadilan tidak
ada yang aneh. Bahkan, putusan hakim Sarpin Rizaldi dalam kasus Komjen
Pol Budi Gunawan yang menyatakan penetapan tersangka sebagai objek
praperadilan justru diperkuat oleh MK. “Itu MK loh yang kuatkan bukan
saya,” imbuhnya.
Pada kesempatan berbeda, Hakim Agung Gayus Lumbuun konsisten pada
sikapnya agar MA menerbitkan surat edaran atau peraturan untuk merespon
perkembangan praperadilan, khususnya pasca Putusan MK. Menurut Gayus,
surat edaran atau peraturan itu diperlukan agar tercipta standar yang
jelas terkait praperadilan untuk menjadi acuan hakim.
“Menyikapi persoalan kondisi praperadilan ini saya sepaham bahwa
seharusnya ada sikap resmi dari MA, bentuknya bisa internal melalui SEMA
untuk arahan kepada bawahannya atau PERMA yang bersifat sejajar dengan
peraturan presiden,” ujarnya dalam sebuah acara diskusi di Jakarta, Rabu
(16/6).
Gayus berpendapat, keputusan apakah MA perlu menerbitkan peraturan
terkait hukum acara praperadilan seharusnya dibawa ke forum tertinggi di
MA, yakni rapat pleno hakim agung. Makanya, Gayus mempertanyakan
pernyataan Juru Bicara MA, Suhadi terkait polemik praperadilan.
“Statement yang dikeluarkan oleh Humas MA itu mewakili siapa? Ketua MA,
Pimpinan MA, atau MA itu sendiri. Kalau mewakili MA sebelumnya harus
ada putusan dulu dari MA melalui rapat pleno hakim,” tegasnya.
Koalisi LSM yang tergabung dalam Gerakan Satu Padu Lawan Koruptor (SAPU
KORUPTOR) mendesak MA agar segera membuat peraturan mengenai hukum
acara praperadilan. Terutama yang menyangkut penetapan tersangka,
penyitaan, dan penggeledahan.
“Pasca putusan MK terkait perluasan objek praperadilan, MA belum juga
mengeluarkan peraturan terkait dengan hukum acara praperadilan terutama
yang menyangkut penetapan tersangka, penyitaan, dan penggeledahan.
Permasalahan paling utama terletak pada pembatasan tentang sejauh mana
pembuktian dapat dilakukan oleh para pihak dan sejauh mana hakim dalam
memeriksa dan memutuskan pembuktian itu,” ujar Miko Ginting, Peneliti
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) dalam konferensi pers di Jakarta,
Selasa (16/6).
Miko berpendapat bentuk aturan yang diterbitkan MA adalah Peraturan MA
(PERMA). Menurut dia, PERMA diperlukan untuk menjamin kepastian hukum
para pemohon praperadilan, agar tidak terjadi kekuasaan hukum.
“Bayangkan, kalau seluruh tersangka mengajukan praperadilan, kekacauan
hukum pun tak terhindarkan. Pengadilan sendiri akan menjadi kawalahan.
Baiknya memang melalui perubahan KUHAP tapi kan proses yang panjang,
sedangkan sekarang sudah ada kemacetan,” papar Miko. (www.hukumonline.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar