Sabtu, 20 Juni 2015

Revisi UU Advokat Solusi Atasi Perpecahan Dunia Advokat


Masing-masing kubu harus memperhatikan kepentingan para calon advokat yang telah melaksanakan ketentuan dalam UU Advokat.
Revisi UU Advokat Solusi Atasi Perpecahan Dunia Advokat
Pro kontra RUU Advokat yang terjadi tahun lalu. Foto: RES

Dunia advokat kerap mengalami perpecahan. Bukan sekali atau dua kali, bahkan berkali-kali organisasi advokat terpecah belah setelah melakukan Musyawarah Nasional (Munas). Peristiwa teranyar, Munas Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) di Makassar Maret lalu. PERADI terpecah menjadi tiga, kepemimpinan Juniver Girsang, Care Taker, dan Kepemimpinan Fauzi Hasibuan yang baru saja terpilih versi PERADI Otto Hasibuan.

Persoalan carut marutnya dunia advokat perlu segera diatasi. Soalnya, jika berkelanjutan tanpa ujung akan berdampak terhadap para pencari keadilan. Mengatasi persoalan itulah diperlukan aturan yang mengatur organisasi advokat melalui sebuah UU baru. UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat dirasa sudah tidak sesuai dan perlu dilakukan revisi.

Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menilai upaya mempersatuan advokat melalui satu organisasi sudah dilakukan berulang kali melalui mekanisme single bar. Hanya saja upaya tersebut terbilang gagal. Perpecahan kembali berulang. Revisi UU (RUU) Advokat  setidaknya menjadi jalan keluar atas kemelut perpecahan dan perseteruan dunia advokat.

“Karena itu, dalam konteks undang-undang harus bisa kemudian memberikan jalan keluar,” ujarnya di Gedung DPR, Kamis (18/6).

Hal mendasar yang perlu direvisi terkait sistem keorganisasian, single bar atau multi bar. Menurut Arsul, kalau pilihannya tetap menggunkan single bar maka formatnya perlu diubah menjadi mekanisme federasi atau konfederasi. Dengan begitu, organisasi single bar katakanlah PERADI misalnya hanya masuk pada ranah regulator dan pengawasan dan implementasi kode etik. Sedangkan organisasi advokat lainnya yang berada di bawah PERADI sebagai pelaksana regulasi, termasuk melaksanakan ujian advokat dan melakukan rekruitmen.

“Ada satu organisasi yang sifatnya federatif yang ini kewenangannya di hulu. Jadi dia semacam kalau dalam koteks migas, itu dia sebagai regulator. Kemudian organisasi-organisasi advokat-advokat yang ada, itu menjadi organisasi hilir, dia bisa tetap hidup dialah execution agency organisasi  advokat,” ujarnya.

Arsul mengatakan, konflik organisasi advokat yang tidak berkesudahan mengharuskan pembahasan RUU Advokat segera dipercepat oleh DPR. Oleh sebab itulah, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) tempat Arsul benaung akan mengusulkan RUU Advokat masuk dalam Prolegnas Prioritas 2016 mendatang. Selain itu, FPPP sebagai pengusung dimasukannya RUU Advokat masuk dalam Prolegnas 2015-2019 setelah pembahasan di DPR periode 2009-2014 lalu tak juga rampung.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Miko Ginting, mengatakan revisi terhadap UU Advokat dapat dipertimbangkan menjadi jalan keluar atas kekisruhan di tubuh advokat yang kerap berulang. Hal yang perlu diubah dengan mengganti dari sistem single bar menjadi multi bar. Tentu saja keberadaan dewan advokat nasional menjadi penting dalam melakukan pengawasan terhadap jalannya roda organisasi advokat.

Ia berpandangan kepentingan para advokat yang tidak aterlibat dalam konflik di elite di tubuh advokat mesti dipikirkan secara serius. Pasalnya jika tidak, akan berdampak terhadap para advokat lainnya  sebagai pemberi bantuan jasa pendampingan kepada masyarakat pencari keadilan. “Kalau para advokat senior yang terlibat dalam konflik ini tidak bisa menyelesaikan perpecahan, maka perlu dipikirkan mekanisme penyelesaian melalui pembenahan regulasi,” ujarnya melalui pesan pendek kepada hukumonline.

Menurut Miko, jika perpecahan di tubuh advokat kian meluas dan semakin destruktif, revisi terhadap UU Advokat perlu dipertimbangkan untuk dipercepat. Setidaknya dapat dimasukan dalam Prolegnas prioritas 2016 sebagaimana usulan Arsul. Dengan begitu, maka RUU Advokat dapat dilakukan pembahasannya antara DPR dan pemerintah.

“Apabila perpecahan tidak selesai dan semakin destruktif, perubahan terhadap UU Advokat perlu dipikirkan segera dibahas dalam Prolegnas prioritas 2016,” katanya.

Terpisah, Ketua Badan Pengurus Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara mengamini pandangan Arsul untuk dilakukan pembahasan RUU Advokat. Ia menilai RUU Advokat mendesak dilakukan pembahasan dengan merujuk kondisi perpecahan PERADI. “ICJR memandang perubahan dan pembaharuan pengaturan untuk Advokat semakin diperlukan mengingat realitasnya sulit untuk membentuk organisasi advokat yang tunggal (single bar),” ujarnya.

ICJR, kata Anggara, meminta agar DPR melakukan pembahasan RUU Advokat menitikberatkan keterbukaan dalam segala hal. Mulai pengelolaan organisasi, pengelolaan advokat hingga pengambilan keputusan strategis dalam organisasi advokat. Tak kalah penting, ICJR meminta agar masing-masing kubu PERADI memperhatikan kepentingan para calon advokat yang telah melaksanakan ketentuan dalam UU 18/2003.

“Terfragmentasinya PERADI akan membawa konsekuensi serius terhadap para Sarjana Hukum yang akan menjadi advokat di masa depan,” tandasnya.

Tunggu Masukan
Komisi III DPR khususnya F-PPP menunggu naskah akademik dan draf RUU Advokat dari organisasi advokat. Sebagai pihak pengusung, F-PPP berkepentingan untuk meminta masukan dari stakeholder khususnya  seluruh organisasi advokat dalam penyusunan naskah akademik dan draf RUU advokat.

Atas dasar itulah Arsul ‘menantang’ advokat secara personal maupun organisasi untuk memberikan buah pemikirannya untuk kemudian dituangkan dalam naskah akademik dan draf RUU. Namun jika tidak juga ada organisasi advokat yang memberikan masukan dan pemikirannya, maka sebagai pengusul FPPP  berkewajiban menyusun dan membuat draf RUU.

“Kami akan susun berdasarkan pembahasan yang lalu dan akan kami perbaharui. Tapi kita, F-PPP menunggu masukan berupa draf naskah akademik dan draf RUU. Karena rencananya ini akan kami masukan dalam RUU Prolegnas prioritas 2016,” ujar pria berlatar belakang advokat itu.

Dikatakan Arsul, FPPP tak saja siap menerima masukan, bahkan jika terdapat organisasi advokat yang sudah memiliki naskah akademik beserta draf RUU Advokat hasil pemikirannya akan disambangi fraksinya.

“Kami membuka pintu lebar-lebar dan menghimbau agar teman-teman ini bisa menyumbangkan naskah akademik dan draf RUU. Artinya PPP siap menerima jika disambangi. Bukan saja disambangi, kalau mereka sudah siap naskah akademik dan drafnya, kita yang akan meyambangi,” ujarnya.

Hakim Agung Gayus Lumbuun menyarankan hal yang sama. Menurutnya, ketimbang gontok-gontokan berebut fisik PERADI, para advokat lebih baik menyumbangkan ide-idenya untuk dimasukan ke RUU Advokat demi adanya perbaikan dan perubahan undang-undang.  

“Marilah ide itu dimasukan kepada perbaikan atau perubahan undang- undang. Jadi menurut saya uni-single-bar yang bersifat banyak,” katanya. (www.hukumonline.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar