Advokat merupakan penegak hukum sehingga harus menjaga wibawa pengadilan
Rancanga Undang-Undang (RUU) tentang Penghinaan dalam persidangan masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2015 - 2019. Munculnya usulan RUU tersebut mendapat dukungan dari Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Otto Hasibuan.
Otto menilai UU Contempt of Court itu kelak akan bisa mendidik advokat untuk menjawa wibawa pengadilan.
“UU Contempt of Court akan mendidik advokat. Biar bagaimanapun, kita
(advokat,-red) adalah bagian dari penegak hukum yang ingin menunjung
tinggi hukum dan ingin tegak hukum. Kalau pengadilan tidak bisa
menegakan hukum itu yang jadi korban kan pencari keadilan. Termasuk
advokat juga, karena advokat kan pencari keadilan. Jadi kita harus
sama-sama mau menunjung tinggi hukum, menjaga wibawa penegak hukum agar
pengadilan itu tegak. Jadi tidak boleh dengan berlandaskan kebebasan,
kita merasa tidak perlu (RUU itu,-red),” ujarnya kepada Hukumonline di
Jakarta, Rabu (29/4).
Menurutnya, tujuan advokat ialah menegakan hukum dengan baik. Sehingga,
jika advokat percaya bahwa pengadilan merupakan tempat mencari keadilan
maka advokat merupakan bagian yang harus memperkuat pengadilan. “Jadi
kita tidak cukup mengkritik. Selama ini kita bilang pengadilan bukan
merupakan tempat mencari keadilan, tidak adil. Jika itu menjadi pendapat
kita maka mari kita kuatkan pengadilan. Jadi, kalau pengadilan sudah
kuat, hakim sudah berwibawa, suatu saat ketika kita mencari keadilan
maka kita akan mendapatkannya,” tambahnya.
Selain itu, menurut Otto, advokat jangan berpikir bahwa dengan adanya
UU Contempt of Court maka gerak advokat akan terbatas, juga hakim akan
mengawasi. “Jangan berpikir RUU Contempt of Court hanya semata-mata
untuk kepentingan sendiri. Memang hakim kan bebas mengawasi kita,
artinya untuk kebaikan kita. Yang penting undang-undangnya jelas,”
jelasnya.
Ott juga berharap sebaiknya pembuat undang-undang melibatkan semua
unsur penegak hukum agar semua kepentingan dapat terokomodir dalam
pembahasan RUU itu. Sehingga dengan begitu maka, undang-undang tersebut
nantinya tidak perlu dibatalkan oleh MK karena ada kepentingan yang
terlanggar.
“Libatkan jaksa, libatkan advokat, libatkan pers. Kalau tidak akan
ditabrak terus, di MK dibatalin lagi. Kita harus bersama bangun
sistemnya,” ujarnya.
Wibawa Pengadilan
Selain itu, Otto juga menilai ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk
meningkatkan kewibawaan pengadilan tanpa harus menunggu lahirnya UU
Contempt of Court itu. Pertama, meningkatkan profesionalitas dan
integritas para penegak hukum, seperti hakim, jaksa dan polisi. Kedua,
melakukan penyuluhan secara intensif kepada pencari keadilan.
Otto juga mengingatkan agar badan peradilan segera membuat tata tertib
secara internal, sehingga ketika UU itu sudah ada maka bisa dengan mudah
terinternalisasi oleh semua yang terlibat dalam persidangan.
“Buat tata tertib secara internal, dibacakan sebelum sidang oleh hakim,
atau minimal ditempel di ruang pengadilan. Jika ada yang tidak sesuai
hakim harus menegur. Jadi, mulai sekarang walaupun undang-undangnya
belum jadi. Hakim harus sudah mulai menegur, laksanakan tatib secara
internal. Sehingga jika undang- undangnya keluar jadi sudah terbiasa,”
ujarnya.
Sementara itu, mantan Hakim Agung H.P. Panggabean menujukkan beberapa
kasus contempt of court yang mencemari wibawa pengadilan di Indonesia
melalui makalah yang disampaikan dalam diskusi Litbang MA pada Rabu
(29/4). Melalui makalahnya, Panggabean setidaknya memaparkan dua kasus
teranyar.
Pertama, sikap terdakwa kasus korupsi Sutan Bhatoegana dalam
persidangan pada 27 April 2015. Dalam sidang itu, Sutan melontarkan
kata-kata dengan nada tinggi kepada ketua majelis hakim. Kedua,
penghinaan terhadap pengadilan oleh pengacara dalam kasus pencabulan
Jakarta International School (JIS) yang meminta agar hakim PN Jakarta
Selatan yang memutus harus segera dipecat. (www.hukumonline.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar