Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya didirikan pada 28 Oktober 1978
oleh Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN) kota Surabaya. Pada awalnya,
aktivitas LBH Surabaya hanya berkutat pada pemberian bantuan hukum untuk
segala kasus bagi masyarakat miskin diwilayah kota Surabaya dan
sekitarnya.
Namun, di akhir tahun 1980an, LBH Surabaya kemudian memperluas
wilayah kerjanya dan memiliki satu kantor pos yang berada dikota Malang
yang kemudian lebih dikenal dengan LBH Surabaya Pos Malang yang memiliki
cakupan wilayah kerja meliputi Malang Raya yang terdiri dari Kabupaten
Malang, Kota Malang, dan Kota Batu.
Sejak 10 November 1987, LBH Surabaya kemudian bergabung menjadi
bagian dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Jakarta
dan berubah nama menjadi LBH Surabaya Jawa Timur yang mempunyai cakupan
wilayah kerja diseluruh Provinsi Jawa Timur.
Dalam dasawarsa terakhir, LBH Surabaya telah memfokuskan diri pada
pembelaan hak-hak ekonomi, sosial, budaya, sipil, dan politik dalam
kasus tertentu yang bersifat publik dan struktural seperti pembelaan
kaum buruh, petani, nelayan, kaum miskin kota, dan para aktivis pejuang
Hak Asasi Manusia yang menjadi korban represifitas negara dan pemodal.
Memiliki pengalaman-pengalaman dalam kasus-kasus yang menjadi
perhatian publik, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya ikut terlibat
dalam pembelaan terhadap Kasus-kasus tersebut, diantaranya adalah
pembunuhan aktivis buruh Marsinah, pembunuhan massal akibat pembangunan
Waduk Nipa di Sampang, kasus subversif terhadap aktivis-aktivis Partai
Rakyat Demokratik (PRD), kasus penembakan petani oleh Militer, dan
ratusan kasus hukum lainnya.
Sejak tahun 2012, LBH Surabaya kini memfokuskan kegiatan advokasinya lebih kepada aksi-aksi legal reform, access to justice, dan democracy accesment
dengan memiliki satuan tugas yang bernama Divisi, yakni Divisi Hak
Sipil dan Politik (Sipol), Divisi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
(Ekosob), dan Divisi Perempuan dan Anak.
Sejak awal berdiri hingga saat ini, LBH Surabaya Jawa Timur telah
mengalami beberapa kali dinamikan dan perubahan pada pola gerakan
pembelaan hukum (legal defend) yang ditujukan bagi masyarakat
Jawa Timur. Pada era 70-an, pembelaan hukum lebih diarahkan hanya
terbatas pada Masyarakat Miskin, namun pada era 80-an, sejak bergabung
dengan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), ada pergeseran
pola gerakan pembelaan hukum yang dilakukan, yakni dari Bantuan Hukum
Konvensional menjadi Bantuan Hukum Struktural. Pada era Reformasi,
sejalan dengan pertumbuhan gerakan prodemokrasi di Indonesia, LBH
Surabaya menjadi bagian dari dinamika gerakan demokrasi dan perlindungan
hak asasi manusia Jawa Timur.
LBH Surabaya menjadi inspirasi sekaligus mitra bagi siapa pun yang
memiliki komitmen yang sama. LBH Surabaya tentu tidak hanya memerankan
dirinya sebagai bagian dari organisasi yang tersentralisasi. Maka,
dukungan dari. kalangan akademisi, organisasi rakyat
setempat, organisasi non pemerintah (ornop) lokal, mahasiswa, tokoh
agama, serta dukungan nyata dari kalangan jurnalis merupakan kekuatan
yang mampu menjamin optimalisasi perjuangan LBH Surabaya.
Dalam kurun waktu yang sangat panjang tersebut (36 tahun), LBH
Surabaya Jawa Timur telah dipimpin oleh enam orang Direktur, yaitu
Abdullah Thalib (1978-1983)[1],
Muchammad Zaidun (1983-1994), Indro Sugiarto (1994-2000), Deddy
Prihambudi (2000-2005), Mohammad Syaiful Aris (2006-2012), dan M. Faiq
Assiddiqi (2012-sekarang).
[1]
Berdasarkan keterangan beberapa alumni LBH Surabaya di tahun terakhir
masa kepemimpinan Direktur Abdullah Thalib, LBH Surabaya pernah
mengalami masa vakum.
(http://lbhsurabaya.or.id/sejarah/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar