Selasa, 18 November 2014
MK dan MA Dinilai Beda Tafsir Sumpah Advokat
Inilah pandangan pemohon judicial review UU Advokat. Keberlanjutan permohonan akan diputuskan dalam RPH.
Sidang perbaikan pengujian Pasal 4 ayat (1) dan (3) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat terkait sumpah advokat di Pengadilan Tinggi kembali digelar di MK yang dimohonkan seorang advokat dari Kongres Advokat Indonesia (KAI) Ismet. Dalam perbaikan permohonannya, Ismet menganggap MK dan MA tidak sama menafsirkan pelaksanaan pasal itu.
Ismet berpandangan dalam putusan No. 101/PUU-VII/2009, MK menafsirkan Pengadilan Tinggi wajib mengambil sumpah bagi para advokat tanpa mengkaitkan keanggotaan organisasi advokat yang ada saat ini. Namun, dalam praktiknya MA tetap menolak sumpah advokat yang bukan berasal dari Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Artinya, pasal itu mengandung tafsir kewenangan Pengadilan Tinggi melakukan sumpah advokat baik kewenangan kehendak (bersedia/tidak bersedia) maupun kewenangan administratif (berita acara sumpah advokat dikirim ke MA).
“Ini bertentangan dengan asas kemandirian advokat yang ditegaskan UU Advokat itu sendiri,” ujar Ismet dalam persidangan yang diketuai Anwar Usman di ruang sidang MK, Senin (17/11).
Pasal 4 ayat (1) UU Advokat menyebut sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya. Pasal 4 ayat (3) menyebut salinan berita acara sumpah seperti dimaksud ayat (2) oleh Panitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dikirimkan kepada Mahkamah Agung (MA), Menteri Hukum dan HAM, dan organisasi advokat.
Ismet menilai Pasal 4 ayat (1, (3) UU Advokat yang dijadikan dasar Pengadilan Tinggi menggelar sidang terbuka menyumpah advokat berdasarkan “kehendak” mengakibatkan kedudukan hukum para advokat dibeda-bedakan (diskriminasi) oleh MA. “Ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang menjamin hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan,” kata dia.
Ismet juga menganggap ketentuan tersebut -- yang ditafsirkan Pengadilan Tinggi tidak menggelar sidang sumpah advokat non-anggota Peradi atas perintah MA -- menghalangi hak pemohon untuk menjalankan profesinya sebagai aparat penegak hukum. “Pemohon tidak mendapatkan kesempatan yang sama seperti advokat Peradi,” katanya.
Dalam petitum permohonanya, pemohon meminta menghapus kewenangan Pengadilan Tinggi dalam penyelenggaraan sumpah advokat dengan menghapus frasa “pengadilan tinggi” dan frasa “oleh Panitera Pengadilan Tinggi dalam Pasal 4 ayat (1), (3) UU Advokat karena bertentangan UUD 1945.Artinya, organisasi advokat berwenang menyumpah para advokat yang bisa dilakukan di Pengadilan Tinggi atau tempat lain yang layak dengan mengundang pejabat publik. Lalu, berita acara sumpahnya dikirimkan ke MA, Kemenkumham, dan organisasi advokat.
Jika tidak, pilihanya lainnya, Ismet meminta agar Pasal 4 ayat (1), (3) UU Advokat bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai apabila Pengadilan Tinggi menolak menyelenggarakan sidang terbuka sumpah advokat atas permintaan organisasi advokat, organisasi advokat yang bersangkutan berwenang menggelar sidang sumpah advokat tanpa keterlibatan pengadilan tinggi dan kepaniteraannya.
“Tempat penyumpahan advokat dapat dipilih sesuai di ibukota provinsi, kota/kabupaten sesuai domisili advokat yang bersangkutan. Lalu, berita acara sumpahnya dikirim organisasi advokat, MA, dan Kemenkumham,” harapnya.
Anwar Usman mengingatkan majelis panel akan melaporkan pelaksanaan sidang pendahuluan permohonan ini dalam rapat permusyawatan hakim (RPH). Nantinya, RPH akan memutuskan apakah permohonan ini akan dilanjutkan dalam sidang pleno atau langsung diputuskan. “Saudara menunggu saja, bagaimana nanti kelanjutan permohonan ini,” katanya. (www.hukumonline.com)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar