Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”) tidak henti-hentinya digugat efektivitasnya. Tercatat sudah 17 kali UU Advokat diuji materiil di Mahkamah Konstitusi dan saat ini UU Advokat sedang menghadapilegislative review di DPR. Adanya polemik yang begitu besar dari komunitas hukum, khususnya advokat, membuat pembahasan RUU ini berjalan cukup lama di DPR (sekitar 4 tahun).
Kelompok yang mendukung RUU Advokat dan kelompok yang mengharapkan “status quo” bisa dikatakan hampir sama kuat. Kelompok pendukung RUU Advokat dimotori oleh advokat-advokat senior, seperti Adnan Buyung Nasution, Todung Mulya Lubis, Frans Hendra Winarta dan OC Kaligis. Sebaliknya, kelompok yang menentang RUU Advokat diorganisasi oleh Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dengan dukungan sejumlah LSM.
Maraknya aksi pro-kontra belakangan ini mengingatkan Penulis pada situasi tahun 2003, dimana kala itu UU Advokat tetap disetujui oleh DPR meski mendapat protes dari banyak pihak. Namun demikian, Presiden RI waktu itu (Megawati Soekarnoputri) menolak untuk membubuhkan tanda-tangannya sebagai tanda pengesahan UU Advokat itu.
Menariknya, tokoh-tokoh yang terlibat dalam aksi pro-kontra saat itu (2003) muncul lagi saat ini, namun di posisi yang berbeda. Otto Hasibuan, yang saat itu dengan keras menentang RUU Advokat 2003 sekarang malah menjadi pendukung UU Advokat. Di pihak lain, Adnan Buyung Nasution,yang saat itu ditunjuk menjadi Wakil Ketua Tim Perumus dan juga anggota Konsultan Ahli RUU Advokat 2003, sekarang justru menjadi penentang UU Advokat.
Polemik yang Terjadi
Kelompok pendukung RUU Advokat meyakini bahwa peran serta pemerintah melalui pembentukan Dewan Advokat Nasional (“DAN”) diperlukan untuk mengakomodasi kepentingan semua advokat dan menjadi pintu masuk bagi pembentukan profesi advokat yang profesional, mandiri, dan bertanggung jawab. Kelompok ini menganggap bahwa konsep wadah tunggal advokat sebagaimana diamanatkan oleh UU Advokat bertentangan dengan hak berserikat advokat.
Sementara itu, kelompok yang menuntut status quo menganggap konsep DAN yang termuat dalam Pasal 43 RUU Advokat akan melemahkan independensi advokat. Menurut kelompok ini, apabila RUU ini disahkan, maka posisi advokat akan berada di bawah kendali pemerintah. Selain itu, sistem “multi-bar” yang dianut oleh RUU ini akan membuka peluang munculnya advokat-advokat nakal karena sulitnya pengawasan dan penindakan terhadap mereka.
Apabila RUU ini disahkan, maka akan ada lebih dari satu organisasi advokat yang diakui di Indonesia, dan setiap advokat akan diperbolehkan menentukan sendiri organisasi pilihannya. Salah satu ketentuan di dalam RUU Advokat yang menjadi sorotan adalah ketentuan yang memperbolehkan setiap organisasi advokat (yang diakui) untuk menyelenggarakan pendidikan khusus profesi advokat dan mengangkat advokat. Menurut kelompok pendukung RUU Advokat, hal ini diperlukan untuk menghindari praktik monopoli dan penyalahgunaan wewenang, sementara menurut kelompok penentang RUU Advokat hal ini berpotensi mengganggu standardisasi profesi advokat yang ingin dicapai.
Daripada memperdebatkan apakah wadah tunggal lebih baik dibandingkan multi bar, menurut Penulis yang lebih penting untuk dipikirkan adalah apa sebenarnya hal yang menghambat upaya pencapaian tujuan pokok pembuatan UU Advokat itu sendiri, yakni meningkatkan kualitas profesi advokat Indonesia. Saat ini yang benar-benar dibutuhkan oleh advokat Indonesia adalah peningkatan kompetensi, termasuk kompetensi moral (karakter) dan tanggung-jawab (komitmen) advokat, dan hal ini baru bisa efektif dilakukan melalui pelatihan dan pendampingan (mentoring) agar mereka dapat menguasai keterampilan yang sifatnya teknis.
Metode pendidikan bagi calon advokat harus diubah kepada cara bagaimana belajar (how to learn) dan bagaimana berpikir kritis (how to thinkcritically). Menurut Penulis, pembentukan wadah tunggal ataukah multi bar, termasuk DAN, tidak bisa menjamin keberhasilan selama para advokat tidak mau mengubah cara pikirnya dan perilakunya.
Harapan pembuat UU Advokat untuk membentuk organisasi advokat yang merupakan “satu-satunya wadah profesi advokat” tidak akan pernah bisa terwujud selama para advokat tidak menghargai keragaman dan perbedaan di antara mereka. Selama ini, para advokat Indonesia nampaknya lebih suka berorganisasi dengan rekan-rekannya yang mempunyai kesamaan dengannya, entah itu lingkungan tempat tinggal, hobi, almamater, jenis pekerjaan yang biasa ditangani (misalnya, litigasi atau non-litigasi, perusahaan atau perorangan, publik atau bisnis, dan lain-lain), agama, dan lain-lain.
Sejarah dan fakta saat ini sudah jelas menunjukkan bahwa belum ada satu organisasi advokat pun yang mampu menyatukan seluruh advokat di negeri ini. Meski pada tanggal 8 September 2005 para pemimpin ke-8 organisasi advokat terbesar di Indonesia (saat itu) telah menandatangani Akta Pernyataan Pendirian PERADI, namun pada kenyataannya semua organisasi advokat itu masih tetap berdiri sampai sekarang. Saat ini, beberapa dari ke-8 organisasi advokat itu pun sekarang sudah terbelah menjadi beberapa organisasi sehingga tidak ada orang yang bisa memastikan berapa jumlah organisasi advokat yang eksis saat ini di Indonesia.
Yang harusnya ada dalam setiap negara hukum adalah adanya organisasi advokatyang efektif. Inilah yang menjadi persoalan utama kita. Sayangnya, belum ada satupun organisasi advokatyang benar-benar efektif di negeri ini. Untuk bisa dikatakan efektif, suatu organisasi advokat harus bisa mendapatkan pengakuan dari masyarakat (publik) dan negara.
Advokat Belum Dihormati
Sedihnya, secara umum saat ini profesi advokat masih belum dihormati oleh masyarakat. Masyarakat umumnya menilai banyak advokat yang sudah lupa akan tanggung-jawab profesinya. Sekarang ini banyak liars mengaku lawyers; banyak yang lebih suka menjaditrouble-maker daripada peace-maker; lebih suka menjadi pembela koruptor dan aktris daripada wong cilik. Bahkan, masyarakat pun tahu praktik-praktik kecurangan, pengemplangan utang, dan pelanggaran hukum lainnya yang justru dilakukan oleh advokat. Tidak heran kehadiran advokat sering disepelekan atau justru ditakuti (bukannya dihormati) masyarakat.
Kelompok yang mendukung RUU Advokat dan kelompok yang mengharapkan “status quo” bisa dikatakan hampir sama kuat. Kelompok pendukung RUU Advokat dimotori oleh advokat-advokat senior, seperti Adnan Buyung Nasution, Todung Mulya Lubis, Frans Hendra Winarta dan OC Kaligis. Sebaliknya, kelompok yang menentang RUU Advokat diorganisasi oleh Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dengan dukungan sejumlah LSM.
Maraknya aksi pro-kontra belakangan ini mengingatkan Penulis pada situasi tahun 2003, dimana kala itu UU Advokat tetap disetujui oleh DPR meski mendapat protes dari banyak pihak. Namun demikian, Presiden RI waktu itu (Megawati Soekarnoputri) menolak untuk membubuhkan tanda-tangannya sebagai tanda pengesahan UU Advokat itu.
Menariknya, tokoh-tokoh yang terlibat dalam aksi pro-kontra saat itu (2003) muncul lagi saat ini, namun di posisi yang berbeda. Otto Hasibuan, yang saat itu dengan keras menentang RUU Advokat 2003 sekarang malah menjadi pendukung UU Advokat. Di pihak lain, Adnan Buyung Nasution,yang saat itu ditunjuk menjadi Wakil Ketua Tim Perumus dan juga anggota Konsultan Ahli RUU Advokat 2003, sekarang justru menjadi penentang UU Advokat.
Polemik yang Terjadi
Kelompok pendukung RUU Advokat meyakini bahwa peran serta pemerintah melalui pembentukan Dewan Advokat Nasional (“DAN”) diperlukan untuk mengakomodasi kepentingan semua advokat dan menjadi pintu masuk bagi pembentukan profesi advokat yang profesional, mandiri, dan bertanggung jawab. Kelompok ini menganggap bahwa konsep wadah tunggal advokat sebagaimana diamanatkan oleh UU Advokat bertentangan dengan hak berserikat advokat.
Sementara itu, kelompok yang menuntut status quo menganggap konsep DAN yang termuat dalam Pasal 43 RUU Advokat akan melemahkan independensi advokat. Menurut kelompok ini, apabila RUU ini disahkan, maka posisi advokat akan berada di bawah kendali pemerintah. Selain itu, sistem “multi-bar” yang dianut oleh RUU ini akan membuka peluang munculnya advokat-advokat nakal karena sulitnya pengawasan dan penindakan terhadap mereka.
Apabila RUU ini disahkan, maka akan ada lebih dari satu organisasi advokat yang diakui di Indonesia, dan setiap advokat akan diperbolehkan menentukan sendiri organisasi pilihannya. Salah satu ketentuan di dalam RUU Advokat yang menjadi sorotan adalah ketentuan yang memperbolehkan setiap organisasi advokat (yang diakui) untuk menyelenggarakan pendidikan khusus profesi advokat dan mengangkat advokat. Menurut kelompok pendukung RUU Advokat, hal ini diperlukan untuk menghindari praktik monopoli dan penyalahgunaan wewenang, sementara menurut kelompok penentang RUU Advokat hal ini berpotensi mengganggu standardisasi profesi advokat yang ingin dicapai.
Daripada memperdebatkan apakah wadah tunggal lebih baik dibandingkan multi bar, menurut Penulis yang lebih penting untuk dipikirkan adalah apa sebenarnya hal yang menghambat upaya pencapaian tujuan pokok pembuatan UU Advokat itu sendiri, yakni meningkatkan kualitas profesi advokat Indonesia. Saat ini yang benar-benar dibutuhkan oleh advokat Indonesia adalah peningkatan kompetensi, termasuk kompetensi moral (karakter) dan tanggung-jawab (komitmen) advokat, dan hal ini baru bisa efektif dilakukan melalui pelatihan dan pendampingan (mentoring) agar mereka dapat menguasai keterampilan yang sifatnya teknis.
Metode pendidikan bagi calon advokat harus diubah kepada cara bagaimana belajar (how to learn) dan bagaimana berpikir kritis (how to thinkcritically). Menurut Penulis, pembentukan wadah tunggal ataukah multi bar, termasuk DAN, tidak bisa menjamin keberhasilan selama para advokat tidak mau mengubah cara pikirnya dan perilakunya.
Harapan pembuat UU Advokat untuk membentuk organisasi advokat yang merupakan “satu-satunya wadah profesi advokat” tidak akan pernah bisa terwujud selama para advokat tidak menghargai keragaman dan perbedaan di antara mereka. Selama ini, para advokat Indonesia nampaknya lebih suka berorganisasi dengan rekan-rekannya yang mempunyai kesamaan dengannya, entah itu lingkungan tempat tinggal, hobi, almamater, jenis pekerjaan yang biasa ditangani (misalnya, litigasi atau non-litigasi, perusahaan atau perorangan, publik atau bisnis, dan lain-lain), agama, dan lain-lain.
Sejarah dan fakta saat ini sudah jelas menunjukkan bahwa belum ada satu organisasi advokat pun yang mampu menyatukan seluruh advokat di negeri ini. Meski pada tanggal 8 September 2005 para pemimpin ke-8 organisasi advokat terbesar di Indonesia (saat itu) telah menandatangani Akta Pernyataan Pendirian PERADI, namun pada kenyataannya semua organisasi advokat itu masih tetap berdiri sampai sekarang. Saat ini, beberapa dari ke-8 organisasi advokat itu pun sekarang sudah terbelah menjadi beberapa organisasi sehingga tidak ada orang yang bisa memastikan berapa jumlah organisasi advokat yang eksis saat ini di Indonesia.
Yang harusnya ada dalam setiap negara hukum adalah adanya organisasi advokatyang efektif. Inilah yang menjadi persoalan utama kita. Sayangnya, belum ada satupun organisasi advokatyang benar-benar efektif di negeri ini. Untuk bisa dikatakan efektif, suatu organisasi advokat harus bisa mendapatkan pengakuan dari masyarakat (publik) dan negara.
Advokat Belum Dihormati
Sedihnya, secara umum saat ini profesi advokat masih belum dihormati oleh masyarakat. Masyarakat umumnya menilai banyak advokat yang sudah lupa akan tanggung-jawab profesinya. Sekarang ini banyak liars mengaku lawyers; banyak yang lebih suka menjaditrouble-maker daripada peace-maker; lebih suka menjadi pembela koruptor dan aktris daripada wong cilik. Bahkan, masyarakat pun tahu praktik-praktik kecurangan, pengemplangan utang, dan pelanggaran hukum lainnya yang justru dilakukan oleh advokat. Tidak heran kehadiran advokat sering disepelekan atau justru ditakuti (bukannya dihormati) masyarakat.
Hal ini juga menunjukkan betapa lemahnya fungsi pengawasan yang dijalankan oleh organisasi advokat selama ini. Padahal jelas organisasi advokat dibentuk bukan hanya untuk mengakomodasi kepentingan para anggotanya saja, namun juga untuk kepentingan masyarakat (publik).
Tujuan dibuatnya UU Advokat (2003), sebagaimana disebutkan di dalam UU itu sendiri, adalah untuk menciptakan profesi advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia. Pertanyaannya: setelah lebih dari 11 tahun UU ini berlaku, apakah sudah ada kemajuan yang berarti?
Selama ini banyak anggapan keliru mengenai kemandirian advokat. Kemandirian advokat itu tidak berarti bahwa advokat tidak membutuhkan dukungan negara atau tidak boleh berhubungan dengan pemerintah. Justru pengakuan negara c.q. pemerintah sangat dibutuhkan bagi profesi advokat mengingat profesi ini tidak mempunyai akar sejarah atau budaya yang kuat di Indonesia.
Kemandirian advokat itu harus dilihat dari kesanggupan advokat menjalankan tugasnya secara independen dan objektif, tanpa kontrol atau pengaruh dari pihak luar manapun. Bila advokat itu menggantungkan kelangsungan hidupnya pada pihak lain, maka ia tidak mandiri.
Penulis melihat umumnya advokat Indonesia tidak gampang terpengaruh oleh tekanan dari luar. Tekanan yang sering mengganggu kemandirian advokat selama ini justru datang dari dalam diri advokat itu sendiri (tekanan finansial, popularitas, dan godaan dunia lainnya) dan kliennya. Hal ini diperumit dengan sifat kebanyakan advokat yang cenderung suka memaksakan kehendak, pongah dan suka pujian.
Kemandirian organisasi advokat itu sejatinya diukur dari keberanian organisasi advokat itu untuk mendisplinkan anggotanya yang nakal. Profesi advokat selama ini sudah banyak dirugikan oleh ulah sebagian advokat yang menyalahgunakan kebebasan dan kemandiriannya tanpa tanggung-jawab. Karena advokat yang baik hampir tidak pernah diekspos di Indonesia, persepsi masyarakat dan pemerintah tentang kemandirian dan integritas advokat menjadi semakin buruk, bahkan bisa dikatakan sudah kritis.
Peran serta dan tanggung jawab organisasi advokat seharusnya diukur dari kepeduliannya atas isu-isu sosial yang berkembang di masyarakat. Masyarakat mendambakan organisasi advokat Indonesia bisa meniru organisasi advokat di negara-negara tetangga seperti Malaysia, Srilanka, Pakistan, India, yang berani “turun ke jalan” untuk menentang pelanggaran supremasi hukum oleh penguasa atau melawan kebijakan pemerintah yang tidak adil.
Organisasi Advokat yang Kuat
Sebenarnya, tidak efektifnya UU Advokat selama ini adalah karena belum adanya satu organisasi advokat yang kuat, dan organisasi advokat tidak akan kuat bila para advokat tidak mau bersatu.
Sebelum UU Advokat 2003 diundangkan sebenarnya hal ini sudah diperingatkan. UU Advokat 2003 memberikan wewenang (power) yang begitu besar bagi “wadah tunggal advokat” (yang saat itu belum ada), dan di saat yang bersamaan, tenggat waktu yang begitu sempit untuk membentuk “wadah tunggal advokat” tersebut. Bisa diibaratkan seperti seorang ibu yang dipaksa untuk melahirkan bayi yang harus mampu mengemudikan pesawat tempur.
Oleh UU Advokat (2003), wewenang mengatur advokat “from the cradle to the grave”, termasuk menyelenggarakan pendidikan, ujian, pemagangan, pengangkatan, pengawasan, penindakan hingga pemecatan, yang sebelumnya dipegang oleh dua lembaga (Menteri Kehakiman dan Mahkamah Agung) secara tiba-tiba dilimpahkan kepada “wadah tunggal advokat” (single bar association), yang mana sebenarnya “blueprint”-nya pun masih belum ada saat itu. Padahal, legitimasi dan keberhasilan proses pembentukan organisasi baru itu jelas bergantung pada persetujuan seluruh advokat (tanpa kecuali) yang akan menjadi anggotanya, visi-misi organisasi itu, serta kemampuan kepemimpinan para pengurusnya.
Kemelut profesi advokat seharusnya tidak perlu terjadi seandainya DPR waktu itu tanggap dan mengatur dengan jelas apa yang dimaksud dengan “Organisasi Advokat” yang merupakan “satu-satunya wadah profesi advokat”, beserta dengan mekanisme pembentukannya [vide Pasal 28 juncto Pasal 32 (4) UU Advokat]. “Loophole” yang diciptakan oleh anggota DPR waktu itulah yang sekarang menjadi akar penyebab konflik yang berkepanjangan di antara para advokat saat ini. Oleh karena inisiatif untuk membentuk “wadah tunggal” waktu itu bukan datang “dari bawah” (mengingat banyak kalangan advokat yang menentang saat itu), namun bisa dikatakan “paksaan DPR”, maka DPR-lah yang sekarang harus bertanggung-jawab atas kekisruhan yang sekarang terjadi.
Sebenarnya, bila mau, DPR dapat menggunakan kesempatan ini untuk menjadi mediator bagi mereka yang berseteru. DPR dapat meminta kesepakatan mereka untuk membentuk tim “caretaker” yang akan bertugas mendampingi dan membantu para pengurus seluruh organisasi advokat yang ada untuk secara bersama-sama menyelenggarakan musyawarah akbar seluruh advokat Indonesia. Tentu saja susunan anggota dan wewenang tim ini harus disepakati bersama. Pada prinsipnya, biarkanlah para advokat bergumul dan menyelesaikan persoalan mereka tanpa intervensi pihak-pihak lain. Apabila kesepakatan bersama para advokat Indonesia berhasil tercapai, maka itu bisa menjadi solusi cepat dan sederhana untuk menyelesaikan perdebatan mengenai makna “wadah tunggal advokat” dan mengatasi krisis profesi advokat yang sudah berkepanjangan ini.
Penutup
Yang dibutuhkan oleh advokat saat ini adalah pemulihan harkat dan martabatnya, dan hal itu tidak mungkin dilakukan sendirian melainkan harus bersama-sama. Para advokat khususnya pengurus organisasi advokat harus menyadari bahwa tanpa dukungan masyarakat dan pemerintah, mereka tidak akan pernah bisa mewujudkan profesi advokat (dan dengan sendirinya organisasi advokat) yang kuat.
UU Advokat memang belum sempurna, tetapi kita tidak boleh mengulangi kesalahan yang sama. Tidak ada gunanya dibuat UU baru kalau UU itu juga tidak akan dapat dilaksanakan dengan baik. Lagipula, harus diakui bahwa substansi RUU Advokat saat ini masih mengandung sejumlah kelemahan dan potensi masalah. Selain itu, RUU Advokat juga masih belum menjawab berbagai persoalan modern yang sekarang dihadapi oleh profesi advokat di Indonesia, seperti kewajiban pelaporan pelanggaran (whistle blowing) danpembatasan area praktik advokat dan kantor hukum asing.
Disetujui atau tidaknya RUU Advokat tidak akan menyelesaikan masalah yang melanda profesi advokat Indonesia saat ini. Demikian pula, seandainya pun RUU Advokat ini ditunda pembahasannya, masalah ini akan tetap ada dan justru akan semakin rumit. Masalah yang sesungguhnya dan yang harus segera diselesaikan adalah masalah “manusia”-nya. Kearifan para advokat untuk menanggalkan egonya untuk kemudian bersatu dan bekerja-sama sangat dibutuhkan. (http://www.hukumonline.com/)
*Ketua Perhimpunan Profesi Hukum Kristiani Indonesia (Indonesian Christian Legal Society) dan anggota Law Management Committee – LAWASIA. Namun, tulisan ini adalah pendapat pribadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar