15022013
Belakangan ini, pengacara menjadi profesi yang semakin populer di tanah air. Salah satu alasannya, karena penampilan sejumlah pengacara yang begitu sering muncul di media, membela kasus-kasus korupsi kelas kakap. Keberadaan para pengacara ini ternyata membuat banyaknya mahasiswa yang memandang profesi pengacara sebagai jalan untuk mendulang kekayaan, bukan untuk menegakkan keadilan. Banyak juga yang menganggap, mereka yang didampingi kuasa hukum pasti mengantongi banyak uang. Padahal, dinegeri ini masih ada pengacara-pengacara pro bono yang bekerja keras menegakkan keadilan tanpa memungut biaya.
Siapa yang tidak mengenal nama-nama pengacara papan atas negeri ini, seperti Warsito Sanyoto, Hotman Paris, Minola Sebayang dan OC Kaligis? Mereka adalah pengacara-pengacara yang sering tampak dan tampil di media dalam membela kasus-kasus korupsi kelas kakap, perceraian artis dan sebagainya. Mereka sering diiringi wanita-wanita cantik, bahkan mengendarai kendaraan mewah serta berpakaian yang serba wah, dengan gelang dari emas dan cincin yang besar-besar.
Tempat pengacara seperti Warsito Sanyoto, Hotman Paris, Minola Sebayang, dan OC Kaligis bukan disudut kompleks Pengadilan Negeri. Di sudut kompleks Pengadilan Negeri adalah ruangan pengacara-pengacara pro bono, yang sepanjang hari menyediakan waktu dan tenaga untuk membantu terdakwa tak mampu tanpa memungut biaya.
Seorang pengacara pro bono menuturkan bahwa dia terjun menjalani profesi ini sejak pensiun sebagai pengajar di sebuah fakultas hukum univeristas swasta ternama di daerah jakarta Timur. Begitu terjun menjadi pengacara pro bono, selama seminggu beliau mengalami sakit kepala dan pusing. Karena apa yang beliau ajarkan dahulu diruang kuliah, sangat berbeda jauh dengan praktik yang ada. Semua menyimpang. Hingga beliau merasa malu sebagai seorang pengajar.
Keberadaan pengacara pro bono seperti diatas, kerap dipandang sebelah mata. Stigma ini muncul karena sebahagian pengacara pro bono adalah lulusan baru yang mencari pengalaman. Mereka masih memiliki semangat dan idealisme yang tinggi karena baru keluar dari perguruan tinggi, walaupun tujuan akhirnya tetap menjadi pengacara profit. Pengacara-pengacara pro bono memang tak banyak tampil dilayar kaca, tak seperti beberapa pengacara papan atas yang sering tampil di media dan mengubah citra profesi pengacara di Indonesia.
Namun saat ini banyak mahasiswa yang sedang kuliah di fakultas atau jurusan hukum dan mau menjadi advokat, telah tergoda dan terpengaruh karena melihat beberapa advokat tersebut. Mereka melihat profesi sebagai pengacara artis, kasus-kasus korupsi bisa cepat mendatangkan kekayaan yang berlimpah. Hal ini terbukti dengan melihat kecenderungan dari mahasiswa hukum untuk menjadi pengacara-pengacara kelas berat dan terkenal namanya. Bahkan banyak mahasiswa hukum yang tidak mengetahui apa yang dimaksud dengan pengacara pro bono. (Silahkan diuji dan ditanyakan pada teman-teman anda yang menjadi mahasiswa hukum)
Bahkan saat magangpun mahasiswa hukum lebih memilih di law-firm dibandingkan dengan lembaga bantuan hukum. Mereka lebih memilih magang dikantor pengacara-pengacara besar, sedangkan yang memilih magang di lembaga bantuan hukum bisa dihitung dengan jari.
Seperti diketahui, tarif atau honorarium pengacara sebenarnya telah diatur dalam undang-undang, meskipun dalam pasal tersebut hanya menyebutkan harga jasa hukum advokat harus ditetapkan secara wajar tanpa membakukan besarannya. Di Indonesia sendiri dikenal berbagai macam sistem pembayaran. Ada yang lumpsum atau honorarium, maksudnya perkara ditangani dengan membayar sejumlah rupiah. Ada juga sistem hourly basis, dimana advokat dibayar perjam sesuai kesepakatan, rata-rata $ 200-300 per jam dengan waktu minimal adalah 2 jam.
Sebagai ilustrasi atau contoh adalah kasus perceraian seorang public figure. Dia perlu membayar pengacara papan atas itu minimal 50 juta rupiah, diluar biaya operasional yang berkisar 10 persen dari bayaran yang disepakati. Bahkan sebelum kasus itu diterima, ada konsultasi dulu yang dilakukan dengan biaya $200 per jam dan minimal waktu konsultasi adalah 2 jam.
Itu adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk pengacara profit. Sedangkan untuk pengacara pro bono hanya dibayar 600 ribu rupiah oleh negara per perkara. Biaya itu adalah dari awal persidangan hingga vonis hakim dijatuhkan. Mereka tidak menerapkan atau membebankan biaya tambahan, karena klien yang dibela adalah orang-orang susah, yang untuk makanpun sulit sekali. Mereka tidak pernah memikirkan bagaimana memenangkan klien didalam peradilan, namun bagaimana dengan pembelaan itu klien merasa ada yang mendampingi dan memperhatikan nasibnya didalam peradilan. Kasus yang ditangani oleh pengacara-pengacara pro bono lebih banyak yang kalah dibandingkan pengacara-pengacara bertarif. Karena yang mereka hadapi di peradilan adalah sesuatu yang besar. Sangat susah yang kecil mengalahkan tembok yang besar itu.
Semahal apapun tarifnya, Undang-Undang mewajibkan semua pengacara untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma. Tanpa terkecuali!
Karena segelintir advokat yang bertindak seperti itu, akhirnya seluruh advokat tercela. Jangan menjadi advokat karena melihat orang-orang itu, yang memamerkan mobil-mobil mewah dan segala hartanya, karena anda akan tersesat. Karena tidak semua advokat bergaya seperti itu, tidak semua advokat memiliki kekayaan berlimpah.
Salam.
Ethan Hunt/http://hukum.kompasiana.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar