Kamis, 09 Oktober 2014

Bantuan Hukum


Istilah bantuan hukum terkait dengan profesi advokat. Advokat dalam bahasa Inggris merupakan kata benda (noun), berarti “orang yang berprofesi memberikan jasa konsultasi hukum dan/atau bantuan hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan”, kini populer dengan sebutan pengacara (lawyer). Sedangkan dalam hukum Islam, term advokat berasal dari bahasa Arab, yakni al-mahamy, yang setara maknanya dengan pengacara (lawyer). Selain itu, dalam bahasa Inggris term advokat juga terkait dengan kata kerja (verb), advocacy yang berarti “suatu pekerjaan dalam bidang konsultasi hukum dan bantuan hukum untuk membantu mereka yang membutuhkan penyelesaian hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan”. Dalam konteks bahasa Arab, pekerjaan advokat tersebut disebut pula al-mahammah yang setara maknanya dengan kata advocacy.[1]
Untuk memperoleh definisi yang paling jelas, dalam tata hukum Indonesia istilah bantuan hukum dapat ditemukan dalam Bab I Pasal 1 Poin 9 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, bahwa bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu. Sedangkan advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang. Adapun organisasi advokat atau lembaga bantuan hukum adalah organisasi profesi yang didirikan berdasarkan undang-undang. Adapun definisi jasa hukum adalah jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.[2]
Ide dasar bantuan hukum diklaim oleh sebagian orang berasal dari tradisi hukum Barat yang dikenal sejak fase pencerahan (the enlightenment age), di mana muncul gagasan gerakan kebebasan dan demokrasi.[3] Sebagian pendapat juga menyebutkan bahwa bantuan hukum sudah ada sejak zaman Yunani dan Romawi Kuno, yakni ketika para filosof Yunani mendiskusikan beberapa aspek yang berkaitan dengan Tuhan, Alam dan Manusia. Kemudian, seiring dengan kuatnya pengaruh gerakan hak asasi manusia (HAM) pada abad ke-17 di dunia Barat, bantuan hukum bukan hanya menjadi nilai perjuangan bagi kaum lemah dan miskin, tetapi ia telah berkembang luas menjadi suatu institusi untuk para pencari keadilan bagi setiap orang.[4]
Jika dilacak dari konteks perkembangan pemikiran hukum di dunia Barat, gerakan bantuan hukum sangat dipengaruhi faham persamaan dan kebebasan. Misalnya, Socrates (470 SM – 399 SM) adalah salah satu filosof Yunani yang telah menjelaskan metode elenchos bagi penegakan hukum. Kemudian Plato (427 SM – 347 SM) yang juga menjelaskan filsafat idealisme tentang ajaran moral hukum. Menurut keduanya, hukum hanya bisa ditegakan apabila setiap individu memiliki kesadaran moral dan etika untuk patuh kepada hukum itu sendiri.[5]
Bahkan pada tahun 204 SM, Kaisar Claudius telah melegislasikan peran para advokat (lawyers) sebagai suatu profesi di bidang bantuan hukum. Dalam perkembangannya, para lawyer itu disebut sebagai para legal yang memiliki kemampuan melakukan debat, orasi dan pembelaan hukum di pengadilan seperti halnya di zaman Yunani Kuno. Mereka umumnya bekerja secara profesional dan memperoleh upah (The Satires of Juneval). Selain itu, merekapun berperan sebagai konsultan hukum (iuris colsultis), membuat pendapat hukum (legal opinion atau responsa) dan merespon masalah hukum di kalangan masyarakat (a practice known as publice respondere), tidak jarang para penguasa, raja dan gubernur di zaman Romawi meminta pendapat hukum dari para legal untuk menetapkan keputusan hukum secara tepat, detail dan teknis.[6]
Kemudian pada abad ke-IV SM, bantuan hukum (legal aid atau legal service) diidentikan pula dengan “para orator”. Mereka diidentikan dengan dua hal: Pertama,golongan orang-orang yang memiliki pengetahuan luas, berpendidikan dan selalu berjuang bukan hanya untuk membela hak-haknya di depan hukum dan kekuasaan; dan Kedua, dikenal sebagai para legal yang membela orang-orang lemah dan miskin untuk mendapatkan keadilan di depan hukum dan pengadilan.[7] Kedua aspek tersebut menjadi dasar bagi adanya peran para advokat (lawyers) dan bantuan hukum dalam praktik peradilan.
Thomas Hobbes dikenal sebagai pemikir Barat pada abad ke-15 yang banyak menjelaskan tentang konsep hak alami (natural rights) dalam ajaran filsafat moral dan politik (moral and political philosophy). Pemikirannya banyak ditemukan dalam buku Leviathan, di mana hak alami (natural rights) adalah sesuatu yang sangat universal dan inheren dengan etika dan tidak terbatas pada tindakan dan keyakinan manusia. Faham ini sangat dipengaruhi oleh teori hukum alam (natural law) yang berkembang pesat di Barat pada abad pencerahan (the englightenment age).
Hobbes menekankan bahwa hak azasi (the rights) sangat dibatasi oleh ukuran-ukuran dan standar-standar keuniversalitasannya, sedangkan hak alami (natural rights) dibatasi oleh institusi-institusi sosial. Sehingga untuk menentukan suatu ukuran keadilan di depan hukum tidak hanya dilakukan melalui sebuah kesepakatan kolektif (social contract), tetapi juga diatur melalui sistem kekuasaan politik (political authority). Implikasinya hak-hak sipil, politik dan hukum harus bebas dan merdeka dari pengaruh penguasa, sebab rakyatlah yang menentukan semua bentuk kedaulatan (the people as the highest of sovereign authority). Pemahaman semacam ini kemudian dikenal dengan teori kontrak sosial (social contact theory).[8]
Dalam perkembangannya, di dunia Barat dikenal pula filsafat hukum alam (lex naturalis atau natural law atau natural rights), terutama memasuki abad ke-19 dan 20 muncul gerakan hak azasi manusia (human rights movement), di mana setiap orang diyakini memiliki persamaan hak dan kebebasan. Atas dasar itu pula, lahirnya prinsip persamaan hak hukum (equality before the law) dan persamaan hak mendapatkan keadilan (access to justice). Gerakan HAM tersebut sangat mempengaruhi lahirnya gerakan bantuan hukum (legal aid movement) di negara-negara Eropa, Britania Raya, Amerika Serikat, Canada dan Australia. Bahkan dalam perkembangannya, hak atas bantuan hukum telah digaransi dalam konstitusi negara di negara-negara tersebut.[9]
Kemudian memasuki era modern, bantuan hukum terkait dengan teori-teori penegakan hukum di pengadilan. Dalam kajian filsafat hukum Barat, dikenal teori-teori penegakan hukum. Misalnya, Teori Kebebasan Demokrasi – Alan C. Reiter menjadi dasar bagi lahirnya teori penegakan hukum berdasarkan prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law) dan persamaan hak mendapatkan keadilan di depan hukum (access to justice). Kemudian Karl Heinrich Marx (5 Mei 1818–14 Maret1883) dengan teori konfliknya menjelaskan bahwa pendekatan mediasi konflik yang dilakukan oleh Marx ini menjadi dasar bagi upaya bantuan hukum (legal aid) di pengadilan untuk memperjuangkan hak-hak orang lemah dan miskin atas penindasan kaum Borjuis.[10]
Seperti dijelaskan Mauro Cappalletti, bantuan hukum telah dimulai sejak zaman Romawi kuno. Pada setiap zaman, arti dan tujuan pemberian bantuan hukum erat hubungannya dengan nilai-nilai moral, pandangan politik dan falsafah hukum yang berlaku. Menurut Cappalletti, sebagaimana dipetik oleh Adnan Buyung Nasution, bahwa pada zaman Romawi pemberian bantuan hukum oleh Patronus hanyalah didorong oleh motivasi untuk mendapatkan pengaruh dalam masyarakat. Pada abad pertengahan, masalah bantuan hukum ini mendapat motivasi baru, yaitu keinginan semua orang untuk berlomba-lomba memberikan derma (charity) dalam bentuk membantu pihak si miskin dan bersama-sama dengan itu tumbuh pula nilai-nilai kemuliaan (notability) dan kesatriaan (chivalry) yang sangat diragukan orang.[11]
Dalam perkembangan kemudian, tepatnya sejak zaman revolusi Perancis dan Amerika sampai di zaman ini, motivasi pemberian bantuan hukum bukan hanya charity, melainkan mengkristal menjadi hak-hak politik atau hak-hak warga negara yang harus dituangkan dalam setiap konstitusi. Terlebih lagi dalam zaman mutakhir sekarang ini, bantuan hukum bukan semata-mata tuntutan konstitusional, tetapi juga menjadi cita-cita ideal negara modern yang sejahtera (welfare state). Ia terkait dengan HAM terutama ide bagi memperjuangkan hak-hak hukum bagi setiap setiap individu, baik dalam kemasyarakatan, di depan hukum, maupun Negara. Atas dasar itu pula, di setiap negara maju seperti di Eropa dan Amerika melihat bantuan hukum sebagai tanggung jawab negara bagi kesejahteraan dan keadilan sosial seluruh warga negara.
Di Indonesia, pelacakan terhadap sejarah bantuan hukum agak sulit ditemukan. Di samping ketiadaan literatur yang cukup memadai tentang sejarah bantuan hukum di Indonesia, juga rentetan peristiwa yang menjadi penyebab lahirnya bantuan hukum baru bergulir di awal tahun 1970-an ditandai dengan penyelenggaraan Kongres Ke-III Peradin 18-20 Agustus 1969.[12] Hemat penulis, pelacakan bantuan hukum di Indonesia lebih mudah dilacak sejak didirikan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBHI) di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 1970 yang didukung Ali Sadikin (Gubernur DKI). Pada tanggal 13 Maret 1980 LBH dikukuhkan menjadi YLHBI. 20 tahun sebelum itu, organisasi sosial Tjandra Naya yang berdiri pada tahun 1950 di Jakarta, secara sederhana telah mengawali dan merintis bantuan hukum di Indonesia, meskipun baru sebatas bantuan hukum bagi warga keturunan Tionghoa.
Kalangan praktisi hukum di Indonesia menyebut bantuan hukum sebagai salah satu instrumen penegakan hukum dan hak azasi manusia yang terkait dengan access to justice. Misalnya saja, Achmad Santosa mendefinisikan term access to justice dengan kemampuan rakyat untuk mempertahankan, memperjuangkan hak-hak dasar dan memperoleh pemulihan hak-hak yang dilanggar melalui lembaga formal dan informal yang sejalan dengan standar hak asasi manusia. Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa access to justice merupakan kemampuan rakyat dalam mencari dan memperoleh pemulihan hak-haknya melalui institusi peradilan baik secara formal maupun informal sesuai dengan standar-standar hak asasi manusia.[13]
Munculnya gerakan advokasi dan praktik bantuan hukum kepada masyarakat yang tertindas dan terpinggirkan telah menjadi daya dobrak yang sangat ampuh dari kalangan praktisi hukum untuk berperan lebih proaktif membela mereka dalam ranah bantuan hukum dan pemenuhan hak asasi manusia. Namun sayangnya, bantuan hukum belum maksimal karena masih terhambat masalah regulasi di mana belum adanya perundang-undangan tersendiri tentang bantuan hukum. Bantuan hukum kini hanya menjadi sub materi yang dimuat dalam UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat .
Kemampuan praktisi bantuan hukum dalam memberikan pelayanan bantuan hukum secara professional dan dibarengi dengan kekuatan akses pada tingkat birokrasi, telah memperkokoh eksistensi dan posisi mereka lebih dari sekedar pengacara dan advokat, tetapi juga mediator dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hukum di dalam peradilan (litigasi) dan di luar peradilan (non-litigasi). Meskipun dalam kenyataan saat ini, usaha mereka terkadang dianggap bias antara kepentingan membela keadilan dengan tujuan material atas nama profesionalisme.
Bantuan Hukum Sebagai Hak Asasi Manusia
Bantuan hukum adalah hak dari orang miskin yang dapat diperoleh tanpa bayar (pro bono publico) sebagai penjabaran persamaan hak di hadapan hukum. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 34 UUD 1945 di mana di dalamnya ditegaskan bahwa fakir miskin adalah menjadi tanggung jawab negara. Terlebih lagi prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) dan hak untuk di bela Advokat (access to legal counsel) adalah hak asasi manusia yang perlu dijamin dalam rangka tercapainya pengentasan masyarakat Indonesia dari kemiskinan, khususnya dalam bidang hukum.[11]
Dan pada perkembangannya Meskipun telah di amandemen empat kali, Dalam Undang Undang Dasar 1945 (UUD 45) sebagai konstitusi tertinggi negara Indonesia, pasal pasal tentang perlindungan terhadap Hak hak asasi manusia selalu terjamin, tidak terkecuali dengan jaminan terhadap perlakuan yang sama di hadapan hukum seperti yang termaktub dalam pasal 28D UUD 1945 ayat 1 yang berbunyi:

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum

Oleh karena itu, Bantuan hukum adalah hak asasi semua orang, yang bukan diberikan oleh negara dan bukan belas kasihan dari negara, hal ini penting karena sering kali bantuan hukum diartikan sebagai belas kasihan bagi yang tidak mampu. Selain membantu orang miskin bantuan hukum juga merupakan gerakan moral yang memperjuangkan hak asasi manusia. Oleh karena itu, hak tersebut tidak dapat dikurangi, dibatasi apalagi diambil, karena itu sebuah keharusan. (http://faisyalarianto.blogspot.com/)

[1] Pengantar untuk laporan utama Majalah Keadilan Edisi I/XXXII/2007
[2] Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, staff Litbang LPM Keadilan FH UII
[3] Pada pekembangannya pemahaman bantuan hukum tidak hanya pada sektor litigasi, tetapi juga pada sektor non litigasi, hal ini perlu dilakukan dikarenakan semakin berkembangnya hukum dan semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat.
[4] Abdurrahman, Aspek aspek bantuan hukum di indonesia, Ctk pertama, cendana press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar