Kamis, 16 Juni 2016

PERBEDAAN MEDIASI LITIGASI DAN NON LITIGASI, PERBEDAAN ADVOKASI LITIGASI DAN NON LITIGASI




  1. PERBEDAAN MEDIASI LITIGASI DAN NON LITIGASI

  1. Pengertian Mediasi
Mediasi adalah cara penyelesaian dengan melibatkan pihak ketiga, yaitu pihak ketiga yang dapat diterima (accertable) Artinya para pihak yang bersengketa mengizinkan pihak ketiga untuk membantu para rihak yang bersengketa dan membantu para pihak untuk mencapai penyenyelesaian. Meskipun demikianak septabilitas tidak berarti- para pihak selalu berkehendak untuk melakukan atau menerima sepenuhnya apa yang dikemukakan pihak ketiga. Mediasi menurut PerMa No.2 Tahun 2003 : Yaitu suatu penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dibantu oleh mediator.


  1. Mediasi Litigasi


Setiap perkara perdata dilatar belakangi oleh ketidak puasan seseorang atau beberapa orang (pihak penggugat) terhadap seseorang atau beberapa orang lain (pihak tergugat), yang menurut pihak penggugat ada hak-haknya yang telah dilanggar oleh pihak tergugat, atau ada kewajiban tergugat kepada penggugat yang tidak dilaksanakan oleh tergugat.
Penggugat karena telah berkali-kali meminta haknya kepada tergugat, tidak juga berhasil kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan, dengan harapan Hakim dapat mengembalikan hak penggugat atau menghukum tergugat memenuhi kewajibannya.

Kemudian Hakim dibebani kewajiban untuk dapat mendamaikan para pihak melalui jalur mediasi, dan boleh jadi para pihak menunjuk mediator yang bukan Hakim atau orang lain di luar Pengadilan.
Lain hal dengan Pengadilan di Jepang, masyarakat lebih memilih mengajukan permohonan minta didamaikan oleh Pengadilan (Permohonan konsiliasi/Cote) bukan mengajukan gugatan, dan umumnya berhasil. Persidangan konsiliasi/Cote dipimpinoleh seorang Hakim dan didampingi oleh dua orang konsiliator, dua orang konsiliator tersebut ada diantaranya pensiunan Hakim, atau Pengacara yang kawakan, atau dokter ahli, atau ahli pertanahan, tokoh masyarakat, dlsb. Para konsiliator diberi honor oleh Pemerintah Jepang. Ada juga perdamaian yang terjadi di Pengadilan Jepang berdasarkan gugatan, dan hasil perdamaiannya disebut Wakai.
Mahkamah Agung dengan PERMA Nomor 2 Tahun 2003 memakai system mediasi, hal itu yang akan dibahas dalam Bab berikutnya.
Pengadilan telah memanggil pihak-pihak untuk bersidang, kemudian para pihak atau wakilnya datang menghadap, maka Ketua Majelis Hakim wajib menunda persidangan guna menempuh perdamaian dengan para pihak menunjuk mediator, boleh jadi kesepakatan para pihak atau wakilnya untuk menunjuk salah seorang Hakim di Pengadilan atau Panitera / Panitera Pengganti, atau orang lain di luar daftar mediator yang ada di Pengadilan. Perihal tentang mediasi adalah menggali kehendak UU (Pasal 30 HIR / Pasal 154 R.Bg)

Praktek yang telah lama berjalan, adalah Upaya Majelis Hakim menasehati pihak-pihak berperkara dalam persidangan pertama tersebut, kemudian menawarkan kepada para pihak atau wakilnya agar mau menyelesaikan sengketanya secara damai. Proses menasehati dan menawarkan perdamaian inilah yang menurut pandangan Mahkamah Agung, sebagai upaya yang belum sungguh-sungguh pelaksanaannya oleh Majelis Hakim Pengadilan Tingkat Pertama, dan oleh karenanya lahirlah PERMA Nomor 2 Tahun 2003 tersebut. “Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator”.
Dari pengertian mediasi sebagaimana tersebut diatas, mengandung makna, yakni para pihak diharapkan dapat mencapai kesepakatan yang menguntungkan bagi kedua belah pihak melalui jalur perundingan dengan dibantu oleh seorang mediator. Dengan adanya kesepakatan yang telah dibuat oleh kedua belah pihak diharapkan dapat meminimalisir terbuangnya waktu serta biaya yang akan dikeluarkan oleh mereka dalam menyelesaikan sengketa.
Beberapa hal yang harus mendapat perhatian penuh dari pimpinan pengadilan, antara lain : 

  • Telah memiliki daftar mediator;
  • Menyediakan tempat untuk pelaksanaan mediasi;

Pada prinsipnya apabila para pihak atau wakilnya hadir dalam persidangan pertama, kemudian majelis hakim berupaya menasehati dan mengarahkan para pihak agar memilih penyelesaian secara damai, maka jika para pihak sepakat untuk berdamai dan minta kepada Pengadilan agar menerbitkan akta perdamaian, Pengadilan cukup sekali bersidang pada hari itu saja dengan produk akta perdamaian. Sekiranya para pihak sepakat untuk membuat perdamaian sendiri di luar persidangan dan penggugat mencabut gugatannya, hal tersebut juga dibolehkan. Bedanya produk Pengadilan berupa akta perdamaian, sengketa kedua belah pihak benar-benar berakhir, sudah tidak dimungkinkan lagi untuk diajukan kembali ke Pengadilan manapun, baik tingkat pertama, banding maupun kasasi, hal demikianlah yang dimaksudkan dengan pasal 130 ayat (1) HIR / pasal 154 ayat (1) R.Bg jo. Pasal 130 ayat (3) / pasal 154 ayat (3) R.Bg jo. Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 1985.
Sedangkan perdamaian antara kedua belah pihak yang terjadi di luar persidangan pengadilan, biasa disebut dengan istilah “dading”. Perdamaian dading mengikat kedua belah pihak yang berdamai, diharapkan keduanya tunduk dan mematuhi isi kesepakatan yang mereka perbuat, tetapi jika salah satupihak tidak mau melaksanakan isi kesepakatan tersebut, maka pihak yang merasa dirugikan tidak dapat memohon kepada Pengadilan untuk dieksekusi, dan sekalipun surat perdamaian tersebut dibuat dihadapan Notaris. Yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan baru.
“Segala perdamaian diantara para pihak mempunyai suatu kekuatan suatu putusan Hakim dalam hukum yang penghabisan, tidak dapatlah dibantah dengan alasan kekhilafan mengenai hukum atau dengan alasan salah satu pihak dirugikan “ (Pasal 1858 KUHPerdata).
Bila upaya perdamaian tersebut tidak berhasil, barulah ditempuh upaya mediasi :
  • Ketua atau Anggota Majelis tidak diperbolehkan bertindak sebagai mediator.
Problemnya : di lingkungan Peradilan Agama, Hakim masih sangat terbatas, para pihak sepakat Hakim A lah yang mereka sukai sebagai penengah, padahal Hakim A adalah Ketua atau Anggota Majelis perkara tersebut. Perlu ada pengecualian untuk Pengadilan Agama yang masih kekurangan tenaga Hakim.
  • Mediator harus telah memiliki “sertifikat”.

Problemnya : persyaratan tersebut tidak tercantum dalam definisi mediator. Pasal 1 ayat (5) menyatakan :”Mediator adalah pihak yang bersifat netral dan tidak memihak, yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa”. Menurut hemat penulis, upaya perdamaian yang telah dicanangkan sejak Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002, kemudian diganti dengan PERMA Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, perlu segera ditindaklanjuti dengan mempedomani PERMA tersebut, dan ketentuan keharusan menunggu adanya pensertifikatan, justru menghambat pelaksanaan mediasi, perlu adanya terobosan bagi Pengadilan guna mengatasi hambatan tersebut, dengan berpatokan kepada definisi mediator tersebut diatas.
Adapun beberapa prinsip dari lembaga mediasi, adalah:
  1. Pada prinsipnya mediasi bersifat sukarela

Pada prinsipnya inisiatif pilihan penyelesaian sengketa melalui mediasi tunduk pada kesepakatan para pihak. Hal ini dapat dilihat dari sifat kekuatan mengikat dari kesepakatan hasil mediasi didasarkan pada kekuatan kesepakatan berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata. Dengan demikian pada prinsipnya pilihan mediasi tunduk pada kehendak atau pilihan bebas para pihak yang bersengketa. Mediasi tidak bisa dilaksanakan apabila salah satu pihak saja yang menginginkannya.
Pengertian sukarela dalam proses mediasi juga ditujukan pada kesepakatan penyelesaian. Meskipun para pihak telah memilih mediasi sebagai cara penyelesaian sengketa mereka, namun tidak ada kewajiban bagi mereka untuk menghasilkan kesepakatan dalam proses mediasi tersebut. Sifat sukarela yang demikian didukung fakta bahwa mediator yang menengahi sengketa para pihak hanya memiliki peran untuk membantu para pihak menemukan solusi yang terbaik atas sengketa yang dihadapi para pihak. Mediator tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan sengketa yang bersangkutan seperti layaknya seorang hakim atau arbiter. Dengan demikian tidak ada paksaan bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka dengan cara mediasi.
Dalam hukum di Indonesia, praktek mediasi pada umumnya juga didasarkan pada pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Dalam konteks sengketa konsumen pengguna mediasi bersifat sukarela sebagaimana diatur dalam pasal 45 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1999 yang berbunyi:
“Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa”.

  1. Lingkup sengketa pada prinsipnya bersifat keperdataan

Jika dilihat dari berbagai peraturan setingkat Undang-undang yang mengatur tentang mediasi di Indonesia dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya sengketa-sengketa yang dapat diselesaikan melalui mediasi adalah sengketa keperdataan. Pasal 30 ayat (2) UU No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup. Demikian pula pada pasal 75 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan sebagaimana dirubah dengan UU No. 19 Tahun 2004 mengatakan penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana sebagaimana diatur dalam UU kehutanan tersebut. UU No. 30 Tahun 1999 meskipun tidak tegas seperti kedua UU terdahulu, namun dari ketentuan pasal 5 ayat (1) berbunyi: “sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan perundang-undangan dikuasai oleh pihak yang bersengketa”, dapat dipahami bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa perdagangan dan sengketa hak yang bersifat keperdataan saja.

  1. Proses sederhana

Sifat sukarela dalam mediasi memberikan keleluasaan pada pihak untuk menentukan sendiri mekanisme penyelesaian sengketa mediasi yang mereka inginkan. Dengan cara ini, para pihak yang bersengketa tidak terperangkap dengan formalitas acara sebaimana dalam proses litigasi. Para pihak dapat menentukan cara-cara yang lebih sederhana dibandingkan dengan proses beracara formal di Pengadilan. Jika penyelesaian sengketa melalui litigasi dapat selesai bertahun-tahun, jika kasus terus naik banding, kasasi, sedangkan pilihan penyelesaian sengketa melalui mediasi lebih singkat, karena tidak terdapat banding atau bentuk lainnya. Putusan bersifat final and binding yang artinya putusan tersebut bersifat inkracht atau mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Istilqh “final” berarti putusan tersebut tidak membutuhkan upaya hukum lanjutan. Pengertian “mengikat” atau “Binding” adalah memberikan beban kewajiban hukum dan menuntut kepatuhan dari subjek hukum. Di dalam Hukum Acara Perdata dikenal teori res adjudicate pro veritare habetur, yang artinya apabila suatu putusan sudah tidak mungkin diajukan upaya hukum, maka dengan sendirinya putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde) dan oleh karenanya putusan tersebut mengikat para pihak yang bersengketa.
Sebagai konsekuensi cara yang lebih sederhana ini, maka mediasi sering dianggap lebih murah dan tidak banyak makan waktu jika dibandingkan dengan proses litigasi atau berperkara di Pengadilan.

  1. Proses mediasi tetap menjaga kerahasiaan sengketa para pihak
Mediasi dilaksanakan secara tertutup sehingga tidak setiap orang dapat menghindari sessi-sessi perundingan mediasi. Hal ini berbeda dengan badan peradilan dimana sidang umumnya dibuka untuk umum. Sifat kerahasiaan dari proses mediasi merupakan daya tarik tersendiri, Karena para pihak yang bersengketa pada dasarnya tidak suka jika persoalan yang mereka hadapi dipublikasikan kepada umum.

  1. Mediator bersifat menengahi

Dalam sebuah proses mediasi, mediator menjalankan peran untuk menengahi para pihak yang bersengketa. Peran ini diwujudkan melalui tugas mediator yang secara aktif membantu para pihak dalam memberikan pemahamannya yang benar tentang sengketa yang mereka hadapi dan memberikan alternative solusi yang terbaik bagi penyelesaian sengketa diajukan mediator sepenuhnya berada dan ditentukan sendiri oleh kesepakatan para pihak yang bersengketa. Mediator tidak dapat memaksakan gagasannya sebagai penyelesaian sengketa yang harus dipatuhi.
Prinsip ini kemudian menuntut mediator adalah orang yang memiliki pengetahuan yang cukup luas tentang bidang-bidang terkait yang dipersengketakan oleh para pihak.
Bila diperhatikan berbagai macam cara untuk penyelesaian sengketa memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing, misalnya pencapaian consensus bersama yang terjadi dalam Hukum Adat Indonesia, di samping menyelesaikan sengketa tertentu, juga membantu membangun dan melindungi komunitas, tetapi kadang kala yang muncul dalam upaya untuk memperoleh kesepakatan hanya berupa bentuk pemaksaan yang terselubung, yaitu para pihak yang bersengketa dipaksa menyetujui demi kepentingan pihak komunitas. Pada beberapa kasus seperti ini, kebutuhan dan kepentingan pihak yang bersengketa mungkin tidak terpenuhi sama sekali. Hal ini tentunya merugikan pihak yang bersengketa.

Tugas mediator telah diatur di dalam Bab III PERMA Nomor 2 Tahun 2003, ada beberapa hal yang tidak diatur di daalam PERMA. Menurut hemat penulis perlu ditempuh oleh para mediator, yaitu antara lain:
Tugas pertama seorang mediator: adalah memberikan nasehat dan mengarahkan para pihak atau wakilnya agar mau menyelesaikan sengketanya secara damai, setelah selesai memberikannasehat atau pengarahan, kemudian pihak tergugat dipersilahkan menunggu di luar ruangan dan mediator melanjutkan dengan memberikan kesempatan kepada pihak penggugat atau kuasanya mengungkapkan sejelas-jelasnya permasalahan yang menjadi sengketa sejak awal hingga keadaan yang sekarang, kemudian mediator memberikan pandangannya bagaimana sebaiknya mengatasi permasalahan tersebut sehingga pihak penggugat tidak dirugikan dan pihak tergugat juga diberi kemudahan-kemudahan memenuhi tuntutan tersebut. Kemudian penggugat disuruh menunggu di luar dan tergugat atau kuasanya dipanggil masuk, mediator mempersilahkan tergugat memberikan keterangannya sehubungan dengan adanya tuntutan pihak penggugat. Bila ada hal-hal yang janggal atau kurang jelas keterangan tergugat mediator mengajukan pertanyaan- pertanyaan atau minta kejelasan dari tergugat tentang hal-hal yang belum ditanggapi oleh tergugat, setelah selesai, mediator menawarkan beberapa solusi agar sengketa tersebut dapat selesai secara damai.
Tugas kedua seorang mediator: adalah memanggil kedua belah pihak memasuki ruang mediasi, mediator mempersilahkan pihak penggugat atau kuasanya mengajukan poin-poin tuntutannya dan bila ada solusi damai yang ditawarkannya hendaknya diajukan secara tertulis, bila ada hal yang dianggap mediator belum konkrit, mediator meminta agar penggugat mengulangi dan menjelaskan hal tersebut. Selanjutnya agar tergugat memberikan tanggapannya serta solusi damai yang ditawarkannya secara tertulis, dan mediator meminta kejelasan hal-hal yang dianggap kurang jelas.
Tugas ketiga seorang mediator: adalah mengelompokkan bagian-bagian yang telah disepakati, bila semua bagian telah disepakati berarti mediator berhasil mendamaikan para pihak, bila masih ada bagian yang belum disepakati maka pertemuan dilanjutkan pada hari dan tanggal yang telah disepakati bersama, dan mediator mengingatkan kepada para pihak untuk berfikir kembali dan mengajukan tawaran jalan keluar atas hal-hal yang belum disepakati tersebut secara tertulis dan diajukan kepada mediator pada hari dan tanggal yang telah disepakati tersebut.
            Prosedur Mediasi di pengadilan
Peraturan Mahkamah Agung RI. No.2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di pengadilan, konsideranya adalah; untuk mengurangi penumpukan perkara, merupakan salah satu cara menyelesaikan perkara lebih cepat dan murah, bersesuian dengan Pasal 130 HIR atau pasal P 153 RBg.
Sifat Mediasi :
  1. Wajib (Mandatory) atas seluruh perkara perdata yang diajukan kepengadilan Tk.1
  2. Hakim mewajibkan para pihak menempuh lebih dahulu proses mediasi;
  3. Hakim wajib memunda siadang dan memberikan kesempatan para pihak untuk mediasi;
  4. Hakim wajib memberikan penjelasan ttg prosedur mediasi dan biayanya;
  5. Apabila para pihak diwakili Penasehat Hukum maka setriap keputusan yang diambil harus memperoleh persetujuan tertulis dari para pihak;
  6. Proses mediasi pada dasarnya tidak bersifat terbuka untu umum, kecuali para pihak menghendaki lain, sedangkan mediasi untuk kepentingan publik terbuka untuk umum.
Hak memilih mediator oleh para pihak :
  1. Mediator ditunjuk (disepakati) oleh para pihak, dapat dari dalam peradilan (hakim) yang sudah mendapat sertifikat sebagai mediator, atau pihak dari luar pengadilan yang sudah bersetrifikat;
  2. Jika para pihak dapat sepakat dalam memilih mediator maka ketua majelis hakim dapat menetapkan menunjuk mediator yang terdaftar dalam PN tersebut;
  3. Waktu paling lama satu hari kerja setelah sidang pertama;
  4. Ketua atau anggota majelis hakim di larang sebagai mediator
Kewajiban Mediator :
  1. Mediator wajib menyusin jadwal mediasi;
  2. Mediator wajib mendorong dan menelurusi serta mengali kepentingan para pihak;
  3. Mediator wajib mencari berbagi pilihan penyelesain;
  4. Mediator wajib merumuskan kesepakatan secara tertulis;
  5. Mediator wajib memuat klausa pencabutan perkara;
  6. Mediator wajib memeriksa kesepakan untuk menghindari jika ada klausa yang bertentangam dengan hukum;
  7. Setelah 22 hari melalui mediasi tidak berhasil, maka mediator wajib menyatakan secara tertulis bagwa mediasi telah gagal dan memberikan pemberitahuan kepada majelis hakim;
  8. Jika mediasi gagal, maka semua fotokopi, notulen, catatan mediator wajib dimusnahkan
Waktu dan Tempat Mediasi :
  1. Paling lama 30 hari, bagi mediator di luar PN dapat di perpanjang;
  2. 22 hari setelah ditunjuknya mediator;
  3. 7 hari setelah mediator ditunjuk para pihak wajib menyerahkan fotokopi dokumen perkara (duduk perkara, susrt-surat, dll );
  4. Mediasi dapat diselengarakan disalah satu ruangan pengadialan atau tempat lain yang disepakati para pihak

Hal-hal lain yang perlu di perhatikan :
  1. Para pihak dapat di dampingi oleh penasehat hukum
  2. Para pihak wajib menhadap kembali kepada majelis haim yang memeriksa perkara;
  3. Kesepakatan hasil mediasi di tandatangani oleh para pihak dan dapat dikukuhkan majelis hakim sebagai akta perdamaian;
  4. Mediator dapat melakukan kaukus;
  5. Mediator dengan kesepakatan para pihak dapat mengundang ahli;
  6. Jika mediasi gagal, maka pernyataan dan pengakuan para pihak tidak dapat digunakan sebagai alat bukti persidangan;
  7. Mediator tidak dapat dijadikan saksi di pengadilan;
  8. Mediasi di pengadilan tidak di pungut biaya, sedangkan di tempat lain biaya di bebenkan kepada para pihak;
  9. Mediasi oleh hakim tidak dipungut biaya, sedangkan mediator bukan hakim ditangung oleh para pihak atas kesepakatan.

  1. Mediasi Non litigasi

Mediasi non litigasi adalah cara penyelesaian sengketa diluar peradilan. Pihak ketiga yang netral dan berfungsi sebagai penengah atau memfasilitasi mediasi tersebut yang biasa disebut mediator. Pihak ketiga tersebut hanya boleh memberikan saran-saran yang bersifat sugestif, karena pada dasarnya yang memutuskan untuk mengakhiri sengketa adalah para pihak. Pihak ketiga tersebut juga harus netral sehingga dapat memberikan saran-saran yang objektif dan tidak terkesan memihak salah satu pihak. Mediasi merupakan prosedur wajib dalam proses pemeriksaan perkara perdata, bahkan dalam arbitrase sekalipun dimana hakim atau arbiter wajib memerintahkan para pihak untuk melaksanakan mediasi dan jika mediasi tersebut gagal barulah pemeriksaan perkara dilanjutkan. Tidak semua orang bisa menjadi mediator professional karena untuk dapat menjadi mediator dibutuhkan semacam sertifikasi khusus.

Mediasi perkara di luar pengadilan dapat juga dilakukan melalui badan arbitrase. Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa yang mirip dengan litigasi, hanya saja litigasi ini bisa dikatakan sebagai "litigasi swasta" Dimana yang memeriksa perkara tersebut bukanlah hakim tetapi seorang arbiter. Untuk dapat menempuh prosesi arbitrase hal pokok yang harus ada adalah "klausula arbitrase" di dalam perjanjian yang dibuat sebelum timbul sengketa akibat perjanjian tersebut, atau "Perjanjian Arbitrase" dalam hal sengketa tersebut sudah timbul namun tidak ada klausula arbitrase dalam perjanjian sebelumnya. Klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase tersebut berisi bahwa para pihak akan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sehingga menggugurkan kewajiban pengadilan untuk memeriksa perkara tersebut. Jika perkara tersebut tetap diajukan ke Pengadilan maka pengadilan wajib menolak karena perkara tersebut sudah berada di luar kompetensi pengadilan tersebut akibat adanya klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase. Beberapa keunggulan arbitrase dibandingkan litigasi antara lain:
  1. Arbitrase relatif lebih terpercaya karena Arbiter dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Arbiter dipilih oleh para pihak sendiri dan merupakan jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh pejabat peradilan manapun. Dalam hal para pihak tidak bersepakat dalam menentukan arbiter maka arbiter akan ditunjuk oleh ketua Pengadilan Negeri. Hal ini berbeda dengan litigasi karena para pihak tidak dapat memilih hakim yang memeriksa perkara. Calon arbiter yang ditunjuk juga boleh menolak penunjukan tersebut.

  1. Arbiter merupakan orang yang ahli di bidangnya sehingga putusan yang dihasilkan akan lebih cermat. Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dinyatakan bahwa salah satu syarat untuk menjadi arbiter adalah berpengalaman aktif di bidangnya selama 15 tahun. Hal ini tentunya berbeda dengan hakim yang mungkin saja tidak menguasai bidang yang disengketakan sehingga harus belajar bidang tersebut sebelum memeriksa perkara.

  1. Kepastian Hukum lebih terjamin karena putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak. Pihak yang tidak puas dengan putusan arbitrase tidak dapat mengajukan upaya hukum. namun putusan tersebut dapat dibatalkan jika terjadi hal-hal tertentu seperti dinyatakan palsunya bukti-bukti yang dipakai dalam pemeriksaan setelah putusan tersebut dijatuhkan atau putusan tersebut dibuat dengan itikad tidak baik dari arbiter.

  1. Sedangkan kelemahannya antara lain:

a)      Biaya yang relatif mahal karena honorarium arbiter juga harus ditanggung para pihak (atau pihak yang kalah).
b)      Putusan Arbitrase tidak mempunyai kekuatan eksekutorial sebelum didaftarkan ke Pengadilan Negeri.
c)      Ruang lingkup arbitrase yang terbatas hanya pada sengketa bidang komersial (perdagangan, ekspor-impor, pasar modal, dan sebagainya).


  1. Makna Penting Mediasi sebagai alternative penyelesaian sengketa

Tidak bisa dipungkiri bahwa upaya penyelesaian suatu perkara demikian sulit, rumit dan berbelit-belit, demikianlah kira – kira pendapat sebagian orang sehingga muncul wacana bahwa upaya yang telah dilakukan untuk sedapat mungkin menyelesaikan sengketa tanpa melalui proses ligitasi, sebagai contoh dalam menghadapi suatu sengketa para pihak yang berperkara khususnya piak Penggugat sebagai pihak yang berinisiatif berperkara untuk sedapat mungkin mengakhiri sengketa dengan jalur perdamaian. Karena bagaimanapun juga penyelesaian perkara dengan jalur perdamaian senantiasa akan mendatangkan keuntungan bagi kedua belah pihak.
Begitupun halnya keuntungan dari segi biaya, tentunya biaya yang akan dikeluarkan akan lebih murah, karena tidak mengeluarkan biaya yang terlalu banyak dan yang lebih penting lagi perdamaian akan mampu memulihkan hubungan baik diantara pihak yang berperkara, lebih-lebih bila mana para pihak yang berperkara tersebut adalah mereka yang nota bene sesama mitra usaha yang memerlukan suasana hubungan yang bersifat kolegalitas, bisa dibanyangkan apabila muncul persoalan diantara mereka kemudian diselesaikan melalui proses persidangan yang pada akhirnya berakibat pada dua kubu menang dan kalah. Hal ini tentunya akan berakibat pada pecahnya hubungan yang bersifat kolegalitas diantara mereka. Demikian pula halnya hubungan baik antara keluarga akan menjadi renggang bahkan putus, manakala mereka dalam menyelesaikan suatu sengketa misalnya adanya perebutan harta warisan dan lain-lain. Untuk mencegah agar jangan sampai hubungan keluarga menjadi berantakan hanya karena memperebutkan suatu hak seperti yang disebutkan dalam contoh diatas, maka penyelesaian secara damai jauh lebih bermanfaat dibandingkan sebaliknya.

Pentingnya mediasi dalam konteks ini dimaknai bukan sekedar upaya untuk meminimalisir perkara-perkara yang masuk ke Pengadilan baik itu pada Pengadilan tingkat pertama maupun tingkat banding, sehingga badan peradilan dimaksud terhindar dari adanya timbunan perkara, namun lebih dari itu Mediasi dipahami dan diterjemahkan dalam proses penyelesaian sengketa secara menyeluruh dengan penuh kesungguhan untuk mengakhiri suatu sengketa yang tengah berlangsung.
Walaupun dalam kenyataannya setiap perkara yang masuk ke Pengadilan Negeri sebagian besar tidak dapat didamaikan lagi dengan upaya perundingan, namun itu bukan berarti upaya ini kita matikan sama sekali, akan tetapi justru itu yang menjadi tantangan bagi mediator khususnya hakim untuk bisa memainkan perannya sebagai mediator yang ulung dengan menerapkan kemampuan dan kemahirannya secara maksimal.
Oleh karena itu Mediasi hendaknya dijadikan sebagai lembaga pertama dan terakhir dalam menyelesaikan sengketa antara para pencari keadilan, karena penyelesaian sengketa melalui proses litigasi banyak yang tidak berakhir manis, fenomena yang tak jarang kita temukan bisa menjadi suatu gambaran betapa nestapa yang sering mengiringi para pihak yang berperkara, di satu sisi bagi pihak yang menang ia mengeluarkan biaya yang tinggi terkadang tidak sesuai dengan nilai ekonomis barang yang diperebutkan dan di sisi lain bagi pihak yang kalah sering tidak dapat menerima kekalahan yang menyebabkan adanya tekanan psikologis dan timbulnya depresi yang akhirnya bermuara pada bentuk-bentuk tindakan anarkis. Hal demikian tentulah bukan menjadi harapan kita, karena konflik yang terjadi antar individu bisa memicu konflik yang lebih luas, seperti antar kelompok, dampak buruk dari hal itupun tak ayal dapat terhindar, putusnya jalinan silaturrahmi hubungan persaudaraan, kerugian moril dan materiil adalah contoh akibat negative dari persoalan di atas. Untuk itu, upaya preventif dalam setiap upaya penyelesaian persoalan harus dikedepankan, mencegah penyebab konflik berarti mencegah adanya kemudaratan.
Prinsipnya suatu peraturan dibuat adalah untuk dijalankan, demikian juga halnya dengan PERMA Nomor 2 Tahun 2003. Islam adalah agama damai, yang berperkara di Pengadilan adalah Agama adalah orang-orang yang beragama Islam dan masih dalam ikatan keluarga, peluang untuk dapat didamaikan lebih besar dibandingkan dengan perkara-perkara pada Peradilan Umum, oleh karenanya upaya mendamaikan secara sungguh-sungguh sangat diharapkan, sekalipun menurut tehnik dan cara tersendiri di luar PERMA tersebut, hal ini Pengadilan Agama dapat dikecualikan, karena ada kekhususan, khusus menangani orang-orang Islam (orang-orang yang cinta damai), dan khusus sengketa dalam keluarga (family law).

  1. PERBEDAAN ADVOKASI LITIGASI DAN NON LITIGASI

  1. Pengertian Advokasi

Advokasi secara bahasa artinya yaitu sokongan pendampingan, anjuran, pembelaan.
Dalam ketenagakerjaan, advokasi adalah suatu kegiatan atau serangkaian tindakan yang berupa anjuran, pendampingan, pernyataan maupun pembelaan yang dilakukan terhadap pekerja/anggota atau organisasi terhadap suatu kondisi/permasalahan tertentu.
Advokasi terbagi dua yaitu:
  1. Advokasi ligitasi yaitu segala bentuk advokasi dalam acara persidangan di pengadilan
  2. Advokasi non ligitasi yaitu segala bentuk advokasi di luar acara persidangan di pengadilan

  1. Advoksasi Litigasi

Advokasi Litigasi adalah salah satu bentuk advokasi hukum yang dilakukan melalui proses pengadilan, bahkan sebelum kasus atau satu perkara di sidangkan ke pengadilan, pendampingan klien atas pemeriksaan atau penyidikan di tingkat kepolisian, serta proses penuntutan di tingkat kejaksaan dapat juga dikatagorikan sebagai bentuk litigasi.

Di dalam melaksanakan advokasi hukum dalam bentuk litigasi ini jelas dibutuhkan keahlian dan ketrampilan serta pengetahuan tentang prosedur hukum beracara mulai dari tingkat kepolisian, kejaksaan, hingga tingkat pengadilan. Lazimnya proses advokasi hukum yang demikian ini dilakukan oleh kelompok professional yang memiliki izin untuk itu, yang biasanya dikenal dengan sebutan advokat atau penasehat hukum.

Penasehat hukum biasanya dalam mengadvokasi kliennya mulai dari:

  1. Pemeriksaan Pendahuluan
Adalah pemeriksaan tahap awal terhadap seorang tersangka yang dilakukan oleh penyidik. Kedudukan dari seorang tersangka dalam pemeriksan pendahuluan menurut sistem H.I.R, adalah sebagai obyeknya yang harus diperiksa atau obyek pemeriksaan artinya sebagai barang yang harus diperiksa wujudnya berhubung dengan adanya suatu persangkaan.

  1. Pemeriksaan Persidangan
Adalah pemeriksaan terhadap seorang terdakwa didepan sidang pengadilan, dimana hakim mengadili perkara yang diajukan kepadanya. Pemeriksaan persidangan ini berarti serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana. Pada persidangan ini terdakwa bebas memilih penasihat hukum untuk membantu terdakwa apabila hakim yang memeriksa menyalahi wewenang dan juga mengarah berat sebelah dengan penuntutan, sehingga akan merugikan hak azasi terdakwa dan terdakwa akan kehilangan hak azasinya. Peranan advokasi hukum dalam hal ini membantu melancarkan persidangan dan berusaha sekuat dan segala kemampuannya untuk membantu meringankan penderitaan terdakwa.

  1. Pemeriksaan biasa

Apabila pengadilan negeri berpendapat bahwa perkara yang diajukan kepadanya termasuk wewenangnya, maka ketua pengadilan negeri menunjuk hakim yang akan menyidangkan perkara tersebut dan hakim yang bersangkutan menetapkan hari sidang, memeritahkan penuntut umum memanggil terdakwa dan saksi untuk datang dipersidangan dengan surat panggilan yang sah yang harus deterima yang bersangkutan selambat – lambatnya tiga hari sebelum sidang. ( pasal 145, pasal 146, pasal 152, UU, No.8 th 1981 ). Acara pemeriksaan biasa dimulai dengan pembukaan sidang oleh hakim ketua sidang yang menyatakan sidang dibuka untuk umum, kecuali dalam perkara kesusilaan atau terdakwanya anak – anak yang menurut undang – undang harus disidangkan secara tertutup. Yang lebih dahulu diperiksa dalam sidang pengadilan adalah terdakwa, lalu saksi korban, lalu saksi – saksi lain baik yang meringankan maupun yang memberatkan terdakwa. Penuntut umum dan penasihat hukum mendapat kesempatan bertanya juga. Pada permulaan sidang, hakim ketua menanyakan identitas terdakwa secara lengkap dan mengingatkan agar terdakwa memperhatikan segala yang didengar dan dilihat dalam sidang. Kemudian hakim ketua sidang minta kepada penuntut umum untuk membacakan surat dakwaan dan menanyakan kepada terdakwa apakah sudah mengerti tentang dakwaan itu. Apabila tidak mengerti, maka penuntut umum atas permintaan hakim ketua sidang wajib memberi penjelasan yang diperlukan. Selanjutnya terdakwa atau penasihat hukumnya dapat mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang memeriksa perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan dan kepada penuntut umum diberi kekuasaan untuk menanyakan pendapatnya. Atas keberatan tersebut hakim mempertimbangkan dan untuk selanjutnya mengambil keputusan. Apabila hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, dan apabila tidak diterima atau hakim berpendapat hat tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan. Apabila penuntut umum berkeberatan terhadap keputusan hakim tersebut, maka ia dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan tinggi melalui pengadilan negeri yang bersangkutan. Terdakwa atau penasihat hukumnya dapat juga mengajukan perlawanan terhadap keputusan hakim tersebut kepada pengadila tinggi dan dalam waktu empat belas hari sejak diajukannya perlawanan tersebut apabila pengadilan tinggi menerimanya, maka dengan surat penetapannya membatalkan putusan pengadilan negeri dan memerintahkan pengadilan negeri yang berwenang untuk memeriksa perkara itu. Perlawanan terdakwa tersebut dapat diajukan bersama – sama dengan permintaan banding. Apabila pengadilan yang berwenang memeriksa perkara itu berkedudukan didaerah hukum pengadilan tinggi lain, maka kejaksaan negeri mengirimkan perkara tersebut kepada kejaksaan negeri dalam daerah hukum pengadilan negeri yang berwenang ditempat itu.

 Keputusan hakim dapat berupa salah satu dari tiga kemungkinan, yaitu :

1)      Pembebasan atau putusan bebas, jika kesalahan terdakwa tidak terbukti.
2)      Lepas dari tuntutan hukum, jika perbuatan terdakwa terbukti tetapi bukan merupakan tindak pidana.
3)      Pemidanaan atau pidan, jika kesalahan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan.


  1. Advokasi Non litigasi

Di samping melalui Litigasi, juga dikenal Alternatif penyelesaian sengketa di Luar Pengadilan yang lazim disebut Non Litigasi. Alternatif penyelesaian sengketa Non Litigasi adalah suatu pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau dengan cara mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri. Dewasa ini cara penyelesaian sengketa melalui peradilan mendapat kritik yang cukup tajam, baik dari praktisi maupun teoritisi hokum. Peran dan fungsi peradilan, dianggap mengalami beban yang terlampau padat (overloaded), lamban dan buang waktu (waste of time), biaya mahal(very expensif) dan kurng tanggap (unresponsive) terhadap kepentingan umum, atau dianggap terlalu formalistis (formalistic) dan terlampau teknis (technically). 
Dalam pasal (1) angka (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, disebutkan bahwa masyarakat dimungkinkan memakai alternatif lain dalam melakukan penyelesaian sengketa. Alternatif tersebut dapat dilakukan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.

Berikut adalah contoh strategi dalam advokasi non litigasi bagi PTK-PNF oleh LKBH:

Menurut Fiona Boyle et al., advokasi hukum tidak lain adalah seni tentang persuasi di dalam konteks hukum, yakni suatu persuasi yang berakar kepada pemahaman suatu kasus, dan pengetahuan yang cukup terhadap peraturan perundang-undangan, serta kemampuan persuasif sebelum kasus tersebut diperiksa di dalam pengadilan atau tribunal.

Berdasarkan rumusan yang demikian ini kemampuan advokasi sangat erat dengan unsur pengetahuan dan pemahaman terhadap hukum yang berlaku.  Kemampuan advokasi hukum lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah kemampuan interview, menyusun ilustrasi kasus (kronologi kasus), serta kemahiran di bidang penelitian dan analisis kasus hukum. Kemampuan tersebut pada prinsipnya dapat memberikan arah dan fokus advokasi yang efektif, yakni  menentukan apakah suatu kasus adalah kasus hukum atau bukan; bentuk advokasi hukum yang dibutuhkan; serta strategi mana yang dianggap paling sesuai untuk mencapai hasil yang diinginkan. 

Faktor lain yang tidak kalah pentingnya di dalam proses advokasi adalah faktor persiapan yang sudah dilakukan oleh pihak yang akan melakukan advokasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan suatu advokasi sangat ditentukan oleh bagusnya persiapan yang dilakukan sebelum advokasi dilakukan. Hal ini kiranya sangat sesuai dengan ungkapan yang menyatakan bahwa persiapan yang memadai merupakan setengah langkah dari keberhasilan. Adapun jenis persiapan yang perlu dilakukan di dalam melakukan advokasi   antara lain meliputi identifikasi kasus, yakni usaha untuk mendapatkan ilustrasi tentang anatomi kasus; menginventarisir bahan-bahan hukum; menganalisis alat-alat bukti; menyusun atau mengkonstruksi advokasi hukum serta memprediksi berbagai kemungkinan yang bakal terjadi terhadap jalannya kasus. Di samping itu persiapan penting lainnya adalah mempersiapkan diri si pemberi advokasi bahwa dirinya benar-benar yakin dan memiliki waktu dan kemampuan untuk menyelesaikan kasus yang tengah dihadapainya, atau setidaknya dia memiliki referensi alternatif, manakala kasus yang ditangani tersebut terhenti di tengah jalan, maka advokasi substitusi sudah siap untuk menggantikannya.
Untuk lebih jelasnya berikut ini akan diuraikan secara sederhana beberapa tahapan penting untuk dilakukan di dalam melakukan advokasi, yaitu:
  1. Identifikasi dan analisis kasus;
  2. pemberian pendapat hukum (legal memorandum); dan
  3. praktek pendampingan hukum.

  1. Tahap Identifikasi dan Analisis Kasus
Bahwa langkah pertama yang harus dilakukan di dalam proses advokasi hukum ialah melakukan identifikasi permasalahan atau kasus hukum yang hendak ditangani. Asumsinya adalah semakin awal diketahui seluruh aspek kasus hukum yang menjadi obyek advokasi, maka semakin fokus dan akurat advis dan langkah hukum  yang akan dilakukan.

 Sebagaimana diketahui, bahwa setiap kasus hukum tidak selalu berdimensi tunggal, akan tetapi tidak jarang suatu kasus mencakup di dalamnya lebih dari satu dimensi hukum, baik dimensi pidana, perdata bahkan juga dimensi hukum administrasi. Sebagai contoh sederhana, kasus hukum kekerasan di dalam proses belajar-mengajar --pemukulan peserta didik yang dilakukan oleh oknum pendidik dengan dalih penegakan disiplin—- setidaknya ada tiga aspek hukum yang bisa dikenakan dalam kasus ini, yaitu aspek pidana (penganiayaan); aspek perdata (ganti rugi atas dasar pebuatan melawan hukum); serta aspek hukum administrasi (pemberian skorsing, penghentian sementara tugas mengajar).
Akan tetapi tidak jarang pula suatu persoalan yang dimintakan advokasi hukum justru sama sekali bukan termasuk bidang garapan advokasi hukum melainkan garapan bidang institusi lainnya. Misalnya permasalahan keinginan sejumlah PTK-PNF untuk  diangkat statusnya menjadi pegawai negeri sipil. Jelas yang demikian ini bukan fokus advokasi hukum, melainkan bagian dari urusan biro kepegawaian. Oleh karena masalah tersebut bukan ranah hukum, akan tetapi masuk ke dalam katagori ranah administrasi.
Berdasarkan hal demikian ini, langkah identifikasi aspek hukum suatu kasus adalah sangat penting di dalam proses advokasi hukum. Proses identifikasi yang  akurat dan obyektif, akan menghasilkan langkah dan strategi yang tepat di dalam proses advokasi hukum, yaitu: 

1)      Sejak dini sudah dapat dipastikan bahwa kasus tersebut perlu dilakukan advokasi hukum ataukah tidak;
2)      Bahwa jika kasus tersebut adalah kasus hukum, maka aspekhukum apakah yang perlu diprioritaskan advokasi hukumnya;
3)      Jika kasus tersebut di luar bidang keahliannya perlukah meminta bantuan tenaga yang lebih expert;
4)      Ataukah tidak sebaiknya kasus tersebut disarankan untuk ditangani oleh pihak yang lebih berkompeten, dan seterusnya.

Selanjutnya langkah yang mesti ditempuh pasca identifikasi aspek hukum  suatu kasus  adalah fase analisis kasus (case analysis . Bahwa tahap analisis kasus ini dilakukan adalah untuk mengetahui secara obyektif duduk persoalan atau fakta empiris dari suatu kasus dengan cara mengumpulkan informasi dan berbagai alat bukti yang berkaitan dengan kasus tersebut. 

Kemudian setelah itu dilakukan pula proses inventarisasi peraturan hukum maupun jurisprudensi yang berhubungan dengan kasus yang perlu diadvokasi tersebut. Bahkan perburuan informasi melalui literatur dan studi kepustakaan adalah sesuatu yang niscaya di dalam menganalis suatu kasus, karena  ada kemungkinan kasus yang tengah dihadapi ternyata pernah terjadi atau setidaknya mirip dengan kasus di tempat lain. Seterusnya jika dirasa perlu, konsultasi dengan kaum intelektual hukum yang ahli di bidangnya perlu dilakukan untuk memperoleh kejelasan suatu kasus.

Berdasarkan serangkaian investigasi fakta dan norma hukum tersebut, maka kasus tersebut setidaknya telah diketemukan jawabannya secara hipotetis atau secara apriori, yakni:
1)      tentang kedudukan klien, posisinya kuat (pihak yang benar) ataukah justru lemah (pihak yang salah);
2)      alat-alat bukti apakah yang mesti dihadirkan untuk memperkuat posisi klien;
3)      strategi apakah yang perlu ditempuh di dalam proses advokasi tersebut;
4)      prediksi mengenai probabilitas berhasil tidaknya advokasi hukum itu, dan seterusnya.

Berdasarkan uraian di atas dapatlah disimpulkan, bahwa langkah identifikasi masalah dan analisis kasus pada dasarnya adalah ketrampilan hukum atau lebih tepatnya ketrampilandi bidang penelitian hukum.

  1. Tahap Pemberian Pendapat Hukum (Legal Memorandum)

Pendapat hukum atau legal memorandum sesungguhnya adalah salah satu jenis penulisan esai yang berkenaan dengan isu hukum. Memo hukum ini biasanya ditulis bedasarkan hasil kajian dan penelusuran hukum oleh mahasiswa hukum maupun advokat. Isi memo hukum tersebut antara lain berkenaan dengan isu atau permasalahan hukum, kesimpulan, diskusi penerapan hukum terhadap suatu peristiwa, catatan atau kemungkinan implikasi hukum kasus tersebut, serta rekomendasi yang dihasilkan berdasarkan diskusi.

Dalam kaitannya dengan tahapan advokasi sebelum ini, yaitu tahap identifikasi dan analisis kasus, maka pendapat hukum atau memo hukum ini tidak lain adalah catatan pihak pemberi layanan advokasi terhadap kliennya mengenai posisi kasus, prediksi kasus, catatan-catatan kritis atas kasus tersebut, serta rekomendasi yang disarankan untuk dilakukan oleh klien.

Bahwa pemberian pendapat hukum ini harus diberikan secara obyektif dan tidak boleh ditutup-tutupi, termasuk konsekuensi atau dampak yang akan terjadi manakala kasus tersebut terpaksa diselesaikan melalui mekanisme advokasi hukum. Dengan demikian, diharapkan keputusan yang diambil klien betul-betul obyektif, tidak emosional dan tidak obsesif atau wishful thinking.

  1. Tahap Pendampingan Hukum

Bahwa pada tahap ini, pihak penyedia layanan advokasi hukum (LKBH) telah menyatakan kesediaanya untuk melakukan advokasi hukum sebagaimana dikehendaki oleh pihak klien. Berkenaan dengan implementasi advokasi hukum ini ada baiknya diperhatikan, hal-hal yang perlu ditegaskan di dalam proses advokasi agar dapat berjalan efektif. Yaitu:
1)      Aspek legitimasi proses advokasi hukum melalui pemberian surat kuasa;
2)      Aspek kontraktual yang berisi kesepakatan mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak;
3)      Aspek logistik atau yang berkenaan dengan masalah finansial yang dibutuhkan selama proses advokasi tersebut.
Dalam kaitan ini, ada baiknya sebagai ilustrasi perbandingan, diketengahkan ketentuan, syarat,  prosedur advokasi hukum yang dilakukan oleh LKBH  Universitas Muhammadiyah Malang yang menjadi partner Direktorat PTK-PNF, yakni antara lain:
                        Bahwa advokasi hukum diberikan kepada:
1)      Tenaga pendidik yang masih berstatus PTK-PNF, yang dibuktikan dengan surat keputusan atau surat tugas PTK-PNF yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang;
2)      Terdapat permasalahan hukum atau permasalahan profesi yang terkait dengan pelaksanaan tugas sebagai PTK-PNF; dan Layanan advokasi hukum tidak dikenai biaya apapun.Sementara itu prosedur advokasi hukum diberikan kepada PTK-PNF dengan cara: PTK-PNF yang bersangkutan atas inisiatif sendiri atau atas permintaan asosiasi mengajukan permohonan  advokasi hukum, baik secara lisan maupun secara tertulis; LKBH segera melakukan verifikasi terhadap permohonan yang diajukan; Jawaban atau rekomendasi dari LKBH diberikan secara tertulis paling lambat tujuh hari setelah permohonan masuk.
Selanjutnya penanganan kasus melalui advokasi hukum yang dilakukan LKBH, setidaknya harus memenuhi empat indicator, yakni:
1)      Aspek kemendesakan (urgensi);
2)      Aspek tingkat ancaman;
3)      Aspek hasil analisis kasus; dan
4)      Aspek rekomendasi.

Strategi Advokasi Hukum

Strategi yang digunakan di dalam proses advokasi hukum tentunya sangat ditentukan oleh pendekatan yang dilakukan di dalam keseluruhan proses advokasi. Strategi yang dipilih juga bergantung kepada cara pandang terhadap advokasi itu sendiri, yakni berkaitan dengan seberapa besar harapan yang akan diperoleh berupa konsesi, pemberian timbal balik, maupun solusi yang mungkin bisa dicapai. Dengan kata lain strategi dapat dimaknai sebagai taktik yang digunakan untuk mencapai hasil yang terbaik sesuai dengan yang diharapkan.
Sesungguhnya di dalam literatur tidak dijumpai model strategi advokasi hukum, oleh karena proses advokasi hukum tidak berkaitan dengan teknik meyakinkan pihak lawan dengan bujukan, ancaman atau pun tawaran berupa pemberian suatu konsesi tertentu. Advokasi hukum justru melakukan persuasi kepada pihak lawan dengan menggunakan dalil-dalil hukum dan fakta-fakta obyektif untuk memaksa lawan melakukan tindakan tertentu. Model strategi yang dikenal dalam proses advokasi, justru dijumpai di dalam salah satu varian advokasi hukum yaitu proses negoisasi. Jika strategi negoisasi itu dianalogikan terhadap proses advokasi hukum, maka strategi advokasi hukum dibedakan atas lima macam, yakni:

  1. Strategi Kompetitif;
  2. Strategi Kooperatif;
  3. Strategi Pemecahan Masalah  (Problem Solving);
  4. Strategi Mengelak (avoiding);
  5. Strategi Akomodatif.

  1. Strategi Kompetitif;
Strategi ini menggunakan pendekatan diameteral atau saling berhadap-hadapan antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Kedudukan masing-masing pihak berada di antara posisi ekstrim yaitu menang atau kalah. Tujuan  yang hendak dicapai melalui strategi kompetitif adalah untuk menghancurkan kepecayaan diri pihak lawan. Di samping itu juga diharapkan memperoleh keuntungan sebanyak mungkin dari pihak lawan yang kalah.
Kelebihan strategi adalah:
1)      Sangat membantu penyelesaian kasus terutama kasus kecil atau sederhana;
2)      Bersifat intimidatif, terutama dalam kondisi perimbangan kekuatan yang timpang; dan Efektif digunakan pada awal advokasi hukum, ketika pihak lawan belum mengetahui kekuatan atau kelemahan yang sesungguhnya.
Sedangkan kekurangan strategi ini adalah:
1)      Tidak kreatif untuk mencari solusi alternatif;
2)      Tidak realistis;
3)      Sulit untuk dilakukan dalam waktu yang agak lama;
4)      Dapat menimbulkan reaksi yang tidak diharapkan.

  1. Strategi Kooperatif;
Pendekatan kooperatif di sini dimaksudkan untk memperoleh hasil yang terbaik dari masing-masing pihak. Para pihak bertujuan untuk membuat kesepakatan yang saling menguntungkan satu sama lain, dengan cara mengabaikan konflik, saling berusaha mempercayai, menawarkan konsiliasi, kemauan untuk saling memberi, saling terbuka.
                        Adapun keuntungan strategi kooperatif antara lain:
1)      Kemustahilan terjadinya dead lock;
2)      Terjaganya hubungan baik para pihak;
3)      Minimnya ketegangan dan tingkat stress di antara para pihak.
                        Sementara itu sisi kelemahannya pendekatan ini, ialah:
1)      Para pihak dipersepsikan lemah tidak berdaya;
2)      Membutuhkan informasi yang memadai tentang pihak lain;
3)      Berisiko tinggi  jika salah satu pihak beriktikad tidak baik sedangkan kesepakatan belum selesai seluruhnya.

  1. Strategi Pemecahan Masalah
Strategi ini berkonsentrasi untuk menemukan solusi kreatif di dalam usahanya memberikan bagian atau interest kepada kedua belah pihak. Tujuan utama strategi ini ialah menganggap suatu pemasalahan itu dapat dipisahkan dari manusia – sebagaimana kata orang bijak, bahwa tidak ada persoalan yang tidak ada jalan keluarnya--  tentunya melalui berbagai opsi yang dituangkan dalam kesepakatan kontraktual.

                        Karakteristik strategi ini antara lain:
1)      Berusaha untuk memahami pihak lainnya secara emphati;
2)      Menghargai ikatan emosional di antara para pihak;
3)      Fokus terhadap masing-masing kepentingan pihak lain;
4)      Menekankan kepada komunikasi yang baik; dan
5)      Melahirkan solusi kreatif dan inovatif.
                        Sementara itu keunggulan strategi ini ialah:
1)      Tidak saling menjatuhkan, dead lock dapat dihindari;
2)      Fokus kepada permasalahan utama;
3)      Kreatif.
                  Sedangkan kelemahan stategi ini, adalah:
1)      Membutuhkan informasi lebih banyak ;
2)      Sulit dilakukan jika pihak lain tidak menghendaki strategi ini;
3)      Tidak realistis, agaknya sulit ditemui proses advokasi yang menghasilkan kepuasan di antara para pihak yang bertikai.

  1. D.    Strategi Mengelak (Avoiding) 
Strategi ini tujuan utamanya adalah mencari-cari alasan untuk menolak berbagai bentuk kemajuan riil yang dicapai dalam proses advokasi. Dalam praktek strategi sudah jarang dipakai, karena strategi ini digunakan dalam keadaan terdesak, dan sifatnya hanya mengulur-ulur waktu saja (buying time).
                         Adapun kelebihan strategi ini ialah:
  1. Dapat meletakkan pihak lawan dalam posisi di bawah tekanan (under pressure);
  2. Memaksa pihak lawan untuk mengambil inisitif;
  3. Dapat menunda pelaksanaan kesepakatan melalui cara mengulur waktu.
                  Sedangkan keburukan strategi ini adalah:
1)      Dapat memberikan keleluasan pihak lawan untuk mengendalikan pihak yang mengelak;
2)      Adanya ancaman untuk diselesaikan lewat jalur pengadilan dengan kekuatan sita dan eksekusinya;
3)      Bertentangan dengan hukum acara yang menganjurkan penyelesaian kasus secara sederhana dan tidak berbelit-belit;
4)      Strategi ini tidak etis.

  1. E.     Strategi Akomodatif 
Strategi ini sering dipadankan dengan strategi kooperatif yang dilakukan secara ekstrem. Strategi akomodatif melibatkan kesepakatan terhadap penawaran pihak lawan secara ekstrem.  Yaitu kemungkinan penerimaan tawaran pihak lawan tanpa persyaratan apapun. Karakteristik strategi ini mungkin hanya digunakan oleh keompok advokasi hukum yang kurang berpengalaman. Kelebihan strategi ini tida ada, sedangkan kelemahannya terletak pada kegagalannya untuk meraih hasil yang baik, hampir-hampir tidak mungkin diperoleh.

  1. KESIMPULAN

Setiap perkara perdata dilatar belakangi oleh ketidak puasan seseorang atau beberapa orang (pihak penggugat) terhadap seseorang atau beberapa orang lain (pihak tergugat), yang menurut pihak penggugat ada hak-haknya yang telah dilanggar oleh pihak tergugat, atau ada kewajiban tergugat kepada penggugat yang tidak dilaksanakan oleh tergugat.
Penggugat karena telah berkali-kali meminta haknya kepada tergugat, tidak juga berhasil kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan, dengan harapan Hakim dapat mengembalikan hak penggugat atau menghukum tergugat memenuhi kewajibannya 

Mediasi adalah cara penyelesaian dengan melibatkan pihak ketiga, yaitu pihak ketiga yang dapat diterima (accertable) Artinya para pihak yang bersengketa mengizinkan pihak ketiga untuk membantu para rihak yang bersengketa dan membantu para pihak untuk mencapai penyenyelesaian. Meskipun demikianak septabilitas tidak berarti- para pihak selalu berkehendak untuk melakukan atau menerima sepenuhnya apa yang dikemukakan pihak ketiga.

Pada prinsipnya inisiatif pilihan penyelesaian sengketa melalui mediasi tunduk pada kesepakatan para pihak. Hal ini dapat dilihat dari sifat kekuatan mengikat dari kesepakatan hasil mediasi didasarkan pada kekuatan kesepakatan berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata. Dengan demikian pada prinsipnya pilihan mediasi tunduk pada kehendak atau pilihan bebas para pihak yang bersengketa. Mediasi tidak bisa dilaksanakan apabila salah satu pihak saja yang menginginkannya 
Dalam sebuah proses mediasi, mediator menjalankan peran untuk menengahi para pihak yang bersengketa. Peran ini diwujudkan melalui tugas mediator yang secara aktif membantu para pihak dalam memberikan pemahamannya yang benar tentang sengketa yang mereka hadapi dan memberikan alternative solusi yang terbaik bagi penyelesaian sengketa diajukan mediator sepenuhnya berada dan ditentukan sendiri oleh kesepakatan para pihak yang bersengketa. Mediator tidak dapat memaksakan gagasannya sebagai penyelesaian sengketa yang harus dipatuhi. 

advokasi adalah suatu kegiatan atau serangkaian tindakan yang berupa anjuran, pendampingan, pernyataan maupun pembelaan yang dilakukan terhadap pekerja/anggota atau organisasi terhadap suatu kondisi/permasalahan tertentu.
Advokasi terbagi dua yaitu:
  1. Advokasi ligitasi yaitu segala bentuk advokasi dalam acara persidangan di pengadilan
  2. Advokasi non ligitasi yaitu segala bentuk advokasi di luar acara persidangan di pengadilan

Di samping melalui Litigasi, juga dikenal Alternatif penyelesaian sengketa di Luar Pengadilan yang lazim disebut Non Litigasi. Alternatif penyelesaian sengketa Non Litigasi adalah suatu pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau dengan cara mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri. Dewasa ini cara penyelesaian sengketa melalui peradilan mendapat kritik yang cukup tajam, baik dari praktisi maupun teoritisi hokum. Peran dan fungsi peradilan, dianggap mengalami beban yang terlampau padat (overloaded), lamban dan buang waktu (waste of time), biaya mahal(very expensif) dan kurng tanggap (unresponsive) terhadap kepentingan umum, atau dianggap terlalu formalistis (formalistic) dan terlampau teknis (technically). 


DAFTAR PUSTAKA

Adnan Buyung Nasution, SH, Bantuan Hukum Di Indonesia,
  LP3ES, Jakarta, 2007.
Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori Dan Asas Hukum Acara Pidana,
          Liberty, Yogyakarta, 1984.
Erni Widhayanti, SH, Hak – Hak Tersangka/ Terdakwa Di Dalam KUHAP,
            Liberty, Yogyakarta, 1988.
Fiona Boyle, et al., A Practical Guide to Lawyering Skills, Cavendish Publishing
Martiman Prodjohamindjojo, SH, Kedudukan Tersangka Dan Terdakwa Dalam
                             Pemeriksaan, Ghalia, Indonesia, Jakarta, 1982.
Milovanovic, dalam Adi Sulistyono, Mengembangkan Paradigma Non Litigasi di
                        Indonesia, cetakan 1 LPP UNS dan UNS Press, Surakarta 2007
PERMA 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
PERMA 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Agama
Soerjono Soekanto, Prof, Dr, SH, MA, Bantuan Hukum Suatu Tinjauan Sosial
                                      Yuridis, Ghalia, Indonesia, Jakarta, 1983.
Sudikno M, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta 2003.
Undang – Undang Dasar 1945.
Undang – Undang No. 8, tahun 1981, tentang KUHAP,
Penerbit Karya Anda, Surabaya, Indonesia.
Undang – Undang No. 14, tahun 1970, tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok
                                       Kekuasaan Kehakiman.
UU nomor 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif  penyelesaian sengketa
UU nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
UU nomor 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama
UU no tahun 1998 tentang kemerdekaan Penyampaian pendapat di muka umum
UU no 4 tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman
Valeri Miller dan Jane Covey, Pedoman Advokasi: Perencanaan, Tindakan, dan
                        Refleksi, Yayasan Obor Indonesia, 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar