Sudut mesjid itu terlihat temaram, lampu TL yang mati belum juga diganti. Tetapi jamaah tetap setia menunggu kang Toha. " Kang, Denny Indrajana bikin gerah lagi , kicauannya tentang pembela (kasus) koruptor sama dengan si koruptor itu sendiri ?" tanya Nazar " Apa yang dikemukakan oleh mas Denny benar adanya," ujar kang Toha " Benar ? bagaimana, Kang ! " sela pak Mahendra. Kalau saya membela pencopet di pengadilan masak saya dibilang pencopet juga." " Jangan salah pak Mahendra, mana ada advocat kaya dan terkenal mau membela tukang copet, paling-paling diserahkan ke LBH atau para pengacara yang lagi butuh "jam terbang". Mbela pencopet mana dapet Success fee, betul nggak ! kang !" kata mas Deni " Kalau saya lihat negeri ini sedang perang dengan para koruptor yang nyata-nyata telah merugikan keuangan negara dalam jumlah ratusan bahkan ribuan miliar. Uang yang semestinya digunakan untuk membangun dan menyejahterakan rakyat malah diembat. Koruptor yang semestinya menjadi musuh bersama malah mendapat pembelaan dari lawyer pintar dan terkenal. Saking pintarnya dalam menemukan argumentasi dan bukti pembelaan serta jalinan "komunikasi" dengan berbagai pihak yang terkait, seringkali sang koruptor memperoleh hukuman ringan atau malah dibebaskan karena kurang bukti," ujar kang Toha "Lho...Kang ? setiap orang sama di muka hukum. Walaupun koruptor, mereka juga berhak mendapat pembelaan dan itu baru sangkaan, baru dakwaan yang harus bisa dibuktikan kesalahannya di depan hakim Pengadilan. Karena mereka punya duit, mereka pasti berusaha mencari pengacara yang terbaik untuk membela dirinya, sukur-sukur bisa dibebaskan dari segala dakwaan" bela pak Mahendra " Betul pak Mahendra. Saya pikir Denny Indrajana juga sangat mengerti. Ingat ia adalah seorang doktor bahkan guru besar di bidang hukum. Menurut saya ia sedang memancing reaksi dan pada akhirnya masyarakat bisa memilah siapa yang menjadi musuh koruptor dan siapa yang senang dengan koruptor. Bukan berarti si pengacara ikut korupsi, paling tidak si pengacara bisa menikmati kucuran duitnya. Mereka nggak mau tahu dibayar dengan duit apa ? yang penting bagi pengacara atau advocat, jasanya telah dihargai dengan sangat pantas." jawab kang Toha " Kalaupun tidak menerima pembayaran yang sepadan, si pengacara pengin juga numpang beken, numpang popularitas, apalagi kalau yang didakwa korupsi adalah seorang politisi atau oknum jendral polisi. Pengacara tahu kasus ini bakal menjadi hot news maka ia muncul sebagai pembela demi sering muncul di pemberitaan. Kalau membela pencopet mana pernah TV, Radio bahkan koran rebutan memberitakan. Dengan popularitas yang naik daun, naik juga nilai jasanya. Saya membayangkan jika negeri ini seberani RRC menjatuhkan hukuman mati bagi pelaku korupsi. Ditanggung kalau koruptor didor, pasti pihak lain akan mikir berbuat korupsi. Dan buat apa mbayar pengacara mahal-mahal kalau akhirnya didor juga. Dengan cara ini para koruptor tak mau membayar mahal pengacara, dari pada yang menikmati pengacara mendingan diberikan ke keluarga" sambung kang Toha " Memang sudah saatnya Indonesia meniru China dalam menghukum mati pelaku korupsi. Sehingga membuat jera pihak lain yang mau melakukan korupsi. Silahkan korupsi toh ia tak akan bisa menikmati. Kalau di negeri ini, para koruptor masih bisa berharap bisa menikmati hasil korupsinya, setelah menjalani hukuman lalu dikurangi remisi-remisi, ia bebas dari penjara lalu ia datang ke pihak-pihak yang selama ini menjadi lokasi persembunyian harta karun korupsinya " ujar Nazar " Kalau China yang komunis bisa, masak ! kita yang mengaku "agamis" tidak bisa ?" timpal mas Deni " Bagaimana pak Mahendra, kita memang harus menjadi musuh koruptor. Dan saya setuju dengan Nazar, ada baiknya koruptor didor !" kata kang Toha Jakarta, 26 Agustus 2012 sumber gambar: nurulmutiazone.blogspot.com
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ismailsudar/koruptor-didor-advocat-melarat_5517230a8133119e669de1f6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar