Selasa, 17 Maret 2015

Kristanto Melawan Sarpin, Meniupkan Lagi Semangat Praperadilan

Tahun 1982, gelombang praperadilan sebagai konsekuensi berlakunya Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana tak terhindarkan lagi. Namun, menariknya, praperadilan yang diajukan hanya sebatas apa yang tertera dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
Pasal 77 menyebutkan, pengadilan negeri berwenang memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini. Ketentuan itu, pertama, mengenai sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan. Kedua, ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Di luar ketentuan itu, pada era 1982-an tak ada yang masuk ke ranah pemeriksaan praperadilan pada tahun-tahun awal berlakunya KUHAP. Euforia lahirnya ide soal praperadilan disambut baik semua pihak dengan tetap menjaga dinamika sesuai teks.
Kewenangan praperadilan limitatif dan terbatas, tak ada yang berani memberi tafsir lain selain yang tersurat dalam KUHAP.
Penemuan hukum
Namun, ketentuan Pasal 77 KUHAP itu mulai diterobos dengan berbagai dalih, baik dari yang ingin melakukan penemuan hukum (rechtsvinding), atau mau disebut hakim progresif.
Hal tersebut sudah dilakukan oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Suko Waluyo yang mengabulkan praperadilan Bachtiar Abdul Fatah pada 2 Desember 2012. Bachtiar menggugat penetapan tersangka oleh Kejaksaan Agung. Hakim Suko Waluyo kemudian menyatakan penetapan tersangka tersebut tidak sah.
Namun, putusan itu dibatalkan MA karena dianggap menabrak ketentuan Pasal 77 KUHAP dan hakim Suko Waluyo didemosi ke Maluku.
Putusan serupa dikeluarkan hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Sarpin Rizaldi, pada 16 Februari lalu. Sarpin dengan menggunakan metode rechtsvinding menetapkan bahwa praperadilan berwenang memeriksa keabsahan sebuah penetapan tersangka.
Alasannya, penetapan tersangka merupakan bagian upaya paksa yang dilakukan aparat dalam tingkat penyidikan. Sementara lembaga praperadilan merupakan sarana menguji tindakan paksa penegak hukum dari tingkat penyidikan hingga penuntutan.
Hakim tunggal  Sarpin Rizaldi memutuskan bahwa penetapan tersangka Komisaris Jenderal Budi Gunawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi tidak sah. Putusan sidang praperadilan tersebut dibacakan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (16/2).
Kompas/Alif IchwanHakim tunggal Sarpin Rizaldi memutuskan bahwa penetapan tersangka Komisaris Jenderal Budi Gunawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi tidak sah. Putusan sidang praperadilan tersebut dibacakan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (16/2).
Bedanya, kali ini MA tak juga mengambil langkah pembatalan seperti dua tahun lalu. Meski disorot banyak pihak, MA tetap bergeming dan terkesan seakan mengamini putusan Sarpin.
Justru hakim dari Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, yang membalik putusan Sarpin dalam waktu yang tak berpaut lama, 10 Maret lalu. Kristanto Sahat Hamonangan Sianipar, hakim di PN Purwokerto, menolak permohonan praperadilan Mukti Ali, pedagang sapi asal Berkoh, Kecamatan Purwokerto Selatan. (Kompas, 14/3).
Kristanto tetap berpegang pada ketentuan Pasal 77 KUHAP, yang tidak memasukkan penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan menggunakan putusan Kristanto sebagai masukan untuk mengajukan peninjauan kembali praperadilan Komisaris Jenderal Budi Gunawan. Putusan hakim Kristanto dinilai telah meletakkan hukum pada posisinya.
"Keputusan PN Purwokerto menjadi masukan untuk mengambil kebijakan yang tepat," kata Wakil Ketua KPK Zulkarnain, Selasa (10/3), di Jakarta.
Penasihat hukum Polres Banyumas, Ajun Komisaris Besar Djalal, menilai, putusan hakim PN Purwokerto sudah memenuhi Pasal 77 KUHAP yang mengatur praperadilan secara limitatif. (Kompas, 11/3).
Kristanto menjadi sosok yang dianggap mengembalikan lembaga praperadilan sesuai dan sejalan dengan original intent pembuat UU pada era 1980-an. Ia menjadi wujud semangat penegak hukum untuk tetap memegang teguh dan tunduk pada kewenangan yang telah diberikan oleh UU.
Sarpin apa Kristanto?
Tapi bagaimana dengan nasib praperadilan penetapan tersangka lain, yang akan disidangkan? Apakah harus mengikuti Sarpin atau Kristanto? Ada dualisme putusan dari persoalan yang secara substansial sama, yaitu apakah praperadilan berhak mengadili dan memeriksa penetapan tersangka.
Soal perbedaan putusan, juru bicara Mahkamah Agung (MA) Suhadi mengungkapkan, pengadilan di Indonesia tidak menganut asas preseden. Artinya, putusan terdahulu tidak harus diikuti oleh putusan yang kemudian. Pegangan hakim adalah undang-undang (UU) karena dia melaksanakan UU.
"Dengan demikian, ada kemungkinan antara hakim yang satu dan hakim yang lain berbeda. Nah, ini menjadi pengamatan juga bagi MA. Tidak dilarang hakim beda dengan Sarpin dan kemungkinan ada juga yang sama dengan Sarpin," ucapnya.
MA hingga kini belum akan mengeluarkan kebijakan terkait pasal 77 KUHAP. MA masih akan melihat perkembangan masalah ini ke depan dan bagaimana pelaksanaannya di daerah. Hanya saja, perbedaan putusan bagi seorang hakim merupakan sesuatu yang biasa, seperti halnya perbedaan menafsir antara hakim PN Purwokerto dan PN Jaksel.
Terkait usulan Tim Sembilan agar MA menerbitkan surat edaran menyangkut praperadilan, MA akan memikirkannya. MA akan melihat apakah ketentuan seperti itu memengaruhi atau mengganggu independensi hakim ataukah tidak.
"MA akan teliti, lalu bisa keluarkan regulasi bagaimana pelaksanaan di tingkat bawah," ujar Suhadi.
Taati teks
Arsip Kompas pada tahun-tahun awal berlakunya KUHAP memotret antusiasme para hakim menyambut RUU KUHAP yang sudah disetujui DPR. Ketika KUHAP belum disahkan menjadi UU, Kompas mengabarkan banyaknya hakim yang penasaran dan mencari-cari fotokopi RUU KUHAP.
"Banyak Hakim Tertarik Masalah Praperadilan", begitu bunyi berita Kompas, 3 Oktober 1981. Advokat juga menyambut baik barang baru tersebut. Kala itu, seorang advokat, Tatang Suganda, menjuluki praperadilan sebagai napas manusiawi dari KUHAP.
Setelah KUHAP disahkan dan berlaku, untuk pertama kalinya PN Mataram, Nusa Tenggara Barat, pada Kamis, 28 Januari 1982, memeriksa permohonan pemeriksaan praperadilan yang diajukan dua warga, yaitu Loq Sapiah dan Haji Nasrudin.
Keduanya menganggap penangkapan mereka oleh polisi Lombok Barat waktu itu tidak sah karena tanpa disertai surat perintah penangkapan. Hasil pemeriksaan praperadilan diberitakan Kompas pada 4 Februari 1982. Permohonan praperadilan dua orang tersebut ditolak karena hakim praperadilan pada PN Mataram, Ida Bagus Putu Giri, menganggap dua orang tersebut tidak mengalami penangkapan dan kebebasan mereka tak dikekang.
Mereka berdua datang sendiri ke kantor polisi Lombok Barat menggunakan sepeda motor. Inilah praperadilan pertama di Indonesia yang akhirnya menolak permohonan pemohon.
Dari arsip Kompas, permohonan pemeriksaan praperadilan kedua di Indonesia dan akhirnya disetujui hakim tercatat diajukan oleh Liem Siang Ceng dan Oslan Tan Sie, warga Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Hakim praperadilan pada PN Banjarmasin, D Tumanggor, memerintahkan penyidik Komando Daerah Kepolisian XIII/Kalimantan Selatan untuk segera membebaskan tahanan.
Penyidik dianggap melakukan penahanan semena-mena dalam kasus dugaan tindak pidana penggelapan dan penipuan. Pada era itu, Ketua PN Banjarmasin SP Soenarto mengatakan, dikabulkannya permohonan praperadilan yang menjadi kasus pertama di Indonesia memberi bukti bahwa masih ada jalan penyelesaian secara manusiawi dalam sistem hukum Indonesia.
Apa yang dikatakan advokat Tatang Suganda dan Ketua PN Banjarmasin SP Soenarto pada era 1982-an masih relevan untuk disampaikan lagi. Semangat praperadilan adalah semangat untuk meniupkan nilai kemanusiaan dalam sisi hukum yang keras dan penuh paksaan. Asalkan tidak disalahgunakan, ya, Pak.(http://print.kompas.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar