Karena etika bukan lagi wilayah private, tetapi wilayah publik.
Guru Besar Hukum Tata Negara UI Jimly Asshiddiqie berharap Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) memperbaiki sistem penegakan kode etik advokat agar lebih transparan.
“Kita perlu benahi etika profesi advokat. Saya usul ke pak Otto (Ketua Umum DPN PERADI,-red) agar kita bisa mendiskusikan ini secara mendalam,” ujarnya Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ini dalam Rakernas PERADI di Jakarta, Kamis (14/11).
Jimly yang juga sedang terus mewacanakan peradilan etik di Indonesia ini menilai penegakan etik di kalangan advokat harus dibenahi. Selain harus bersifat transparan atau terbuka, orang yang menyelenggarakan sidang etik itu juga harus independen.
Lebih lanjut, Jimly mengambil contoh bagaimana Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) menyidangkan pelanggaran kode etik terhadap (mantan) Hakim Agung Ahmad Yamanie dalam majelis kehormatan hakim. “Ahmad Yamanie diberhentikan karena sidang MKH berlangsung terbuka. Itu pertama kalinya di Indonesia hakim agung diberhentikan,” ujarnya.
Jimly membandingkan dengan sidang pelanggaran kode etik terhadap (mantan) Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi yang dilangsungkan secara tertutup. “Karena sidangnya tertutup di MK, Arsyad hanya dipercepat masa pensiunnya. Itu sih bukan sanksi,” tuturnya.
Jimly menegaskan bahwa untuk menyelesaikan masalah di Indonesia ini tak cukup hanya menggunakan instrumen hukum, tetapi juga perlu mengandalkan penegakan kode etik di kalangan aparat penegak hukum.
Ketua Umum DPN PERADI Otto Hasibuan menilai wacana yang disampaikan Jimly adalah hal yang bagus. Ia menuturkan sebenarnya ada banyak sekali yang bisa dikerjakan oleh PERADI, tetapi sayangnya adanya ‘gelombang-gelombang’ yang mengganggu PERADI sehingga membuat organisasi ini sulit melaksanakan.
Otto mencontohkan adanya advokat yang sudah dipecat melalui sidang kode etik di PERADI, tetapi justru membentuk atau pindah ke organisasi advokat yang baru. Padahal, lanjutnya, peraturan perundang-undangan dan sejumlah lembaga negara hanya mengakui PERADI sebagai wadah tunggal organisasi advokat.
“Terus terang saja, kita terganggu dengan mereka. Jadi, umpamanya kalau kita bikin sidang etik terbuka. Kita adili dan pecat, nanti dia berontak pindah ke organisasi lain. Kalau Pemerintah mau conform bahwa cukup PERADI, ya kami bisa menindak,” ujarnya.
Lagipula, lanjut Otto, Mahkamah Agung (MA) masih kerap ragu-ragu menentukan advokat yang boleh bersidang di pengadilan. Ia menuturkan bahwa MA menetapkan bahwa calon advokat yang bisa disumpah harus ada usulan dari PERADI. “Jelas dong yang diakui PERADI. Tapi, kalau beracara (di sidang) bisa bawa berita acara sumpah, seharusnya kan cukup kartu PERADI. Ini bentuk ketidakkonsistenan MA,” ujarnya.
Private vs Publik
Otto juga mengakui selama ini sidang dewan kehormatan PERADI memang hanya terbuka untuk umum ketika saat membacakan putusan. Ketika proses pembuktian, sidang dilaksanakan secara tertutup. “Dulu begini, pertimbangannya belum tentu dia bersalah, padahal namanya sudah tercemar,” ujarnya.
Otto juga mengakui selama ini sidang dewan kehormatan PERADI memang hanya terbuka untuk umum ketika saat membacakan putusan. Ketika proses pembuktian, sidang dilaksanakan secara tertutup. “Dulu begini, pertimbangannya belum tentu dia bersalah, padahal namanya sudah tercemar,” ujarnya.
Lebih lanjut, Otto menambahkan bahwa karakteristik sidang kode etik berbeda dengan sidang di pengadilan biasa. Di Pengadilan biasa, sidang terbuka karena menyangkut hukum publik. Sedangkan proses eika ini merupakan wilayah organisasi profesi. “Ini bedanya. Sidang etik bukan di masyarakat luas,” jelasnya.
Di sela-sela Rakernas, kepada hukumonline, Jimly menilai ada kesalahpahaman mengenai sistem eika. Ia mengatakan etika seharusnya tak lagi dianggap sebagai persoalan private, tetapi sudah menjadi persoalan publik. “Jadi, kita harus menyidangkan pelanggaran kode etik secara terbuka. Dan yang memeriksa juga tak boleh ada konflik kepentingan,” pungkasnya. (www.hukumonline.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar