“Saya selaku anggota KAI juga tidak bisa beracara di sidang pengadilan karena tidak pernah bisa disumpah oleh pengadilan tinggi. Ketentuan itu diskriminatif yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), (2), (3) UUD 1945,” ujar Ismet dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang dipimpin Muhammad Alim di ruang sidang MK, Senin (3/11). Alim didampingi Maria Farida Indrati dan Wahiddudin Adams selaku anggota majelis panel.
Pasal 4 ayat (1) UU Advokat menyebut sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya. Pasal 4 ayat (3) menyebut salinan berita acara sumpah seperti dimaksud ayat (2) oleh Panitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dikirimkan kepada Mahkamah Agung (MA), Menteri Hukum dan HAM, dan organisasi advokat.
Ismet menuturkan Ketua MA telah mengeluarkan SK KMA No. 052/KMA/HK 01/III/2011 tertanggal 23 Maret 2011 yang membolehkan advokat dari organisasi manapun beracara di persidangan. Namun, tetap saja Pengadilan Tinggi tak bersedia melakukan sidang terbuka untuk menyumpah advokat dari KAI.
Selain itu, Komnas HAM pernah mengirimkan surat No. 542/K/Prd/II/2013 tertanggal 11 Februari 2013 dan dan surat Ketua KY No. 380/P.KY/04/2014 tertanggal 22 April 2014 yang ditujukan kepada Ketua MA. Kedua surat itu isinya merekomendasikan ketua MA memperhatikan hak asasi para advokat KAI dan agar mereka dapat disumpah dalam sidang terbuka di pengadilan tinggi.
“Tetapi, sampai sekarang pengadilan tinggi seluruh Indonesia tetap menolak sumpah para advokat dari KAI, termasuk saya selaku pemohon. Ini merugikan semua advokat KAI,” ujar warga Surabaya ini.
Padahal, kata dia, melalui putusan MK No. 101/PUU/VII/2009 telah memerintahkan agar pengadilan tinggi menggelar sidang terbuka untuk menyumpah para advokat tanpa melihat organisasi mana advokat itu berasal. “Putusan MK itu tidak hanya advokat PERADI yang boleh disumpah, tetapi dari organisasi advokat mana saja. Tetapi, putusan MK itu tidak dipatuhi MA dan pengadilan tinggi. Ini bentuk pembangkangan hukum,” tudingnya.
Atas dasar itu, dia meminta MK menyatakan Pasal 4 ayat (1) UU Advokat sepanjang frasa “pengadilan tinggi” danPasal 4 ayat (3) sepanjang frasa “oleh Panitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan bertentangan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Artinya, sumpah advokat harus selaras dengan kemandirian advokat yang bisa dilakukan di pengadilan tinggi atau tempat lain yang layak dengan mengundang pejabat publik sekurang-kurangnya pimpinan pengadilan tinggi dan kepala daerah di wilayah hukumnya.
“Jika pejabat yang diundang itu tidak hadir, organisasi advokat yang menyelenggarakan tetap dapat menyumpah para advokat dan berita acaranya dikirimkan ke MA, Menkumham, dan organisasi advokat,” pintanya.
Pernah diuji
Menanggapi permohonan, M Alim mengingatkan putusan pengujian Pasal 4 ayat (1) dan (3) UU Advokat ini sudah pernah dinyatakan tidak dapat diterima. Berdasarkan Pasal 60 UU No. 24 Tahun 2003 juncto UU No. 18 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan setiapmateri muatan pasal atau ayat yang sudah diuji dengan dasar pengujian sama tidak dapat dimohonkan kembali. ”Ini kemungkinan tidak dapat diterima. Itu pegangan yang harus Saudara ketahui secara pasti,” ujar Alim mengingatkan.
Anggota Panel Maria Farida Indrati menilai permohonan yang menguraikan pemohon pernah berusaha mengikuti ujian PERADI dan tidak dapat disumpah di pengadilan tinggi itu menyangkut implementasi dari pasal itu. “Ini bukan karena rumusan pasal yang bertentangan dengan UUD 1945, tetapi implementasi pelaksanaan dari pasal itu. Ini yang harus Saudara perhatikan,” kata Maria.
Maria menilai petitum permohonan yang meminta tafsir menjadi tidak jelas lantaran frasa “pengadilan tinggi” minta dihapus. “Bersidangnya dimana, dibuka oleh siapa, siapa saja yang harus hadir. Ini menjadi tidak jelas dan luas maknanya karena sidang sumpah advokat bisa diselenggarakan dimana saja,” katanya.
“Ini berarti advokat adanya di Solo, tetapi disumpahnya bisa di Jakarta atau tempat lain. Ini menjadi tidak ada kepastian hukum,” kritiknya.
Untuk diketahui, pengujian pasal dengan pemohon yang sama pernah dinyatakan gugur melalui putusan bernomor 40/PUU-XII/2014. Alasannya, Ismet tidak pernah menghadiri persidangan kedua (perbaikan permohonan) tanpa alasan yang sah. Padahal, menurut majelis, pemohon sudah dipanggil secara sah dan patut. (www.hukumonline.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar