Rabu, 08 Oktober 2014

Yap, Dunia Hukum dan Advokat Putih




Buku tentang pejuang kemanusiaan Yap Thiam
Hien diluncurkan oleh Yayasan Yap Thiam Hien.
Di tengah kondisi dunia hukum saat ini,
penegakan hukum dapat berbenturan dengan
pengacara hitam.

Sosok pengacara hitam yang dilontarkan Ketua
Yayasan Yap Thiam Hien Todung Mulya Lubis,
dikomentari Yap Hong Gie, putra Yap Thiam
Hien, tokoh yang menjadi simbol anugerah pejuang kemanusiaan.
Bagi Yap Hong Gie, sosok Yap Thiam Hien bukan untuk dikultuskan, namun dipandang
lebih pada parameter dan tolok ukur nilai-nilai ideal. Menurutnya, negara dan bangsa ini
perlu sosok penegak hukum seperti Yap.
"Saya kira kemerosotan moral, pergeseran prinsip, nilai-nilai yang dijual-belikan oleh
pengacara atau penegak hukum saat ini sudah merambah ke mana-mana. Tak hanya di
kalangan penegak hukum, namun juga terjadi di kalangan intelektual dan dunia
pendidikan kita," ujarnya.
Sekarang ini, menurutnya, kita mengalami tantangan dan godaan luar biasa. Sosok Yap,
menurut putranya, sebenarnya banyak dimiliki orang tua pada masa itu. "Ketimbang di
masa sekarang, kita termasuk saya, banyak yang sudah melakukan kompromi apakah itu
posisi dan jabatan," ujarnya pada acara peringatan "100 tahun dan peluncuran buku Yap
Thiam Hien: Menembus Lintas Batas" di Kantor Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
(LBHI), Jakarta, Kamis (23/5).
Sikap untuk mempertahankan idealisme dianggap sudah bergeser. Orang mengatakan
sekarang ini zaman sudah berbeda. "Pertanyaannya, apakah zaman yang berbeda ikut
mengubah sikap dan prinsip sehingga serta-merta harus berbeda pula?" tanyanya,
retoris.
Dulu pun sebenarnya tantangannya berat. Pada zaman ayahnya waktu itu, bila
berhadapan dengan aparat atau penguasa, pengacara dan hakim juga tetap ditekan oleh
kolega dan atasannya. Di masa itu banyak juga ancamannya, mereka bisa dimutasi ke
pelosok. 2

Namun nyatanya, tetap akan ada pejuang di zaman itu dan di masa kini. Hanya saja,
sosok mereka kerap tak diekspos dan diangkat media massa. Baginya, sosok-sosok itu
telah bersikap di dunianya, di keluarganya, dan di lingkungannya untuk melakukan
pekerjaan dan bersikap yang benar.
Dia mencontohkan orang lain selain Yap Thiam Hien. Mertuanya, Letkol Kintarso, ketika
itu menjabat Komandan Lanud Pangkalan Udara di Tanjungpinang, berusaha didekati
pengusaha importir.
"Karena mungkin mereka ingin stok solar, saya nggak tahu kenapa didekati, mereka lalu
membawa boneka Teddy Bear, istri saya (Tetty Kintarti, ketika masih kecil) menerima.
Dia lalu ditanya mertua saya, itu boneka dari mana. Istri saya menjawab dikasih om
yang datang ke rumah. Mertua saya langsung kirim boneka itu, dikembalikan olehnya.
Sekarang setelah lama, istri saya baru mengerti kenapa orang tuanya bersikap seperti
itu," ujarnya.
Selain dunia hukum sebagai garda keadilan terakhir di kehidupan kita, bidang
pendidikan pun harus ditanggapi secara serius untuk membentuk sikap idealisme
generasi penerus. Sayangnya, di masa pasca-reformasi ini ekonomi dan uang menjadi
panglima. Namun, orang tua masih tetap dapat menjadi panutan untuk sang anak.
Dia mengakui sikap dan figur Yap Thiam Hien baru dapat dimengerti di kemudian hari.
"Hanya ketika kita menjalaninya, itu memang berat. Setelah itu berlalu, barulah kita
tahu, kenapa mereka bersikap seperti itu.
Ibu kemudian menjelaskan juga kenapa sikapnya (Yap Thiam Hien) seperti itu,"
paparnya.
Menurut Yap Hong Gie, di dalam pekerjaan, bapaknya dikenal juga sebagai sosok yang
beriman. Figur bapaknya, baik di dalam ceramah ataupun pembelaan-pembelaannya,
selalu mengambil ayat dan arahan dari Alkitab.
Putri Yap Thiam Hien, Yap Hong Ay, mengatakan dia terinspirasi pada sosok ayahnya
untuk membela kebenaran bila hati nurani mengatakan benar.
"Kita bela apa yang kita rasakan benar, kendati akan ada banyak benturan. Seperti yang
dipaparkan Todung, (ayah saya) naif dan kurang fleksibel, namun sikapnya itu putih atau
hitam, harus tegas. Itulah yang terinspirasi dari ayah saya dari kecil," ujarnya.
Pendeta Tak Berjubah
Bagi Todung, sikap tanpa pamrih seorang Yap Thiam Hien adalah sosok seorang pendeta
tanpa jubah. Yap berkhotbah di pengadilan, sehingga dia kemudian dijadikan simbol 3

sosok untuk anugerah hak asasi manusia. "Tak ada yang pantas selain Yap sehingga
harus diabadikan karena dia menunjukkan kepada Indonesia," tuturnya.
Dia memiliki tugas pastoral, seorang advokat putih yang baik dan bisa diteladani.
Celakanya, banyak advokat hitam daripada advokat putih, dosa kolektif, seolah mereka
dapat begitu saja terbebaskan dari tangan hukum. Hukum di Indonesia dirusak oleh
advokat Indonesia yang seperti itu.
“Yap juga kerap dianggap naif oleh kawan-kawannya ketika bersikap tak berpolitik.
Bahwa dia tak mungkin berada di ruang hampa politik. Tapi dia mengambil sikap itu,
kendati dia tak bisa dianggap berhasil secara komersial. Yang patah arang itulah yang
datang ke kantor Yap (untuk mengadukan persoalannya). Yap tak takut dan gentar,"
ujar Todung.
Acara "100 tahun dan peluncuran buku Yap Thiam Hien: Menembus Lintas Batas" juga
dihadiri tokoh seperti Frans Hendra Winata, Akbar Tanjung, Ketua Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Alvon Kurnia dan Azyumardi Azra.
Azyumardi yang menyajikan makalah untuk Yap Thiam Hien Memorial Lecture
mengatakan bahwa kita tak menganut monokulturalisme, tapi multikulturalisme, untuk
kembali ke prinsip bineka tunggal ika. Termasuk figur Yap yang memiliki keimanan, tapi
juga melintas batas. "Founding father kita juga menyadari betul tentang keberagaman
ini. Sekarang kita prihatin, nyatanya sampai kini kekerasan terhadap minoritas masih
saja berlanjut dan merusak nilai kebinekaan kita," ujarnya.
Menurut Frans, tak banyak pengacara yang dapat teguh bersikap seperti figur Yap
Thiam Hien. "Saya sering baca perjuangan dia di aktivitas hak asasi manusia. Sebagai
advokat, dia mempertahankan keadilan dan kebenaran. Advokat patut meniru dan
mengambil contoh jalan hidupnya untuk mempertahankan negara hukum secara gigih dan
konsisten. Kendati, susah jadi advokat yang jujur, lurus dan tanpa pamrih. Betapa
sulitnya," kata Frans.
Sosok yang lintas agama, lintas kelompok dan lintas ideologi ini baginya, dengan
kemanusiaannya dapat menyatukan dan berkomunikasi tanpa halangan.
Kalau sosok yang dikenal jujur ini masih hidup, tentulah dia akan prihatin melihat
bagaimana kepastian hukum telah dipermainkan dan diperdagangkan. "Itu harus
diperjuangkan generasi muda. Itu bisa tercapai bila kaum muda kita mau
mencontohnya," ujarnya.

Sumber : Sinar Harapan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar