Dokumen
Rencana pembangunan Giant Sea Wall di Jakarta Utara diduga akan menjadi praktek pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) oleh para birokrat Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Seperti akan adanya ‘pemindahan’ paksa terhadap warga yang telah menempati wilayah tersebuh selama puluhan tahun. Demikian dikatakan aktivis LBH Jakarta Handika Febrian, SH kepada Harian Terbit diruang kerjanya Jumat, (17/10/2014).
Pasalnya menurut Handika, pemindahan warga yang seharusnya dilakukan dengan manusiawi, diduga akan ditempuh dengan cara yang tidak elegan. Seperti adanya seperti tidak adanya uang ganti rugi, Hingga pengusiran paksa dengan menggunakan jasa preman disaat warga tengah terlelap tidur atau saat hujan lebat.
Selain itu, Handika mengingatkan agar mewaspadai beberapa tipekal sifat pemda DKI dalam menertibkan sebuah wilayah. Yang pertama, menggusur tanpa memberikan kompensasi dengan mengatasnamakan untuk kepentingan pemerintah. Kedua, warga yang memiliki surat tanah dipaksa dipindahkan ke rusunawa.
“Dan ini merupakan sebuah penurunan derajat. Yang tadinya memiliki rumah, akhirnya harus tinggal dirumah sewa,” kata Handika.
Tidak sampai disitu, Handika juga menambahkan terkadang uang kerohiman yang diberikan Pemda DKI sangat tidak layak. Padahal, menjadi korban penggusuran itu seperti hidup dari nol. Mereka harus berjuang dari awal. Seperti yang awalnya mereka memiliki pekerjaan dan akhirnya harus kehilangan pekerjaan akibat tempat pekerjaan dan rumahnya digusur pemerintah.
Handika menilai, penggusuran terhadap warga Pluit dalam pembangunan Giant Sea Wall nanti, akan menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja. Karena selama ini pemerintah daerah Jakarta selalu menggunakan tahapan penggusuran yang merugikan warga.
“Karena itu, warga harus diberi pendampingan dan advocasi agar mereka tidak menjadi korban kesewenang-wenangan Pemda DKI yang selalu arogan terhadap masyarakatnya,” jelas Handika.
Untuk itu, sebelum terjadi hal-hal yang tidak inginkan, Handika berharap, warga Pluit segera meminta bantuan pendampingan kepada LBH Jakarta. Sebab, diduga indikasi pelangaran HAM yang akan dilakukan pihak pemda DKI semakin terlihat. Dengan adanya rencana pemindahan warga yang biasa hidup dilaut harus pindah ke rusunawa yang ada jauh di pedalaman Jakarta.
“Ini akan menyiksa para warga yang biasa bekerja sebagai nelayan atau lainnya. Karena dunia baru yang akan mereka terima tidak sesuai dengan apa yang mereka kerjakan selama ini,” tambahnya.
(http://www.harianterbit.com/)Pasalnya menurut Handika, pemindahan warga yang seharusnya dilakukan dengan manusiawi, diduga akan ditempuh dengan cara yang tidak elegan. Seperti adanya seperti tidak adanya uang ganti rugi, Hingga pengusiran paksa dengan menggunakan jasa preman disaat warga tengah terlelap tidur atau saat hujan lebat.
Selain itu, Handika mengingatkan agar mewaspadai beberapa tipekal sifat pemda DKI dalam menertibkan sebuah wilayah. Yang pertama, menggusur tanpa memberikan kompensasi dengan mengatasnamakan untuk kepentingan pemerintah. Kedua, warga yang memiliki surat tanah dipaksa dipindahkan ke rusunawa.
“Dan ini merupakan sebuah penurunan derajat. Yang tadinya memiliki rumah, akhirnya harus tinggal dirumah sewa,” kata Handika.
Tidak sampai disitu, Handika juga menambahkan terkadang uang kerohiman yang diberikan Pemda DKI sangat tidak layak. Padahal, menjadi korban penggusuran itu seperti hidup dari nol. Mereka harus berjuang dari awal. Seperti yang awalnya mereka memiliki pekerjaan dan akhirnya harus kehilangan pekerjaan akibat tempat pekerjaan dan rumahnya digusur pemerintah.
Handika menilai, penggusuran terhadap warga Pluit dalam pembangunan Giant Sea Wall nanti, akan menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja. Karena selama ini pemerintah daerah Jakarta selalu menggunakan tahapan penggusuran yang merugikan warga.
“Karena itu, warga harus diberi pendampingan dan advocasi agar mereka tidak menjadi korban kesewenang-wenangan Pemda DKI yang selalu arogan terhadap masyarakatnya,” jelas Handika.
Untuk itu, sebelum terjadi hal-hal yang tidak inginkan, Handika berharap, warga Pluit segera meminta bantuan pendampingan kepada LBH Jakarta. Sebab, diduga indikasi pelangaran HAM yang akan dilakukan pihak pemda DKI semakin terlihat. Dengan adanya rencana pemindahan warga yang biasa hidup dilaut harus pindah ke rusunawa yang ada jauh di pedalaman Jakarta.
“Ini akan menyiksa para warga yang biasa bekerja sebagai nelayan atau lainnya. Karena dunia baru yang akan mereka terima tidak sesuai dengan apa yang mereka kerjakan selama ini,” tambahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar