Masyarakat Sulawesi Tenggara khususnya para elit-elit politiknya kini sedang menderita gejala demam. Suhu tinggi dan sering mengigau, ngomong sembarangan tentang kinerja pemerintahan di daerahnya..
Meski cuma gumaman atau tepatnya bualan saat tidur, namun media ternyata merekamnya, menulisnya menjadi santapan pagi penduduk setempat. Orang heboh dan koran pun laku bak kacang goreng.
Maka ramailah edar cerita dari mulut ke mulut mengenai permufakatan tiga tokoh untuk menyatukan kekuatan melawan tokoh lainnya yang sedang duduk di singgasana pemerintahan daerah.
Adapun masyarakat yang juga ikut-ikutan mendengar cerita itu- cerita tentang tiga tokoh melawan satu tokoh-itu bingung bukan buatan. Loh ini apalagi? Ini sebenarnya siapa lawan siapa? siapa membela siapa?
Ada yang bilang katanya pemimpin sekarang tidak berbuat apa-apa. Hanya diam-diam saja. Ada juga yang menagih janji kesejahteraan rakyat di Bumi Anoa. Kritik ini. Kritik itu dan sebagainya dan seterusnya.
Padahal dulu waktu keadaan begitu rupa, saat beberapa tokoh lainnya itu masih berkuasa mereka juga hanya sibuk dengan dirinya sendiri dan abai akan kondisi rakyat kebanyakan. Tidak sedikitpun terlintas dalam benak mereka bahwa perseteruan seperti itu hanya akan membuat masyarakat terkotak-kotak.
Lagi pula perseteruan sepertinya hanya berpusing-pusing pada mereka mereka ini saja. Tentang siapa lawan siapa. Dan bagaimana caranya. Siapa memanfaatkan siapa. Sejak dulu sepertinya hanya mereka saja pemain di lapangan. Sedangkan rakyat hanya jadi penonton. Penonton yang bingung akan kemana haluan daerah ini kelak berlayar?
Kita harusnya sadar sesadar sadarnya bahwa mengkritik orang lain itu mudah saja. Namun marilah kita introspeksi diri apakah dulu waktu kita berkuasa juga telah melakukan hal yang bermanfaat bagi masyarakat? Inilah initinya. Jangan hanya pandai melihat kelemahan orang lain tanpa mau berkaca akan kelakukan sendiri. Ya kelakukan kita saat masih memegang tampuk kekuasaan.
Banyak dari kita hanya pandai bicara, tepatnya membual tentang kekurangan orang lain. Pandai retorika dan berlaku seperti pokrol bambu di zaman Soekarno. Ya pokrol bambu. Sebuah ejekan sinis terhadap ahli pidato hukum yang berlagak seakan akan membela rakyat kecil padahal tidak.
Dan demam pun kian meninggi bersamaan dengan masuknya perseteruan itu pada garis demarkasi hukum. Beberapa pejabat daerah tersangkut kasus hukum secara aneh dan tiba-tiba. Mau tak mau orang lantas menghubung-hubungkan hal itu menjadi satu rangkaian kejadian yang mutatis mutandis alias memiiki kaitan sebab akibat.
Hendaknya kita jangan main pokrol bambu kepada rakyat karena efeknya akan sangat berbahaya. (http://arsyadsalam.wordpress.com/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar