Akibat kemenangan beruntun yang diperoleh ketika berhadapan dengan pemerintah di pengadilan, namanya melambung. Pengalaman selama dipemerintahan sangat berguna. Aneka ragam aturan yang menjadi dasar gugatan hukum adalah produk jamannya. Boleh dikata, ia adalah kamus berjalan tentang isi dan makna pasal-pasal dalam undang-undang. Pantas lah kemenangan selalu berpihak kepadanya. Argumentasi yang dibangunnya di pengadilan nyaris tak terbantahkan oleh pihak lawan. Bahkan hakim serasa memperoleh pencerahan soal isi dan makna undang-undang.
Namun daya tarik besar ini mengundang sejumlah tersangka kasus korupsi menggunakan jasanya. Sebut saja tersangka korupsi kitab suci yang anggota dewan hingga perusahaan besar nasional konstruksi yang terjerat kasus korupsi trilyunan rupiah. Bahkan yang terakhir, sang pengacara berhasil mengalahkan pemerintah di PTUN untuk masalah pemberhentian seorang kepala daerah. Kemenangan yang sebenarnya agak janggal dan berbau manipulasi. Bagaimana tidak, dalam hari yang bersamaan perkara didaftarkan, majelis hakim dibentuk, sidang dilaksanakan dan putusan dikeluarkan. Aneh bukan ?
Tapi itulah dunia hukum di Indonesia. Aturan bisa dibengkokkan sesuai tarif yang disepakati. Mafia hukum sudah merajalela. Pengacara tak lebih seperti makelar kasus yang memperantari negosiasi putusan pengadilan antara tersangka dan hakim. Pengacara yang disukai adalah pengacara yang mampu memberikan solusi yang “aman” untuk semua pihak. Sang Jaksa merasa tuntutannya sesuai prosedur walau ternyata ada bolong di sana sini. Sang hakim merasa putusannya sudah adil atau paling tidak memiliki landasan hukum yang kuat. Sang tersangka yang penting bebas. Tugas pengacara lah yang menata semua itu. Menulis skenario sinetron peradilan. Kalau perlu dibuat konflik yang seru biar unsur dramanya tak terlalu kentara. Tugas lain pengacara adalah membagi-bagi uang “jasa” kepada para oknum seaman mungkin.
Tugas lain pengacara adalah melakukan perang opini. Berusaha melawan opini negatif dan membentuk opini positif berkenaan dengan kliennya. Lihat saja, mendadak sang pengacara mengusulkan penegak hukum menyelidiki perkara korupsi lainnya yang lebih besar ketimbang perkara kliennya. Mungkin ini namanya taktik lempar batu sembunyikan klien.
Bisa jadi benar perkataan dosen sekaligus pengacara dalam sebuah perkuliahan. Untuk menjadi pengacara, pintar saja tidak cukup. Yang utama adalah koneksi. Apa itu koneksi ? Anda semua sudah dewasa dan dapat mengartikan sendiri.
Selesai. (free idea/http://hukum.kompasiana.com/)
Namun daya tarik besar ini mengundang sejumlah tersangka kasus korupsi menggunakan jasanya. Sebut saja tersangka korupsi kitab suci yang anggota dewan hingga perusahaan besar nasional konstruksi yang terjerat kasus korupsi trilyunan rupiah. Bahkan yang terakhir, sang pengacara berhasil mengalahkan pemerintah di PTUN untuk masalah pemberhentian seorang kepala daerah. Kemenangan yang sebenarnya agak janggal dan berbau manipulasi. Bagaimana tidak, dalam hari yang bersamaan perkara didaftarkan, majelis hakim dibentuk, sidang dilaksanakan dan putusan dikeluarkan. Aneh bukan ?
Tapi itulah dunia hukum di Indonesia. Aturan bisa dibengkokkan sesuai tarif yang disepakati. Mafia hukum sudah merajalela. Pengacara tak lebih seperti makelar kasus yang memperantari negosiasi putusan pengadilan antara tersangka dan hakim. Pengacara yang disukai adalah pengacara yang mampu memberikan solusi yang “aman” untuk semua pihak. Sang Jaksa merasa tuntutannya sesuai prosedur walau ternyata ada bolong di sana sini. Sang hakim merasa putusannya sudah adil atau paling tidak memiliki landasan hukum yang kuat. Sang tersangka yang penting bebas. Tugas pengacara lah yang menata semua itu. Menulis skenario sinetron peradilan. Kalau perlu dibuat konflik yang seru biar unsur dramanya tak terlalu kentara. Tugas lain pengacara adalah membagi-bagi uang “jasa” kepada para oknum seaman mungkin.
Tugas lain pengacara adalah melakukan perang opini. Berusaha melawan opini negatif dan membentuk opini positif berkenaan dengan kliennya. Lihat saja, mendadak sang pengacara mengusulkan penegak hukum menyelidiki perkara korupsi lainnya yang lebih besar ketimbang perkara kliennya. Mungkin ini namanya taktik lempar batu sembunyikan klien.
Bisa jadi benar perkataan dosen sekaligus pengacara dalam sebuah perkuliahan. Untuk menjadi pengacara, pintar saja tidak cukup. Yang utama adalah koneksi. Apa itu koneksi ? Anda semua sudah dewasa dan dapat mengartikan sendiri.
Selesai. (free idea/http://hukum.kompasiana.com/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar