- Pengertian Mediasi
Mediasi
adalah cara penyelesaian dengan melibatkan pihak ketiga, yaitu pihak
ketiga yang dapat diterima (accertable) Artinya para pihak yang
bersengketa mengizinkan pihak ketiga untuk membantu para rihak yang
bersengketa dan membantu para pihak untuk mencapai penyenyelesaian.
Meskipun demikianak septabilitas tidak berarti- para pihak selalu
berkehendak untuk melakukan atau menerima sepenuhnya apa yang
dikemukakan pihak ketiga. Mediasi menurut PerMa No.2 Tahun 2003 : Yaitu
suatu penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak
dibantu oleh mediator.
- Mediasi Litigasi
Setiap
perkara perdata dilatar belakangi oleh ketidak puasan seseorang atau
beberapa orang (pihak penggugat) terhadap seseorang atau beberapa orang
lain (pihak tergugat), yang menurut pihak penggugat ada hak-haknya yang
telah dilanggar oleh pihak tergugat, atau ada kewajiban tergugat kepada
penggugat yang tidak dilaksanakan oleh tergugat.
Penggugat karena
telah berkali-kali meminta haknya kepada tergugat, tidak juga berhasil
kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan, dengan harapan Hakim dapat
mengembalikan hak penggugat atau menghukum tergugat memenuhi
kewajibannya.
Kemudian Hakim dibebani kewajiban untuk
dapat mendamaikan para pihak melalui jalur mediasi, dan boleh jadi para
pihak menunjuk mediator yang bukan Hakim atau orang lain di luar
Pengadilan.
Lain hal dengan Pengadilan di Jepang, masyarakat lebih
memilih mengajukan permohonan minta didamaikan oleh Pengadilan
(Permohonan konsiliasi/Cote) bukan mengajukan gugatan, dan umumnya
berhasil. Persidangan konsiliasi/Cote dipimpinoleh seorang Hakim dan
didampingi oleh dua orang konsiliator, dua orang konsiliator tersebut
ada diantaranya pensiunan Hakim, atau Pengacara yang kawakan, atau
dokter ahli, atau ahli pertanahan, tokoh masyarakat, dlsb. Para
konsiliator diberi honor oleh Pemerintah Jepang. Ada juga perdamaian
yang terjadi di Pengadilan Jepang berdasarkan gugatan, dan hasil
perdamaiannya disebut Wakai.
Mahkamah Agung dengan PERMA Nomor 2 Tahun 2003 memakai system mediasi, hal itu yang akan dibahas dalam Bab berikutnya.
Pengadilan
telah memanggil pihak-pihak untuk bersidang, kemudian para pihak atau
wakilnya datang menghadap, maka Ketua Majelis Hakim wajib menunda
persidangan guna menempuh perdamaian dengan para pihak menunjuk
mediator, boleh jadi kesepakatan para pihak atau wakilnya untuk menunjuk
salah seorang Hakim di Pengadilan atau Panitera / Panitera Pengganti,
atau orang lain di luar daftar mediator yang ada di Pengadilan. Perihal
tentang mediasi adalah menggali kehendak UU (Pasal 30 HIR / Pasal 154
R.Bg)
Praktek yang telah lama berjalan, adalah Upaya
Majelis Hakim menasehati pihak-pihak berperkara dalam persidangan
pertama tersebut, kemudian menawarkan kepada para pihak atau wakilnya
agar mau menyelesaikan sengketanya secara damai. Proses menasehati dan
menawarkan perdamaian inilah yang menurut pandangan Mahkamah Agung,
sebagai upaya yang belum sungguh-sungguh pelaksanaannya oleh Majelis
Hakim Pengadilan Tingkat Pertama, dan oleh karenanya lahirlah PERMA
Nomor 2 Tahun 2003 tersebut. “Mediasi adalah penyelesaian sengketa
melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator”.
Dari
pengertian mediasi sebagaimana tersebut diatas, mengandung makna, yakni
para pihak diharapkan dapat mencapai kesepakatan yang menguntungkan
bagi kedua belah pihak melalui jalur perundingan dengan dibantu oleh
seorang mediator. Dengan adanya kesepakatan yang telah dibuat oleh kedua
belah pihak diharapkan dapat meminimalisir terbuangnya waktu serta
biaya yang akan dikeluarkan oleh mereka dalam menyelesaikan sengketa.
Beberapa hal yang harus mendapat perhatian penuh dari pimpinan pengadilan, antara lain :
- Telah memiliki daftar mediator;
- Menyediakan tempat untuk pelaksanaan mediasi;
Pada
prinsipnya apabila para pihak atau wakilnya hadir dalam persidangan
pertama, kemudian majelis hakim berupaya menasehati dan mengarahkan para
pihak agar memilih penyelesaian secara damai, maka jika para pihak
sepakat untuk berdamai dan minta kepada Pengadilan agar menerbitkan akta
perdamaian, Pengadilan cukup sekali bersidang pada hari itu saja dengan
produk akta perdamaian. Sekiranya para pihak sepakat untuk membuat
perdamaian sendiri di luar persidangan dan penggugat mencabut
gugatannya, hal tersebut juga dibolehkan. Bedanya produk Pengadilan
berupa akta perdamaian, sengketa kedua belah pihak benar-benar berakhir,
sudah tidak dimungkinkan lagi untuk diajukan kembali ke Pengadilan
manapun, baik tingkat pertama, banding maupun kasasi, hal demikianlah
yang dimaksudkan dengan pasal 130 ayat (1) HIR / pasal 154 ayat (1) R.Bg
jo. Pasal 130 ayat (3) / pasal 154 ayat (3) R.Bg jo. Pasal 43 ayat (1)
UU Nomor 4 Tahun 1985.
Sedangkan perdamaian antara kedua belah
pihak yang terjadi di luar persidangan pengadilan, biasa disebut dengan
istilah “dading”. Perdamaian dading mengikat kedua belah pihak yang
berdamai, diharapkan keduanya tunduk dan mematuhi isi kesepakatan yang
mereka perbuat, tetapi jika salah satupihak tidak mau melaksanakan isi
kesepakatan tersebut, maka pihak yang merasa dirugikan tidak dapat
memohon kepada Pengadilan untuk dieksekusi, dan sekalipun surat
perdamaian tersebut dibuat dihadapan Notaris. Yang merasa dirugikan
dapat mengajukan gugatan baru.
“Segala perdamaian diantara para
pihak mempunyai suatu kekuatan suatu putusan Hakim dalam hukum yang
penghabisan, tidak dapatlah dibantah dengan alasan kekhilafan mengenai
hukum atau dengan alasan salah satu pihak dirugikan “ (Pasal 1858
KUHPerdata).
Bila upaya perdamaian tersebut tidak berhasil, barulah ditempuh upaya mediasi :
- Ketua atau Anggota Majelis tidak diperbolehkan bertindak sebagai mediator.
Problemnya
: di lingkungan Peradilan Agama, Hakim masih sangat terbatas, para
pihak sepakat Hakim A lah yang mereka sukai sebagai penengah, padahal
Hakim A adalah Ketua atau Anggota Majelis perkara tersebut. Perlu ada
pengecualian untuk Pengadilan Agama yang masih kekurangan tenaga Hakim.
- Mediator harus telah memiliki “sertifikat”.
Problemnya
: persyaratan tersebut tidak tercantum dalam definisi mediator. Pasal 1
ayat (5) menyatakan :”Mediator adalah pihak yang bersifat netral dan
tidak memihak, yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai
kemungkinan penyelesaian sengketa”. Menurut hemat penulis, upaya
perdamaian yang telah dicanangkan sejak Surat Edaran Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 2002, kemudian diganti dengan PERMA Nomor 2 Tahun 2003
tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, perlu segera ditindaklanjuti
dengan mempedomani PERMA tersebut, dan ketentuan keharusan menunggu
adanya pensertifikatan, justru menghambat pelaksanaan mediasi, perlu
adanya terobosan bagi Pengadilan guna mengatasi hambatan tersebut,
dengan berpatokan kepada definisi mediator tersebut diatas.
Adapun beberapa prinsip dari lembaga mediasi, adalah:
- Pada prinsipnya mediasi bersifat sukarela
Pada
prinsipnya inisiatif pilihan penyelesaian sengketa melalui mediasi
tunduk pada kesepakatan para pihak. Hal ini dapat dilihat dari sifat
kekuatan mengikat dari kesepakatan hasil mediasi didasarkan pada
kekuatan kesepakatan berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata. Dengan demikian
pada prinsipnya pilihan mediasi tunduk pada kehendak atau pilihan bebas
para pihak yang bersengketa. Mediasi tidak bisa dilaksanakan apabila
salah satu pihak saja yang menginginkannya.
Pengertian sukarela
dalam proses mediasi juga ditujukan pada kesepakatan penyelesaian.
Meskipun para pihak telah memilih mediasi sebagai cara penyelesaian
sengketa mereka, namun tidak ada kewajiban bagi mereka untuk
menghasilkan kesepakatan dalam proses mediasi tersebut. Sifat sukarela
yang demikian didukung fakta bahwa mediator yang menengahi sengketa para
pihak hanya memiliki peran untuk membantu para pihak menemukan solusi
yang terbaik atas sengketa yang dihadapi para pihak. Mediator tidak
memiliki kewenangan untuk memutuskan sengketa yang bersangkutan seperti
layaknya seorang hakim atau arbiter. Dengan demikian tidak ada paksaan
bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka dengan cara mediasi.
Dalam
hukum di Indonesia, praktek mediasi pada umumnya juga didasarkan pada
pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Dalam konteks sengketa
konsumen pengguna mediasi bersifat sukarela sebagaimana diatur dalam
pasal 45 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1999 yang berbunyi:
“Penyelesaian
sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar
pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa”.
- Lingkup sengketa pada prinsipnya bersifat keperdataan
Jika
dilihat dari berbagai peraturan setingkat Undang-undang yang mengatur
tentang mediasi di Indonesia dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya
sengketa-sengketa yang dapat diselesaikan melalui mediasi adalah
sengketa keperdataan. Pasal 30 ayat (2) UU No. 23 Tahun 1997 tentang
pengelolaan lingkungan hidup menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa di
luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup.
Demikian pula pada pasal 75 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999 tentang
kehutanan sebagaimana dirubah dengan UU No. 19 Tahun 2004 mengatakan
penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan tidak berlaku
terhadap tindak pidana sebagaimana diatur dalam UU kehutanan tersebut.
UU No. 30 Tahun 1999 meskipun tidak tegas seperti kedua UU terdahulu,
namun dari ketentuan pasal 5 ayat (1) berbunyi: “sengketa yang dapat
diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan
mengenai hak yang menurut hukum dan perundang-undangan dikuasai oleh
pihak yang bersengketa”, dapat dipahami bahwa sengketa yang dapat
diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa perdagangan dan sengketa
hak yang bersifat keperdataan saja.
- Proses sederhana
Sifat
sukarela dalam mediasi memberikan keleluasaan pada pihak untuk
menentukan sendiri mekanisme penyelesaian sengketa mediasi yang mereka
inginkan. Dengan cara ini, para pihak yang bersengketa tidak
terperangkap dengan formalitas acara sebaimana dalam proses litigasi.
Para pihak dapat menentukan cara-cara yang lebih sederhana dibandingkan
dengan proses beracara formal di Pengadilan. Jika penyelesaian sengketa
melalui litigasi dapat selesai bertahun-tahun, jika kasus terus naik
banding, kasasi, sedangkan pilihan penyelesaian sengketa melalui mediasi
lebih singkat, karena tidak terdapat banding atau bentuk lainnya.
Putusan bersifat final and binding yang artinya putusan tersebut
bersifat inkracht atau mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Istilqh
“final” berarti putusan tersebut tidak membutuhkan upaya hukum lanjutan.
Pengertian “mengikat” atau “Binding” adalah memberikan beban kewajiban
hukum dan menuntut kepatuhan dari subjek hukum. Di dalam Hukum Acara
Perdata dikenal teori res adjudicate pro veritare habetur, yang artinya
apabila suatu putusan sudah tidak mungkin diajukan upaya hukum, maka
dengan sendirinya putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap (inkracht van gewijsde) dan oleh karenanya putusan tersebut
mengikat para pihak yang bersengketa.
Sebagai konsekuensi cara
yang lebih sederhana ini, maka mediasi sering dianggap lebih murah dan
tidak banyak makan waktu jika dibandingkan dengan proses litigasi atau
berperkara di Pengadilan.
- Proses mediasi tetap menjaga kerahasiaan sengketa para pihak
Mediasi
dilaksanakan secara tertutup sehingga tidak setiap orang dapat
menghindari sessi-sessi perundingan mediasi. Hal ini berbeda dengan
badan peradilan dimana sidang umumnya dibuka untuk umum. Sifat
kerahasiaan dari proses mediasi merupakan daya tarik tersendiri, Karena
para pihak yang bersengketa pada dasarnya tidak suka jika persoalan yang
mereka hadapi dipublikasikan kepada umum.
- Mediator bersifat menengahi
Dalam
sebuah proses mediasi, mediator menjalankan peran untuk menengahi para
pihak yang bersengketa. Peran ini diwujudkan melalui tugas mediator yang
secara aktif membantu para pihak dalam memberikan pemahamannya yang
benar tentang sengketa yang mereka hadapi dan memberikan alternative
solusi yang terbaik bagi penyelesaian sengketa diajukan mediator
sepenuhnya berada dan ditentukan sendiri oleh kesepakatan para pihak
yang bersengketa. Mediator tidak dapat memaksakan gagasannya sebagai
penyelesaian sengketa yang harus dipatuhi.
Prinsip ini kemudian
menuntut mediator adalah orang yang memiliki pengetahuan yang cukup luas
tentang bidang-bidang terkait yang dipersengketakan oleh para pihak.
Bila
diperhatikan berbagai macam cara untuk penyelesaian sengketa memiliki
keunggulan dan kelemahan masing-masing, misalnya pencapaian consensus
bersama yang terjadi dalam Hukum Adat Indonesia, di samping
menyelesaikan sengketa tertentu, juga membantu membangun dan melindungi
komunitas, tetapi kadang kala yang muncul dalam upaya untuk memperoleh
kesepakatan hanya berupa bentuk pemaksaan yang terselubung, yaitu para
pihak yang bersengketa dipaksa menyetujui demi kepentingan pihak
komunitas. Pada beberapa kasus seperti ini, kebutuhan dan kepentingan
pihak yang bersengketa mungkin tidak terpenuhi sama sekali. Hal ini
tentunya merugikan pihak yang bersengketa.
Tugas mediator
telah diatur di dalam Bab III PERMA Nomor 2 Tahun 2003, ada beberapa hal
yang tidak diatur di daalam PERMA. Menurut hemat penulis perlu ditempuh
oleh para mediator, yaitu antara lain:
Tugas pertama seorang
mediator: adalah memberikan nasehat dan mengarahkan para pihak atau
wakilnya agar mau menyelesaikan sengketanya secara damai, setelah
selesai memberikannasehat atau pengarahan, kemudian pihak tergugat
dipersilahkan menunggu di luar ruangan dan mediator melanjutkan dengan
memberikan kesempatan kepada pihak penggugat atau kuasanya mengungkapkan
sejelas-jelasnya permasalahan yang menjadi sengketa sejak awal hingga
keadaan yang sekarang, kemudian mediator memberikan pandangannya
bagaimana sebaiknya mengatasi permasalahan tersebut sehingga pihak
penggugat tidak dirugikan dan pihak tergugat juga diberi
kemudahan-kemudahan memenuhi tuntutan tersebut. Kemudian penggugat
disuruh menunggu di luar dan tergugat atau kuasanya dipanggil masuk,
mediator mempersilahkan tergugat memberikan keterangannya sehubungan
dengan adanya tuntutan pihak penggugat. Bila ada hal-hal yang janggal
atau kurang jelas keterangan tergugat mediator mengajukan pertanyaan-
pertanyaan atau minta kejelasan dari tergugat tentang hal-hal yang belum
ditanggapi oleh tergugat, setelah selesai, mediator menawarkan beberapa
solusi agar sengketa tersebut dapat selesai secara damai.
Tugas
kedua seorang mediator: adalah memanggil kedua belah pihak memasuki
ruang mediasi, mediator mempersilahkan pihak penggugat atau kuasanya
mengajukan poin-poin tuntutannya dan bila ada solusi damai yang
ditawarkannya hendaknya diajukan secara tertulis, bila ada hal yang
dianggap mediator belum konkrit, mediator meminta agar penggugat
mengulangi dan menjelaskan hal tersebut. Selanjutnya agar tergugat
memberikan tanggapannya serta solusi damai yang ditawarkannya secara
tertulis, dan mediator meminta kejelasan hal-hal yang dianggap kurang
jelas.
Tugas ketiga seorang mediator: adalah mengelompokkan
bagian-bagian yang telah disepakati, bila semua bagian telah disepakati
berarti mediator berhasil mendamaikan para pihak, bila masih ada bagian
yang belum disepakati maka pertemuan dilanjutkan pada hari dan tanggal
yang telah disepakati bersama, dan mediator mengingatkan kepada para
pihak untuk berfikir kembali dan mengajukan tawaran jalan keluar atas
hal-hal yang belum disepakati tersebut secara tertulis dan diajukan
kepada mediator pada hari dan tanggal yang telah disepakati tersebut.
Prosedur Mediasi di pengadilan
Peraturan
Mahkamah Agung RI. No.2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di
pengadilan, konsideranya adalah; untuk mengurangi penumpukan perkara,
merupakan salah satu cara menyelesaikan perkara lebih cepat dan murah,
bersesuian dengan Pasal 130 HIR atau pasal P 153 RBg.
Sifat Mediasi :
- Wajib (Mandatory) atas seluruh perkara perdata yang diajukan kepengadilan Tk.1
- Hakim mewajibkan para pihak menempuh lebih dahulu proses mediasi;
- Hakim wajib memunda siadang dan memberikan kesempatan para pihak untuk mediasi;
- Hakim wajib memberikan penjelasan ttg prosedur mediasi dan biayanya;
- Apabila
para pihak diwakili Penasehat Hukum maka setriap keputusan yang diambil
harus memperoleh persetujuan tertulis dari para pihak;
- Proses
mediasi pada dasarnya tidak bersifat terbuka untu umum, kecuali para
pihak menghendaki lain, sedangkan mediasi untuk kepentingan publik
terbuka untuk umum.
Hak memilih mediator oleh para pihak :
- Mediator
ditunjuk (disepakati) oleh para pihak, dapat dari dalam peradilan
(hakim) yang sudah mendapat sertifikat sebagai mediator, atau pihak dari
luar pengadilan yang sudah bersetrifikat;
- Jika para pihak dapat
sepakat dalam memilih mediator maka ketua majelis hakim dapat
menetapkan menunjuk mediator yang terdaftar dalam PN tersebut;
- Waktu paling lama satu hari kerja setelah sidang pertama;
- Ketua atau anggota majelis hakim di larang sebagai mediator
Kewajiban Mediator :
- Mediator wajib menyusin jadwal mediasi;
- Mediator wajib mendorong dan menelurusi serta mengali kepentingan para pihak;
- Mediator wajib mencari berbagi pilihan penyelesain;
- Mediator wajib merumuskan kesepakatan secara tertulis;
- Mediator wajib memuat klausa pencabutan perkara;
- Mediator wajib memeriksa kesepakan untuk menghindari jika ada klausa yang bertentangam dengan hukum;
- Setelah
22 hari melalui mediasi tidak berhasil, maka mediator wajib menyatakan
secara tertulis bagwa mediasi telah gagal dan memberikan pemberitahuan
kepada majelis hakim;
- Jika mediasi gagal, maka semua fotokopi, notulen, catatan mediator wajib dimusnahkan
Waktu dan Tempat Mediasi :
- Paling lama 30 hari, bagi mediator di luar PN dapat di perpanjang;
- 22 hari setelah ditunjuknya mediator;
- 7 hari setelah mediator ditunjuk para pihak wajib menyerahkan fotokopi dokumen perkara (duduk perkara, susrt-surat, dll );
- Mediasi dapat diselengarakan disalah satu ruangan pengadialan atau tempat lain yang disepakati para pihak
Hal-hal lain
yang perlu di perhatikan :
- Para pihak dapat di dampingi oleh penasehat hukum
- Para pihak wajib menhadap kembali kepada majelis haim yang memeriksa perkara;
- Kesepakatan hasil mediasi di tandatangani oleh para pihak dan dapat dikukuhkan majelis hakim sebagai akta perdamaian;
- Mediator dapat melakukan kaukus;
- Mediator dengan kesepakatan para pihak dapat mengundang ahli;
- Jika mediasi gagal, maka pernyataan dan pengakuan para pihak tidak dapat digunakan sebagai alat bukti persidangan;
- Mediator tidak dapat dijadikan saksi di pengadilan;
- Mediasi di pengadilan tidak di pungut biaya, sedangkan di tempat lain biaya di bebenkan kepada para pihak;
- Mediasi oleh hakim tidak dipungut biaya, sedangkan mediator bukan hakim ditangung oleh para pihak atas kesepakatan.
- Mediasi Non litigasi
Mediasi
non litigasi adalah cara penyelesaian sengketa diluar peradilan. Pihak
ketiga yang netral dan berfungsi sebagai penengah atau memfasilitasi
mediasi tersebut yang biasa disebut mediator. Pihak ketiga tersebut
hanya boleh memberikan saran-saran yang bersifat sugestif, karena pada
dasarnya yang memutuskan untuk mengakhiri sengketa adalah para pihak.
Pihak ketiga tersebut juga harus netral sehingga dapat memberikan
saran-saran yang objektif dan tidak terkesan memihak salah satu pihak.
Mediasi merupakan prosedur wajib dalam proses pemeriksaan perkara
perdata, bahkan dalam arbitrase sekalipun dimana hakim atau arbiter
wajib memerintahkan para pihak untuk melaksanakan mediasi dan jika
mediasi tersebut gagal barulah pemeriksaan perkara dilanjutkan. Tidak
semua orang bisa menjadi mediator professional karena untuk dapat
menjadi mediator dibutuhkan semacam sertifikasi khusus.
Mediasi
perkara di luar pengadilan dapat juga dilakukan melalui badan
arbitrase. Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa yang mirip dengan
litigasi, hanya saja litigasi ini bisa dikatakan sebagai "litigasi
swasta" Dimana yang memeriksa perkara tersebut bukanlah hakim tetapi
seorang arbiter. Untuk dapat menempuh prosesi arbitrase hal pokok yang
harus ada adalah "klausula arbitrase" di dalam perjanjian yang dibuat
sebelum timbul sengketa akibat perjanjian tersebut, atau "Perjanjian
Arbitrase" dalam hal sengketa tersebut sudah timbul namun tidak ada
klausula arbitrase dalam perjanjian sebelumnya. Klausula arbitrase atau
perjanjian arbitrase tersebut berisi bahwa para pihak akan menyelesaikan
sengketa melalui arbitrase sehingga menggugurkan kewajiban pengadilan
untuk memeriksa perkara tersebut. Jika perkara tersebut tetap diajukan
ke Pengadilan maka pengadilan wajib menolak karena perkara tersebut
sudah berada di luar kompetensi pengadilan tersebut akibat adanya
klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase. Beberapa keunggulan
arbitrase dibandingkan litigasi antara lain:
- Arbitrase
relatif lebih terpercaya karena Arbiter dipilih oleh para pihak yang
bersengketa. Arbiter dipilih oleh para pihak sendiri dan merupakan
jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh pejabat peradilan manapun. Dalam
hal para pihak tidak bersepakat dalam menentukan arbiter maka arbiter
akan ditunjuk oleh ketua Pengadilan Negeri. Hal ini berbeda dengan
litigasi karena para pihak tidak dapat memilih hakim yang memeriksa
perkara. Calon arbiter yang ditunjuk juga boleh menolak penunjukan
tersebut.
- Arbiter merupakan orang yang ahli di
bidangnya sehingga putusan yang dihasilkan akan lebih cermat. Dalam
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa dinyatakan bahwa salah satu syarat untuk menjadi
arbiter adalah berpengalaman aktif di bidangnya selama 15 tahun. Hal ini
tentunya berbeda dengan hakim yang mungkin saja tidak menguasai bidang
yang disengketakan sehingga harus belajar bidang tersebut sebelum
memeriksa perkara.
- Kepastian Hukum lebih
terjamin karena putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para
pihak. Pihak yang tidak puas dengan putusan arbitrase tidak dapat
mengajukan upaya hukum. namun putusan tersebut dapat dibatalkan jika
terjadi hal-hal tertentu seperti dinyatakan palsunya bukti-bukti yang
dipakai dalam pemeriksaan setelah putusan tersebut dijatuhkan atau
putusan tersebut dibuat dengan itikad tidak baik dari arbiter.
- Sedangkan kelemahannya antara lain:
a) Biaya yang relatif mahal karena honorarium arbiter juga harus ditanggung para pihak (atau pihak yang kalah).
b) Putusan Arbitrase tidak mempunyai kekuatan eksekutorial sebelum didaftarkan ke Pengadilan Negeri.
c)
Ruang lingkup arbitrase yang terbatas hanya pada sengketa bidang
komersial (perdagangan, ekspor-impor, pasar modal, dan sebagainya).
- Makna Penting Mediasi sebagai alternative penyelesaian sengketa
Tidak
bisa dipungkiri bahwa upaya penyelesaian suatu perkara demikian sulit,
rumit dan berbelit-belit, demikianlah kira – kira pendapat sebagian
orang sehingga muncul wacana bahwa upaya yang telah dilakukan untuk
sedapat mungkin menyelesaikan sengketa tanpa melalui proses ligitasi,
sebagai contoh dalam menghadapi suatu sengketa para pihak yang
berperkara khususnya piak Penggugat sebagai pihak yang berinisiatif
berperkara untuk sedapat mungkin mengakhiri sengketa dengan jalur
perdamaian. Karena bagaimanapun juga penyelesaian perkara dengan jalur
perdamaian senantiasa akan mendatangkan keuntungan bagi kedua belah
pihak.
Begitupun halnya keuntungan dari segi biaya, tentunya biaya
yang akan dikeluarkan akan lebih murah, karena tidak mengeluarkan biaya
yang terlalu banyak dan yang lebih penting lagi perdamaian akan mampu
memulihkan hubungan baik diantara pihak yang berperkara, lebih-lebih
bila mana para pihak yang berperkara tersebut adalah mereka yang nota
bene sesama mitra usaha yang memerlukan suasana hubungan yang bersifat
kolegalitas, bisa dibanyangkan apabila muncul persoalan diantara mereka
kemudian diselesaikan melalui proses persidangan yang pada akhirnya
berakibat pada dua kubu menang dan kalah. Hal ini tentunya akan
berakibat pada pecahnya hubungan yang bersifat kolegalitas diantara
mereka. Demikian pula halnya hubungan baik antara keluarga akan menjadi
renggang bahkan putus, manakala mereka dalam menyelesaikan suatu
sengketa misalnya adanya perebutan harta warisan dan lain-lain. Untuk
mencegah agar jangan sampai hubungan keluarga menjadi berantakan hanya
karena memperebutkan suatu hak seperti yang disebutkan dalam contoh
diatas, maka penyelesaian secara damai jauh lebih bermanfaat
dibandingkan sebaliknya.
Pentingnya mediasi dalam konteks
ini dimaknai bukan sekedar upaya untuk meminimalisir perkara-perkara
yang masuk ke Pengadilan baik itu pada Pengadilan tingkat pertama maupun
tingkat banding, sehingga badan peradilan dimaksud terhindar dari
adanya timbunan perkara, namun lebih dari itu Mediasi dipahami dan
diterjemahkan dalam proses penyelesaian sengketa secara menyeluruh
dengan penuh kesungguhan untuk mengakhiri suatu sengketa yang tengah
berlangsung.
Walaupun dalam kenyataannya setiap perkara yang masuk
ke Pengadilan Negeri sebagian besar tidak dapat didamaikan lagi dengan
upaya perundingan, namun itu bukan berarti upaya ini kita matikan sama
sekali, akan tetapi justru itu yang menjadi tantangan bagi mediator
khususnya hakim untuk bisa memainkan perannya sebagai mediator yang
ulung dengan menerapkan kemampuan dan kemahirannya secara maksimal.
Oleh
karena itu Mediasi hendaknya dijadikan sebagai lembaga pertama dan
terakhir dalam menyelesaikan sengketa antara para pencari keadilan,
karena penyelesaian sengketa melalui proses litigasi banyak yang tidak
berakhir manis, fenomena yang tak jarang kita temukan bisa menjadi suatu
gambaran betapa nestapa yang sering mengiringi para pihak yang
berperkara, di satu sisi bagi pihak yang menang ia mengeluarkan biaya
yang tinggi terkadang tidak sesuai dengan nilai ekonomis barang yang
diperebutkan dan di sisi lain bagi pihak yang kalah sering tidak dapat
menerima kekalahan yang menyebabkan adanya tekanan psikologis dan
timbulnya depresi yang akhirnya bermuara pada bentuk-bentuk tindakan
anarkis. Hal demikian tentulah bukan menjadi harapan kita, karena
konflik yang terjadi antar individu bisa memicu konflik yang lebih luas,
seperti antar kelompok, dampak buruk dari hal itupun tak ayal dapat
terhindar, putusnya jalinan silaturrahmi hubungan persaudaraan, kerugian
moril dan materiil adalah contoh akibat negative dari persoalan di
atas. Untuk itu, upaya preventif dalam setiap upaya penyelesaian
persoalan harus dikedepankan, mencegah penyebab konflik berarti mencegah
adanya kemudaratan.
Prinsipnya suatu peraturan dibuat adalah
untuk dijalankan, demikian juga halnya dengan PERMA Nomor 2 Tahun 2003.
Islam adalah agama damai, yang berperkara di Pengadilan adalah Agama
adalah orang-orang yang beragama Islam dan masih dalam ikatan keluarga,
peluang untuk dapat didamaikan lebih besar dibandingkan dengan
perkara-perkara pada Peradilan Umum, oleh karenanya upaya mendamaikan
secara sungguh-sungguh sangat diharapkan, sekalipun menurut tehnik dan
cara tersendiri di luar PERMA tersebut, hal ini Pengadilan Agama dapat
dikecualikan, karena ada kekhususan, khusus menangani orang-orang Islam
(orang-orang yang cinta damai), dan khusus sengketa dalam keluarga
(family law).
(https://www2.facebook.com/notes/n-togakratu/perbedaan-mediasi-advokasi-litigasi-dan-non-litigasi/10150478059672162)