Kamis, 30 April 2015

"Putusan MK soal Praperadilan Membuat Penegak Hukum Tak Bisa Semena-mena"


Kompas/Lucky Pransiska Gedung Mahkamah Konstitusi

Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani meminta masyarakat jangan terlalu khawatir atas putusan Mahkamah Konstitusi yang memperluas objek praperadilan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurut dia, putusan itu justru memicu aparat penegak hukum untuk bekerja lebih profesional.
"Kita ini seakan ada bayangan ketakutan. Padahal seharusnya jangan berpikir paranoid dalam menyikapi aturan," kata Arsul saat dihubungi, Rabu (29/4/2015).
Dalam putusan itu, MK menyatakan bahwa penetapan tersangka merupakan objek praperadilan. Sebelumnya, di dalam Pasal 77 KUHAP telah mengatur secara terbatas perihal wewenang lembaga praperadilan dalam menangani perkara. Dengan adanya perluasan tersebut, ada kekhawatiran terjadinya banjir gugatan praperadilan.
"Itu merupakan konsekuensi hukum. Tapi jangan berpikir karena diperluas, maka koruptor bisa meloloskan diri begitu saja," ujar politisi PPP tersebut.
Arsul menambahkan, ketika KUHAP disahkan, muncul di benak masyarakat bahwa penahanan dan penangkapan dapat begitu saja diajukan ke praperadilan. Hal yang sama kini terjadi ketika penetapan tersangka menjadi objek praperadilan. Masyarakat melihat bahwa putusan hakim tunggal Sarpin Rizaldi dalam praperadilan Komjen Budi Gunawan, menjadi pemicu banyaknya pengajuan gugatan praperadilan.
"Kenyataannya tidak kan. Berapa banyak putusan hakim yang mengabulkan gugatan pemohon setelah Sarpin? Yang ditolak justru lebih banyak," kata dia.
Lebih jauh, ia menilai, masuknya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan merupakan suatu bentuk perlindungan hak asasi manusia. Dengan adanya aturan tersebut, aparat hukum tidak dapat semena-mena dalam menangani perkara. Apabila aparat tidak dapat membuktikan dua alat bukti yang dimilikinya cukup valid, maka kredibilitas penegak hukum yang dipertaruhkan.
"Aturan ini juga berfungsi untuk mencegah terjadinya kriminalisasi terhadap sebuah kasus. Misal, ada dua politisi berpekara, yang satu dekat dengan polisi, yang dekat itu tentu sudah tidak bisa semena-mena lagi," ucapnya.
Mahkamah Konstitusi mengubah ketentuan Pasal 77 KUHAP tentang obyek praperadilan saat mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan terpidana kasus bio remediasi Chevron Bachtiar Abdul Fatah terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP). Dengan demikian, Mahkamah menambah penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan termasuk sebagai obyek praperadilan. (http://nasional.kompas.com/)

Rabu, 29 April 2015

Ditawari Vonis Rehab, Suruh Bayar Rp 260 Juta



Sidang kepemilikan narkoba jenis sabu yang diduga milik terdakwa Nuri Subagyo, Staf Sekretariat Dewan (Sekwan) DPRD Kota Surabaya memasuki tahap akhir. Jusru mendekati vonis ini, pria kepala plontos ini membuat pengakuan mengejutkan. Ia ditawari advokat spesialis narkoba untuk vonis rehabilitasi. Namun vonis ini tidak gratis, harus membayar dulu sebesar Rp 260 juta. Siapa advokat yang dimaksud? Berikut laporan wartawan Surabaya Pagi.

Nuri Subagyo yang kini jadi pesakitan atas kasus kepemilikan narkoba ini menjalani pemeriksaan sebagai terdakwa. Dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Rabu (26/11) kemarin, Nuri mengungkapkan bahwa tawaran hukuman rehabilitasi itu saat proses penyidikan di Polsek Genteng. "Saat itu polisi menawari saya pengacara untuk pendampingan. Setelah bertemu dengan pengacara yang ditunjuk polisi itu, saya kemudian ditawari rehabilitasi," kata Nuri di hadapan majelis hakim yang diketuai Tinuk.

Saat itulah, terdakwa dimintai uang Rp 260 juta untuk biaya rehabilitasi atas kasus narkoba yang menjeratnya. "Pengacara itu menawari saya agar mengurus biaya rehabilitasi dengan membayar uang Rp 260 juta," ucapnya Nuri.

Atas hal itu akhirnya terdakwa menolak mentah-mentah tawaran dari pengacara tersebut. Menurut terdakwa, vonis rehabilitasi sama artinya dengan mengakui dirinya sebagai pengguna narkoba. "Saya tolak pengacara itu karena saya bukan pengguna narkoba. Lalu saya minta tolong agar keluarga saya mencarikan pengacara lagi dan kemudian ketemu dengan pengacara Hans Hehakaya," terangnya.

Usai sidang, kuasa hukum terdakwa, Hans Hehakaya membenarkan bahwa kliennya sempat ditawari rahabilitasi dengan membayar biaya Rp 260 juta. "Iya benar, terdakwa ditawari pengurusan rehabilitasi dengan membayar biaya Rp 260 juta oleh pengacara yang menangani pemeriksaan. Klien saya akhirnya tidak cocok dan meminta saya menjadi pengacaranya," jelasnya.

Sayangnya saat ditanya siapa nama pengacara tersebut, Hans enggan menjelaskan. "Siapa namanya, saya lupa. Yang jelas dia sudah biasa dan sering menangani (spesialis) perkara narkoba," ungkap Hans kepada wartawan.

Hans juga mengungkapkan, atas hal itulah terdakwa berencana bakal melaporkan pengacara tersebut ke Dewan Kehormatan (DK) Peradi. "Klien saya berencana akan melaporkannya ke Dewan Peradi. Secepatnya klien saya akan melaporkannya, kemungkinan usai pemeriksaan terdakwa ini," jelas Hans.

Saat didesak apakah biaya Rp 260 juta tersebut untuk fee pengacara atau untuk mengurus perkara agar terdakwa divonis rehabilitasi, Hans enggan menjelaskan secara detail. "Pokonya saat itu klien saya ditawari jika ingin vonis rehabilitasi, maka harus membayar Rp 260 juta," tandasnya.

Sempat Menangis
Di persidangan, Nuri Subagyo sempat menangis ketika ditanya tentang statusnya sebagai PNS (pegawai negeri sipil). "Saya jadi honorer 12 tahun, kemudian sejak 2008 saya diangkat jadi PNS secara gratis. Saya selalu berusaha menjaganya, demi istri dan anak saya," ujar Nuri sambil mengusap air matanya.

Dalam sidang, pria asal Gunungsari tersebut menceritakan, awalnya pagi itu, dia berangkat ke kantor pukul 06.00 WIB. "Seharian saya hanya di kantor. Hanya sempat keluar merokok dan ke toilet," kisahnya. Petang sekitar pukul 06.00 WIB, dia keluar kantor usai menyelesaikan tugas. Hari itu, dia mengaku banyak tugas terkait persiapan rapat anggaran di dewan. Dirinya memang biasa menggarap tugas dalam materi-materi pembahasan anggaran di dewan.

Saat mengendarai sepeda motor melintasi jalan Ketabang Kali, dia diapit tiga sepeda motor lain. Di kanan, kiri dan depan. Ternyata, mereka adalah polisi yang hendak menangkapnya. "Pertama, digeledah tas, jok, helm, jaket, dan baju. Saya lega karena tidak ditemukan narkoba seperti yang dikatakan polisi saat pertama menghentikan sepeda motor saya," ungkapnya.

Beberapa saat kemudian, petugas lain melakukan pemeriksaan dan menemukan satu paket sabu di dalam helm. "Tapi saya tidak tahu itu milik siapa. Saya sama sekali tidak tahu," dalihnya. Akibat penangkapan oleh anggota Polsek Genteng itulah, Nuri harus meringkuk di dalam penjara.

Seperti diketahui terdakwa Nuri Subagyo ditangkap anggota Polsek Genteng 11 Agustus 2014 lalu di Taman Prestasi Jalan Ketabang Kali Surabaya. Polisi berhasil menemukan sabu seberat 0,036 gram didalam helm milik Nuri. Kasus ini sempat mendapatkan perlawanan dari pihak keluarga Nuri Subagyo. Polsek Genteng digugat pra peradilan pasca penangkapan dan penahanan Nuri Subagyo yang dianggap tidak memenuhi SOP. Namun gugatan tersebut dimenangkan pihak Polsek Genteng. Hakim tunggal Hariyanto menganggap penangkapan dan penahanan tersebut telah sesuai aturan. (http://rss.surabayapagi.com)

Selasa, 28 April 2015

The Lawyer Defending Discrimination In The Supreme Court May Have Just Talked Himself Out Of Victory

 
"The Lawyer Defending Discrimination In The Supreme Court May Have Just Talked Himself Out Of Victory"
Our prices are insane!
CREDIT: AP Photo/J. Scott Applewhite

Before oral arguments began in Obergefell v. Hodges, the consolidated cases challenging marriage discrimination under the Constitution, a Supreme Court decision in favor of marriage equality seemed like a near certainty. After Solicitor General Donald Verrilli, the second of two lawyers to argue in favor of equality, took his seat, the outcome of the cases seemed much less sure.
The Court’s conservatives fixated upon their belief that same-sex marriages are a very new institution. “Every definition [of marriage] I looked up prior to about a dozen years ago,” Chief Justice John Roberts claimed, limited marriages to opposite-sex couples. Advocates for equality, Roberts continued, are “seeking to change what the institution is.”
Meanwhile, Justice Samuel Alito argued that even “ancient Greece,” a society he perceived as welcoming to same-sex relationships, did not permit same-sex marriage. Justice Antonin Scalia insisted that “for millennia, not a single society” supported marriage equality.
Most ominously of all for supporters of equal marriage rights, Justice Anthony Kennedy — the key fifth vote who authored all three of the Court’s most important gay rights decisions — seemed to share Scalia’s concerns. Though he noted that about as much time has passed between the landmark 2003 gay rights case Lawrence v. Texas and today as has passed between Brown v. Board of Education and the Court’s decision striking down racial marriage discrimination, Kennedy fretted that “we’re talking about millennia” that human civilization existed without recognizing same-sex marriages.
Not long after John Bursch, the lawyer defending discrimination, took the podium, however, Kennedy began to sound much more like the justice who supported gay rights in cases like Lawrence.
Curiously, Bursch largely ignored the arguments rooted in history and tradition that animated so many of the conservative justices’ earlier questions, and instead focused on an argument that had little success that last time it was presented to the Court. “When you change the definition of marriage,” Bursch declared, that has “consequences.”
When pressed to explain the consequences, Bursch asked the Court to consider two different couples, one of which believes that marriage exists for the benefit of children, and the other which believes that it exists to foster relationships between adults. If the Court adopts the view of the second couple — a position he claimed the justices would implicitly embrace if they allowed same-sex couples, who cannot procreate, to marry — that will send the message that marriage has little to do with children, which will in turn lead to more children being born out-of-wedlock. The “reasonable voter,” Bursch insisted, could conclude that it was necessary to ban same-sex couples from marrying in order to halt this attenuated chain of events that allegedly ends in more children being born to unmarried couples.
Several justices appeared to disagee with Bursch’s understanding of how a “reasonable voter” would act, but Bursch was not making a novel argument. To the contrary, his argument closely resembled Justice Alito’s dissenting opinion in United States v. Windsor, which argued that the battle over marriage equality is really a battle between two incompatible views of marriage — a “traditional” view which sees marriage as an “exclusively opposite-sex institution and as one inextricably linked to procreation and biological kinship” and a “consent-based” view “that primarily defines marriage as the solemnization of mutual commitment — marked by strong emotional attachment and sexual attraction — between two persons.”
Only one other justice, however, Justice Clarence Thomas, joined this part of Alito’s dissent, so Bursch’s decision to rely so heavily on an argument that only swayed two justices in Windsor was an odd strategic choice.
One justice who did not join Alito’s dissent was Justice Kennedy. As Bursch started to lay out his view that child-centered marriage is different than adult-centered marriage, Kennedy balked. Same-sex couples, Kennedy insisted, want to say that “we too” should be able to enjoy the “dignity” of marriage. He also accused Bursch of presenting an argument which wrongly implied that same-sex couples cannot bond with their children.
Bursch’s response to Kennedy’s concerns was a disaster. After Bursch insisted that marriage was never intended to be “dignitary [sic] bestowing,” Kennedy quipped back “I thought that was the whole purpose of marriage!” Kennedy’s opinion in Lawrence, which outlawed a sex ban targeting a gay couple, explained that “personal decisions relating to marriage, procreation, contraception, family relationships, child rearing, and education” involve “choices central to personal dignity and autonomy,” and “are central to the liberty protected by the Fourteenth Amendment.” So when Kennedy starts accusing a lawyer of denying dignity to gay couples, that’s a major sign that lawyer is in trouble.
An open question is, assuming that there are five votes in favor of marriage equality, how the author of the opinion will construct the Court’s reasoning. Several of the liberal justices seemed prepared to hold that marriage is a fundamental constitutional right that is violated if gay couples are excluded. This would be a sub-optimal outcome for gay rights, as it could still potentially permit states to discriminate against gay men, lesbians, and bisexuals outside of the marriage context. But it was not at all clear that Kennedy was prepared to sign onto a fundamental rights opinion. To the contrary, Kennedy asked Verrilli about a past decision establishing that fundamental rights should be defined narrowly.
In the past, however, Kennedy has not shied away from writing gay rights decisions that are heavy on flowery language and light on ordinary legal reasoning, so he could easily side with marriage equality without providing a doctrinally satisfying explanation for his decision. In any event, however, the argument finished with its clearest sign that Kennedy was likely to side with equality.
After an hour of argument on whether the Constitution protects marriage equality, the Court heard another hour of argument on a limited question — if the Constitution does not require states to issue marriage licenses to gay couples, does it still require those states to recognize same-sex marriages from other states. As several justices pointed out during this argument, the premise of this second question was that supporters of equality had already lost on the first question.
Kennedy, however, was largely silent during the second argument. It was as if he already knew that his answer to the first question would render the second one moot. (http://thinkprogress.org)

Senin, 27 April 2015

Datangnya Budi Waseso & Teriakan 'Siapkan Mobil' di Bareskrim

Datangnya Budi Waseso & Teriakan 'Siapkan Mobil' di Bareskrim Wakil Ketua KPK nonaktif Bambang Widjojanto keluar dari Gedung KPK diiringi para pegawai KPK saat akan diperiksa di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Kamis (23/4). (Antara/Reno Esnir)
 
  Jelang waktu salat asar, Kamis (23/4), pemeriksaan terhadap Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi nonaktif Bambang Widjojanto (BW) di lantai dua Gedung Badan Reserse Kriminal Mabes Polri masih berlangsung. Di luar gedung, situasi mulai berubah.

Setidaknya enam orang polisi berseragam lengkap berjaga-jaga di pintu masuk. Di hadapan mereka, tiga mobil berjajar dijaga dua petugas polisi lain.

Para polisi itu enggan berkomentar apa-apa. Ketika ditanya, dengan wajah tegang mereka menjawab, “Tidak tahu, saya hanya ditugaskan ke sini," ujar personel Polri itu kepada CNN Indonesia. (Baca juga: BW Diperiksa, Pengamanan Bareskrim Tak Biasa).

Vickar Fajar, pengacara yang mendampingi pemeriksaan BW bersama Saor Situmorang mengatakan, jelang asar itu pemeriksaan ditandai dengan beberapa keberatan yang disampaikan oleh BW terkait pemeriksaannya.

Beberapa keberatan yang disampaikan oleh BW, tutur Vickar, adalah belum diterima Berita Acara Pemeriksaan 3 Februari 2015. Belum ada pula jawaban dari Polri terkait surat Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) yang meminta status tersangka BW dicabut dan BW diadili di sidang kode etik Peradi. Polri juga belum melaksanakan rekomendasi Ombudsman dan Komnas HAM.


Di sebelah ruang pemeriksaan, ada sebuah ruangan lagi. Ketika BW tengah menyampaikan protesnya kepada penyidik, Vickar melihat rombongan petinggi Mabes Polri masuk ke ruangan itu.

“Saya lihat Kabareskrim Komisaris Jenderal Budi Waseso, lalu Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Brigadir Jenderal Viktor Simanjuntak masuk ruangan itu bersama beberapa petinggi Polri lain,” tutur Vickar. (Baca juga: Penyidik Polri Simpulkan Bambang Widjojanto Ditahan)

Tak lama setelah beberapa petinggi itu masuk, Vickar mendengar suara cukup keras, mirip teriakan. “Siapkan mobilnya!” Vickar mengatakan, “Kami merasa bahwa setelah itu BW bakal ditahan.”

Dalam pemeriksaan BW, ada kesepakatan bahwa semua alat komunikasi dimatikan. Tetapi Vickar memilih agak nakal dengan tidak mematikan ponselnya.

Sesaat setelah ucapan "Siapkan mobil" itu terdengar, dia segera mengecek berita-berita online. Di luar gedung, santer beredar Polri sudah menyiapkan penahanan buat BW. (Baca juga:Penyidik Siapkan Surat Perintah Penahanan Bambang Widjojanto)

Polisi belakangan tidak menahan BW. Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Brigadir Jenderal Viktor Simanjuntak menyatakan BW kooperatif selama pemeriksaan sehingga penyidik belum merasa perlu menahan BW. Untuk pemeriksaan selanjutnya, Viktor masih belum menyimpulkan. Namun dia memastikan, berkas perkara Bambang akan segera dilimpahkan ke Kejaksaan.

Sebelumnya kepada CNN Indonesia, Viktor mengatakan bahwa penyidik sudah berkesimpulan untuk menahan BW kemarin. Namun keputusan penyidik tersebut belum final lantaran masih menunggu proses pemeriksaan Bambang.

"Keputusan penyidik memang ditahan, tetapi belum final, kami masih menunggu proses pemeriksaan," kata Victor.

Menurut Victor, penyidik juga masih mencari tahu rumah tahanan yang bisa menampung BW jika dia ditahan. Penyidik telah memastikan bahwa Rumah Tahanan Bareskrim Polri tidak lagi bisa menampung tahanan. "Sekarang lagi cek di Rutan Polda Metro Jaya dan Kelapa Dua," ujar Victor. (Baca juga: Penyidik: Bambang Widjojanto Belum Ditahan Hari ini)

(http://www.cnnindonesia.com)

Minggu, 26 April 2015

Asisten Pengacara Ini Kepincut Jadi Hakim


Asisten Pengacara Ini Kepincut Jadi Hakim
bangkapos.com/aladhi
Mardiani

 BEKERJA sebagai asisten pengacara menyeret Mardiani (23) dekat dengan dunia hukum. Gadis berkerudung ini juga sangat akrab dengan persidangan yang digelar di pengadilan. Setiap hari gadis yang akrab disapa Ani ini bertugas di Ruang Posbakum PN Tanjungpandan.
Dunia kerja ini pula yang membuat gadis kelahiran Tanjungpandan, 3 Maret 1992 ini jatuh hati pada profesi hakim. Menurutnya sang pengadil mempunyai wibawa jauh lebih tinggi ketimbang aparat hukum lainnya di negeri ini. Hal tersebut membuat Ani mempunyai cita-cita sebagai seorang hakim.
"Pinginnya mau jadi hakim. Karena kalau hakim itu ada wibawanya, lebih berwibawa dibandingkan lainnya. Terus bisa menciptakan keadilan," ujar Ani kepada Pos Belitung, beberapa waktu lalu sambil tersenyum.
Memimpin sebuah persidangan dengan toga hitam dan duduk di balik meja hijau menjadi mimpi putri tunggal pasangan Sahdi Ali dan Serina ini. Namun pendidikannya yang hanya lulus SMK menghalangi cita-cita Ani saat ini. Ani ingin meneruskan pendidikannya dan mewujudkan mimpi itu.
Saat ini ia bekerja pada seorang pengacara kondang di Kabupaten Belitung. Selain untuk mengasah kemampuannya dalam dunia hukum, Ani juga ingin memiliki tabungan sebagai persiapannya melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.
"Insya Allah kuliah lagi, ini juga kerja sambil nabung untuk kuliah. Biar bisa meraih keinginan," tambah gadis pemilik senyum manis dan ramah ini.
Gadis yang mengaku telah memiliki kekasih ini juga mengatakan ingin tetap bekerja meskipun telah menikah nanti. Sebagai putri tunggal kedua orangtuanya, Ani ingin membantu dan membanggakan kedua orangtuanya. Ia berharap suaminya nanti juga mengizinkan dirinya tetap bekerja.
Seperti semangat RA Kartini yang ingin mengangkat derajat wanita. Menurutnya saat ini wanita tak hanya diam di rumah, namun juga diperbolehkan untuk bekerja. Meskipun ingin tetap bekerja setelah menikah, Ani juga tetap ingin menjadi wanita pada kodratnya. Yakni mengurus rumah tangga yang dibinanya nanti.
"Kalau kerja kan bisa mandiri, biaya hidup bisa terpenuhi. Selain itu bisa bantu-bantu orangtua. Kartini kan dulu memperjuangkan kaum wanita untuk menyeterakan, bukan hanya pria saja yang berkarir, tapi juga wanita," tandas pemilik tubuh mungil ini. (http://bangka.tribunnews.com/)

Biodata:
Nama: Mardiani
Nama Panggilan: Ani
TTL: Tanjungpandan, 3 Maret 1992
Zodiak: Pisces
Umur: 23 tahun
Riwayat Pendidikan
- SD N 45 Tanjungpandan
- SMPN 5 Tanjungpandan
- SMKN 1 Tanjungpandan
Nama Orangtua:
Ayah: Sahdi Ali
Ibu: Serina

Sabtu, 25 April 2015

Tarif Pengacara

Adakalanya suka bertanya-tanya sendiri, berapa sih ahora tarif para pengacara koruptor yang ditangkap KPK. Hayalkan, sang koruptortentu banyak sekali investasinya, dan kasusnya jelas sukar sekali karena terbukti hanya sedikit yang bisa terlepas dari jerat KPK. Kedua hal tersebut saja banyak tentu maka akan membuat Harga pengacara dimana membelanya terkenal tinggi. Serta ditambah publisitas gratis dengan para lawyer tersebut, menyajikan posisi pembela atau penasehat hukum koruptor menjadi referensi yang menggiurkan alih-alih seorang pilihan hal ini karena mengikuti hati nurani.
Nyata masalah harga jasa lawyer pembela adalah sesuatu yang mungkin sangat legal, hanya perbedaan elit evidentemente koruptor serta pengacaranya saja yang mengetahui, jadi kita semua hanya dapat menduga-duga. Tetapi ada kalanya terjadi argument atau perceraian masalah tarif ini, selanjutnya faktanya jua secara gamblang muncul melalui permukaan.
Serta perselisihan akan tarif sistem tersebut terjalin pada terpidana koruptor Billy Sindoro melalui pengacara pembela dirinya, diantaranya Humphrey Djemat dari agency hukum Gani Djemat & Partners. Billy Sindoro, mantan Presdir PT. Direct Eyesight – putra perusahaan Lippo Group, tertangkap tangan melalui KPK selagi menyuap player KPPU (Komisi Pengawasan Geliat Usaha), Muhammad Iqbal, segede 500 ratus rupiah, pada tanggal fourth there’s 16 September 2006 di Motel Aryaduta, Kota Jakarta. Penyuapan terkait diduga mengingat dengan masalah dugaan monopoli Astro, suatu bisnis usaha, atas penayangan Liga Arab. KPPU selesai memutuskan Figura tak terbukti memonopoli tayangan yang paling banyak menyedot penonton televisi tersebut, kemudian Muhammad Iqbal adalah sebuah anggota board sidang KKPU.
Billy seterusnya ditahan di dalam Polres Jakarta Barat akan status tahanan titipan KPK. Setelah serangkaian pemeriksaan KPK, Billy menjalankan sidang perdananya di Peradilan Tipikor Jakarta berlangsung di 9/12/2008, selanjutnya akhirnya divonis bersalah dalam 18/2/2009 oleh hukuman 5% tahun penjara dan denda 200 miliar rupiah.
Lebih kurang hari usai penangkapannya demikian, pada 6/10/2008 Billy menunjuk Humphrey Djemat dari agent hukum Gani Djemat & Partners yang merupakan pengacara pembela. Tarif jasa pengacara disepakati sebesar 5 miliar rupiah, yang kelak meningkat seperti 5 juta rupiah ketika kasus memasuki sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Baik apa yg terjadi, boleh jadi Billy sayang karena lose, honor lawyer ini kemudian mengalami keterlambatan pembayaran. Lalu hingga tenggang pembayaran lemah tempo, honor tak kunjung dibayar. Atas dasar itu, Humphrey juga menggugat Billy secara perdata ke Peradilan Negeri (PN) Tangerang terhadap ingkar komitmen itu.
Gugatan Humphrey disangkal oleh PN Tangerang pada 6/05/2010, dan senasib melalui bandingnya jua ditolak oleh Pengadilan Gede Banten di 22/10/2010.
Masih terus berjuang, Humphrey sendiri kasasi di MA. Akibat Majelis Hakim MA, tekanan Humphrey akhirnya dikabulkan sebagian, dan Billy diharuskan melunasi honor Humphrey, tapi \ seluruhnya, cuma 500 ribu rupiah saja.
Atas vonis ini, giliran Billy dalam tidak peroleh dan melakukan PK. Selanjutnya MA juga dengan berhasil menolak PK dari Billy.
“Menolak doa pemohon PK Billy Sindoro atas termohon Persekutuan Perdata Gani Djemat & Companions, ” itu lansir panitera MA pada websitenya, Senin (27/3/2014).
Apabila 5 th yang lalu aja tarif pelayanan pengacara koruptor saja banyak 5 miliar rupiah, entah berapa harga mereka di dalam tahun terkait, tentu pernah naik, menjejaki inflasi selanjutnya trend atravesar. (http://infohukumdanpengacara.esy.es)

Jumat, 24 April 2015

PERADI Tegaskan Sistem Perwakilan Sesuai AD/ART


Pemerintah meminta MK menolak permohonan ini atau setidaknya tidak dapat diterima.

PERADI Tegaskan Sistem Perwakilan Sesuai AD/ART
Perwakilan DPN PERADI dalam sidang pengujian UU Advokat, Selasa (21/4). Foto: RES
 
Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) menegaskan mekanisme pemilihan Ketua Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Peradi menggunakan sistem perwakilan sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga organisasi Desember 2004. Karena itu, permintaan pemohon menyangkut mekanisme pemilihan one man one vote di Mahkamah Konstitusi (MK) tidak beralasan dan hanya persoalan implementasi undang-undang (UU).

Pengurus DPN Peradi yang hadir di Mahkamah Konstitusi, Victor Harlen Sinaga mengatakan mekanisme pemilihan adalah urusan internal organisasi murni dan tidak ada hubungannya dengan persoalan tatanan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. “Itu hanya urusan implementasi norma,” ujar Harlen Sinaga usai sidang pengujian UU Advokat di gedung MK Jakarta, Selasa (21/4).

Harlen mengatakan pengaturan mekanisme pemilihan dan pengangkatan pengurus organisasi profesi manapun selalu dituangkan dalam aturan internal organisasi, bukan dalam undang-undang. Sehingga, hanya orang-orang terlibat di dalamnya yang mengetahui secara persis mekanisme yang sesuai dengan organisasi profesinya.

Anggaran Dasar Peradi, kata dia, jelas menyebutkan pemilihan ketua DPN dan pengurusnya menggunakan mekanisme sistem perwakilan. Dengan begitu, jelas persoalan mekanisme sistem pemilihan ketua DPN Peradi bukan persoalan konstitusionalitas.

“Ini (mekanisme one man one vote) hanya keinginan si subjek hukum dalam hal ini advokat yang ada dalam organisasi, bukan persoalan konstitusionalitas. Ini sama halnya dengan tata cara pelaksanaan pemilihan kepengurusan di organisasi profesi dokter dan notaris,” tegasnya.

Dia mengkritik argumentasi pemohon yang menyatakan ada dua organisasi advokat yang mengklaim sebagai wadah tunggal organisasi advokat yang sah. Padahal, hanya Peradi yang dianggap sebagai wadah tunggal organisasi advokat. “Adanya dua organisasi advokat yang sah harus dikoreksi,” harapnya.

Harlen tak sepakat jika Pasal 28 UU Advokat dianggap melanggar Pasal 28 ayat (1) UUD 1945 yang menjamin hak kebebasan berserikat. Sebab,  organisasi advokat di luar Peradi masih tetap ada. Awalnya, ada delapan  organisasi advokat yang kemudian membentuk Peradi sebagai wadah tunggal yang diberi beberapa kewenangan yang diamanatkan UU Advokat.

“Organisasi advokat di luar Peradi tidak diberi kewenangan yang diamanatkan UU Advokat, seperti pengangkatan advokat, pendidikan profesi advokat, memberhentikan advokat, membentuk kode etik. Ini tidak diberikan organisasi advokat,” imbuhnya.

Pemerintah yang diwakili Dirjen Peraturuan Perundang-undangan Kemenkumham Wicipto Setiadi menyatakan hilangnya hak suara advokat lain dalam pemilihan Ketua DPN Peradi hanya persoalan implementasi norma. Lagipula, Pasal 28 UU Advokat tidak bertentangan dengan UUD 1945 berdasarkan tafsir putusan MK sebelumnya.

“Ini sebenarnya hanya persoalan implementasi, bukan isu konstitusionalitas norma,” kata Wicipto dalam persidangan yang diketuai Arief Hidayat.

Menurutnya, sistem pemilihan tidak langsung (perwakilan) mengakibatkan kerugian bagi para advokat tidak beralasan. Selain persoalan implementasi norma, pemerintah beralasan Peradi hanya organisasi tunggal advokat yang menjalankan delapan  kewenangan yang diatur dalam UU Advokat. Sementara organisasi advokat lainnya masih dapat menjalankan kewenangan sesuai asas-asas yang diatur UU Advokat. “MK seharusnya menolak permohonan ini atau setidaknya tidak dapat diterima,” pintanya.

Sebelumnya, sejumlah advokat yakni Ikhwan Fahrojih, Aris Budi Cahyono, Muadzim Bisri, dan Idris Sopian Ahmad mempersoalkan Pasal 28 ayat (1), (2) UU Advokat terkait penentuan susunan kepengurusan organisasi advokat. Dalam hal ini, pemilihan ketua umum DPN PERADI yang pada Munas April 2010 di Pontianakdisepakati menggunakan sistem one man one vote.  Mereka menganggap Pasal 28 ayat (2) UU Advokat multitafsir karena dapat ditafsirkan sistem perwakilan atau one man one vote. (satu advokat, satu suara).

Para pemohon merasa ketentuan itu melanggar hak konstitusionalnya termasuk para advokat lain yakni melanggar hak mengeluarkan pendapat, kepastian hukum yang adil, dan hak untuk tidak didiskriminasi selaku profesi advokat. Sebab, hanya sebagian kecil advokat yang diberi hak memilih calon ketua umum Peradi, sebagian besarnya termasuk para pemohon tidak diberi hak memilih.

Menurutnya, Pasal 28 ayat (2) UU Advokat ini mengandung makna kedaulatan tertinggi ada di tangan para advokat sendiri terkait pemilihan kepengurusan organisasi advokat. Namun, hal ini dimaknai kurang tepat melalui Pasal 32 AD Peradi Desember 2004 dimana hak suara dalam Munas diwakili DPC dengan ketentuan setiap 30 anggota Peradi di suatu cabang memperoleh satu suara (perwakilan). Karenanya, mereka meminta MK menafsirkan Pasal 28 UU Advokat sepanjang dimaknai tata cara pemilihan pengurus pusat organisasi advokat dilakukan para advokat secara individual yang ditetapkan dalam AD/ART.(www.hukumonline.com)

Kamis, 23 April 2015

Dirugikan Aturan PK Sekali, Advokat Uji UUMA



Majelis menyarankan agar lebih baik klien pemohon yang mengajukan permohonan ini sebagai prinsipal.
Dirugikan Aturan PK Sekali, Advokat Uji UUMA
(Ki-Ka) Muhamad Zainal Arifin selaku Pemohon didampingi kuasanya Riko Wibawa Sitanggang dan Heru Setiawan hadir dalam sidang perdana pemeriksaan perkara pengujian UU MA, Selasa (21/4). Foto: Humas MK
Meski putusan MK bernomor 34/PUU-XI/2013 telah menyatakan peninjauan kembali (PK) boleh diajukan berkali-kali melalui uji materi Pasal 268 ayat (3) KUHAP. Namun, ternyata ketentuan yang membatasi pengajuan PK hanya sekali masih bercokol di Pasal 66 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 sebagaimana diubah dengan UU No. 3 Tahun 2009 tentang MA dan Pasal 24 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Dua ketentuan itulah yang kini tengah dimohonkan pengujian oleh Muhammad Zainal Arifin yang berprofesi sebagai advokat dan konsultan hukum di MK. Pemohon menganggap ketidakselarasan antar undang-undang yang mengatur soal PK ini menimbulkan ketidakpastian hukum.

Dalam sidang perdana kuasa hukum pemohon, Riko Wibawa Sitanggang, menilai ketentuan yang membatasi PK hanya sekali di UU MA dan UU Kekuasaan Kehakiman tidak sesuai  dengan konstitusi. Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang menyebutkan permintaan PK atas suatu putusan hanya dapat satu kali saja sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 melalui putusan MK No. 34/PUU-XI/2013 tertanggal 6 Maret 2013.

“Putusan MK itu menjadi dasar, bahwa pengaturan antar undang-undang harus konsisten dan koheren satu dengan lainnya, tidak boleh kontradiksi agar dapat memberikan jaminan kepastian hukum yang adil,” ujar Riko dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang diketuai Anwar Usman di ruang sidang MK, Selasa (21/4). Anwar Usman didampingi Patrialis Akbar dan Aswanto sebagai anggota majelis panel.

Pasal 66 ayat (1) UU MA menyebutkan permohonan PK dapat diajukan hanya satu kali. Sedangkan, Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan terhadap putusan PK tidak dapat dilakukan PK.

Riko melanjutkan akibat adanya aturan itu permohonan PK perkara pidana yang diajukan lebih dari satu kali tidak dapat diterima berdasarkan penetapan ketua pengadilan negeri dan berkas permohonan PK tidak akan dikirimkan ke MA. Alasannya, terdapat SEMA No. 7 Tahun 2014 yang membatasi PK hanya sekali dimana Pasal 66 ayat (1) UU MA dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman menjadi dasar penerbitan SEMA ini.

Dia mengungkapkan akibat aturan yang membatasi PK ini, upaya hukum PK lebih dari satu kali yang diajukan kliennya berpotensi tidak diterima pengadilan. Padahal, permohonan PK-nya terdapat novum yang dapat mempengaruhi putusan sebelumnya, seperti keterangan saksi dan bukti transfer yang menunjukan klien pemohon tidak menikmati uang korupsi. Novum yang subtansial ini baru ditemukan di kemudian hari.

“Pembatasan PK ini dinilai membuat pemohon selaku advokat berpotensi dirugikan karena tidak dapat melakukan upaya hukum maksimal (PK lebih dari sekali) dalam mendampingi klien,” akunya.

Dalam pertitumnya, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 66 ayat (1) UU MA dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, apabila permohonan PK dapat diajukan hanya satu kali berlaku untuk perkara pidana.

Menanggapi permohonan, Patrialis Akbar meminta agar pemohon memperjelas kerugian konstitusionalnya. Sebab dalam permohonannya kerugian pemohon dilandaskan pada kerugian yang dialami kliennya. Ia pun menyarankan agar lebih baik klien pemohon yang mengajukan permohonan ini sebagai prinsipal.

Menjawab pertanyaan Patrialis, Zainal mengatakan sebagai advokat ia telah disumpah untuk menegakkan hukum. Jadi, apabila ada kliennya tidak bisa mengajukan upaya PK untuk kedua kali karena ada ketentuan yang dibatasi PK hanya sekali hal tersebut juga menjadi kerugiannya. Sebab, akibat pembatasan PK tersebut, dirinya merasa tidak bisa menegakkan kebenaran dan keadilan.

“Saya sudah berdiskusi dengan klien saya agar dia yang mengajukan uji materi ke MK. Tetapi, ini sebenarnya masalah strategi saja. Klien saya sudah ajukan PK ditolak. Lalu sudah ada beberapa novum mau ajukan PK lagi. Kalau klien saya yang ajukan sebagai pemohon, untuk upaya PK yang kedua kali takutnya MA dendam,” ungkapnya.

Dia mengingatkan yang mengajukan uji materi harus memiliki hak konstitusional yang dirugikan atau potensial dirugkan dengan berlakunya norma. “Pemohon harus memiliki kerugian langsung, kalau yang mengajukan memiliki kerugian langsung MK tidak akan kesulitan mencari legal standing pemohon. Ini agar dipikirkan kembali soal kedudukan hukum pemohon,” ujarnya mengingatkan.

Patrialis pun menjelaskan putusan MK No. 34/PUU-XI/2013 yang tidak membatasi pengajuan PK dan membatasi tindak pidana karena berhubungan dengan perspektif keadilan. “Kalau novum klien pemohon memang betul ada, maka tidak ada alasan untuk menolak PK,” kata Patrialis. (www.hukumonline.com)

Rabu, 22 April 2015

Muntah Darah, Advokat Berstatus Terdakwa 'Dipaksa' Sidang


AAI telah melaporkan majelis hakim terkait ke MA.
Muntah Darah, Advokat Berstatus Terdakwa 'Dipaksa' Sidang
Ayu Anggaini tampat lemas di ruang sidang. Foto: Dok AAI
Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) menyoroti proses persidangan yang dijalani salah satu anggotanya, Ayu Anggraini yang berstatus terdakwa kasus pemalsuan di Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan. AAI menuding majelis hakim yang diketuai Muhammad Damis memperlakukan Ayu secara tidak manusiawi, khususnya pada persidangan yang digelar 4 November 2014 dan 9 Desember 2014.

Pada dua momen itu, Ayu yang sedang menderita sakit asma bronchialesehingga sempat muntah darah dipaksa untuk tetap menjalani persidangan. AAI menyatakantindakan majelis hakim patut dianggap melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakimyang telah disepakati bersama antara Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY).

“Pada persidangan 4 November dan 9 Desember 2014,anggota kami itu muntah darah ketika menjalani proses persidangan. Tapi, majelis hakim sepertinya kurang peduli terhadap kesehatan Anggraini, karena sidang tetap dilanjutkan,” papar Ketua Umum DPP AAI, Humphrey Djemat dalam siaran pers, Selasa (13/1).

Humphrey mempersoalkan sikap majelis hakim yang memaksakan sidang, padahal sakit yang dialami Ayu didukung keterangan dari dokter Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas I Makassar, Wahida Jalil, yang menyatakan Ayu harus mendapat perawatan intensif dari dokter ahli penyakit dalam. Keterangan itu lalu diperkuat oleh Kepala Rutan,Budi Sarjono.

Tidak hanya dokter Rutan, Humphreymenyebut dokter pada Rumah SakitBhayangkara dan Rumah SakitStella Maris,Makassar yang telah melakukan pemeriksaan medis terhadap Ayu, juga menyatakan hal yang sama.

“Sayangnya, semua keterangan perihal penyakit anggota kami, serta saran dari dokter maupun Kepala Rutan agar diperlukan perawatan di luar Rutan, tidak ditanggapi majelis hakim. Pada persidangan 9 Desember 2014, (Ayu) Anggraini muntah darah dan lunglai di hadapan hakim. Kini dia dirawat di RS Pelamonia,” jelasnya.

Humphrey semakin mempertanyakan rasa kemanusiaan majelis hakim karena permohonan penangguhan penahanan yang diajukan tim kuasa hukum Ayu sejak 14 Oktober 2014, sampai saat ini belum dikabulkan.

Atas dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim ini, AAI telah melaporkan majelis hakim terkait ke MA pada 8 Januari 2015. AAI, kata Humphrey, berharap Ketua MA mencopot ketiga hakim yakni Muhammad Damis, Bonar Harianja dan Kristijan P. Djatipara hakim sebagai majelis hakim yang mengadili Ayu.

“Tindakan mereka itu kami anggap telah melanggar kode etik profesi hakim. Kenapa kami melapor ke MA? Sebagaimana ketentuan Pasal 32 ayat (1) dan (2) UU Nomor14Tahun 1985 tentang MA, yang kemudian diubah menjadi UU Nomor 5Tahun 2004, lembaga ini (MA) yang berhak mengawasi perilaku hakim,” papar Humphrey.

Humphrey berharap laporan AAI segera ditanggapi oleh Ketua MA, khususnya Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisial, yang saat ini dijabat Suwardi. Sebab, jika dibiarkan begitu saja, perilaku seperti yang ditunjukkan majelis hakim perkara Ayuakan menimbulkan preseden buruk bagi profesi hakim.

“Tindakan hakim yang dinilai kurang manusiawi ini saja terjadi pada advokat, profesi yang setara dengan hakim di dalam Catur Wangsa, bagaimana jika dialami masyarakat awam hukum. Dapat dipastikan akan lebih parah lagi,” katanya membandingkan.

Untuk diketahui, Ayu Anggraini berstatus terdakwa karena diduga melakukan delik pemalsuan. Bersama kliennya yang bernama Husain Lewa, Ayu diduga melakukan pemalsuan surat keterangan akta cerai pada catatan sipil. Penuntut umum menjerat Ayu dengan Pasal 242 ayat (1) jo Pasal 55 KUHP.
  (www.hukumonline.com)

Selasa, 21 April 2015

BW Tantang Polri Percepat Kasusnya


BW Tantang Polri Percepat Kasusnya
IST
 Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif Bambang Widjojanto (BW) menantang Polri untuk segera mempercepat penanganan kasus hukumnya. BW mengaku akan tunduk terhadap proses hukum yang berjalan.

BW menyatakan, penundaan penanganan kasus yang melilitnya justru menimbulkan tanda tanya. ”Saya tidak mau berlama- lama. Kasus saya kalau memang perlu dilanjutkan, tolong dilanjutkan. Kalau memang harus dihentikan, ya dihentikan. Kalau menunda berarti menunda keadilan. Karena kita mau melanjutkan agenda pemberantasan korupsi,” tandas BW seusai menghadiri diskusi di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta, kemarin.

Kesepakatan untuk menunda pemeriksaan terhadap pimpinan KPK nonaktif, menurut BW, merupakan inisiasi dari pimpinan penegak hukum. Masalahnya, tidak ada kejelasan terkait langkah apa yang akan diambil setelah cooling down. BW menyadari, ketidakjelasan status hukumnya dimungkinkan lantaran ada kekosongan kepemimpinan di tubuh Polri saat itu.

”Setelah coolingdown apa tindaklanjutnya? inikan belum jelas, seharusnya jelas. Tapi mungkin kemarin belum ada kapolri, ini dengan kepemimpinan kapolri pasti akan ada komunikasi lagi antara pimpinan penegak hukum untuk menindaklanjuti,” katanya.

Apalagi, menurut BW, Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) sebelumnya telah melayangkan surat kepada kapolri tentang perlindungan profesi advokat. Isinya meminta peninjauan kembali dan mempertimbangkan untuk mencabut status tersangka BW. Sebab, yang berhak menilai dan menguji etika advokat atas profesinya adalah organisasi profesi, bukan lembaga lain. ”Saya belum dapat jawabannya, saya akan cek lagi ke organisasi profesi,” katanya.

Di sisi lain, BW memiliki harapan besar terhadap Kapolri baru Jenderal Pol Badrodin Haiti untuk membangun sinergi dan kerja sama antarlembaga penegak hukum dalam upaya pemberantasan korupsi.

BW berpesan, agar tidak terjadi kriminalisasi dengan melakukan justifikasi untuk menersangkakan seseorang demi kepentingan oligarki. ”Kriminalisasi ini terjadi juga di daerah, dialami petani yang ingin memperjuangkan haknya. Semua orang ini menjadi korban karena kekuatan kekuasaan. Instrumen hukum dijadikan alat untuk menghukum orang yang melawan statusquo,” ujarnya.

Kepala Bareskrim Komjen Pol Budi Waseso menandaskan, Bareskrim tetap akan melanjutkan proses hukum terhadap kasus BW yang akan dilakukan dalam jangka dekat. ”Tetap lanjut, secepatnya kita tindak lanjuti,” kata Budi Waseso saat dihubungi via telepon.

Terkait usulan gelar perkara terhadap kasus BW yang diajukan tim kuasa hukum BW dan tak direspon Bareskrim, Budi mengatakan, itu bukan wewenang BW. ”Bukan urusannya itu, apa hak dia?” tandasnya.

Anggota Tim Advokasi Anti- Kriminalisasi Dadang Trisasongko menyampaikan, kriminalisasi terhadap pimpinan KPK nonaktif yang kemudian diikuti para pendukung KPK dan aktivis antikorupsi setelah penetapan Komjen Pol Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka mengindikasikan adanya kekuatan oligarki yang ingin melemahkan gerakan perlawanan terhadap korupsi.

Apalagi, pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menghentikan kriminalisasi hanya ditindaklanjuti dengan penundaan pemeriksaan, bukan penghentian. ”Kriminalisasi merupakan teror dan pesan kepada publik agar jangan coba-coba melawan kekuatan tertentu di negeri ini. Kalau berani, nasibnya akan sama seperti mereka. Ini seperti mengulang zaman Orba dan ironi bagi perjuangan demokrasi kita,” katanya.

Karena itu, Dadang meminta agar kasus hukum BW dikembalikan kepada organisasi profesi untuk menanganinya. Organisasi profesi, menurutnya, lebih tepat menangani itu karena pelanggaran yang dituduhkan kepada BW menyangkut etika profesi. (http://www.koran-sindo.com)

Senin, 20 April 2015

PERBEDAAN MEDIASI LITIGASI DAN NON LITIGASI



  1. Pengertian Mediasi
Mediasi adalah cara penyelesaian dengan melibatkan pihak ketiga, yaitu pihak ketiga yang dapat diterima (accertable) Artinya para pihak yang bersengketa mengizinkan pihak ketiga untuk membantu para rihak yang bersengketa dan membantu para pihak untuk mencapai penyenyelesaian. Meskipun demikianak septabilitas tidak berarti- para pihak selalu berkehendak untuk melakukan atau menerima sepenuhnya apa yang dikemukakan pihak ketiga. Mediasi menurut PerMa No.2 Tahun 2003 : Yaitu suatu penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dibantu oleh mediator.


  1. Mediasi Litigasi


Setiap perkara perdata dilatar belakangi oleh ketidak puasan seseorang atau beberapa orang (pihak penggugat) terhadap seseorang atau beberapa orang lain (pihak tergugat), yang menurut pihak penggugat ada hak-haknya yang telah dilanggar oleh pihak tergugat, atau ada kewajiban tergugat kepada penggugat yang tidak dilaksanakan oleh tergugat.
Penggugat karena telah berkali-kali meminta haknya kepada tergugat, tidak juga berhasil kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan, dengan harapan Hakim dapat mengembalikan hak penggugat atau menghukum tergugat memenuhi kewajibannya.

Kemudian Hakim dibebani kewajiban untuk dapat mendamaikan para pihak melalui jalur mediasi, dan boleh jadi para pihak menunjuk mediator yang bukan Hakim atau orang lain di luar Pengadilan.
Lain hal dengan Pengadilan di Jepang, masyarakat lebih memilih mengajukan permohonan minta didamaikan oleh Pengadilan (Permohonan konsiliasi/Cote) bukan mengajukan gugatan, dan umumnya berhasil. Persidangan konsiliasi/Cote dipimpinoleh seorang Hakim dan didampingi oleh dua orang konsiliator, dua orang konsiliator tersebut ada diantaranya pensiunan Hakim, atau Pengacara yang kawakan, atau dokter ahli, atau ahli pertanahan, tokoh masyarakat, dlsb. Para konsiliator diberi honor oleh Pemerintah Jepang. Ada juga perdamaian yang terjadi di Pengadilan Jepang berdasarkan gugatan, dan hasil perdamaiannya disebut Wakai.
Mahkamah Agung dengan PERMA Nomor 2 Tahun 2003 memakai system mediasi, hal itu yang akan dibahas dalam Bab berikutnya.
Pengadilan telah memanggil pihak-pihak untuk bersidang, kemudian para pihak atau wakilnya datang menghadap, maka Ketua Majelis Hakim wajib menunda persidangan guna menempuh perdamaian dengan para pihak menunjuk mediator, boleh jadi kesepakatan para pihak atau wakilnya untuk menunjuk salah seorang Hakim di Pengadilan atau Panitera / Panitera Pengganti, atau orang lain di luar daftar mediator yang ada di Pengadilan. Perihal tentang mediasi adalah menggali kehendak UU (Pasal 30 HIR / Pasal 154 R.Bg)

Praktek yang telah lama berjalan, adalah Upaya Majelis Hakim menasehati pihak-pihak berperkara dalam persidangan pertama tersebut, kemudian menawarkan kepada para pihak atau wakilnya agar mau menyelesaikan sengketanya secara damai. Proses menasehati dan menawarkan perdamaian inilah yang menurut pandangan Mahkamah Agung, sebagai upaya yang belum sungguh-sungguh pelaksanaannya oleh Majelis Hakim Pengadilan Tingkat Pertama, dan oleh karenanya lahirlah PERMA Nomor 2 Tahun 2003 tersebut. “Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator”.
Dari pengertian mediasi sebagaimana tersebut diatas, mengandung makna, yakni para pihak diharapkan dapat mencapai kesepakatan yang menguntungkan bagi kedua belah pihak melalui jalur perundingan dengan dibantu oleh seorang mediator. Dengan adanya kesepakatan yang telah dibuat oleh kedua belah pihak diharapkan dapat meminimalisir terbuangnya waktu serta biaya yang akan dikeluarkan oleh mereka dalam menyelesaikan sengketa.
Beberapa hal yang harus mendapat perhatian penuh dari pimpinan pengadilan, antara lain :

  • Telah memiliki daftar mediator;
  • Menyediakan tempat untuk pelaksanaan mediasi;

Pada prinsipnya apabila para pihak atau wakilnya hadir dalam persidangan pertama, kemudian majelis hakim berupaya menasehati dan mengarahkan para pihak agar memilih penyelesaian secara damai, maka jika para pihak sepakat untuk berdamai dan minta kepada Pengadilan agar menerbitkan akta perdamaian, Pengadilan cukup sekali bersidang pada hari itu saja dengan produk akta perdamaian. Sekiranya para pihak sepakat untuk membuat perdamaian sendiri di luar persidangan dan penggugat mencabut gugatannya, hal tersebut juga dibolehkan. Bedanya produk Pengadilan berupa akta perdamaian, sengketa kedua belah pihak benar-benar berakhir, sudah tidak dimungkinkan lagi untuk diajukan kembali ke Pengadilan manapun, baik tingkat pertama, banding maupun kasasi, hal demikianlah yang dimaksudkan dengan pasal 130 ayat (1) HIR / pasal 154 ayat (1) R.Bg jo. Pasal 130 ayat (3) / pasal 154 ayat (3) R.Bg jo. Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 1985.
Sedangkan perdamaian antara kedua belah pihak yang terjadi di luar persidangan pengadilan, biasa disebut dengan istilah “dading”. Perdamaian dading mengikat kedua belah pihak yang berdamai, diharapkan keduanya tunduk dan mematuhi isi kesepakatan yang mereka perbuat, tetapi jika salah satupihak tidak mau melaksanakan isi kesepakatan tersebut, maka pihak yang merasa dirugikan tidak dapat memohon kepada Pengadilan untuk dieksekusi, dan sekalipun surat perdamaian tersebut dibuat dihadapan Notaris. Yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan baru.
“Segala perdamaian diantara para pihak mempunyai suatu kekuatan suatu putusan Hakim dalam hukum yang penghabisan, tidak dapatlah dibantah dengan alasan kekhilafan mengenai hukum atau dengan alasan salah satu pihak dirugikan “ (Pasal 1858 KUHPerdata).
Bila upaya perdamaian tersebut tidak berhasil, barulah ditempuh upaya mediasi :
  • Ketua atau Anggota Majelis tidak diperbolehkan bertindak sebagai mediator.
Problemnya : di lingkungan Peradilan Agama, Hakim masih sangat terbatas, para pihak sepakat Hakim A lah yang mereka sukai sebagai penengah, padahal Hakim A adalah Ketua atau Anggota Majelis perkara tersebut. Perlu ada pengecualian untuk Pengadilan Agama yang masih kekurangan tenaga Hakim.
  • Mediator harus telah memiliki “sertifikat”.

Problemnya : persyaratan tersebut tidak tercantum dalam definisi mediator. Pasal 1 ayat (5) menyatakan :”Mediator adalah pihak yang bersifat netral dan tidak memihak, yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa”. Menurut hemat penulis, upaya perdamaian yang telah dicanangkan sejak Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002, kemudian diganti dengan PERMA Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, perlu segera ditindaklanjuti dengan mempedomani PERMA tersebut, dan ketentuan keharusan menunggu adanya pensertifikatan, justru menghambat pelaksanaan mediasi, perlu adanya terobosan bagi Pengadilan guna mengatasi hambatan tersebut, dengan berpatokan kepada definisi mediator tersebut diatas.
Adapun beberapa prinsip dari lembaga mediasi, adalah:
  1. Pada prinsipnya mediasi bersifat sukarela

Pada prinsipnya inisiatif pilihan penyelesaian sengketa melalui mediasi tunduk pada kesepakatan para pihak. Hal ini dapat dilihat dari sifat kekuatan mengikat dari kesepakatan hasil mediasi didasarkan pada kekuatan kesepakatan berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata. Dengan demikian pada prinsipnya pilihan mediasi tunduk pada kehendak atau pilihan bebas para pihak yang bersengketa. Mediasi tidak bisa dilaksanakan apabila salah satu pihak saja yang menginginkannya.
Pengertian sukarela dalam proses mediasi juga ditujukan pada kesepakatan penyelesaian. Meskipun para pihak telah memilih mediasi sebagai cara penyelesaian sengketa mereka, namun tidak ada kewajiban bagi mereka untuk menghasilkan kesepakatan dalam proses mediasi tersebut. Sifat sukarela yang demikian didukung fakta bahwa mediator yang menengahi sengketa para pihak hanya memiliki peran untuk membantu para pihak menemukan solusi yang terbaik atas sengketa yang dihadapi para pihak. Mediator tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan sengketa yang bersangkutan seperti layaknya seorang hakim atau arbiter. Dengan demikian tidak ada paksaan bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka dengan cara mediasi.
Dalam hukum di Indonesia, praktek mediasi pada umumnya juga didasarkan pada pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Dalam konteks sengketa konsumen pengguna mediasi bersifat sukarela sebagaimana diatur dalam pasal 45 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1999 yang berbunyi:
“Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa”.

  1. Lingkup sengketa pada prinsipnya bersifat keperdataan

Jika dilihat dari berbagai peraturan setingkat Undang-undang yang mengatur tentang mediasi di Indonesia dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya sengketa-sengketa yang dapat diselesaikan melalui mediasi adalah sengketa keperdataan. Pasal 30 ayat (2) UU No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup. Demikian pula pada pasal 75 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan sebagaimana dirubah dengan UU No. 19 Tahun 2004 mengatakan penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana sebagaimana diatur dalam UU kehutanan tersebut. UU No. 30 Tahun 1999 meskipun tidak tegas seperti kedua UU terdahulu, namun dari ketentuan pasal 5 ayat (1) berbunyi: “sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan perundang-undangan dikuasai oleh pihak yang bersengketa”, dapat dipahami bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa perdagangan dan sengketa hak yang bersifat keperdataan saja.

  1. Proses sederhana

Sifat sukarela dalam mediasi memberikan keleluasaan pada pihak untuk menentukan sendiri mekanisme penyelesaian sengketa mediasi yang mereka inginkan. Dengan cara ini, para pihak yang bersengketa tidak terperangkap dengan formalitas acara sebaimana dalam proses litigasi. Para pihak dapat menentukan cara-cara yang lebih sederhana dibandingkan dengan proses beracara formal di Pengadilan. Jika penyelesaian sengketa melalui litigasi dapat selesai bertahun-tahun, jika kasus terus naik banding, kasasi, sedangkan pilihan penyelesaian sengketa melalui mediasi lebih singkat, karena tidak terdapat banding atau bentuk lainnya. Putusan bersifat final and binding yang artinya putusan tersebut bersifat inkracht atau mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Istilqh “final” berarti putusan tersebut tidak membutuhkan upaya hukum lanjutan. Pengertian “mengikat” atau “Binding” adalah memberikan beban kewajiban hukum dan menuntut kepatuhan dari subjek hukum. Di dalam Hukum Acara Perdata dikenal teori res adjudicate pro veritare habetur, yang artinya apabila suatu putusan sudah tidak mungkin diajukan upaya hukum, maka dengan sendirinya putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde) dan oleh karenanya putusan tersebut mengikat para pihak yang bersengketa.
Sebagai konsekuensi cara yang lebih sederhana ini, maka mediasi sering dianggap lebih murah dan tidak banyak makan waktu jika dibandingkan dengan proses litigasi atau berperkara di Pengadilan.

  1. Proses mediasi tetap menjaga kerahasiaan sengketa para pihak
Mediasi dilaksanakan secara tertutup sehingga tidak setiap orang dapat menghindari sessi-sessi perundingan mediasi. Hal ini berbeda dengan badan peradilan dimana sidang umumnya dibuka untuk umum. Sifat kerahasiaan dari proses mediasi merupakan daya tarik tersendiri, Karena para pihak yang bersengketa pada dasarnya tidak suka jika persoalan yang mereka hadapi dipublikasikan kepada umum.

  1. Mediator bersifat menengahi

Dalam sebuah proses mediasi, mediator menjalankan peran untuk menengahi para pihak yang bersengketa. Peran ini diwujudkan melalui tugas mediator yang secara aktif membantu para pihak dalam memberikan pemahamannya yang benar tentang sengketa yang mereka hadapi dan memberikan alternative solusi yang terbaik bagi penyelesaian sengketa diajukan mediator sepenuhnya berada dan ditentukan sendiri oleh kesepakatan para pihak yang bersengketa. Mediator tidak dapat memaksakan gagasannya sebagai penyelesaian sengketa yang harus dipatuhi.
Prinsip ini kemudian menuntut mediator adalah orang yang memiliki pengetahuan yang cukup luas tentang bidang-bidang terkait yang dipersengketakan oleh para pihak.
Bila diperhatikan berbagai macam cara untuk penyelesaian sengketa memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing, misalnya pencapaian consensus bersama yang terjadi dalam Hukum Adat Indonesia, di samping menyelesaikan sengketa tertentu, juga membantu membangun dan melindungi komunitas, tetapi kadang kala yang muncul dalam upaya untuk memperoleh kesepakatan hanya berupa bentuk pemaksaan yang terselubung, yaitu para pihak yang bersengketa dipaksa menyetujui demi kepentingan pihak komunitas. Pada beberapa kasus seperti ini, kebutuhan dan kepentingan pihak yang bersengketa mungkin tidak terpenuhi sama sekali. Hal ini tentunya merugikan pihak yang bersengketa.

Tugas mediator telah diatur di dalam Bab III PERMA Nomor 2 Tahun 2003, ada beberapa hal yang tidak diatur di daalam PERMA. Menurut hemat penulis perlu ditempuh oleh para mediator, yaitu antara lain:
Tugas pertama seorang mediator: adalah memberikan nasehat dan mengarahkan para pihak atau wakilnya agar mau menyelesaikan sengketanya secara damai, setelah selesai memberikannasehat atau pengarahan, kemudian pihak tergugat dipersilahkan menunggu di luar ruangan dan mediator melanjutkan dengan memberikan kesempatan kepada pihak penggugat atau kuasanya mengungkapkan sejelas-jelasnya permasalahan yang menjadi sengketa sejak awal hingga keadaan yang sekarang, kemudian mediator memberikan pandangannya bagaimana sebaiknya mengatasi permasalahan tersebut sehingga pihak penggugat tidak dirugikan dan pihak tergugat juga diberi kemudahan-kemudahan memenuhi tuntutan tersebut. Kemudian penggugat disuruh menunggu di luar dan tergugat atau kuasanya dipanggil masuk, mediator mempersilahkan tergugat memberikan keterangannya sehubungan dengan adanya tuntutan pihak penggugat. Bila ada hal-hal yang janggal atau kurang jelas keterangan tergugat mediator mengajukan pertanyaan- pertanyaan atau minta kejelasan dari tergugat tentang hal-hal yang belum ditanggapi oleh tergugat, setelah selesai, mediator menawarkan beberapa solusi agar sengketa tersebut dapat selesai secara damai.
Tugas kedua seorang mediator: adalah memanggil kedua belah pihak memasuki ruang mediasi, mediator mempersilahkan pihak penggugat atau kuasanya mengajukan poin-poin tuntutannya dan bila ada solusi damai yang ditawarkannya hendaknya diajukan secara tertulis, bila ada hal yang dianggap mediator belum konkrit, mediator meminta agar penggugat mengulangi dan menjelaskan hal tersebut. Selanjutnya agar tergugat memberikan tanggapannya serta solusi damai yang ditawarkannya secara tertulis, dan mediator meminta kejelasan hal-hal yang dianggap kurang jelas.
Tugas ketiga seorang mediator: adalah mengelompokkan bagian-bagian yang telah disepakati, bila semua bagian telah disepakati berarti mediator berhasil mendamaikan para pihak, bila masih ada bagian yang belum disepakati maka pertemuan dilanjutkan pada hari dan tanggal yang telah disepakati bersama, dan mediator mengingatkan kepada para pihak untuk berfikir kembali dan mengajukan tawaran jalan keluar atas hal-hal yang belum disepakati tersebut secara tertulis dan diajukan kepada mediator pada hari dan tanggal yang telah disepakati tersebut.
            Prosedur Mediasi di pengadilan
Peraturan Mahkamah Agung RI. No.2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di pengadilan, konsideranya adalah; untuk mengurangi penumpukan perkara, merupakan salah satu cara menyelesaikan perkara lebih cepat dan murah, bersesuian dengan Pasal 130 HIR atau pasal P 153 RBg.
Sifat Mediasi :
  1. Wajib (Mandatory) atas seluruh perkara perdata yang diajukan kepengadilan Tk.1
  2. Hakim mewajibkan para pihak menempuh lebih dahulu proses mediasi;
  3. Hakim wajib memunda siadang dan memberikan kesempatan para pihak untuk mediasi;
  4. Hakim wajib memberikan penjelasan ttg prosedur mediasi dan biayanya;
  5. Apabila para pihak diwakili Penasehat Hukum maka setriap keputusan yang diambil harus memperoleh persetujuan tertulis dari para pihak;
  6. Proses mediasi pada dasarnya tidak bersifat terbuka untu umum, kecuali para pihak menghendaki lain, sedangkan mediasi untuk kepentingan publik terbuka untuk umum.
Hak memilih mediator oleh para pihak :
  1. Mediator ditunjuk (disepakati) oleh para pihak, dapat dari dalam peradilan (hakim) yang sudah mendapat sertifikat sebagai mediator, atau pihak dari luar pengadilan yang sudah bersetrifikat;
  2. Jika para pihak dapat sepakat dalam memilih mediator maka ketua majelis hakim dapat menetapkan menunjuk mediator yang terdaftar dalam PN tersebut;
  3. Waktu paling lama satu hari kerja setelah sidang pertama;
  4. Ketua atau anggota majelis hakim di larang sebagai mediator
Kewajiban Mediator :
  1. Mediator wajib menyusin jadwal mediasi;
  2. Mediator wajib mendorong dan menelurusi serta mengali kepentingan para pihak;
  3. Mediator wajib mencari berbagi pilihan penyelesain;
  4. Mediator wajib merumuskan kesepakatan secara tertulis;
  5. Mediator wajib memuat klausa pencabutan perkara;
  6. Mediator wajib memeriksa kesepakan untuk menghindari jika ada klausa yang bertentangam dengan hukum;
  7. Setelah 22 hari melalui mediasi tidak berhasil, maka mediator wajib menyatakan secara tertulis bagwa mediasi telah gagal dan memberikan pemberitahuan kepada majelis hakim;
  8. Jika mediasi gagal, maka semua fotokopi, notulen, catatan mediator wajib dimusnahkan
Waktu dan Tempat Mediasi :
  1. Paling lama 30 hari, bagi mediator di luar PN dapat di perpanjang;
  2. 22 hari setelah ditunjuknya mediator;
  3. 7 hari setelah mediator ditunjuk para pihak wajib menyerahkan fotokopi dokumen perkara (duduk perkara, susrt-surat, dll );
  4. Mediasi dapat diselengarakan disalah satu ruangan pengadialan atau tempat lain yang disepakati para pihak

Hal-hal lain yang perlu di perhatikan :
  1. Para pihak dapat di dampingi oleh penasehat hukum
  2. Para pihak wajib menhadap kembali kepada majelis haim yang memeriksa perkara;
  3. Kesepakatan hasil mediasi di tandatangani oleh para pihak dan dapat dikukuhkan majelis hakim sebagai akta perdamaian;
  4. Mediator dapat melakukan kaukus;
  5. Mediator dengan kesepakatan para pihak dapat mengundang ahli;
  6. Jika mediasi gagal, maka pernyataan dan pengakuan para pihak tidak dapat digunakan sebagai alat bukti persidangan;
  7. Mediator tidak dapat dijadikan saksi di pengadilan;
  8. Mediasi di pengadilan tidak di pungut biaya, sedangkan di tempat lain biaya di bebenkan kepada para pihak;
  9. Mediasi oleh hakim tidak dipungut biaya, sedangkan mediator bukan hakim ditangung oleh para pihak atas kesepakatan.

  1. Mediasi Non litigasi

Mediasi non litigasi adalah cara penyelesaian sengketa diluar peradilan. Pihak ketiga yang netral dan berfungsi sebagai penengah atau memfasilitasi mediasi tersebut yang biasa disebut mediator. Pihak ketiga tersebut hanya boleh memberikan saran-saran yang bersifat sugestif, karena pada dasarnya yang memutuskan untuk mengakhiri sengketa adalah para pihak. Pihak ketiga tersebut juga harus netral sehingga dapat memberikan saran-saran yang objektif dan tidak terkesan memihak salah satu pihak. Mediasi merupakan prosedur wajib dalam proses pemeriksaan perkara perdata, bahkan dalam arbitrase sekalipun dimana hakim atau arbiter wajib memerintahkan para pihak untuk melaksanakan mediasi dan jika mediasi tersebut gagal barulah pemeriksaan perkara dilanjutkan. Tidak semua orang bisa menjadi mediator professional karena untuk dapat menjadi mediator dibutuhkan semacam sertifikasi khusus.

Mediasi perkara di luar pengadilan dapat juga dilakukan melalui badan arbitrase. Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa yang mirip dengan litigasi, hanya saja litigasi ini bisa dikatakan sebagai "litigasi swasta" Dimana yang memeriksa perkara tersebut bukanlah hakim tetapi seorang arbiter. Untuk dapat menempuh prosesi arbitrase hal pokok yang harus ada adalah "klausula arbitrase" di dalam perjanjian yang dibuat sebelum timbul sengketa akibat perjanjian tersebut, atau "Perjanjian Arbitrase" dalam hal sengketa tersebut sudah timbul namun tidak ada klausula arbitrase dalam perjanjian sebelumnya. Klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase tersebut berisi bahwa para pihak akan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sehingga menggugurkan kewajiban pengadilan untuk memeriksa perkara tersebut. Jika perkara tersebut tetap diajukan ke Pengadilan maka pengadilan wajib menolak karena perkara tersebut sudah berada di luar kompetensi pengadilan tersebut akibat adanya klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase. Beberapa keunggulan arbitrase dibandingkan litigasi antara lain:
  1. Arbitrase relatif lebih terpercaya karena Arbiter dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Arbiter dipilih oleh para pihak sendiri dan merupakan jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh pejabat peradilan manapun. Dalam hal para pihak tidak bersepakat dalam menentukan arbiter maka arbiter akan ditunjuk oleh ketua Pengadilan Negeri. Hal ini berbeda dengan litigasi karena para pihak tidak dapat memilih hakim yang memeriksa perkara. Calon arbiter yang ditunjuk juga boleh menolak penunjukan tersebut.

  1. Arbiter merupakan orang yang ahli di bidangnya sehingga putusan yang dihasilkan akan lebih cermat. Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dinyatakan bahwa salah satu syarat untuk menjadi arbiter adalah berpengalaman aktif di bidangnya selama 15 tahun. Hal ini tentunya berbeda dengan hakim yang mungkin saja tidak menguasai bidang yang disengketakan sehingga harus belajar bidang tersebut sebelum memeriksa perkara.

  1. Kepastian Hukum lebih terjamin karena putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak. Pihak yang tidak puas dengan putusan arbitrase tidak dapat mengajukan upaya hukum. namun putusan tersebut dapat dibatalkan jika terjadi hal-hal tertentu seperti dinyatakan palsunya bukti-bukti yang dipakai dalam pemeriksaan setelah putusan tersebut dijatuhkan atau putusan tersebut dibuat dengan itikad tidak baik dari arbiter.

  1. Sedangkan kelemahannya antara lain:

a)      Biaya yang relatif mahal karena honorarium arbiter juga harus ditanggung para pihak (atau pihak yang kalah).
b)      Putusan Arbitrase tidak mempunyai kekuatan eksekutorial sebelum didaftarkan ke Pengadilan Negeri.
c)      Ruang lingkup arbitrase yang terbatas hanya pada sengketa bidang komersial (perdagangan, ekspor-impor, pasar modal, dan sebagainya).


  1. Makna Penting Mediasi sebagai alternative penyelesaian sengketa

Tidak bisa dipungkiri bahwa upaya penyelesaian suatu perkara demikian sulit, rumit dan berbelit-belit, demikianlah kira – kira pendapat sebagian orang sehingga muncul wacana bahwa upaya yang telah dilakukan untuk sedapat mungkin menyelesaikan sengketa tanpa melalui proses ligitasi, sebagai contoh dalam menghadapi suatu sengketa para pihak yang berperkara khususnya piak Penggugat sebagai pihak yang berinisiatif berperkara untuk sedapat mungkin mengakhiri sengketa dengan jalur perdamaian. Karena bagaimanapun juga penyelesaian perkara dengan jalur perdamaian senantiasa akan mendatangkan keuntungan bagi kedua belah pihak.
Begitupun halnya keuntungan dari segi biaya, tentunya biaya yang akan dikeluarkan akan lebih murah, karena tidak mengeluarkan biaya yang terlalu banyak dan yang lebih penting lagi perdamaian akan mampu memulihkan hubungan baik diantara pihak yang berperkara, lebih-lebih bila mana para pihak yang berperkara tersebut adalah mereka yang nota bene sesama mitra usaha yang memerlukan suasana hubungan yang bersifat kolegalitas, bisa dibanyangkan apabila muncul persoalan diantara mereka kemudian diselesaikan melalui proses persidangan yang pada akhirnya berakibat pada dua kubu menang dan kalah. Hal ini tentunya akan berakibat pada pecahnya hubungan yang bersifat kolegalitas diantara mereka. Demikian pula halnya hubungan baik antara keluarga akan menjadi renggang bahkan putus, manakala mereka dalam menyelesaikan suatu sengketa misalnya adanya perebutan harta warisan dan lain-lain. Untuk mencegah agar jangan sampai hubungan keluarga menjadi berantakan hanya karena memperebutkan suatu hak seperti yang disebutkan dalam contoh diatas, maka penyelesaian secara damai jauh lebih bermanfaat dibandingkan sebaliknya.

Pentingnya mediasi dalam konteks ini dimaknai bukan sekedar upaya untuk meminimalisir perkara-perkara yang masuk ke Pengadilan baik itu pada Pengadilan tingkat pertama maupun tingkat banding, sehingga badan peradilan dimaksud terhindar dari adanya timbunan perkara, namun lebih dari itu Mediasi dipahami dan diterjemahkan dalam proses penyelesaian sengketa secara menyeluruh dengan penuh kesungguhan untuk mengakhiri suatu sengketa yang tengah berlangsung.
Walaupun dalam kenyataannya setiap perkara yang masuk ke Pengadilan Negeri sebagian besar tidak dapat didamaikan lagi dengan upaya perundingan, namun itu bukan berarti upaya ini kita matikan sama sekali, akan tetapi justru itu yang menjadi tantangan bagi mediator khususnya hakim untuk bisa memainkan perannya sebagai mediator yang ulung dengan menerapkan kemampuan dan kemahirannya secara maksimal.
Oleh karena itu Mediasi hendaknya dijadikan sebagai lembaga pertama dan terakhir dalam menyelesaikan sengketa antara para pencari keadilan, karena penyelesaian sengketa melalui proses litigasi banyak yang tidak berakhir manis, fenomena yang tak jarang kita temukan bisa menjadi suatu gambaran betapa nestapa yang sering mengiringi para pihak yang berperkara, di satu sisi bagi pihak yang menang ia mengeluarkan biaya yang tinggi terkadang tidak sesuai dengan nilai ekonomis barang yang diperebutkan dan di sisi lain bagi pihak yang kalah sering tidak dapat menerima kekalahan yang menyebabkan adanya tekanan psikologis dan timbulnya depresi yang akhirnya bermuara pada bentuk-bentuk tindakan anarkis. Hal demikian tentulah bukan menjadi harapan kita, karena konflik yang terjadi antar individu bisa memicu konflik yang lebih luas, seperti antar kelompok, dampak buruk dari hal itupun tak ayal dapat terhindar, putusnya jalinan silaturrahmi hubungan persaudaraan, kerugian moril dan materiil adalah contoh akibat negative dari persoalan di atas. Untuk itu, upaya preventif dalam setiap upaya penyelesaian persoalan harus dikedepankan, mencegah penyebab konflik berarti mencegah adanya kemudaratan.
Prinsipnya suatu peraturan dibuat adalah untuk dijalankan, demikian juga halnya dengan PERMA Nomor 2 Tahun 2003. Islam adalah agama damai, yang berperkara di Pengadilan adalah Agama adalah orang-orang yang beragama Islam dan masih dalam ikatan keluarga, peluang untuk dapat didamaikan lebih besar dibandingkan dengan perkara-perkara pada Peradilan Umum, oleh karenanya upaya mendamaikan secara sungguh-sungguh sangat diharapkan, sekalipun menurut tehnik dan cara tersendiri di luar PERMA tersebut, hal ini Pengadilan Agama dapat dikecualikan, karena ada kekhususan, khusus menangani orang-orang Islam (orang-orang yang cinta damai), dan khusus sengketa dalam keluarga (family law).
 (https://www2.facebook.com/notes/n-togakratu/perbedaan-mediasi-advokasi-litigasi-dan-non-litigasi/10150478059672162)

Minggu, 19 April 2015

Prof Jimly: Butuh Statesmanship Agar PERADI Tidak Pecah


“Saya bukan advokat, tapi saya tersentuh.”
Prof Jimly: Butuh Statesmanship Agar PERADI Tidak Pecah
Prof Jimly Asshiddiqie. Foto: RES
Perhelatan Musyawarah Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (Munas PERADI) di Makassar, Sulawesi Selatan, akhir Maret 2015 membuahkan hasil yang kurang positif. Selain gagal terlaksana, Munas juga memunculkan perpecahan di tubuh PERADI. Setidaknya terdapat tiga kubu yakni kubu yang pro penundaan Munas, kubu caretaker, dan kubu Juniver Girsang yang menyatakan telah terpilih menjadi Ketua Umum PERADI 2015-2020.
Kondisi seperti ini tentunya sangat memperhatinkan. Untuk kesekian kalinya, advokat Indonesia didera persoalan perpecahan. Sejumlah pihak menyayangkan jika PERADI menjadi terbelah. Salah satu yang menyuarakan keprihatinan itu adalah Prof Jimly Asshiddiqie. Pakar Hukum Tata Negara itu berpendapat kondisi ini tidak akan terjadi jika para pihak yang berkepentingan mampu menahan diri.
Ditemui hukumonline, Senin (13/4), di kantornya di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu di bilangan Thamrin, Jakarta, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu memaparkan panjang lebar pemikiran-pemikirannya terkait solusi atas persoalan yang tengah dihadapi PERADI. Berikut ini petikan wawancaranya:
Bagaimana pendapat Prof Jimly terkait Munas PERADI II yang gagal terlaksana dan bahkan menimbulkan perpecahan?
Saya menyayangkan bahwa tokoh-tokoh advokat tidak bisa menahan diri. Terus menerus gagal belajar dari masa lalu. Gagal belajar dari aneka peristiwa konflik dan perpecahan. Jadi ini menyedihkan. Karena untuk  membenahi sistem hukum di negara kita ini, disamping kita perlu membenahi dunia kehakiman, yang kedua, yang sangat strategis itu advokat.
Jadi kalau dunia advokat masih kayak gini, carut marut, dan para petinggi, tokoh-tokoh seniornya tidak mampu keluar dari jeratan-jeratan konflik yang sudah berlangsung begitu lama. Ini menyedihkan!
Jadi, bagaimana mengatasi persoalan ini?
Imbauan saya ya supaya ada statesmanship, kenegarawanan. statesmanship dalam arti luas. Walaupun sebagian tidak berpengalaman menduduki jabatan-jabatan bernegara dalam arti spesifik, tapi negara dalam arti luas ini kan menyangkut kita semua. Apalagi advokat sudah ditegaskan dalam undang-undang sebagai penegak hukum.
Nah, jadi imbauan saya, ya statesmanship-nya itu supaya dijaga. Siapa lagi yang bisa menyelesaikan masalah ini kecuali para tokoh-tokoh senior advokat sendiri.
Saya bukan advokat, tapi saya tersentuh. Cuma saya tidak bisa berbuat apa-apa karena saya bukan advokat, cuma saya merasa akrab dengan masalah ini. Jadi, kalau tidak ada upaya yang serius ke depan, sulit ini kita berkembang sebagai negara hukum yang sesungguhnya.
Statesmanship yang Prof Jimly maksud, itu konkretnya seperti apa?
Ya, saya berharap jadi masing-masing melepaskan diri dari kepentingan pribadi dan kelompok. Tapi bergerak ke arah yang lebih luas, melihat kepentingan yang lebih besar. Kepentingan profesi advokat dan lebih dari itu, kepentingan negara dan bangsa.
Tidak bisa kita membiarkan negara hukum kita ini carut marut terus begini tanpa kita melakukan pembenahan dunia advokat. Karena advokat itu, kita akan menemukan fungsi advokat di semua lini fungsi-fungsi hukum di negara kita.
Maka bayangan saya sangat besar pengaruhnya kalau organisasi advokat kita perbaiki. Kembalikan ke khittah-nya, visi dan misi, dan jati diri keberadaannya yang sebenarnya. Bahkan bukan hanya kepada jati diri identitas yang sebenarnya, juga harus kita kaitkan dengan perkembangan kenyataan di zaman sekarang. Dimana bernegara itu kita juga harus mengikuti standar-standar baru di seluruh dunia, dimana kelas menengah itu jadi penentu dalam sistem demokrasi modern.
Kelas menengah itu dia menjadi antara elit dengan massa. Kelas menengah ini ditentukan oleh profesionalisme. Profesionalisme itu ditentukan oleh sistem etika profesional.
Nah, semua bidang-bidang pekerjaan sekarang, itu dilembagakan melalui prinsip-prinsip profesionalisme. Di semua bidang; insinyur, ekonom, kedokteran, hakim. Jangan hanya melihat hakim sebagai pejabat negara. Tapi itu sebagai profesi membutuhkan suatu sistem kinerja yang berbasis pada sistem etika profesional.
Nah, kalau profesi-profesi ini bisa kita benahi, maka dia akan menentukan peradaban demokrasi kita makin tumbuh berkembang ke depan. Salah satunya adalah etika profesi hukum. Yang paling strategis di antaranya, dua, yaitu etika hakim dan etika advokat. ini yang sangat menentukan.
Kejadian seperti ini kan bukan yang pertama, menurut Prof Jimly apa sebenarnya yang menjadi akar masalah?
Ya, saya rasa karena akumulasi peran (PERADI, red) yang terlalu memperturutkan nafsu untuk mengkonsentrasikan semua peran dan mensentralisasikan semua kekuasaan, sambil menghindar dari negara, dari pemerintah, sehingga ini tidak ada induk seolah-olah. Jadi, seperti negara dalam negara begitu.
Sedangkan, dia (PERADI) tidak bisa mengelola sendiri sehingga pecah terus. Nah, jadi saya rasa perlu ada reinterpretasi, rekonstruksi hubungan peran antara organisasi negara dengan organisasi masyarakat. Sehingga organisasi profesional bernama PERADI itu menempatkan dirinya secara tepat di antara intermediate structure, antara state power, dengan society power, dengan civil society organization.
Jadi, PERADI ini di tengah. Dia bukan bagian dari organisasi negara pemerintah dalam arti sempit. Tapi dia juga jangan sama cara kerjanya dengan ormas. Maka struktur PERADI harus ditafsir ulang, harus dianalisa, harus direkonstruksi ulang.
Misalnya, apakah fungsi-fungsi yang dikerjakan organisasi PERADI selama ini, itu tepat dikerjakan oleh negara atau tepat dikerjakan oleh swasta? Jadi yang seharusnya yang ditangani oleh negara, ya biar negara yang urus. Yang harusnya dikerjakan oleh swasta, yang harus dikerjakan oleh masyarakat, biar masyarakat yang urus. PERADI itu jangan mengerjakan semua hal, sehingga tidak perlu rebutan resources (sumber daya).
Menurut saya, seperti kegiatan pendidikan. Itu kan bisa dikerjakan masyarakat, oleh ormas, tapi sertifikasinya, ujiannya, standardisasi kurikulumnya, itu oleh PERADI. Jadi dengan begitu ada pembagian.
Apakah rekonstruksi dan reinterpretasi bisa dilakukan tanpa mengubah undang-undang?
Ya, sebagian kita harus lihat undang-undangnya, tapi tidak melulu harus mengubah undang-undang. Sebab yang tidak dilarang oleh undang-undang, itu artinya boleh. Jadi kita jangan dulu mulai segala sesuatu dengan norma, tapi bangunlah dulu ide, baru nanti kita cek ke norma di undang-udangnya. Kalau memang tidak bisa tidak undang-undangnya harus diperbaiki, ya kita perbaiki.
Tapi seandainya tidak perlu pakai perbaikan undang-undang, di anggaran dasar kan bisa diperbaiki, karena anggaran dasar itu adalah konstitusinya organisasi. Di situ juga bisa mengatur hal-hal yang tidak dilarang undang-undang.
Nah, jadi kita harus menghitung dengan baik sehingga para advokat senior, tolonglah, saya mau diajak untuk berdialog untuk memikirkan dan mau membantu bagaimana memberikan dukungan informasi, dukungan pemikiran, kepada teman-teman advokat. asal ada kemauan untuk berbenah diri. Silakan. (www.hukumonline.com)

Sabtu, 18 April 2015

Penggerebekan Pabrik Emping, LBH Pertanyakan Pengawasan Pemerintah

 Pengawasan dari pemerintah dipertanyakan dalam kasus penggerebekan pabrik emping jagung dan abon oleh masyarakat di RT 09/RW 04, Kelurahan Sikumana, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang, JUmat (17/4/2015).
Hal ini disampaikan Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Provinsi NTT, Dr. Marthen Mullik kepada Pos -Kupang.Com, Sabtu (18/4/2015).
Mullik dimintai tanggapan tentang penggerebakn warga terhadap pabrik pemuatan emping jangung dan abon yang terletak di Jalan Oeekam, Kelurahan Sikumana, Kota Kupang, Jumat (17/4/2015).
Menurut Mullik, ketika pemerintah tidak sensitif melihat persoalan yang ada, maka masyarakat sebaliknya lebih sensitif. Dari kondisi ini pengawasan pemerintah patut dipertanyakan. (http://kupang.tribunnews.com)

Kamis, 16 April 2015

Komentar MA Soal Banyak Gugatan Praperadilan yang Gugur

Komentar MA Soal Banyak Gugatan Praperadilan yang Gugur
Sejumlah aktivis orang utan melakukan aksi dengan memakai topeng berbagai hewan yang dilindungi di depan Mahkamah Agung Republik Indonesia Jakarta (13/3). TEMPO/Amston Probel
  Juru bicara Mahkamah Agung, Suhadi, mengatakan perbedaan beberapa hakim dalam memberikan putusan terhadap gugatan obyek praperadilan adalah wajar. Ini merupakan bentuk keanekaragaman hakim dalam memutus suatu perkara. Mahkamah tidak berhak turut campur, agar independensi hakim tetap terjaga.

"Hakim dalam memutus perkara memiliki independensi dalam menafsirkan undang-undang, juga berhak menemukan terobosan hukum baru," ucap Suhadi di gedung Mahkamah Konstitusi, Kamis, 16 April 2015.

Suhadi menjelaskan, meskipun terdapat perbedaan putusan, lembaganya tak perlu menerbitkan surat edaran tentang pembatasan obyek praperadilan. Jika Mahkamah Agung menerbitkan surat edaran, dikhawatirkan akan terjadi intervensi kepada para hakim dalam memutus perkara.

Suhadi enggan menilai putusan hakim yang benar dan hakim yang salah dalam menyidangkan gugatan praperadilan. Menyangkut hakim Sarpin Rizaldi, yang mengabulkan gugatan praperadilan Komisaris Jenderal Budi Gunawan, Suhadi mengatakan itu sudah sesuai dengan prosedur. "Sebelum memutus, hakim selalu memeriksa posita dan petitum," ujar Suhadi.

Tak semua gugatan praperadilan dikabulkan. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, misalnya, selain menerima gugatan Budi Gunawan, juga menolak permohonan praperadilan Suryadharma Ali dan Sutan Bhatoegana, tersangka kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi. (www.tempo.co)

Rabu, 15 April 2015

BPJS Kesehatan Perkuat Kerjasama dengan Kejaksaan


Kejaksaan akan memberikan konsultasi dan bantuan hukum kepada BPJS Kesehatan.
BPJS Kesehatan Perkuat Kerjasama dengan Kejaksaan
BPJS Kesehatan. Foto: RZK
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terus memperkuat eksistensinya. Termasuk mengantisipasi kemungkinan pelanggaran terhadap kewajiban pendaftaran. Kerjasama dengan Kejaksaan, misalnya, terus digalang BPJS Kesehatan guna membantu urusan perdata dan tata usaha negara yang mungkin akan dialami BPJS Kesehatan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.

Rabu (15/4), BPJS Kesehatan menjalin kerjasama dengan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Diteken pimpinan kedua lembaga, BPJS Kesehatan dan Kejaksaan Tinggi (Kejati) sepakat kerjasama ini berlaku hingga dua tahun ke depan. Sebelumnya, kerjasama serupa dijalin dengan Kejaksaan Tinggi di Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Jambi, dan Jawa Barat

Menurut Direktur Komunikasi, Hukum dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan, Purnawarman Basundoro, kesepakatan bersama itu dijalin untuk memastikan agar para pemangku kepentingan mematuhi regulasi jaminan kesehatan. Selain itu, kerjasama bertujuan mengantisipasi persoalan hukum yang potensial muncul dalam pelaksanaan jaminan kesehatan.

Purnawarman mengingatkan kepesertaan BPJS Kesehatan bersifat wajib bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam UU BPJS, kewajiban kepesertaan itu dilaksanakan dengan pentahapan. Tahapan itu secara teknis diatur lewat Perpres No. 111 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Perpres ini mengatur badan usaha skala besar, menengah dan kecil termasuk BUMN/BUMD harus mendaftarkan diri dan pekerjanya jadi peserta BPJS Kesehatan paling lambat 1 Januari 2015.

"Lewat kesepakatan bersama itu kami berharap kejaksaan bisa membantu agar badan usaha patuh terhadap regulasi, terutama pendaftaran peserta penerima upah (PPU)" katanya dalam acara penandatanganan kesepakatan bersama BPJS Kesehatan dan Kajati serta Kajari seluruh Jakarta di gedung Kejati DKI Jakarta Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta, Rabu (15/4).

Dengan menaati peraturan yang ada, kata Purnawarman, diharapkan kepesertaan BPJS Kesehatan meningkat. Itu penting dalam rangka menjaga keberlanjutan program jaminan kesehatan, dan melaksanakan salah satu prinsip pelaksanaan BPJS Kesehatan yakni gotong royong. Artinya peserta sehat membantu yang sakit.

Purnawarman mengatakan BPJS Kesehatan menggunakan pendekatan persuasif kepada badan usaha. Jika badan usaha menemui kendala, BPJS Kesehatan bersama pihak terkait siap membantu mencarikan solusi. Misalnya, badan usaha mengeluhkan masalah fasilitas tingkat pertama (FKTP) karena di perusahaan sudah punya klinik yang biasa digunakan pekerja. Klinik milik badan usaha tersebut bisa bermitra dengan BPJS Kesehatan.

Untuk saat ini, Purnawarman mengatakan BPJS Kesehatan belum mengutamakan penerapan sanksi. Walaupun BPJS Kesehatan bisa merekomendasikan penjatuhan sanksi yang bentuknya administratif, denda dan pidana kepada badan usaha. Tapi ia berharap badan usaha mematuhi aturan sehingga terhindar dari sanksi yang ada.

Walau begitu Purnawarman menegaskan BPJS Kesehatan mempersiapkan pelaksanaan sanksi tersebut. Setelah 1 Januari 2015, BPJS Kesehatan sudah melayangkan surat kepada sejumlah perusahaan yang belum mendaftar jadi peserta BPJS Kesehatan. Petugas BPJS Kesehatan juga melakukan pemeriksaan ke berbagai perusahaan. Untuk menerapkan sanksi administratif, BPJS Kesehatan sudah menjalin kerjasama dengan Kemendagri dan beberapa pemerintah daerah (pemda).

Dikatakan Purnawarman, ada daerah yang sepakat menerapkan kebijakan pelayanan publik dengan menetapkan bukti pendaftaran kepesertaan BPJS Kesehatan sebagai syarat mendapat pelayanan publik tertentu seperti SIUP dan IMB. Badan usaha yang bersangkutan harus melampirkan keterangan sudah mendaftarkan diri dan pekerjanya jadi peserta BPJS Kesehatan.

Purnawarman mengatakan sampai 2016 BPJS Kesehatan akan terus memantau badan usaha yang belum mendaftar jadi peserta BPJS Kesehatan. Jika lewat 2016 ada badan usaha yang belum mendaftar maka BPJS Kesehatan menyiapkan penerapan sanksi pidana. Salah satu persiapan yang akan dilakukan yakni berkonsultasi dengan kejaksaan.

Purnawarman menyebut kerjasama dengan kejaksaan sudah dilakukan sejak BPJS Kesehatan masih bernama PT Askes. Kerjasama yang dijalin itu diantaranya mendorong efektifitas penyelesaian masalah hukum bidang perdata dan tata usaha. Selain itu, saat ini BPJS Kesehatan sudah bekerjasama dengan Jamdatun di provinsi Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Barat dan Jambi serta Kajati Jawa Barat.

Purnawarman menjelaskan jumlah peserta BPJS Kesehatan saat ini mencapai 141 juta orang. Sekitar 20 juta orang peserta diantaranya berasal dari PPU (pekerja sektor formal). Ia mengatakan semua pihak berkepentingan mendukung suksesnya program jaminan kesehatan yang diselenggarakan BPJS Kesehatan. Sebab, manfaatnya sangat dirasakan masyarakat sehingga diharapkan meningkatkan produktivitas guna menggenjot pembangunan.

Kepala Kajati Jakarta, M Adi Toegarisman, mengatakan kesepakatan bersama itu harus ditindaklanjuti secara ril di lapangan. Namun, perlu diantisipasi adanya multitafsir di masyarakat terkait aturan yang ada. Ia melihat kecenderungan saat ini masyarakat bebas menafsirkan hukum. "Ini yang harus diperhatikan dalam mengimplementasikan UU," tukasnya.

Adi mengingatkan, UU BPJS mewajibkan semua orang ikut program jaminan kesehatan yang diselenggarakan lewat BPJS itu. Namun, dalam menegakan aturan sebagaimana amanat peraturan, hak-hak masyarakat yang jadi peserta BPJS Kesehatan perlu diperhatikan karena mereka menerima manfaat dari program tersebut. Oleh karenanya antara sanksi yang diterapkan dengan manfaat yang diterima peserta harus seimbang. (www.hukumonline.com)

Selasa, 14 April 2015

Kemelut Organisasi Advokat dan Peran Pemerintah

Tony Budijaja (Istimewa)Tony Budijaja (Istimewa)
Gagasan kali ini ditulis Tony Budidjaja. Penulis adalah Managing Principal Budidjaja  and Associates Lawyers.
Solopos.com, SOLO — Miliaran rupiah telah dihabiskan, namun Musyawarah Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (Munas Peradi) yang diselenggarakan di Makassar pada 26-27 Maret 2015, gagal melaksanakan hajatan utamanya, yakni memilih seorang ketua umum yang baru.
Berdasarkan Anggaran Dasar Peradi, Otto Hasibuan yang sudah menjabat sebagai Ketua Umum selama dua periode (10 tahun) harus mengakhiri masa jabatannya dan tidak boleh diangkat kembali.
Meski Munas Peradi telah secara resmi dibuka oleh pemerintah yang diwakili oleh Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Tedjo Edhy Purdijatno, pada hari ke-2 Ketua Umum Peradi tiba-tiba menyatakan Munas Peradi ditunda hingga 3-6 bulan ke depan karena alasan keamanan.
Di pihak lain, para peserta yang tidak setuju atas sikap Ketua Umum Peradi itu kemudian mengambil alih pelaksanaan munas dan alhasil Peradi sekarang memiliki tiga versi kepimpinanan.
Keributan di antara para advokat memang bukan sesuatu yang baru. Ini sudah sering terjadi dan masyarakat tampaknya terbiasa menanggapinya.
Sejarah Indonesia menunjukkan, belum pernah ada satu organisasi advokat pun yang berhasil menyatukan seluruh advokat di negeri ini.
Pada 5 April 2003, lembaga pembuat undang-undang (DPR) kita secara mengejutkan mengesahkan UU No. 18/2003 tentang Advokat yang mengharuskan seluruh advokat Indonesia untuk bersatu di bawah satu wadah tunggal advokat (single bar association).
Meski Presiden Megawati Soekarnoputri waktu itu menolak untuk membubuhkan tanda tangannya, berdasarkan konstitusi UU Advokat itu sah berlaku.
Akibat desakan UU Advokat yang memberikan batas waktu dua tahun untuk pembentukan wadah tunggal itu, baru pada 21 Desember 2004, para pemimpin delapan organisasi advokat terbesar di Indonesia berhasil berkumpul dan menandatangani deklarasi pendirian Peradi.
Setelah pendiriannya, berbagai pertikaian internal terus-menerus menghantam Peradi. Beragam gugatan, baik itu di Mahkamah Konstitusi (MK) maupun lembaga peradilan umum, terus-menerus menghantam Peradi.
UU Advokat tercatat sebagai UU yang paling sering diajukan ke MK untuk pengujian materi. Banyak kalangan menganggap bahwa UU Advokat yang menjadi akar penyebab kemelut organisasi advokat yang berkepanjangan selama ini.
UU Advokat memberikan wewenang (power) yang sangat besar bagi wadah tunggal itu. Kewenangan itu termasuk menyelenggarakan pendidikan, pengangkatan, pengawasan, penindakan, hingga pemecatan. Di banyak negara, wewenang itu dibagi-bagi ke beberapa lembaga.
Kemelut yang sekarang dialami Peradi sebenarnya sudah bisa ditebak saat UU Advokat disahkan DPR. Harus diingat bahwa inisiatif untuk membentuk wadah tunggal itu sebenarnya bukan datang dari bawah (kalangan advokat pada umumnya), tapi lobi kelompok tertentu.
Tidak adanya suatu blue print yang jelas dan sosialisasi yang cukup mengakibatkan pada waktu itu banyak advokat menentang atau setidak-tidaknya meragukan efektivitas pembentukan wadah tunggal itu.
Keberhasilan pembentukan wadah tunggal jelas bergantung pada persetujuan seluruh advokat yang akan menjadi anggotanya, visi dan misi organisasi itu, serta kemampuan kepemimpinan para pengurusnya.
Jelas apa yang menjadi cita-cita pembuat UU Advokat, yakni agar lahir satu wadah profesi advokat yang bebas dan mandiri, belum terwujud. Semakin hari, persatuan di kalangan advokat tampaknya semakin jauh dari kenyataan.
Di Peradi semakin banyak advokat (termasuk advokat senior) yang memutuskan meninggalkan Peradi dan mendirikan organisasi advokat baru, seperti Kongres Advokat Indonesia (KAI) yang sekarang berupaya menjadi organisasi tandingan Peradi.
Tanggung Jawab
Bila tidak segera dibenahi, Peradi niscaya akan tinggal sekadar nama. Peradi hanya akan disebut sebagai organisasi advokat yang pernah berdiri tetapi sudah tidak berfungsi lagi.
Bila pemerintah ingin mempertahankan Peradi, pemerintah harus cepat bertindak. Karena konsep wadah tunggal advokat, khususnya mekanisme pembentukan dan kepemimpinannya, tidak diatur secara jelas oleh UU Advokat.
Pemerintah, khususnya Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia perlu melakukan langkah-langkah aktif termasuk memberikan petunjuk penafsiran atas ketentuan-ketentuan di dalam UU Advokat yang selama ini menimbulkan polemik dan kontroversi.
Sesuai dengan konstitusi, pemerintah punya kewajiban memastikan agar proses pembentukan dan pengoperasian wadah tunggal advokat itu benar-benar berjalan sesuai maksud dan tujuan UU Advokat.
Sungguh disayangkan, selama ini fungsi dan peranan advokat dan organisasi advokat kurang dihargai oleh pemerintah. Tidak seperti di banyak negara, organisasi advokat di Indonesia belum diperlakukan sebagai mitra pemerintah, pengadilan, dan legislator dalam upaya pembangunan hukum dan sistem hukum.
Jangan lupa, tanpa advokat dan organisasi advokat yang kuat segala upaya pembangunan hukum yang direncanakan pemerintah tidak akan berhasil dan negara hukum yang dicita-citakan juga tidak akan pernah terwujud.
Pemerintah Indonesia perlu mencontoh negara tetangga Singapura tentang bagaimana mentransformasi negara dari negara kelas III menjadi negara kelas I melalui pembangunan hukum dan penguatan profesi hukum.
Sungguh malang nasib advokat Indonesia, bila pemerintah terus menutup mata atas berbagai tekanan yang tengah menimpa mereka.
Sekarang ini, profesi advokat di Indonesia bukan saja ditekan oleh kehadiran advokat dan kantor hukum asing yang punya keunggulan besar dalam hal keahlian, teknologi, dan dana, tapi juga ditekan oleh ketiadaan penghargaan dan dukungan dari pemerintahnya sendiri.
Selama ini, banyak anggapan keliru mengenai kemandirian advokat. Kemandirian advokat itu tidak berarti advokat tidak membutuhkan dukungan negara atau tidak boleh berhubungan dengan pemerintah.
Justru, pengakuan negara atau pemerintah sangat dibutuhkan bagi profesi advokat mengingat profesi ini tidak mempunyai akar sejarah atau budaya yang kuat di Indonesia.
Terlampau besar tantangan yang kini dihadapi profesi advokat Indonesia. Demikian pula, begitu banyak pekerjaan rumah yang sudah ditetapkan oleh UU Advokat yang masih belum berjalan secara efektif.
Pekerjaan rumah itu, antara lain penyelenggaraan sistem pendidikan hukum berkelanjutan, sistem pengawasan advokat (termasuk advokat asing), dan sistem pemberian bantuan hukum cuma-cuma. Tantangan besar ini tidak akan mungkin dapat diatasi tanpa dukungan pemerintah. (http://jogja.solopos.com)