Jumat, 19 Desember 2014

sejarah advokat

Sejak berlakunya UU nomor 18 tahun [[2003]] tentang advokat, sebutan bagi seseorang yang berprofesi memberikan bantuan hukum secara swasta - yang semula terdiri dari berbagai sebutan, seperti advokat, pengacara, konsultan hukum, penasihat hukum - adalah advokat.
Advokat dan pengacara
Kedua istilah ini sebenarnya bermakna sama, walaupun ada beberapa pendapat yang menyatakan berbeda. Sebelum berlakunya UU nomor 18 tahun 2003, istilah untuk pembela keadilan plat hitam ini sangat beragam, mulai dari istilah pengacara, penasihat hukum, konsultan hukum, advokat dan lainnya. Pengacara sesuai dengan kata-kata secara harfiah dapat diartikan sebagai orang yang beracara, yang berarti individu, baik yang tergabung dalam suatu kantor secara bersama-sama atau secara individual yang menjalankan profesi sebagai penegak hukum plat hitam di pengadilan. Sementara advokat dapat bergerak dalam pengadilan, maupun bertindak sebagai konsultan dalam masalah hukum, baik pidana maupun perdata. Sejak diundangkannya UU nomor 18 tahun 2003, maka istilah-istilah tersebut distandarisasi menjadi advokat saja.
Dahulu yang membedakan keduanya yaitu Advokat adalah seseorang yang memegang izin ber"acara" di Pengadilan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman serta mempunyai wilayah untuk "beracara" di seluruh wilayah Republik Indonesia sedangkan Pengacara Praktek adalah seseorang yang memegang izin praktek / beracara berdasarkan Surat Keputusan Pengadilan Tinggi setempat dimana wilayah beracaranya adalah "hanya" diwilayah Pengadilan Tinggi yang mengeluarkan izin praktek tersebut. Setelah UU No. 18 th 2003 berlaku maka yang berwenang untuk mengangkat seseorang menjadi Advokat adalah Organisasi Advokat.(Pengacara dan Pengacara Praktek/pokrol dst seteah UU No. 18 tahun 2003 dihapus)
Konsultan hukum
Konsultan hukum atau dalam bahasa Inggris counselor at law atau legal consultant adalah orang yang berprofesi memberikan pelayanan jasa hukum dalam bentuk konsultasi, dalam sistem hukum yang berlaku di negara masing-masing. Untuk di Indonesia, sejak UU nomor 18 tahun 2003 berlaku, semua istilah mengenai konsultan hukum, pengacara, penasihat hukum dan lainnya yang berada dalam ruang lingkup pemberian jasa hukum telah distandarisasi menjadi advokat.



Peran, Fungsi dan Perkembangan Organisasi Advokat
Dengan diberlakukannya UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, LN Tahun 2003 Nomor 49, TLN Nomor 4255, maka profesi advokat di Indonesia memasuki era baru. Suatu era yang dalam konteks ini diartikan sebagai pemacu bagi seorang calon advokat/advokat untuk lebih baik dalam memberi pelayanan hukum kepada masyarakat. Untuk itu, sebagai titik tolak, peran, fungsi dan perkembangan organisasi advokat perlu dipahami secara benar, baik dalam level filosofis (teori) maupun praktik.
Peran dan Fungsi Advokat
Pengertian advokat menurut Pasal 1 ayat (1) UU Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik didalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang ini. Selanjutnya dalam UU Advokat dinyatakan bahwa advokat adalah penegak hukum yang memiliki kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya (hakim, jaksa, dan polisi). Namun demikian, meskipun sama-sama sebagai penegak hukum, peran dan fungsi para penegak hukum ini berbeda satu sama lain.
Mengikuti konsep trias politica tentang pemisahan kekuasaan negara, maka hakim sebagai penegak hukum menjalankan kekuasaan yudikatif, jaksa dan polisi menjalankan kekuasaan eksekutif. Disini diperoleh gambaran hakim mewakili kepentingan negara, jaksa dan polisi mewakili kepentingan pemerintah. Sedangkan advokat tidak termasuk dalam lingkup kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Advokat sebagai penegak hukum menjalankan peran dan fungsinya secara mandiriuntuk mewakili kepentingan masyarakat (klien) dan tidak terpengaruh kekuasaan negara (yudikatif dan eksekutif).
Sebagai konsekuensi dari perbedaan konsep tersebut, maka hakim dikonsepsikan memiliki kedudukan yang objektif dengan cara berpikir yang objektif pula sebab mewakili kekuasaan negara di bidang yudikatif. Oleh sebab itu, dalam setiap memeriksa, mengadili, dan menyesesaikan perkara, seorang hakim selain wajib mengikuti peraturan perundang-undangan harus pula menggali nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat.
Jaksa dan Polisi dikonsepsikan memiliki kedudukan yang subjektif dengan cara berpikir yang subjektif pula sebab mewakili kepentingan pemerintah (eksekutif). Untuk itu, bila terjadi pelanggaran hukum (undang-undang), maka jaksa dan polisi diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk menindaknya tanpa harus menggali nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat. Dengan kata lain, setiap pelanggaran hukum (undang-undang), maka akan terbuka bagi jaksa dan polisi untuk mengambil tindakan.
Sedangkan advokat dikonsepsikan memiliki kedudukan yang subjektif dengan cara berpikir yang objektif. Kedudukan subjektif Advokat ini sebab ia mewakili kepentingan masyarakat (klien) untuk membela hak-hak hukumnya. Namun, dalam membela hak-hak hukum tersebut, cara berpikir advokat harus objektif menilainya berdasarkan keahlian yang dimiliki dan kode etik profesi. Untuk itu, dalam kode etik ditentukan diantaranya, advokat boleh menolak menangani perkara yang menurut keahliannya tidak ada dasar hukumnya, dilarang memberikan informasi yang menyesatkan dan menjanjikan kemenangan kepada klien.
Perkembangan Organisasi Advokat di Indonesia
Cikal bakal organisasi advokat secara nasional bermula dari didirikannya Persatuan Advokat Indonesi (PAI), pada 14 Maret 1963. PAI ini kemudian mengadakan kongres nasional yang kemudian melahirkan Peradin. Dalam perkembangannya, Peradin ini tidak terlepas dari intervensi pemerintah sebab perjuangannya pada waktu itu dianggap membahayakan kepentingan rezim pemerintah yang sedang berkuasa sehingga munculah organisasi advokat yang disebut Ikadin. Ikadin pun kemudian pecah dan advokat yang kecewa terhadap suksesi kepengurusan Ikadin mendirikan Asosiasi Advokat Indonesia (AAI).
Sejak diberlakukannya UU Advokat pada tanggal 5 April 2003, maka 8 organisasi advokat yaitu IKADIN, IPHI, HAPI, AKHI, AAI, SPI, HKHPM, dan APSI diamanatkan oleh pembentuk undang-undang untuk membentuk suatu organisasi advokat dalam kurun waktu 2 tahun. Untuk itu, dibentuklah Komite Kerja Advokat Indonesia, yang kemudian KKAI ini merumuskan Kode Etik Advokat Indonesia pada tanggal 23 Mei 2002 dan mendeklarasikan organisasi advokat sebagai organisasi payung advokat di Indonesia yang disebut Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia/Indonesian Advocates Asociation) pada tanggal 21 Desember 2004 yang akta pendiriannya disahkan pada 8 September 2005.
Peradi tersebutlah yang pada saat ini menyelenggarakan Pendidikan Khusus Pendidikan Advokat (PKPA), Ujian Profesi Advokat (UPA), dan Magang bagi seorang yang berlatar pendidikan tinggi hukum yang berniat untuk menjalankan profesi advokat di Indonesia.
Hanya ada satu Organisasi Advokat dalam suatu yuridiksi. Organisasi lain tetap mungkin ada, tetapi hanya satu yang diakui negara, dan para advokat wajib bergabung di dalamnya.
Berikut ini merupakan perkembangan Organisasi Advokat di Indonesia
1. Masa Kolonialisme
Balie van Advocaten, yang anggotanya umumnya berkebangsaan Eropa. Persatuan Pengacara Indonesia (Perpi, 1927) beranggotakan para pokrol bambu
2. Masa Orde Lama
Tahun 1959-1960 : “Balie” Jawa Tengah, Balai Advokat Jakarta, Bandung, Medan dan Surabaya.
Pada tanggal 14 Maret 1963 : Persatuan Advokat Indonesia (PAI) dalam Seminar Hukum Nasional embrio Peradin.
Kepengurusan PAI dijabat oleh tin ad-hoc yang bertugas untuk:
a. Menyelenggarakan kongres nasional Advokat Indonesia
b. Mempersiapkan nama organisasi, anggaran dasar, anggaran rumah tangga dan kode etik
c. Merencanakan program kerja dan pengurusan definitif
Pada tanggal 30 Agustus 1964, dibentuk Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN) dalam Kongres I Musyawarah Advokat di Hotel Dana Solo.
Pada tanggal 3 Mei 1966, PERADIN ditunjuk sebagai pembela tokoh-tokoh pelaku Gerakan 30 September (G 30 S PKI) dan sekaligus sebagai satu-satunya wadah organisasi para advokat di Indonesia.
3. Masa Orde Baru
Pada Kongres 1977, PERADIN mengadopsi beberapa Resolusi, yakni :
a. Korps advokat sebagai salah satu elemen penegak hukum turut bertanggung jawab bersama dengan ahli hukum di bidang lainnya dan dengan masyarakat secara umum bagi pembangunan Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana dinyatakan dalam UUD 1945;
b. Indonesia sebagai negara hukum harus bertanggung jawab untuk menjamin dan menghormati hak fundamental warga negara, baik dalam aspek politik, maupun sosialnya, sehingga dapat tercipta masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila bagi seluruh masyarakat Indonesia;
c. PERADIN harus meningkatkan perannya selaku organisasi perjuangan sebagai komitmen esensialnya untuk mencapai kebenaran, keadilan dan supremasi hukum.
Beberapa anggota PERADIN yang tidak setuju dengan Resolusi PERADIN mendirikan Himpunan Penasehat Hukum Indonesia (HPHI).
Dukungan pemerintah secara diam-diam dicabut kembali ditandai dengan berdirinya anatar lain Lembaga Pelayanan dan Penyuluhan Hukum (LPPH-1979), Pusat Bantuan dan Pengabdian Hukum (PUSBADHI), Fosko Advokat (Forum Studi dan Komunikasi Advokat) dan Bina Bantuan Hukum (BBH).
Pada tahun 1980-an pemerintah mulai melaksanakan strategi peleburan PERADIN dan Organisasi advokat lainnya dalam IKADIN (Ikatan Advokat Indonesia) sebagai wadah tunggal. Pada 10 November 1985 disepakati berdirinya IKADIN.
Pada tahun 1987, Pemerintah memberikan ijin pendirian Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI) sebagai wadah bagi pengacara praktek. Didirikan sebagai akibat dikotomi “advokat” dan “pengacara praktik”.
Timbul juga organisasi advokat yang berdasarkan pada praktik kekhususan, seperti Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI-1988) dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM-4 April 1989).
Pada tanggal 27 Juli 1990 dibentuk Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) sebagai perpecahan dalam tubuh IKADIN.
4. Masa Rekonsolidasi dan Reformasi
Pada tahun 1995, Pemerintah memfasilitasi dua seminar di Jakarta untuk IKADIN, AAI, dan IPHI. Hasilnya adalah Kode Etik Bersama dan pembentukan Forum Komunikasi Advokat Indonesia (FKAI). Belakangan, IKADIN menarik diri dan memberlakukan kembali Kode Etik IKADIN untuk para anggotanya.
Diawali dengan tiga kali pertemuan di bulan Januari 2002, pada 11 Februari 2002 dideklarasikan berdirinya Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) yang beranggotakan IKADIN, AAI, IPHI, AKHI, HKPM, Serikat Pengacara Indonesia (SPI) dan Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI).
Kegiatan Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) adalah :
a. Panitia bersama dengan Mahkamah Agung menyelenggarakan Ujian Pengacara Praktik tanggal 17 April 2002;
b. Membuat Kode Etik Advokat Indonesia pada 23 Mei 2002;
c. Mendesak diundangkannya Rancangan Undang-Undang tentang Advokat.
Setelah Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat diundangkan 5 April 2003. dibentuk KKAI versi kedua pada tanggal 16 Juni 2003 yang bertujuan sebagai pelaksanaan pasal 32 ayat 3 dan memiliki kegiatan melaksanakan verifikasi atas advokat sebagai pelaksanaan pasal 32 ayat 1 dan membentuk Organisasi Advokat (pasal 32 ayat 4).
Pada tanggal 21 Desember 2004, Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dibentuk sebagai pelaksanaan Undang-undang Advokat.

5 Responses to ' Organisasi Advokat di Indonesia '

Organisasi advokat di seluruh negara hukum modern yang berpaham konstitusionalisme di dunia, sejatinya adalah penjaga terdepan dari prinsip-prinsip negara hukum, perlindungan hak asasi manusia, pembaharuan hukum, dan menjaga kehormatan masyarakat profesi hukum.

Boleh dikata, tanpa organisasi advokat yang mandiri, terhormat, kuat dan berwibawa, hilang pula kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Otomatis, hilang pula harapan akan adanya negara hukum modern yang demokratis, yang menghormati hak asasi manusia.

Indonesia pernah mengalami kejayaan, ketika organisasi advokat begitu dihormati, tidak hanya di kalangan pemerintahan, tapi juga di antara pelaku kekuasaan kehakiman dan para penegak hukum.

Adalah Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN) yang didirikan di Solo pada 30 Agustus 1964, yang sampai saat ini masih menduduki tempat terhormat dalam sejarah organisasi advokat yang kredibel dan independen di Indonesia.

Posisi PERADIN pada masa itu, yang menolak penyelewengan cita–cita negara hukum yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru, telah menjadikan PERADIN memperoleh citra sebagai anak nakal oleh pemerintah.

Meski demikian, PERADIN pada masa itu tetap diakui sebagai organisasi wadah tunggal dari advokat, baik oleh pemerintah, Mahkamah Agung, maupun Jaksa Agung.

PERADIN telah begitu baik melakukan peranannya dalam melakukan pembaharuan hukum, terutama keterlibatan aktifnya dalam beragam pembahasan UU yang dirasa mampu membelenggu hak asasi manusia.

Tak hanya itu, PERADIN juga memprakarsai pembentukan organisasi bantuan hukum yang pertama kali dikelola secara modern untuk memberikan bantuan hukum kepada masyarakat miskin dan buta hukum di Indonesia yang sekarang lebih dikenal dengan LBH/YLBHI.

Peran PERADIN yang begitu kuat telah membuat pemerintah pada masa itu berupaya membendung dengan cara memecah PERADIN dengan membuat beragam organisasi profesi hukum. Puncaknya adalah meleburkan berbagai organisasi profesi hukum, termasuk PERADIN, ke dalam satu organisasi advokat yang dikenal dengan nama Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) yang dibentuk pada 8–10 November 1985.

Sejak itu, peran organisasi advokat di Indonesia mulai meredup dan kiprahnya dalam menjaga cita–cita negara hukum, perlindungan hak asasi manusia, pembaharuan hukum, dan menjaga kehormatan masyarakat profesi hukum, tidak lagi nyaring terdengar seperti pada masa PERADIN, karena tergantikan oleh peran yang dimainkan secara agresif oleh YLBHI.

Seiring dengan mulai terpecahnya IKADIN pada 1990-an ke dalam berbagai organisasi advokat, mulai Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat/Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal Indonesia (HKHPM), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI), maka dunia organisasi profesi advokat pun menjadi suram.

Tak ada lagi terdengar bagaimana peran organisasi advokat dalam membendung makin mengguritanya kekuasaan rezim Orde Baru yang mengangkangi hak asasi manusia.

Harapan terwujudnya organisasi advokat yang mandiri, kuat, berwibawa, dan terhormat pun segera meledak saat pemerintah dan DPR menyepakati untuk mengesahkan UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Masyarakat Indonesia pun menanti dengan penuh harap akan peranan dari jabang bayi organisasi advokat, yang pembentukannya melalui perintah UU, terhadap cita–cita negara hukum, perlindungan hak asasi manusia, pembaharuan hukum, dan menjaga kehormatan masyarakat profesi hukum.

Sebagai klimaks adalah pembentukan organisasi advokat yang bernama Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) yang dibentuk melalui deklarasi para pimpinan delapan organisasi advokat, yaitu, Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat/Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal Indonesia (HKHPM), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) di Jakarta pada 7 April 2005.

Perhelatan besar ini dihadiri lebih dari 600 advokat Indonesia dan juga dihadiri oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia.

Namun, di usianya masih belia, organisasi advokat, khususnya PERADI, ternyata mendapat tantangan perpecahan kembali dengan berdirinya Kongres Advokat Indonesia (KAI) yang didirikan di Jakarta pada 30 Mei 2008 dan juga diaktifkannya kembali Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN) pada perayaan hari jadi PERADIN ke 44 pada 30 Agustus 2008 di Jakarta.

Ketiga organisasi advokat ini pun mengklaim sebagai organisasi profesi advokat yang diamanatkan oleh UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Namun, sangat disayangkan, tidak satu pun dari organisasi advokat ini yang menunjukkan kiprahnya sebagai organisasi advokat sejati yang menjadi penjaga terdepan pada tegaknya prinsip-prinsip negara hukum, perlindungan hak asasi manusia, pembaharuan hukum, dan menjaga kehormatan masyarakat profesi hukum.

PERADI, KAI, dan PERADIN nampak gagap dalam beragam isu pembaharuan hukum yang berpihak pada hak asasi manusia di antaranya isu RUU Rahasia Negara, Rancangan KUHAP, dan Rancangan KUHP.

Tak hanya itu, RUU Pengadilan Tipikor yang akan dibentuk melalui perintah Mahkamah Konstitusi pun tak terdengar kiprah dari tiga organisasi advokat ini. Bahkan ketiga organisasi advokat ini pun tidak bersuara dalam menyikapi problem hukuman mati dalam hukum pidana Indonesia.

Tak pelak, masyarakat hukum Indonesia pun menilai bahwa konflik perpecahan di antara para advokat hanyalah konflik kepentingan dan tidak ada isu yang sangat prinsip berkaitan dengan tegaknya prinsip-prinsip negara hukum, perlindungan hak asasi manusia, pembaharuan hukum, dan menjaga kehormatan masyarakat profesi hukum.

Perpecahan yang dilandasi konflik kepentingan jelas merugikan, tidak hanya kepentingan masyarakat luas, namun juga kepentingan advokat sendiri menjadi tidak terlindungi.
Perpecahan organisasi advokat telah menjadi penanda yang jelas bahwa cita–cita pembentukan negara hukum modern yang demokratis dan melindungi hak asasi manusia di Indonesia menjadi semakin sirna.

Anggara
Koordinator Divisi
(http://aa-rahmatullah.blogspot.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar