Minggu, 19 April 2015

Prof Jimly: Butuh Statesmanship Agar PERADI Tidak Pecah


“Saya bukan advokat, tapi saya tersentuh.”
Prof Jimly: Butuh Statesmanship Agar PERADI Tidak Pecah
Prof Jimly Asshiddiqie. Foto: RES
Perhelatan Musyawarah Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (Munas PERADI) di Makassar, Sulawesi Selatan, akhir Maret 2015 membuahkan hasil yang kurang positif. Selain gagal terlaksana, Munas juga memunculkan perpecahan di tubuh PERADI. Setidaknya terdapat tiga kubu yakni kubu yang pro penundaan Munas, kubu caretaker, dan kubu Juniver Girsang yang menyatakan telah terpilih menjadi Ketua Umum PERADI 2015-2020.
Kondisi seperti ini tentunya sangat memperhatinkan. Untuk kesekian kalinya, advokat Indonesia didera persoalan perpecahan. Sejumlah pihak menyayangkan jika PERADI menjadi terbelah. Salah satu yang menyuarakan keprihatinan itu adalah Prof Jimly Asshiddiqie. Pakar Hukum Tata Negara itu berpendapat kondisi ini tidak akan terjadi jika para pihak yang berkepentingan mampu menahan diri.
Ditemui hukumonline, Senin (13/4), di kantornya di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu di bilangan Thamrin, Jakarta, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu memaparkan panjang lebar pemikiran-pemikirannya terkait solusi atas persoalan yang tengah dihadapi PERADI. Berikut ini petikan wawancaranya:
Bagaimana pendapat Prof Jimly terkait Munas PERADI II yang gagal terlaksana dan bahkan menimbulkan perpecahan?
Saya menyayangkan bahwa tokoh-tokoh advokat tidak bisa menahan diri. Terus menerus gagal belajar dari masa lalu. Gagal belajar dari aneka peristiwa konflik dan perpecahan. Jadi ini menyedihkan. Karena untuk  membenahi sistem hukum di negara kita ini, disamping kita perlu membenahi dunia kehakiman, yang kedua, yang sangat strategis itu advokat.
Jadi kalau dunia advokat masih kayak gini, carut marut, dan para petinggi, tokoh-tokoh seniornya tidak mampu keluar dari jeratan-jeratan konflik yang sudah berlangsung begitu lama. Ini menyedihkan!
Jadi, bagaimana mengatasi persoalan ini?
Imbauan saya ya supaya ada statesmanship, kenegarawanan. statesmanship dalam arti luas. Walaupun sebagian tidak berpengalaman menduduki jabatan-jabatan bernegara dalam arti spesifik, tapi negara dalam arti luas ini kan menyangkut kita semua. Apalagi advokat sudah ditegaskan dalam undang-undang sebagai penegak hukum.
Nah, jadi imbauan saya, ya statesmanship-nya itu supaya dijaga. Siapa lagi yang bisa menyelesaikan masalah ini kecuali para tokoh-tokoh senior advokat sendiri.
Saya bukan advokat, tapi saya tersentuh. Cuma saya tidak bisa berbuat apa-apa karena saya bukan advokat, cuma saya merasa akrab dengan masalah ini. Jadi, kalau tidak ada upaya yang serius ke depan, sulit ini kita berkembang sebagai negara hukum yang sesungguhnya.
Statesmanship yang Prof Jimly maksud, itu konkretnya seperti apa?
Ya, saya berharap jadi masing-masing melepaskan diri dari kepentingan pribadi dan kelompok. Tapi bergerak ke arah yang lebih luas, melihat kepentingan yang lebih besar. Kepentingan profesi advokat dan lebih dari itu, kepentingan negara dan bangsa.
Tidak bisa kita membiarkan negara hukum kita ini carut marut terus begini tanpa kita melakukan pembenahan dunia advokat. Karena advokat itu, kita akan menemukan fungsi advokat di semua lini fungsi-fungsi hukum di negara kita.
Maka bayangan saya sangat besar pengaruhnya kalau organisasi advokat kita perbaiki. Kembalikan ke khittah-nya, visi dan misi, dan jati diri keberadaannya yang sebenarnya. Bahkan bukan hanya kepada jati diri identitas yang sebenarnya, juga harus kita kaitkan dengan perkembangan kenyataan di zaman sekarang. Dimana bernegara itu kita juga harus mengikuti standar-standar baru di seluruh dunia, dimana kelas menengah itu jadi penentu dalam sistem demokrasi modern.
Kelas menengah itu dia menjadi antara elit dengan massa. Kelas menengah ini ditentukan oleh profesionalisme. Profesionalisme itu ditentukan oleh sistem etika profesional.
Nah, semua bidang-bidang pekerjaan sekarang, itu dilembagakan melalui prinsip-prinsip profesionalisme. Di semua bidang; insinyur, ekonom, kedokteran, hakim. Jangan hanya melihat hakim sebagai pejabat negara. Tapi itu sebagai profesi membutuhkan suatu sistem kinerja yang berbasis pada sistem etika profesional.
Nah, kalau profesi-profesi ini bisa kita benahi, maka dia akan menentukan peradaban demokrasi kita makin tumbuh berkembang ke depan. Salah satunya adalah etika profesi hukum. Yang paling strategis di antaranya, dua, yaitu etika hakim dan etika advokat. ini yang sangat menentukan.
Kejadian seperti ini kan bukan yang pertama, menurut Prof Jimly apa sebenarnya yang menjadi akar masalah?
Ya, saya rasa karena akumulasi peran (PERADI, red) yang terlalu memperturutkan nafsu untuk mengkonsentrasikan semua peran dan mensentralisasikan semua kekuasaan, sambil menghindar dari negara, dari pemerintah, sehingga ini tidak ada induk seolah-olah. Jadi, seperti negara dalam negara begitu.
Sedangkan, dia (PERADI) tidak bisa mengelola sendiri sehingga pecah terus. Nah, jadi saya rasa perlu ada reinterpretasi, rekonstruksi hubungan peran antara organisasi negara dengan organisasi masyarakat. Sehingga organisasi profesional bernama PERADI itu menempatkan dirinya secara tepat di antara intermediate structure, antara state power, dengan society power, dengan civil society organization.
Jadi, PERADI ini di tengah. Dia bukan bagian dari organisasi negara pemerintah dalam arti sempit. Tapi dia juga jangan sama cara kerjanya dengan ormas. Maka struktur PERADI harus ditafsir ulang, harus dianalisa, harus direkonstruksi ulang.
Misalnya, apakah fungsi-fungsi yang dikerjakan organisasi PERADI selama ini, itu tepat dikerjakan oleh negara atau tepat dikerjakan oleh swasta? Jadi yang seharusnya yang ditangani oleh negara, ya biar negara yang urus. Yang harusnya dikerjakan oleh swasta, yang harus dikerjakan oleh masyarakat, biar masyarakat yang urus. PERADI itu jangan mengerjakan semua hal, sehingga tidak perlu rebutan resources (sumber daya).
Menurut saya, seperti kegiatan pendidikan. Itu kan bisa dikerjakan masyarakat, oleh ormas, tapi sertifikasinya, ujiannya, standardisasi kurikulumnya, itu oleh PERADI. Jadi dengan begitu ada pembagian.
Apakah rekonstruksi dan reinterpretasi bisa dilakukan tanpa mengubah undang-undang?
Ya, sebagian kita harus lihat undang-undangnya, tapi tidak melulu harus mengubah undang-undang. Sebab yang tidak dilarang oleh undang-undang, itu artinya boleh. Jadi kita jangan dulu mulai segala sesuatu dengan norma, tapi bangunlah dulu ide, baru nanti kita cek ke norma di undang-udangnya. Kalau memang tidak bisa tidak undang-undangnya harus diperbaiki, ya kita perbaiki.
Tapi seandainya tidak perlu pakai perbaikan undang-undang, di anggaran dasar kan bisa diperbaiki, karena anggaran dasar itu adalah konstitusinya organisasi. Di situ juga bisa mengatur hal-hal yang tidak dilarang undang-undang.
Nah, jadi kita harus menghitung dengan baik sehingga para advokat senior, tolonglah, saya mau diajak untuk berdialog untuk memikirkan dan mau membantu bagaimana memberikan dukungan informasi, dukungan pemikiran, kepada teman-teman advokat. asal ada kemauan untuk berbenah diri. Silakan. (www.hukumonline.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar