Kamis, 18 Desember 2014

Menikmati Hidup sebagai Pengacara “Bling”…



Kesuksesan kerap diukur melalui pencapaian yang kasatmata. Anda akan dinilai dari berapa banyak punya rumah, berapa jumlah mobil yang terparkir di garasi dan dari merek apa saja. Juga, bagaimana penampilan Anda di depan publik dan seberapa berpengaruhnya Anda.
Yang terakhir ini biasanya teramati dari seberapa luas pergaulan dan jaringan pertemanan. Apakah Anda sudah cukup beredar di lingkaran selebriti ataupun di dekat mereka yang berada di lingkaran kekuasaan?
Profesi pengacara termasuk dalam kelompok ini. Dalam beberapa tahun terakhir, kiprah mereka memenuhi liputan media cetak dan televisi. Terlepas apakah itu pertanda baik atau buruk bagi situasi hukum di Indonesia, yang jelas sosok pengacara begitu ramai memasuki wilayah publik.
Dengan kekhasan gaya mereka, sebutlah ada yang berpenampilan flamboyan, ada yang hobi menggertak, ada yang senang memprovokasi; kiprah mereka sudah menjadi bagian ”tontonan”. Atau dalam pandangan David Marshall, interaksi antara yang ditonton dan menonton itu produk dari sebuah ”kultur yang terobsesi pada selebriti” (The Celebrity Culture Reader, 2006).
Ukuran kesuksesan tecermin dalam gaya hidup mereka. Gaya pengacara kondang Hotman Paris Hutapea (49), misalnya, oleh The New York Times disejajarkan dengan gaya pengacara selebriti Hollywood, Johnnie Cochran, yang membela olahragawan OJ Simpson dalam dugaan kasus pembunuhan istrinya. Times saat itu menyoroti kasus yang ditangani Hotman, likuidasi Bank Andromeda yang dimiliki pengusaha paling berpengaruh Bambang Trihatmodjo, anak orang nomor satu di Indonesia saat itu, Soeharto (The New York Times, 6 Juli 1999).
Penampilan Hotman sehari-hari juga ”bling”. Di jari-jari kiri dan kanannya menempel cincin-cincin gemerlap bernilai miliaran rupiah, juga gelang, arloji yang berpendar-pendar. Dengan penampilan setelan jas dan mobil terbarunya, R-8 (Audi), lengkaplah sosok Hotman sebagai pengacara flamboyan.
Hotman, yang selama 20 tahun dididik advokat asing khususnya dalam bidang hukum bisnis internasional itu, mengakui sangat menikmati kesuksesannya. ”Hidup harus dinikmati. Ini hasil kerja keras saya selama 30 tahun. Lagi pula waktu cepat berlalu, setiap hari kita mendekati hari akhir,” kata pengacara yang kuat di bidang kepailitan itu. Untuk penyelesaian sebuah perkara secara paket, Hotman menetapkan fee sebesar 100.000 dollar AS.
Kini ia sedang menunggu datangnya mobil terbaru Ferrari California dengan empat tempat duduk, untuk melengkapi koleksi mobilnya yang sudah mendekati angka 20. Ferrari, R-8, Maserati di tengah belantara macet Jakarta? ”Ya, saya menikmati mobil itu sekitar jam 5 subuh, dari Kelapa Gading ke Sudirman, sekitar 10 menit. Kalau pagi saya bahagia karena jalanan kosong. Tetapi kalau sore saya jantungan, takut mobil saya keserempet karena dikelilingi ratusan motor di jalan,” katanya.
Mungkin kita akan bertanya, terus untuk apa punya mobil demikian mahal dan banyak kalau hanya bisa dinikmati 10 menit dalam sehari? Bagi Hotman, itu adalah cara menikmati kesuksesan. ”Saya manusia normal. Saya senang bila itu dikagumi orang lain,” kata pengacara yang mengaku memiliki lebih dari 60 rumah itu. ”Kebanyakan ruko, itu untuk investasi,” lanjutnya.
Disinggung apakah ia tak pernah merasa risi mengendarai mobil mewah di tengah kemiskinan yang kerap mencolok di jalanan, ia menjawab, ”Kemiskinan memacu saya untuk bekerja keras. Karena salah satu faktor penyebab kemiskinan adalah kemalasan. Ini menjadi dorongan bagi saya.”
Tanah
Bagi Elza Syarief (52), pengacara yang banyak menangani perkara di kalangan selebriti, termasuk Tommy Soeharto, soal mobil, rumah, perhiasan tak terlalu penting.
”Buat apa punya mobil mahal-mahal, baju mahal-mahal? Saya ini orangnya pragmatis. Bukannya pengin hemat, tetapi saya memilih untuk membeli barang yang fungsional saja. Baju paling cocok buatan Marks and Spencer, murah dan sering diskon. Mobil saya yang paling mahal cuma Fortuner,” kata Elza yang siang itu mengenakan cincin dan anting berkilauan. ”Ini imitasi,” katanya sambil tertawa.
Boleh saja Elza tak suka barang bermerek, tetapi dia gemar ”mengoleksi” tanah. ”Ha-ha-ha saya memang senang beli tanah. Kalau punya uang, saya beli tanah-tanah murah di daerah,” ujarnya.
Ia memiliki hektaran tanah, ratusan hektar tepatnya, di sejumlah daerah. Ia ”mengoleksi” sejumlah bidang tanah dengan beragam luas di Jakarta dan Depok. Di Puncak ia punya sekitar 10 hektar, sementara di Lampung cukup banyak, termasuk warisan dari almarhum ayahnya.
Di antaranya adalah tanah yang terdiri dari pantai dan pulau di Padang Cermin, Lampung Selatan. Di Padang Ratu, Lampung Tengah, ia memiliki hektaran tanah. Di Natar sekitar 6 hektar, dan di Rumbia 350 hektar.
Selain itu, Elza masih memiliki cottage di Carita yang luasnya sekitar 1 hektar, serta berencana untuk mengembangkan bisnis di Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan.
Menurut ibu tiga anak ini, berinvestasi di bidang tanah bisa memenuhi keinginannya yang lain. ”Dari dulu saya ingin membuka usaha yang bisa membuka lapangan kerja. Saya merasa enggak happy kalau hanya diri sendiri yang sukses, sementara ada orang yang untuk memenuhi standar hidup minimum saja susah,” katanya.
Terkait itu, ia membuka perkebunan sawit di Natar, membuka peternakan ikan tawar di Rumbia, dan keuntungan yang didapat dari usaha itu tidak diambilnya ”Kebetulan tanah-tanah saya di Lampung dikelilingi sungai sehingga kita bisa bikin sumur-sumur untuk kampung-kampung di sekitar,” katanya.
Kenapa sebagian besar tanahnya terpusat di Lampung, bukannya tanpa alasan. ”Kalau punya core bisnis bagusnya memang terkumpul di satu tempat. Jadi (di Lampung dan sekitarnya) ada kelapa sawit, wisata, ternak ikan, dan pertambangan,” kata perempuan yang juga menjadi Komisaris PT Gada Rajawali Dunia (GARD) yang bergerak di bidang pengamanan, dan Komisaris Utama PT Cemerlang Bumi Makmur yang bergerak di batu ziolit. Elza juga tengah merintis bisnis tambang batu bara, nikel, dan marmer.
Sudah berlalu
Bagi OC Kaligis, yang sudah lebih dari empat dekade berpraktik sebagai pengacara, masa-masa menikmati limpahan materi sudah lama berlalu. Mendekati kepala tujuh (Kaligis kini berusia 68 tahun), ia mengaku memilih jalan hidup yang lebih altruis, lebih berbagi kepada orang lain.
”Ada masa di mana saya punya mobil balap, punya lima Mercedes. Rasanya semua mobil hebat di masa itu sudah saya punya. Tetapi belakangan saya berpikir, untuk apa ya punya semua itu? Jadi saya jual semuanya sekaligus. Kenyamanannya sama saja kok. Buat saya yang penting di dalam mobil ada buku dan saya bisa menulis,” kata Kaligis yang menjadi pembela kasus Prita beberapa waktu lalu. Toh, ia mengaku masih memiliki koleksi jam tangan dalam jumlah ”banyak” dengan merek-merek terkenal, seperti Patek Philippe, Rolex, juga batu permata.
Pengacara yang pintu ruang kerjanya ditulisi ”The Boss” itu mengaku sejak muda sudah mampu merancang kiat-kiat tak lazim untuk membangun jaringan dengan kelompok berpengaruh dan menjadi ”sumber berita”. Misalnya saja, di zaman Soeharto ia menerapkan diplomasi golf, membangun forum komunikasi advokat-ABRI, dan menangani perkara artis-artis kelas atas.
”Saya pengacara pertama yang memulai menangani artis, sebut saja Lidya Kandouw, Nike Ardilla, Ida Iasha,” kata Kaligis yang menetapkan fee-nya 500 dollar AS per jam. Saat ini ia mengaku memiliki klien tetap sekitar 200 perusahaan yang kebanyakan berinvestasi di Indonesia.
Bahwa kiatnya itu kini banyak dipakai pengacara muda, ia tak keberatan. Bahkan, katanya, ia akan menuliskan semua kasus-kasus besar yang ditangani dalam bentuk buku sehingga bisa dipelajari pengacara lainnya. ”Kebanyakan pengacara egoistis, enggak mau bagi ilmunya kepada orang lain karena takut kehilangan pasar. Kalau buat saya, itu sebuah kebahagiaan untuk bisa share apa yang saya ketahui. Saat ini tidak banyak pengacara yang punya pengalaman membela arbitrase. Nah, kebetulan saya menang (kasus) soal asas kepatutan. Saya sudah bikin bukunya dan sudah keluar,” kata Kaligis yang dalam lima tahun terakhir sudah menulis 60 buku.
Mimpi
Di tengah materi yang berlimpah, para pengacara ini masih tetap menyimpan mimpi. Hotman Paris mengharuskan ketiga anaknya menjadi pengacara karena baginya itu adalah karier yang cepat memperoleh pekerjaan dan cepat terkenal. Tak heran sejak kecil mereka sudah dimasukkan ke kursus pengacara.
”Aku putra daerah, tetapi karierku sebagai litigation lawyer internasional sudah ke mancanegara. Cita-citaku, anak-anakku masuk ke sekolah hukum di luar negeri dan nantinya harus jadi pengacara internasional berlisensi praktik hukum di AS atau Inggris agar setingkat di atasku,” kata Hotman. Saat ini, putrinya, Felicia (13), sudah kursus kriminologi di Cambridge, sementara anak tertua, Frank, sedang kuliah di Kent University, Inggris.
Elza masih menyimpan cita-cita untuk mendirikan balai pendidikan bagi orang-orang tak mampu. Mereka akan memperoleh pelatihan untuk menjadi sopir, tukang masak, pengasuh anak, perawat rumah sakit, perawat orang jompo, dan lainnya sehingga tidak perlu mencari kerja ke luar negeri. Rencana ini ditargetkan bisa terwujud tahun 2011. ”Saya sedang mendiskusikan ini dengan Departemen Tenaga Kerja dan sejumlah ahli, bagaimana kita bisa membuka lapangan kerja melalui pelatihan gratis,” katanya.
Sementara mimpi Kaligis sudah lebih spiritual. ”Saya doanya sederhana, kalau meninggal nanti ingin dalam keadaan bisa menerima sakramen mahakudus. Itu saja. Meninggal dalam keadaan tobat dan tenang. Setiap hari saya berterima kasih dan berdoa agar diberi hati yang humble,” katanya. (http://rolastampubolon.wordpress.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar