Oleh Moh. Hibatul Wafi*
BAB I
BAB I
ETIKA DALAM PROFESI BIDANG HUKUM
A. LANDASAN TEORI ETIKA DAN PROFESI.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan etika ialah
ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, dan tentang hak serta
kewajiban moral; kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat. Istilah etika menghubungkan penggunaan akal budi
perseorangan dengan tujuan untuk menentukan kebenaran atau kesalahan dan
tingkah laku seseorang terhadap orang lain.
Dalam bahasa Indonesia, perkataan etika lazim juga disebut susila atau
kesusilaan yang berasal dari Sanskerta, yaitu su (indah) dan sila
(kelakuan). Jadi, kesusilaan mengandung arti kelakuan yang baik dan
berwujud kaidah, norma (peraturan hidup kemasyarakatan). Selain itu
dalam Ensiklopedi Indonesia, dijelaskan bahwa etika berasal dari bahasa
Inggris yakni Ethics, yang mengandung arti ilmu tentang kesusilaan, yang
menentukan bagaimana patutnya manusia hidup dalam masyarakat mengenai:
apa yang baik dan apa yang buruk; segala ucapan harus senantiasa
berdasarkan hasil-hasil pemeriksaan tentang perikeadaan hidup dalam arti
kata seluas-luasnya.
Menurut Magnis Suseno (1991: 15), salah satu fungsi utama etika yaitu
untuk membantu kita mencari orientasi secara kritis dalam berhadapan
dengan moralitas yang membingungkan. Di sini terlihat, bahwa etika
adalah pemikiran sistematis tentang moralitas, dan yang dihasilkannya
secara langsung bukan kebaikan, melainkan suatu pengertian yang lebih
mendasar dan kritis. Maka dalam pengertian tersebut, perlu dicari dengan
alasan sebagai berikut:
- Kita hidup dalam masyarakat yang semakin pluralistik, juga dalam bidang moral.
- Modernisasi membawa perubahan besar dalam struktur kebutuhan dan nilai masyarakat.
- Adanya berbagai ideologi yang menawarkan diri sebagai penuntun hidup.
- Diperlukan oleh kaum agama, yang di satu pihak menemukan dasar kemantapan mereka dan di lain pihak mau berpartisipasi tanpa takut-takut dengan tidak menutup diri dalam semua kehidupan masyarakat.
Secara sistematis, etika dibedakan menjadi etika umum dan etika khusus.
Kemudian, etika khusus dibedakan lagi menjadi etika individual dan etika
etika sosial. Etika umum membahas tentang prinsip-prinsip dasar dari
moral, sedangkan etika khusus menerapkan prinsip-prinsip dasar dari
moral itu pada masing-masing bidang kehidupan manusia. Etika khusus
individual memuat kewajiban manusia terhadap diri sendiri, dan etika
sosial membicarakan tentang kewajiban manusia sebagai anggota umat
manusia.
B. PROFESI- PROFESI DALAM BIDANG HUKUM.
Dengan perkembangan zaman yang begitu cepat, sebenarnya profesi di
bidang hukum sangat beragam. Akan tetapi, tanpa disadari bahwa bantuan
dan jasa hukum terkadang sering terabaikan dengan kondisi bangsa
Indonesia yang sangat memburuk. Hal ini tanpa adanya dukungan dari
pemerintah terhadap calon penegak hukum yang selanjutnya, di mana
profesi hukum sering terabaikan bahwa masyarakat luas mempunyai
pandangan yang bermacam-macam, mulai dari Pengacara yang sulit hidupnya
karena tidak jelas apa yang akan ditangani. Jaksa yang sering
dipersepsikan mendapatkan sogokan atau suap hingga Hakim yang dinilai
tidak bijaksana dalam memutuskan perkara perdata, pidana, tata usaha
negara, niaga, ataupun perkara lainnya.
Profesi di bidang hukum memang tidak akan lepas dari hal-hal yang
bersifat analitis, teoritis, logis, sistematis, dan bahkan tidak
terkecuali administratif. Adapun pembagian profesi dalam bidang hukum
yang dilandaskan pada teori atau doktrin bagi sistem hukum (corpus
juris), antara lain sebagai berikut:
- Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang yang mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman adalah UU No. 48/2009 dalam pasal 1 ayat (1), tersebut berbunyi “Kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum RI”. Undang-undang ini sangatlah penting, karena merupakan induk dari KUHAP, yang merupakan sumber hukum utama hukum acara pidana. Hakim adalah pejabat dalam peradilan negara yang diberikan kewenangan untuk mengadili sebuah perkara. Dalam suatu sidang perkara perdata dan pidana, biasanya terdiri dari 3 orang hakim, satu hakim ketua dan dua hakim anggota. Kecuali untuk peradilan acara cepat hanya ada satu hakim untuk setiap perkara. Kekuasaan yang merdeka berarti tidak boleh ada campur tangan dari pihak eksekutif (pemerintah), maupun legislatif. Seperti yang telah disebutkan dalam Bab Hukum Perdata Formal (Hukum Acara Perdata), maka kekuasaan kehakiman ini dilakukan oleh pengadilan-pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.
- Kejaksaan. Undang-Undang yang mengatur tentang Kejaksaan adalah UU No. 16/2004 dalam pasal 1 ayat (1), tersebut berbunyi “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Jaksa dinaungi oleh organisasi yang bernama Kejaksaan Republik Indonesia. Adapun tugasnya yang sesuai dengan pasal 30 ayat (1), antara lain: (a) Mengadakan penuntutan; (b) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; (c) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; (d) Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; (e) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
- Kepolisian Negara. Undang-Undang yang mengatur tentang Kepolisian Negara ini adalah UU No. 2/2002 dalam pasal 1 ayat (1), tersebut berbunyi “Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Untuk memelihara keamanan di dalam negeri ini, Kepolisian Negara mempunyai tugas yang luas sekali, di antaranya adalah memelihara ketertiban, menjamin keamanan umum, mencegah dan memberantas menjalarnya penyakit masyarakat, memelihara keselamatan orang, benda, dan masyarakat, termasuk melindungi serta memberikan pertolongan. Khususnya dalam bidang peradilan, Kepolisian Negara bertugas untuk mengadakan penyelidikan atas kejahatan dan pelanggaran menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan peraturan negara lainnya. Untuk pelaksanaan tugas penyelidikan tersebut, Kepolisian Negara berwenang sebagai menerima pengaduan, menangkap orang, menggeledah badan, menahan orang sementara, menggeledah, dan lain-lain.
- Pengacara atau Advokat. Undang-undang yang mengatur hal ini adalah UU No. 18/2003. Advokat adalah orang yang mendampingi pihak yang berperkara untuk memastikan klien yang didampingi mendapatkan hak-hak yang semestinya dalam melakukan tindakan hukum. Setiap orang yang telah lulus sarjana hukum bisa menjadi advokat, asalkan mengikuti pendidikan profesi advokat dan lulus ujian profesi advokat yang diadakan oleh organisasi profesi advokat. Untuk masyarakat yang tidak mampu, akan tetapi butuh didampingi advokat, maka dapat meminta bantuan kepada lembaga yang menyediakan bantuan hukum, seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH).
- Notaris. Notaris merupakan jabatan yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat, yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004.
- Juris (ahli hukum), guru besar (dosen). Juris atau guru besar dalam perkembangan ilmu hukum sangat besar kontribusinya, mereka mendidik para mahasiswa hukum, menjadi saksi ahli dalam persidangan, melakukan aktivitas advokasi kebijakan, dan melakukan studi.
Selain itu juga masih banyak profesi-profesi di bidang hukum, seperti
arbiter, juru sita, penuntut umum, kurator, mediator, panitera
pengadilan, peneliti hukum, dan sebagainya.
C. ETIKA DALAM PROFESI BIDANG HUKUM.
Secara jujur harus diakui, bahwa pengembangan etika profesi hukum di
Indonesia kurang berjalan dengan baik dalam dunia hukum kita. Banyak
pelanggaran etika profesi yang tidak mendapat penyelesaian secara
tuntas, bahkan terkesan didiamkan. Lembaga semacam dewan atau majelis
pertimbangan, profesi yang bertugas menilai pelanggaran etika masih
belum berwibawa di mata para anggotanya. Kondisi demikian menyebabkan
bahan kajian etika profesi hukum di Indonesia menjadi sangat kering dan
berhenti pada ketentuan-ketentuan normatif yang abstrak. Padahal, kajian
ini pasti akan lebih menarik jika dibentangkan bersama. Contoh kasus
nyata yang dihadapi para fungsionaris hukum kita. Munculnya berbagai
organisasi profesi sejenis dengan kode etiknya sendiri-sendiri, semakin
mengurangi nilai kajian ini di mata orang-orang yang mempelajari etika
profesi hukum.
Contoh lain misalnya, dalam peradilan yang sesat, yang merupakan di mana
kepolisian, kejaksaan, pengacara, dan kehakiman dalam menangani
kasus-kasus hukum ini yang disalahgunakan, dan bisa disebut dengan
peradilan yang menangani kasus tersebut, adanya teatrikal. Seharusnya
mereka menegakkan hukum, tapi dalam praktek lapangannya adalah berdagang
atas nama hukum dan kekuasaan. Jadi, kajian ini adalah mengilustrasikan
apa yang ada dalam praktek hukum berbeda ketika berada di lapangan,
yaitu dalam bermasyarakat.
BAB II
PRAKTEK KEPENGACARAAN (KEADVOKATAN)
Advokat menurut Pasal 1 ayat (1) UU Advokat adalah orang yang berprofesi
memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang
memenuhi persyaratan berdasarkan pada undang-undang ini. Selanjutnya
dalam UU Advokat dinyatakan bahwa advokat adalah penegak hukum yang
memiliki kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya, seperti hakim,
jaksa, dan polisi.
Advokat dalam bahasa Indonesia sehari-hari lebih sering/popular disebut
sebagai Pengacara atau Kosultan Hukum. Namun sejak diundangkannya UU
Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, sebagai undang-undang pertama yang
lahir sejak kemerdekaan Republik Indonesia yang khusus mengatur tentang
keberadaan Advokat sebagai suatu profesi yang bebas, mandiri, dan
bertanggung jawab dalam menegakkan hukum dan perlunya untuk dijamin dan
dilindungi oleh undang-undang demi terselenggaranya upaya penegakkan
supremasi hukum, istilah yang dipergunakan hanya Advokat, tidak lagi
mengenal istilah “pengacara maupun konsultan hukum”.
Di Indonesia, advokat termasuk profesi yang menjanjikan, terbukti dengan
jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta, Indonesia hanya
memiliki kurang lebih 100 ribu advokat. Yang berarti jumlah advokat
kurang dari 5% dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia. Dengan
banyaknya kasus-kasus yang terjadi, faktanya belum tentu semua perkara
yang ada dapat diselesaikan oleh para advokat yang ada. Oleh karena itu,
advokat menjadi suatu profesi yang sangat diminati oleh masyarakat,
khususnya bagi para Sarjana Hukum dan Sarjana Syari’ah. Karena
investasinya yang menjanjikan daripada profesi hukum lainnya.
Dengan alasan inilah, syarat untuk menjadi seorang advokat pun
dirumuskan, baik oleh Pemerintah maupun organisasi advokat itu
sendiri. Menjadi advokat, lebih mudah diraih daripada bercita-cita
menjadi pegawai negeri sipil. Karena hal yang paling diperlukan untuk
menjadi seorang advokat secara individual adalah keberanian. Secara
Undang-Undang, jalan yang harus ditempuh untuk menjadi advokat
disebutkan dalam:
- Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat: “Yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat”. Dalam penjelasan dari Pasal 2 ayat (1) disebutkan, yang dimaksud dengan “berlatar belakang pendidikan tinggi hukum” adalah lulusan fakultas hukum, fakultas Syari’ah, perguruan tinggi hukum militer, dan perguruan tinggi ilmu kepolisian. Dua lulusan pendidikan tinggi hukum terakhir telah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi dari undang-undang ini sehingga Sarjana Syari’ah setara dan hanya bersaing dengan Sarjana Hukum. Melalui pasal inilah jalan untuk menjadi advokat bagi Sarjana Syari’ah terbuka lebar. Sebagaimana yang kita ketahui sebelumnya, menjadi advokat bagi Sarjana Syari’ah sangatlah sulit bahkan tidak mungkin, karena dianggap tidak mampu dalm menjalankan profesi ini. Dengan adanya penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, seluruh Sarjana Syari’ah dapat menjadi Advokat tanpa halangan asal dapat memenuhi persyaratan yang telah diatur.
- Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyebutkan, untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: (a) Warga Negara Republik Indonesia; (b) Bertempat tinggal di Indonesia; (c) Tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara; (d) Berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun; (e) Berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum, sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1); (f) Lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat; (g) Magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat; (h) Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; (i) Berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi;
Penjelasan:
- Tidak Berstatus Sebagai Pegawai Negeri atau Pejabat Negara. Masalah ini menjadi perdebatan ketika dibicarakan mengenai diperbolehkannya pegawai negeri yang menjadi dosen di perguruan tinggi untuk menjadi Advokat khususnya pada bidang non-litigasi. Beberapa anggota DPR, mempertanyakan kenapa harus ada kekhususan kepada para dosen ? Mengapa tidak juga diberikan kepada pegawai negeri yang lainnya seperti pegawai biro hukum pada berbagai departemen dan staff pembinaan hukum pada POLRI maupun TNI ? Dengan berbagai pertimbangan atas perdebatan yang muncul maka disepakati bahwa seluruh pegawai negeri sipil dan militer tidak dapat menjadi Advokat, dengan ketentuan bahwa tidak ada larangan bagi para dosen yang tergabung pada lembaga bantuan hukum dari universitasnya untuk memberikan bantuan hukum secara Cuma-Cuma. Karena undang-undang ini tidak mengatur tentang bantuan hukum.
- Batas Umur Maksimum Untuk Menjadi Advokat. Persoalan umur ini menjadi perdebatan yang sangat alot diantara anggota DPR, ketika ada usulan bahwa syarat maksimum seseorang untuk menjadi Advokat adalah 40 tahun (bukan syarat seorang Advokat harus pension, karena tidak ada umur pension untuk Advokat). Usulan ini berdasarkan pertimbangan bahwa seseorang yang hendak berprofesi sebagai Advokat haruslah dimulai sejak awal sehingga diharapkan akan menekuni profesi Advokat secara serius dan dapat bekerja secara lebih professional. Pada sisi lain ada para anggota yang tidak ingin adanya pembatasan umur maksimum itu, beralasan bahwa profesi Advokat adalah profesi bebas, swasta yang dapat saja dilakukan oleh setiap orang yang ahli di bidang hukum. Karena itu profesi advokat membutuhkan keahlian yang dapat saja dijalani oleh siapa saja yang merasa ahli di bidang hukum. Masalah akan dipakai oleh masyarakat atau tidak, hal itu diserahkan pada mekanisme pasar. Oleh karena itu, tidak perlu ada batas umur maksimum untuk menjadi advokat. Akibat persoalan ini, pembahasan RUU Advokat tertunda sampai hamper satu tahun. Pada akhirnya ketika saat mengakhiri tugasnya, Panitia Kerja memutuskan untuk tidak membatasi umur maksimum ini.
- Hanya Sarjana Hukum atau Termasuk Sarjana Syari’ah. UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat telah memberikan kemungkinan kepada Sarjana Syari’ah untuk menjadi Advokat, akan tetapi hanya terbatas untuk berpraktek di lingkungan Peradilan Agama. Pertimbangannya karena pekerjaan seorang yang berprofesi Advokat harus benar-benar seorang juris yang mendalami ilmu hukum secara khusus. Pada sisi lain terdapat usulan bahwa Sarjana Syari’ah harus diperlakukan sama dengan Sarjana Hukum untuk menjadi Advokat dan tidak boleh ada diskriminasi, dengan pertimbangan bahwa Sarjana Syari’ah juga mempelajari Ilmu Hukum serta mendalami secara khusus Ilmu Hukum Islam. Masalah apakah jasanya dipakai oleh masyarakat atau tidak diserahkan kepada masyarakat, asal mereka lulus seleksi untuk menjadi Advokat. Perdebatan ini melebar sampai pada masalah, mengapa Advokat Sarjana Hukum boleh praktek di lingkungan Peradilan Agama, tetapi Sarjana Syari’ah tidak boleh praktek pada lingkungan Peradilan Umum? Perdebatan masalah ini menjadi lebih rumit karena Pemerintah pada akhirnya setuju dengan usulan diperbolehkannya Sarjana Syari’ah diperlakukan sama dengan Sarjan Hukum lulusan Fakultas Hukum, akan tetapi para Advokat yang menjadi anggota Tim Pemerintah tetap tidak setuju dengan usulan baru ini, bahkan menimbulkan perdebatan dan kontroversi yang mengemuka di media massa. Setelah melalui perdebatan panjang serta proses lobby antar fraksi dan pemerintah, persoalan ini diputuskan pada Rapat Pleno Komisi II bersama Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia yaitu pada detik-detik akhir pengambilan keputusan atas seluruh materi RUU ini dengan mengakomodir usulan diperbolehkannya Sarjana Syari’ah dan juga termasuk sarjana dari perguruan tinggi hukum lainnya (termasuk Sarjana Sekolah Tinggi Hukum Militer dan Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian) untuk menjadi Advokat asal lulus seleksi. Walaupun akhirnya, disetujui Sarjana Syari’ah dan Sarjana Perguruan Tinggi Hukum lainnya diperlakukan sama dengan Sarjana Hukum untuk menjadi Advokat, tetapi Advokat Adnan Buyung Nasution yang mewakili Organisasi Advokat memberikan catatan keberatannya.
Hak Imun bagi Advokat disinggung dalam Pasal 16 UU Nomor 18 Tahun
2003 tentang Advokat: “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata
maupun pidana dalam menjalankan tugas dan profesinya dengan i’tikad
baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang
pengadilan”. Walaupun tidak secara eksplisit menjelaskan tentang hak
imun, namun pasal ini mewakili definisi hak imun bagi advokat adalah hak
yang dimiliki oleh advokat berbentuk kekebalan hukum dalam menjalankan
profesinya sebagai advokat untuk membela klien di muka pengadilan. Dalam
pasal ini, ada 2 (dua) syarat hak imun seorang advokat yaitu:
- Beri’tikad baik.
- Di dalam Pengadilan.
Syarat yang pertama tidak menjadi perdebatan di kalangan para ahli
hukum, yang menjadi kontroversi adalah syarat yang kedua. Banyak para
pakar berpendapat bahwa seorang advokat memiliki kekebalan hukum baik di
dalam maupun di luar pengadilan dalam membela kliennya karena syarat
yang paling utama adalah harus adanya i’tikad baik, pendapat ini
dikemukakan oleh Ketua Umum PERADI, Otto Hasibuan dan Hamdan Zoelva
(sebagai salah satu penyusun UU Advokat).
Namun sayangnya pendapat kedua pakar ini bertolak belakang dengan bunyi
yang tertera jelas dalam Pasal 16 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
“dalam sidang pengadilan”. Sehingga jalan keluarnya adalah harus ada
amandemen penjelasan pasal ini sebagai tindak lanjutnya. Di dalam Pasal
10 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, dinyatakan bahwa
advokat berhenti atau diberhentikan dari profesinya secara tetap karena
alasan:
- Atas permohonan sendiri.
- Dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman 4 (empat) tahun atau lebih.
- Berdasarkan keputusan Organisasi Advokat yang disampaikan kepada Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan lembaga penegak hukum lainnya.
*Mahasiswa Program Studi Jurusan Akhwal Asy-Syakhsiyyah Fakultas
Syari'ah & Hukum Universitas Syarif Hidayatullah Ciputat Semester
12. Tulisan ini juga pernah dibagikan di Artikel Angkringanwarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar