Minggu, 12 Oktober 2014

PERBEDAAN ADVOKASI LITIGASI DAN NON LITIGASI

 
  1. Pengertian Advokasi

Advokasi secara bahasa artinya yaitu sokongan pendampingan, anjuran, pembelaan.
Dalam ketenagakerjaan, advokasi adalah suatu kegiatan atau serangkaian tindakan yang berupa anjuran, pendampingan, pernyataan maupun pembelaan yang dilakukan terhadap pekerja/anggota atau organisasi terhadap suatu kondisi/permasalahan tertentu.
Advokasi terbagi dua yaitu:
  1. Advokasi ligitasi yaitu segala bentuk advokasi dalam acara persidangan di pengadilan
  2. Advokasi non ligitasi yaitu segala bentuk advokasi di luar acara persidangan di pengadilan

  1. Advoksasi Litigasi

Advokasi Litigasi adalah salah satu bentuk advokasi hukum yang dilakukan melalui proses pengadilan, bahkan sebelum kasus atau satu perkara di sidangkan ke pengadilan, pendampingan klien atas pemeriksaan atau penyidikan di tingkat kepolisian, serta proses penuntutan di tingkat kejaksaan dapat juga dikatagorikan sebagai bentuk litigasi.

Di dalam melaksanakan advokasi hukum dalam bentuk litigasi ini jelas dibutuhkan keahlian dan ketrampilan serta pengetahuan tentang prosedur hukum beracara mulai dari tingkat kepolisian, kejaksaan, hingga tingkat pengadilan. Lazimnya proses advokasi hukum yang demikian ini dilakukan oleh kelompok professional yang memiliki izin untuk itu, yang biasanya dikenal dengan sebutan advokat atau penasehat hukum.

Penasehat hukum biasanya dalam mengadvokasi kliennya mulai dari:

  1. Pemeriksaan Pendahuluan
Adalah pemeriksaan tahap awal terhadap seorang tersangka yang dilakukan oleh penyidik. Kedudukan dari seorang tersangka dalam pemeriksan pendahuluan menurut sistem H.I.R, adalah sebagai obyeknya yang harus diperiksa atau obyek pemeriksaan artinya sebagai barang yang harus diperiksa wujudnya berhubung dengan adanya suatu persangkaan.

  1. Pemeriksaan Persidangan
Adalah pemeriksaan terhadap seorang terdakwa didepan sidang pengadilan, dimana hakim mengadili perkara yang diajukan kepadanya. Pemeriksaan persidangan ini berarti serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana. Pada persidangan ini terdakwa bebas memilih penasihat hukum untuk membantu terdakwa apabila hakim yang memeriksa menyalahi wewenang dan juga mengarah berat sebelah dengan penuntutan, sehingga akan merugikan hak azasi terdakwa dan terdakwa akan kehilangan hak azasinya. Peranan advokasi hukum dalam hal ini membantu melancarkan persidangan dan berusaha sekuat dan segala kemampuannya untuk membantu meringankan penderitaan terdakwa.

  1. Pemeriksaan biasa

Apabila pengadilan negeri berpendapat bahwa perkara yang diajukan kepadanya termasuk wewenangnya, maka ketua pengadilan negeri menunjuk hakim yang akan menyidangkan perkara tersebut dan hakim yang bersangkutan menetapkan hari sidang, memeritahkan penuntut umum memanggil terdakwa dan saksi untuk datang dipersidangan dengan surat panggilan yang sah yang harus deterima yang bersangkutan selambat – lambatnya tiga hari sebelum sidang. ( pasal 145, pasal 146, pasal 152, UU, No.8 th 1981 ). Acara pemeriksaan biasa dimulai dengan pembukaan sidang oleh hakim ketua sidang yang menyatakan sidang dibuka untuk umum, kecuali dalam perkara kesusilaan atau terdakwanya anak – anak yang menurut undang – undang harus disidangkan secara tertutup. Yang lebih dahulu diperiksa dalam sidang pengadilan adalah terdakwa, lalu saksi korban, lalu saksi – saksi lain baik yang meringankan maupun yang memberatkan terdakwa. Penuntut umum dan penasihat hukum mendapat kesempatan bertanya juga. Pada permulaan sidang, hakim ketua menanyakan identitas terdakwa secara lengkap dan mengingatkan agar terdakwa memperhatikan segala yang didengar dan dilihat dalam sidang. Kemudian hakim ketua sidang minta kepada penuntut umum untuk membacakan surat dakwaan dan menanyakan kepada terdakwa apakah sudah mengerti tentang dakwaan itu. Apabila tidak mengerti, maka penuntut umum atas permintaan hakim ketua sidang wajib memberi penjelasan yang diperlukan. Selanjutnya terdakwa atau penasihat hukumnya dapat mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang memeriksa perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan dan kepada penuntut umum diberi kekuasaan untuk menanyakan pendapatnya. Atas keberatan tersebut hakim mempertimbangkan dan untuk selanjutnya mengambil keputusan. Apabila hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, dan apabila tidak diterima atau hakim berpendapat hat tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan. Apabila penuntut umum berkeberatan terhadap keputusan hakim tersebut, maka ia dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan tinggi melalui pengadilan negeri yang bersangkutan. Terdakwa atau penasihat hukumnya dapat juga mengajukan perlawanan terhadap keputusan hakim tersebut kepada pengadila tinggi dan dalam waktu empat belas hari sejak diajukannya perlawanan tersebut apabila pengadilan tinggi menerimanya, maka dengan surat penetapannya membatalkan putusan pengadilan negeri dan memerintahkan pengadilan negeri yang berwenang untuk memeriksa perkara itu. Perlawanan terdakwa tersebut dapat diajukan bersama – sama dengan permintaan banding. Apabila pengadilan yang berwenang memeriksa perkara itu berkedudukan didaerah hukum pengadilan tinggi lain, maka kejaksaan negeri mengirimkan perkara tersebut kepada kejaksaan negeri dalam daerah hukum pengadilan negeri yang berwenang ditempat itu.

 Keputusan hakim dapat berupa salah satu dari tiga kemungkinan, yaitu :

1)      Pembebasan atau putusan bebas, jika kesalahan terdakwa tidak terbukti.
2)      Lepas dari tuntutan hukum, jika perbuatan terdakwa terbukti tetapi bukan merupakan tindak pidana.
3)      Pemidanaan atau pidan, jika kesalahan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan.


  1. Advokasi Non litigasi

Di samping melalui Litigasi, juga dikenal Alternatif penyelesaian sengketa di Luar Pengadilan yang lazim disebut Non Litigasi. Alternatif penyelesaian sengketa Non Litigasi adalah suatu pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau dengan cara mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri. Dewasa ini cara penyelesaian sengketa melalui peradilan mendapat kritik yang cukup tajam, baik dari praktisi maupun teoritisi hokum. Peran dan fungsi peradilan, dianggap mengalami beban yang terlampau padat (overloaded), lamban dan buang waktu (waste of time), biaya mahal(very expensif) dan kurng tanggap (unresponsive) terhadap kepentingan umum, atau dianggap terlalu formalistis (formalistic) dan terlampau teknis (technically). 
Dalam pasal (1) angka (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, disebutkan bahwa masyarakat dimungkinkan memakai alternatif lain dalam melakukan penyelesaian sengketa. Alternatif tersebut dapat dilakukan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.

Berikut adalah contoh strategi dalam advokasi non litigasi bagi PTK-PNF oleh LKBH:

Menurut Fiona Boyle et al., advokasi hukum tidak lain adalah seni tentang persuasi di dalam konteks hukum, yakni suatu persuasi yang berakar kepada pemahaman suatu kasus, dan pengetahuan yang cukup terhadap peraturan perundang-undangan, serta kemampuan persuasif sebelum kasus tersebut diperiksa di dalam pengadilan atau tribunal.

Berdasarkan rumusan yang demikian ini kemampuan advokasi sangat erat dengan unsur pengetahuan dan pemahaman terhadap hukum yang berlaku.  Kemampuan advokasi hukum lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah kemampuan interview, menyusun ilustrasi kasus (kronologi kasus), serta kemahiran di bidang penelitian dan analisis kasus hukum. Kemampuan tersebut pada prinsipnya dapat memberikan arah dan fokus advokasi yang efektif, yakni  menentukan apakah suatu kasus adalah kasus hukum atau bukan; bentuk advokasi hukum yang dibutuhkan; serta strategi mana yang dianggap paling sesuai untuk mencapai hasil yang diinginkan. 

Faktor lain yang tidak kalah pentingnya di dalam proses advokasi adalah faktor persiapan yang sudah dilakukan oleh pihak yang akan melakukan advokasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan suatu advokasi sangat ditentukan oleh bagusnya persiapan yang dilakukan sebelum advokasi dilakukan. Hal ini kiranya sangat sesuai dengan ungkapan yang menyatakan bahwa persiapan yang memadai merupakan setengah langkah dari keberhasilan. Adapun jenis persiapan yang perlu dilakukan di dalam melakukan advokasi   antara lain meliputi identifikasi kasus, yakni usaha untuk mendapatkan ilustrasi tentang anatomi kasus; menginventarisir bahan-bahan hukum; menganalisis alat-alat bukti; menyusun atau mengkonstruksi advokasi hukum serta memprediksi berbagai kemungkinan yang bakal terjadi terhadap jalannya kasus. Di samping itu persiapan penting lainnya adalah mempersiapkan diri si pemberi advokasi bahwa dirinya benar-benar yakin dan memiliki waktu dan kemampuan untuk menyelesaikan kasus yang tengah dihadapainya, atau setidaknya dia memiliki referensi alternatif, manakala kasus yang ditangani tersebut terhenti di tengah jalan, maka advokasi substitusi sudah siap untuk menggantikannya.
Untuk lebih jelasnya berikut ini akan diuraikan secara sederhana beberapa tahapan penting untuk dilakukan di dalam melakukan advokasi, yaitu:
  1. Identifikasi dan analisis kasus;
  2. pemberian pendapat hukum (legal memorandum); dan
  3. praktek pendampingan hukum.

  1. Tahap Identifikasi dan Analisis Kasus
Bahwa langkah pertama yang harus dilakukan di dalam proses advokasi hukum ialah melakukan identifikasi permasalahan atau kasus hukum yang hendak ditangani. Asumsinya adalah semakin awal diketahui seluruh aspek kasus hukum yang menjadi obyek advokasi, maka semakin fokus dan akurat advis dan langkah hukum  yang akan dilakukan.

 Sebagaimana diketahui, bahwa setiap kasus hukum tidak selalu berdimensi tunggal, akan tetapi tidak jarang suatu kasus mencakup di dalamnya lebih dari satu dimensi hukum, baik dimensi pidana, perdata bahkan juga dimensi hukum administrasi. Sebagai contoh sederhana, kasus hukum kekerasan di dalam proses belajar-mengajar --pemukulan peserta didik yang dilakukan oleh oknum pendidik dengan dalih penegakan disiplin—- setidaknya ada tiga aspek hukum yang bisa dikenakan dalam kasus ini, yaitu aspek pidana (penganiayaan); aspek perdata (ganti rugi atas dasar pebuatan melawan hukum); serta aspek hukum administrasi (pemberian skorsing, penghentian sementara tugas mengajar).
Akan tetapi tidak jarang pula suatu persoalan yang dimintakan advokasi hukum justru sama sekali bukan termasuk bidang garapan advokasi hukum melainkan garapan bidang institusi lainnya. Misalnya permasalahan keinginan sejumlah PTK-PNF untuk  diangkat statusnya menjadi pegawai negeri sipil. Jelas yang demikian ini bukan fokus advokasi hukum, melainkan bagian dari urusan biro kepegawaian. Oleh karena masalah tersebut bukan ranah hukum, akan tetapi masuk ke dalam katagori ranah administrasi.
Berdasarkan hal demikian ini, langkah identifikasi aspek hukum suatu kasus adalah sangat penting di dalam proses advokasi hukum. Proses identifikasi yang  akurat dan obyektif, akan menghasilkan langkah dan strategi yang tepat di dalam proses advokasi hukum, yaitu: 

1)      Sejak dini sudah dapat dipastikan bahwa kasus tersebut perlu dilakukan advokasi hukum ataukah tidak;
2)      Bahwa jika kasus tersebut adalah kasus hukum, maka aspekhukum apakah yang perlu diprioritaskan advokasi hukumnya;
3)      Jika kasus tersebut di luar bidang keahliannya perlukah meminta bantuan tenaga yang lebih expert;
4)      Ataukah tidak sebaiknya kasus tersebut disarankan untuk ditangani oleh pihak yang lebih berkompeten, dan seterusnya.

Selanjutnya langkah yang mesti ditempuh pasca identifikasi aspek hukum  suatu kasus  adalah fase analisis kasus (case analysis . Bahwa tahap analisis kasus ini dilakukan adalah untuk mengetahui secara obyektif duduk persoalan atau fakta empiris dari suatu kasus dengan cara mengumpulkan informasi dan berbagai alat bukti yang berkaitan dengan kasus tersebut. 

Kemudian setelah itu dilakukan pula proses inventarisasi peraturan hukum maupun jurisprudensi yang berhubungan dengan kasus yang perlu diadvokasi tersebut. Bahkan perburuan informasi melalui literatur dan studi kepustakaan adalah sesuatu yang niscaya di dalam menganalis suatu kasus, karena  ada kemungkinan kasus yang tengah dihadapi ternyata pernah terjadi atau setidaknya mirip dengan kasus di tempat lain. Seterusnya jika dirasa perlu, konsultasi dengan kaum intelektual hukum yang ahli di bidangnya perlu dilakukan untuk memperoleh kejelasan suatu kasus.

Berdasarkan serangkaian investigasi fakta dan norma hukum tersebut, maka kasus tersebut setidaknya telah diketemukan jawabannya secara hipotetis atau secara apriori, yakni:
1)      tentang kedudukan klien, posisinya kuat (pihak yang benar) ataukah justru lemah (pihak yang salah);
2)      alat-alat bukti apakah yang mesti dihadirkan untuk memperkuat posisi klien;
3)      strategi apakah yang perlu ditempuh di dalam proses advokasi tersebut;
4)      prediksi mengenai probabilitas berhasil tidaknya advokasi hukum itu, dan seterusnya.

Berdasarkan uraian di atas dapatlah disimpulkan, bahwa langkah identifikasi masalah dan analisis kasus pada dasarnya adalah ketrampilan hukum atau lebih tepatnya ketrampilandi bidang penelitian hukum.

  1. Tahap Pemberian Pendapat Hukum (Legal Memorandum)

Pendapat hukum atau legal memorandum sesungguhnya adalah salah satu jenis penulisan esai yang berkenaan dengan isu hukum. Memo hukum ini biasanya ditulis bedasarkan hasil kajian dan penelusuran hukum oleh mahasiswa hukum maupun advokat. Isi memo hukum tersebut antara lain berkenaan dengan isu atau permasalahan hukum, kesimpulan, diskusi penerapan hukum terhadap suatu peristiwa, catatan atau kemungkinan implikasi hukum kasus tersebut, serta rekomendasi yang dihasilkan berdasarkan diskusi.

Dalam kaitannya dengan tahapan advokasi sebelum ini, yaitu tahap identifikasi dan analisis kasus, maka pendapat hukum atau memo hukum ini tidak lain adalah catatan pihak pemberi layanan advokasi terhadap kliennya mengenai posisi kasus, prediksi kasus, catatan-catatan kritis atas kasus tersebut, serta rekomendasi yang disarankan untuk dilakukan oleh klien.

Bahwa pemberian pendapat hukum ini harus diberikan secara obyektif dan tidak boleh ditutup-tutupi, termasuk konsekuensi atau dampak yang akan terjadi manakala kasus tersebut terpaksa diselesaikan melalui mekanisme advokasi hukum. Dengan demikian, diharapkan keputusan yang diambil klien betul-betul obyektif, tidak emosional dan tidak obsesif atau wishful thinking.

  1. Tahap Pendampingan Hukum

Bahwa pada tahap ini, pihak penyedia layanan advokasi hukum (LKBH) telah menyatakan kesediaanya untuk melakukan advokasi hukum sebagaimana dikehendaki oleh pihak klien. Berkenaan dengan implementasi advokasi hukum ini ada baiknya diperhatikan, hal-hal yang perlu ditegaskan di dalam proses advokasi agar dapat berjalan efektif. Yaitu:
1)      Aspek legitimasi proses advokasi hukum melalui pemberian surat kuasa;
2)      Aspek kontraktual yang berisi kesepakatan mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak;
3)      Aspek logistik atau yang berkenaan dengan masalah finansial yang dibutuhkan selama proses advokasi tersebut.
Dalam kaitan ini, ada baiknya sebagai ilustrasi perbandingan, diketengahkan ketentuan, syarat,  prosedur advokasi hukum yang dilakukan oleh LKBH  Universitas Muhammadiyah Malang yang menjadi partner Direktorat PTK-PNF, yakni antara lain:
                        Bahwa advokasi hukum diberikan kepada:
1)      Tenaga pendidik yang masih berstatus PTK-PNF, yang dibuktikan dengan surat keputusan atau surat tugas PTK-PNF yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang;
2)      Terdapat permasalahan hukum atau permasalahan profesi yang terkait dengan pelaksanaan tugas sebagai PTK-PNF; dan Layanan advokasi hukum tidak dikenai biaya apapun.Sementara itu prosedur advokasi hukum diberikan kepada PTK-PNF dengan cara: PTK-PNF yang bersangkutan atas inisiatif sendiri atau atas permintaan asosiasi mengajukan permohonan  advokasi hukum, baik secara lisan maupun secara tertulis; LKBH segera melakukan verifikasi terhadap permohonan yang diajukan; Jawaban atau rekomendasi dari LKBH diberikan secara tertulis paling lambat tujuh hari setelah permohonan masuk.
Selanjutnya penanganan kasus melalui advokasi hukum yang dilakukan LKBH, setidaknya harus memenuhi empat indicator, yakni:
1)      Aspek kemendesakan (urgensi);
2)      Aspek tingkat ancaman;
3)      Aspek hasil analisis kasus; dan
4)      Aspek rekomendasi.

Strategi Advokasi Hukum

Strategi yang digunakan di dalam proses advokasi hukum tentunya sangat ditentukan oleh pendekatan yang dilakukan di dalam keseluruhan proses advokasi. Strategi yang dipilih juga bergantung kepada cara pandang terhadap advokasi itu sendiri, yakni berkaitan dengan seberapa besar harapan yang akan diperoleh berupa konsesi, pemberian timbal balik, maupun solusi yang mungkin bisa dicapai. Dengan kata lain strategi dapat dimaknai sebagai taktik yang digunakan untuk mencapai hasil yang terbaik sesuai dengan yang diharapkan.
Sesungguhnya di dalam literatur tidak dijumpai model strategi advokasi hukum, oleh karena proses advokasi hukum tidak berkaitan dengan teknik meyakinkan pihak lawan dengan bujukan, ancaman atau pun tawaran berupa pemberian suatu konsesi tertentu. Advokasi hukum justru melakukan persuasi kepada pihak lawan dengan menggunakan dalil-dalil hukum dan fakta-fakta obyektif untuk memaksa lawan melakukan tindakan tertentu. Model strategi yang dikenal dalam proses advokasi, justru dijumpai di dalam salah satu varian advokasi hukum yaitu proses negoisasi. Jika strategi negoisasi itu dianalogikan terhadap proses advokasi hukum, maka strategi advokasi hukum dibedakan atas lima macam, yakni:

  1. Strategi Kompetitif;
  2. Strategi Kooperatif;
  3. Strategi Pemecahan Masalah  (Problem Solving);
  4. Strategi Mengelak (avoiding);
  5. Strategi Akomodatif.

  1. Strategi Kompetitif;
Strategi ini menggunakan pendekatan diameteral atau saling berhadap-hadapan antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Kedudukan masing-masing pihak berada di antara posisi ekstrim yaitu menang atau kalah. Tujuan  yang hendak dicapai melalui strategi kompetitif adalah untuk menghancurkan kepecayaan diri pihak lawan. Di samping itu juga diharapkan memperoleh keuntungan sebanyak mungkin dari pihak lawan yang kalah.
Kelebihan strategi adalah:
1)      Sangat membantu penyelesaian kasus terutama kasus kecil atau sederhana;
2)      Bersifat intimidatif, terutama dalam kondisi perimbangan kekuatan yang timpang; dan Efektif digunakan pada awal advokasi hukum, ketika pihak lawan belum mengetahui kekuatan atau kelemahan yang sesungguhnya.
Sedangkan kekurangan strategi ini adalah:
1)      Tidak kreatif untuk mencari solusi alternatif;
2)      Tidak realistis;
3)      Sulit untuk dilakukan dalam waktu yang agak lama;
4)      Dapat menimbulkan reaksi yang tidak diharapkan.

  1. Strategi Kooperatif;
Pendekatan kooperatif di sini dimaksudkan untk memperoleh hasil yang terbaik dari masing-masing pihak. Para pihak bertujuan untuk membuat kesepakatan yang saling menguntungkan satu sama lain, dengan cara mengabaikan konflik, saling berusaha mempercayai, menawarkan konsiliasi, kemauan untuk saling memberi, saling terbuka.
                        Adapun keuntungan strategi kooperatif antara lain:
1)      Kemustahilan terjadinya dead lock;
2)      Terjaganya hubungan baik para pihak;
3)      Minimnya ketegangan dan tingkat stress di antara para pihak.
                        Sementara itu sisi kelemahannya pendekatan ini, ialah:
1)      Para pihak dipersepsikan lemah tidak berdaya;
2)      Membutuhkan informasi yang memadai tentang pihak lain;
3)      Berisiko tinggi  jika salah satu pihak beriktikad tidak baik sedangkan kesepakatan belum selesai seluruhnya.

  1. Strategi Pemecahan Masalah
Strategi ini berkonsentrasi untuk menemukan solusi kreatif di dalam usahanya memberikan bagian atau interest kepada kedua belah pihak. Tujuan utama strategi ini ialah menganggap suatu pemasalahan itu dapat dipisahkan dari manusia – sebagaimana kata orang bijak, bahwa tidak ada persoalan yang tidak ada jalan keluarnya--  tentunya melalui berbagai opsi yang dituangkan dalam kesepakatan kontraktual.

                        Karakteristik strategi ini antara lain:
1)      Berusaha untuk memahami pihak lainnya secara emphati;
2)      Menghargai ikatan emosional di antara para pihak;
3)      Fokus terhadap masing-masing kepentingan pihak lain;
4)      Menekankan kepada komunikasi yang baik; dan
5)      Melahirkan solusi kreatif dan inovatif.
                        Sementara itu keunggulan strategi ini ialah:
1)      Tidak saling menjatuhkan, dead lock dapat dihindari;
2)      Fokus kepada permasalahan utama;
3)      Kreatif.
                  Sedangkan kelemahan stategi ini, adalah:
1)      Membutuhkan informasi lebih banyak ;
2)      Sulit dilakukan jika pihak lain tidak menghendaki strategi ini;
3)      Tidak realistis, agaknya sulit ditemui proses advokasi yang menghasilkan kepuasan di antara para pihak yang bertikai.

  1. D.    Strategi Mengelak (Avoiding) 
Strategi ini tujuan utamanya adalah mencari-cari alasan untuk menolak berbagai bentuk kemajuan riil yang dicapai dalam proses advokasi. Dalam praktek strategi sudah jarang dipakai, karena strategi ini digunakan dalam keadaan terdesak, dan sifatnya hanya mengulur-ulur waktu saja (buying time).
                         Adapun kelebihan strategi ini ialah:
  1. Dapat meletakkan pihak lawan dalam posisi di bawah tekanan (under pressure);
  2. Memaksa pihak lawan untuk mengambil inisitif;
  3. Dapat menunda pelaksanaan kesepakatan melalui cara mengulur waktu.
                  Sedangkan keburukan strategi ini adalah:
1)      Dapat memberikan keleluasan pihak lawan untuk mengendalikan pihak yang mengelak;
2)      Adanya ancaman untuk diselesaikan lewat jalur pengadilan dengan kekuatan sita dan eksekusinya;
3)      Bertentangan dengan hukum acara yang menganjurkan penyelesaian kasus secara sederhana dan tidak berbelit-belit;
4)      Strategi ini tidak etis.

  1. E.     Strategi Akomodatif 
Strategi ini sering dipadankan dengan strategi kooperatif yang dilakukan secara ekstrem. Strategi akomodatif melibatkan kesepakatan terhadap penawaran pihak lawan secara ekstrem.  Yaitu kemungkinan penerimaan tawaran pihak lawan tanpa persyaratan apapun. Karakteristik strategi ini mungkin hanya digunakan oleh keompok advokasi hukum yang kurang berpengalaman. Kelebihan strategi ini tida ada, sedangkan kelemahannya terletak pada kegagalannya untuk meraih hasil yang baik, hampir-hampir tidak mungkin diperoleh.
 (https://www.facebook.com/notes/n-togakratu/perbedaan-mediasi-advokasi-litigasi-dan-non-litigasi/10150478059672162)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar