Muqaddimah
Sesungguhnya syariat Islam adalah syariat yang sempurna dan paripurna yang membahas segala hal yang dibutuhkan oleh hamba. Di antara sekian bukti akan hal itu adalah konsep Islam yang sangat jelas tentang pengadilan. Dan di antara sekian bahasan dalam pengadilan adalah “pengacara”. Nah, apakah masalah pengacara dibahas dalam Islam? Adakah penjelasannya dalam kitab-kitab para ulama?! Bagaimana kriteria pengacara dalam Islam?! Inilah yang akan menjadi topik bahasan kita kali ini. Semoga Allah memberikan pemahaman kepada kita semua.[1]
Definisi Pengacara
Pengacara (advokat) adalah ahli hukum yang berwenang sebagai penasihat atau pembela perkara dalam pengadilan.[2]
Dalil Disyariatkannya Pengacara
Adanya pengacara dalam persidangan adalah perkara yang dibolehkan, berdasarkan dalil-dalil yang banyak dari Alquran, hadits, ijma’, dan akal.
1. Dalil Alquran
إِنَّآ أَنزَلْنَآ إِلَيْكَ ٱلْكِتَـٰبَ بِٱلْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ ٱلنَّاسِ بِمَآ أَرَىٰكَ ٱللَّهُ ۚ وَلَا تَكُن لِّلْخَآئِنِينَ خَصِيمًۭا
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat. (QS. an-Nisa’ [4]: 105)
Dalam ayat ini terdapat larangan menjadi pengacara secara batil, berarti kalau dalam kebenaran maka dibolehkan. Syaikh as-Sa’di (1376 H) berkata, “Pemahaman ayat ini menunjukkan bolehnya sebagai pengacara bagi seorang yang tidak dikenal dengan kezaliman.” [3]
2. Dalil Hadits
Dari Fathimah binti Qois radhiallahu ‘anha bahwasanya Abu ’Amr menceraikannya tiga cerai dari kejauhan dirinya, dia mengutus wakilnya untuk membawakan gandum kepada Fathimah, tetapi Fathimah malah marah kepadanya. Lalu wakil tersebut mengatakan, “Demi Allah, kamu itu tidak memiliki hak lagi.” Setelah itu Fathimah melapor kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu bersabda, “Tidak ada kewajiban baginya untuk menafkahimu lagi.” (HR. Muslim: 1480)
Hadits ini menunjukkan bolehnya perwakilan dalam persengketaan (pengacara), karena Fathimah melaporkan perkara wakil suaminya tersebut kepada Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam, namun Nabi tidak mengingkarinya, berarti beliau menyetujui adanya wakil dalam persengketaan.[4]
3. Dalil Ijma’
Secara global, tidak ada perselisihan di kalangan ulama tentang bolehnya mewakilkan dalam persengketaan baik dalam harta, pernikahan, dan sejenisnya.[5] Bahkan, secara khusus sebagian ulama telah menukil adanya ijma’ dalam masalah ini. As-Sarakhsi (490 H) berkata, “Perwakilan dalam pengadilan sudah ada semenjak masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga hari ini tanpa adanya pengingkaran dari siapa pun.” [6] As-Sumnani (499 H) menjelaskan tentang pengacara, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah mewakilkan, demikian juga para imam yang adil dari kalangan sahabat dan tabi’in. Hal ini juga diamalkan oleh manusia di semua negara.” [7]
4. Dalil Akal
Seorang kadang-kadang membutuhkan wakil dalam persidangan, entah karena dia tidak suka perdebatan atau tidak memiliki keahlian dalam berdebat—baik membela atau membantah—maka sangat sesuai jika syariat membolehkannya.[8]
Bolehkah Berprofesi Sebagai Pengacara?
Berprofesi sebagai pengacara hukumnya boleh apabila untuk membela kebenaran dan menolong orang yang terzalimi, baik dengan mengambil gaji atau tidak. Dalilnya adalah firman Allah:
إِنَّمَا ٱلصَّدَقَـٰتُ لِلْفُقَرَآءِ وَٱلْمَسَـٰكِينِ وَٱلْعَـٰمِلِينَ عَلَيْهَا وَٱلْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَٱلْغَـٰرِمِينَ وَفِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةًۭ مِّنَ ٱللَّهِ ۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌۭ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. at-Taubah [9]: 60)
Dalam ayat ini terdapat dalil bolehnya pemerintah mewakilkan seorang untuk mengambil zakat dan membagikannya kepada yang berhak dengan adanya imbalan bagi amil zakat tersebut.[9] Kalau amil zakat berhak mendapatkan imbalan atas pekerjaannya, maka demikian juga pengacara berhak mendapatkan imbalan atas pekerjaannya.
Lajnah Da’imah (komite fatwa) Arab Saudi pernah ditanya tentang hukum profesi sebagai pengacara, maka mereka menjawab, “Apabila dia berprofesi sebagai pengacara bertujuan untuk membela kebenaran, menumpas kebatilan dalam pandangan syariat, mengembalikan hak kepada pemiliknya, dan menolong orang yang terzalimi, maka hal itu disyariatkan, karena termasuk tolong-menolong dalam kebaikan. Adapun apabila tujuannya bukan demikian maka tidak boleh karena termasuk tolong-menolong dalam dosa. Allah berfirman,
وَكَيْفَ يُحَكِّمُونَكَ وَعِندَهُمُ ٱلتَّوْرَىٰةُ فِيهَا حُكْمُ ٱللَّهِ ثُمَّ يَتَوَلَّوْنَ مِن بَعْدِ ذَٰلِكَ ۚ وَمَآ أُولَـٰئِكَ بِٱلْمُؤْمِنِينَ
“Dan bagaimanakah mereka mengangkatmu menjadi hakim mereka, padahal mereka mempunyai Taurat yang di dalamnya (ada) hukum Allah, kemudian mereka berpaling sesudah itu (dari putusanmu)? Dan mereka sungguh-sungguh bukan orang yang beriman.” (QS. al-Ma’idah [5]: 43)[10]
Bahkan, sebenarnya kalau kita membuka sejarah Islam, profesi pengacara sudah ada sejak dahulu sekalipun tidak mesti dalam setiap persidangan. Bukti akan hal itu banyak sekali, di antaranya apa yang dikatakan oleh as-Sumnani (499 H), “Bab tentang pengacara dan kewajiban mereka.” [11] Bab ini menunjukkan bahwa profesi pengacara sudah ada sejak dahulu. Bahkan, dalam kitab biografi, ada sebagian orang yang dikenal sebagai pengacara, seperti Abu Marwa Utsman bin Ali bin Ibrahim (346 H), beliau dikenal sebagai pengacara yang profesional.[12]
Syarat-Syarat Berprofesi Sebagai Pengacara
Pada zaman sekarang, banyak keluhan tentang adanya para pengacara yang tidak memenuhi standar agama dan tidak memiliki kriteria yang diharapkan. Karena itu, penting sekali kita mengetahui syarat-syarat sebagai pengacara dalam Islam dan kewajiban mereka:
1. Mengetahui hukum-hukum syar’i
Seorang pengacara sejati harus memiliki ilmu tentang hukum-hukum syar’i seputar muamalah baik yang berkaitan tentang pernikahan, kriminal, pengadilan, dan sebagainya. Sebab, bila tidak demikian maka dia akan lebih banyak merusak daripada memperbaiki.
Ibnu Abdi Dam (642 H) menjelaskan faktor tentang tujuan dia menulis kitab tentang adab-adab seorang hakim, “Tujuan inti dari memaparkan masalah ini agar mudah diketahui oleh para pengacara yang merupakan wakil dari hakim dalam menyelesaikan persengketaan hukum.” [13]
2. Adil dan terpercaya
Seorang pengacara harus memiliki sifat amanat, menjaga rahasia, dan adil, karena dia mengemban kepentingan kaum muslimin yang telah memberikan kepercayaan mereka kepada para pengacara.[14]
3. Pria
Seorang pengacara harus pria sebab dia akan sering berurusan dengan banyak lelaki baik hakim, saksi, terdakwa, dan sebagainya, dan sering tinggal di kantor pengacara dan kantor persidangan, padahal semua itu bertentangan dengan tugas seorang wanita yang sejatinya tetap tinggal di rumah, menunaikan tugas rumah, merawat anak-anak, dan tugas-tugas mulia lainnya. Cukuplah profesi ini ditangani oleh kaum pria saja[15]. Sebab itu, dalam undang-undang sebagian negara kafir pun ada larangan pengacara dari kaum wanita.[16]
Pengacara yang Tidak Lulus Sensor
Ada beberapa hal yang dapat menghalangi seorang pengacara untuk lulus menjadi pengacara ideal, di antaranya:
1. Bertujuan untuk menyakiti musuh
Hal itu dilarang karena tidak boleh bagi kita untuk menyakiti sesama muslim. Allah berfirman:
وَٱلَّذِينَ يُؤْذُونَ ٱلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَـٰتِ بِغَيْرِ مَا ٱكْتَسَبُوا فَقَدِ ٱحْتَمَلُوا بُهْتَـٰنًا وَإِثْمًا مُّبِينًا
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. al-Ahzab [33]: 58)
Oleh karena itu, apabila pengacara memiliki permusuhan pribadi dengan lawannya maka tidak boleh ia menjadi pengacara (pada kasus tersebut) karena dia akan berusaha untuk menyakitinya dan meluapkan dendamnya kepada orang tersebut kecuali bila dia (musuhnya) ridha.[17]
2. Suka Berbelit-belit
Apabila ada seorang pengacara yang dikenal berbelit-belit sehingga mengutarakan hal-hal yang tidak ada kenyataannya dengan tujuan untuk memperpanjang masalah dan menyakiti lawan, maka dia tidak boleh diangkat sebagai pengacara.[18]
3. Bila Hakim Pilih Kasih Kepadanya
Apabila ada indikasi kuat bahwa hakim akan pilih kasih kepadanya baik karena hubungan kerabat atau hubungan kawan dekat dan sebagainya maka tidak boleh sebagai pengacara dalam kasus tersebut. Oleh karenanya, Syaikh Muhammad bin Ibrahim alu Syaikh berpendapat bahwa hendaknya hakim tidak menjadi hakim dalam kasus yang pengacaranya adalah anaknya sendiri.[19]
4. Sebagai Penggugat dan Pembela dalam Satu Kasus
Masalah ini diperselisihkan oleh ulama, namun pendapat terkuat adalah tidak boleh karena hal itu kontra, bagaimana dia menjadi penggugat dan dalam waktu yang sama dia menjadi pembela?! Ini adalah madzhab Hanafiyyah dan pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi’iyyah.[20]
Kewajiban Pengacara
Ada beberapa kewajiban yang harus diperhatikan oleh para pengacara:
1. Melaksanakan Tugas
Kewajiban pengacara adalah melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya dan tidak melampuinya, karena dia adalah wakil dari seorang yang telah mewakilkannya.[21]
2. Menghormati Majlis Pengadilan
Pengacara harus beradab dan menghormati sidang pengadilan baik kepada hakim, terdakwa, dan saksi. Dia berkata sopan kepada mereka dan tidak mengeluarkan kata-kata yang kotor[22]. Dan tidak mengapa untuk menyebutkan tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepadanya sekalipun dengan menyifati penuduh dengan kezaliman karena hal itu bukanlah termasuk ghibah yang terlarang.[23]
3. Memenuhi Panggilan Mahkamah Pengadilan
Pengacara harus segera untuk memenuhi panggilan mahkamah pengadilan ketika diminta datang dalam waktu yang ditentukan seraya menghadirkan data-data dan dokumen yang diperlukan. Semua itu dengan keterangan yang jelas dan data yang komplet. Janganlah dia berbelit-belit dan mempersulit jalannya sidang karena hal itu hanya akan memperuncing masalah.[24]
4. Menjunjung Tinggi Kejujuran
Pengacara harus menjunjung tinggi kejujuran. Tugasnya adalah membela kebenaran dan tidak boleh baginya untuk membela kebatilan dan kesalahan. Seandainya seseorang memberikan keterangan-keterangan yang bohong maka tidak boleh sang pengacara menyembunyikannya, tetapi harus menjelaskan fakta sesungguhnya dengan jujur dan adil.[25]
5. Mencurahkan Tenaganya
Pengacara harus berusaha semaksimal mungkin untuk melaksanakan tugasnya baik membantah tuduhan, menyampaikan bukti, atau membela hak. Tidak boleh dia menipu atau memberikan keterangan sebelum waktunya yang sesuai atau mengakhirkannya dari waktu yang sesuai.[26]
6. Menjaga Rahasia
Apabila ada hal-hal yang seharusnya dirahasiakan maka tidak boleh pengacara membongkarnya, apalagi hal-hal yang berkaitan dengan pribadi rumah tangga atau menyebabkan kerusakan di masyarakat.[27]
7. Memiliki kantor atau rumah yang mudah diketahui
Tujuannya, jika sewaktu-waktu dibutuhkan oleh hakim atau terdakwa maka dengan mudah dapat dihubungi[28]. Dan hal itu pada zaman sekarang sangat mudah dengan adanya alat telekomunikasi yang modern.
Demikianlah penjelasan secara singkat tentang pengacara dalam Islam. Semoga bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi para pengacara dan calon pengacara yang ingin sukses dunia dan akhirat.
***
Penulis: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi
Artikel http://abiubaidah.com/profesi-pengacara-mengapa-tidak.html/
Artikel http://abiubaidah.com/profesi-pengacara-mengapa-tidak.html/
Footnote:
[1] Penulis banyak mengambil faidah untuk pembahasan ini dari tulisan Syaikh Abdulloh bin Muhammad alu Khunain berjudul “Al-Wakalah ’ala Khushumah wa Ahkamuha al-Mihaniyyah fil Fiqih Islami wa Nizhomil Muhamat Su’udi”, dimuat dalam Majalah al-’Adl edisi 15, Rojab 1423 H.
[2] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III (2005)
[3] Taisir Karimir Rohman: 2/351
[4] Syarh Adab al-Qodhi: 3/402
[5] Al-Mughni karya Ibnu Qudamah: 5/204, Durorul Hukkam karya Ali Haidar: 3/368
[6] Al-Mabsuth: 19/4
[7] Roudhoh al-Qudhot karya as-Sumnani: 1/181
[8] Ahkamul Qur’an karya Ibnul ’Arobi: 3/220, al-Kafi karya Ibnu Qudamah: 2/239
[9] Adhwa’ul Bayan karya asy-Syinqithi: 4/49
[10] Fatawa Lajnah Da’imah: 1/792. Ketua: Syaikh Abdul Aziz bin Baz, anggota: Abdurrozzaq ’Afifi, Abdulloh al-Ghudayyan, dan Abdulloh bin Qu’ud. Lihat pula fatwa-fatwa ulama lainnya tentang hukum profesi pengacara dalam kitab al-MuhamahTarikhuha fi Nudhum wa Mauqif Syari’ah Minha karya Syaikh Masyhur Hasan Salman hlm. 139–148.
[11] Roudhoh al-Qudhot: 1/122
[12] Tarikh Baghdad: 11/303–304
[13] Adabul Qodho’ hlm. 692
[14] Roudhoh al-Qudhot: 1/122, Tanbihul Hukkam ’Ala Ma’akhidzil Ahkamkarya Ibnul Munashif hlm. 141, Tabshiroh al-Hukkam Fi Ushul Aqdhiyah wa Manahij Ihkam karya Ibnu Farhun: 1/282.
[15] Al-Muhamah Fi Dhou’i Syari’ah Islamiyyah wal Qowanin al-Arobiyyah karya Muslim Muhammad Jaudat hlm. 130
[16] Al-Muhamah Fi Nidhom Qodho’i karya Muhammad Ibrahim Zaid hlm. 44
[17] Mawahibul Jalil karya al-Kaththob: 5/200
[18] Adab al-Qodhi karya al-Khoshof: 2/78
[19] Fatawa wa Rosa’il: 8/43
[20] Al-Mabsuth: 19/15, Adab al-Qodhi karya Ibnul Qosh: 1/217, Hilyah Ulama karya asy-Syasyi 5/129.
[21] Mu’inul Hukkam ’Ala al-Qodhoya wal Ahkam karya Abu Ishaq Ibrohim bin Hasan: 2/684
[22] Mu’inul Hukkam Fima Yataroddadu Bainal Khoshmaini min al-Ahkam karya ’Ala’uddin ath-Thorobilsi: hlm. 21
[23] Majmu’ Fatawa: 28/219.
[24] Tabshiroh Hukkam karya Ibnu Farhun: 1/180, Adab al-Qodhi karya al-Mawardi 1/251
[25] Roudhoh al-Qudhot 1/124
[26] Al-Muhamah Risalah wa Amanah karya Ahmad Hasan Karzun hlm. 61, 82
[27] Ibid. hlm. 62.
[28] Qurrotu ’Uyunil Akhbar karya Ibnu Abidin 1/322
[1] Penulis banyak mengambil faidah untuk pembahasan ini dari tulisan Syaikh Abdulloh bin Muhammad alu Khunain berjudul “Al-Wakalah ’ala Khushumah wa Ahkamuha al-Mihaniyyah fil Fiqih Islami wa Nizhomil Muhamat Su’udi”, dimuat dalam Majalah al-’Adl edisi 15, Rojab 1423 H.
[2] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III (2005)
[3] Taisir Karimir Rohman: 2/351
[4] Syarh Adab al-Qodhi: 3/402
[5] Al-Mughni karya Ibnu Qudamah: 5/204, Durorul Hukkam karya Ali Haidar: 3/368
[6] Al-Mabsuth: 19/4
[7] Roudhoh al-Qudhot karya as-Sumnani: 1/181
[8] Ahkamul Qur’an karya Ibnul ’Arobi: 3/220, al-Kafi karya Ibnu Qudamah: 2/239
[9] Adhwa’ul Bayan karya asy-Syinqithi: 4/49
[10] Fatawa Lajnah Da’imah: 1/792. Ketua: Syaikh Abdul Aziz bin Baz, anggota: Abdurrozzaq ’Afifi, Abdulloh al-Ghudayyan, dan Abdulloh bin Qu’ud. Lihat pula fatwa-fatwa ulama lainnya tentang hukum profesi pengacara dalam kitab al-MuhamahTarikhuha fi Nudhum wa Mauqif Syari’ah Minha karya Syaikh Masyhur Hasan Salman hlm. 139–148.
[11] Roudhoh al-Qudhot: 1/122
[12] Tarikh Baghdad: 11/303–304
[13] Adabul Qodho’ hlm. 692
[14] Roudhoh al-Qudhot: 1/122, Tanbihul Hukkam ’Ala Ma’akhidzil Ahkamkarya Ibnul Munashif hlm. 141, Tabshiroh al-Hukkam Fi Ushul Aqdhiyah wa Manahij Ihkam karya Ibnu Farhun: 1/282.
[15] Al-Muhamah Fi Dhou’i Syari’ah Islamiyyah wal Qowanin al-Arobiyyah karya Muslim Muhammad Jaudat hlm. 130
[16] Al-Muhamah Fi Nidhom Qodho’i karya Muhammad Ibrahim Zaid hlm. 44
[17] Mawahibul Jalil karya al-Kaththob: 5/200
[18] Adab al-Qodhi karya al-Khoshof: 2/78
[19] Fatawa wa Rosa’il: 8/43
[20] Al-Mabsuth: 19/15, Adab al-Qodhi karya Ibnul Qosh: 1/217, Hilyah Ulama karya asy-Syasyi 5/129.
[21] Mu’inul Hukkam ’Ala al-Qodhoya wal Ahkam karya Abu Ishaq Ibrohim bin Hasan: 2/684
[22] Mu’inul Hukkam Fima Yataroddadu Bainal Khoshmaini min al-Ahkam karya ’Ala’uddin ath-Thorobilsi: hlm. 21
[23] Majmu’ Fatawa: 28/219.
[24] Tabshiroh Hukkam karya Ibnu Farhun: 1/180, Adab al-Qodhi karya al-Mawardi 1/251
[25] Roudhoh al-Qudhot 1/124
[26] Al-Muhamah Risalah wa Amanah karya Ahmad Hasan Karzun hlm. 61, 82
[27] Ibid. hlm. 62.
[28] Qurrotu ’Uyunil Akhbar karya Ibnu Abidin 1/322
Tidak ada komentar:
Posting Komentar