Selasa, 14 Oktober 2014

Sikap Ilmiah Vs Pokrol Bambu


Sebagai seorang peneliti selalu saja daku terusik dengan nasib peneliti Indonesia. Apalagi tulisan Kang Sobary ini menyinggung tidak hanya eksistensinya tetapi kemandirian sikapnya, independensinya. Karena fakta bahwa memang ada "peneliti panutan" yaitu peneliti yang hasil kajian ilmiah dan sikapnya bisa dijadikan sumber rujukan bagi orang lain, namun ada pula "peneliti manutan" yang sikap dan hasil kajian ilmiahnya manut pesanan yang bayar. Nurani seorang peneliti harus mampu menarik garis tegas antara dua sisi ini walau dalam kondisi yang sering kabur. Kang Sobary dalam kemarahannya ini mencoba memberi garis demarkasi yang jelas antara peneliti sejati dan peneliti pelacur.


Mohamad Sobary
Kompas, Minggu 13 Januari 2008
Tulisan Ariel Heryanto, "Etika Penelitian", di rubrik ini, 6 Januari 2008, merupakan penjelasan terang-benderang terhadap perdebatan hasil penelitian yang "mengharamkan" penelitian pesanan dan mempertanyakan kemandirian sikap para peneliti, yaitu sejumlah sarjana dari Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Ariel menjelaskan, di negara-negara lain penelitian pesanan itu perkara biasa. Konflik kepentingan peneliti dengan topik penelitian dan lembaga pemesan diatur dengan baik di dalam kontrak penelitian. Bagi saya, perdebatan ini menegaskan kembali bahwa penelitian selalu bisa diperdebatkan validitas ilmiahnya. Perdebatan ini pekerjaan rutin di dunia ilmiah.
Sebuah penelitian yang kemudian menjadi buku acuan pemikiran teoretis "terbaik" dalam suatu bidang keilmuan pun boleh digoyah-goyah dan dirubuhkan jika landasan teori, asumsi, dan premis-premis dasar yang digunakan dan temuan lapangan maupun kesimpulan ilmiahnya dapat ditandingi oleh wawasan lain dan penelitian lain yang lebih "sahih". Akan tetapi, patut diingat, tandingannya haruslah kerja keras di bidang ilmiah dan bukan agitasi dan gerakan massa untuk memperoleh dukungan politis. Main keroyokan dan pokrol bambu bukan sikap dan cara kerja kaum ilmuwan. Selebihnya, demi keadilan, di alam kebebasan ini berita dan tulisan apa pun di suatu media harus juga terbuka untuk dikaji ulang secara jernih, dan kita, orang-orang media, patut secara jernih pula menerimanya. Dan, kita boleh bertanya: inikah "potret-diri" kita?
Saya juga peneliti. Dan, saya tahu, di dunia ilmiah ada "pelacuran", seperti halnya di media. Kita memang hidup di dunia yang sudah telanjur kotor biarpun idealisme kita masih selalu memberi kita kiblat dengan worldview rohani dan keagamaan untuk menempati dunia yang lebih berbau "surgawi". Saya percaya, jiwa kaum ilmuwan dan orang-orang media masih sering menyala, meskipun nyalanya tak jarang hanya seperti kunang-kunang. Dari kegelapan kabut duniawi kita masih melihat titik ideal dengan jelas.
Saya sendiri beberapa kali menerima pesanan penelitian. Salah satunya pesanan ahli hukum terkemuka, T Mulya Lubis, di Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia, untuk menemukan "akar-akar budaya hak asasi manusia" di masyarakat kita. Saya mengerjakannya dengan dedikasi dan sikap ilmiah yang tak bisa diremehkan. Maka, ketika ada tulisan di suatu media, berjudul "Pesanan", yang melecehkan dunia ilmiah seolah setiap peneliti "pelacur", saya marah pada penulisnya, yang bukan ilmuwan. Ini tak menghargai para peneliti lain yang gigih menjaga kesalehan sikap ilmiah dengan susah payah.
Lewat rubrik ini pula saya pernah membela sebuah polling yang dipimpin orang-orang muda idealis, wawasan ilmiah dan politik mereka jernih, tetapi dipertanyakan, "dibayar" berapa untuk memperoleh hasil ini. Tiga minggu lalu, di sebuah hotel di Jakarta, saya membahas hasil polling dari sebuah organisasi baru, juga dipimpin anak muda yang belum terkena polusi idealisme. Dalam sesi tanya jawab ada pula peserta yang mempertanyakan pesanan siapa: gambaran kecurigaan yang mengotori jiwanya. Logika yang jernih akan pertama-tama melihat latar belakang teori, asumsi-asumsi dasar, metode dan instrumen penelitiannya, apakah tergolong konvensional dan penganut aliran positivis dalam memandang persoalan yang diteliti ataukah ia pemberontak kritis terhadap kemapanan ilmiah. Kalau ada gejala melanggar ini semua, barulah patut kita menaruh kecurigaan. Untuk bisa curiga dengan baik dan sah secara moral maupun sosial, orang harus tahu ilmunya, dan agak sedikit pandai. Idealisme tanpa ilmu hanya ibarat kapal kandas di daratan. Ia tak bisa berlayar. Prasangka buruk tidak laku di pasaran dunia ilmu.
Di dunia ilmu, yang bukan lembaga suci, sebagaimana media pun bukan lembaga suci, kami memedomani etika ilmiah yang kami junjung tinggi. Sebuah penelitian layak dianggap sampah hanya bila sikap penelitinya dan segenap acuan teori maupun instrumen yang dipakai memang sampah. Akan tetapi, sebuah penelitian pesanan tak otomatis buruk. Dalam dunia pendidikan tinggi, yang harus mandiri secara finansial, penelitian pesanan bagian dari bisnis universitas. Selama teori, metode, instrumen penelitian, dan hasil penelitian bukan bagian yang dipesan, saya kira penelitiannya tak usah dicurigai.
Belajar menaruh hormat dan membangun trust antarsesama, dalam profesi maupun kehidupan pribadi, saya kira merupakan pekerjaan baru kita sebagai warga negara agar kita bisa menjadi sebuah bangsa terhormat. Betul, curiga itu secara etis dan moral dilarang, tetapi orang boleh curiga, asal kecurigaan itu disalurkan ke dalam kerja ilmiah untuk membuktikan tak ada yang bisa membantah kecurigaannya.
Kita mengenal adagium: ilmu lahir dari pertanyaan. Dan, bukankah pertanyaan lahir dari hasrat ingin tahu dan rasa penasaran akademik yang menggelisahkan? Maka, kecurigaan haruslah berakhir ketika kita tak punya jawaban yang bisa membuka perspektif kebenaran lebih luas. Dan, dengan jernih kita akui, sikap dan kemandirian ilmiah tak bisa dinegasikan dengan sikap politik dan pokrol bambu dalam corak apa pun.
Dikutip dari www.kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar