“Dulu, kalau tidak salah, sarjana hukum itu orang paling bergengsi. Meester in de rechten (gelar sarjana hukum di zaman Hindia Belanda,-red),” ujarnya dalam diskusi ‘Pertumbuhan Kejahatan dan Prospek Penegakan Hukum dalam Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla’ di kantor Komisi Hukum Nasional (KHN), Rabu (8/10).
Syamsul yang hadir sebagai peserta diskusi berbagi pendapatnya seputar penegakan hukum. Ia menilai bahwa bila berbicara penegakan hukum, tidak bisa hanya dilihat dari putusan akhir. “Perlu perbaikan mendasar, apakah dia jaksa, polisi maupun hakim,” ujarnya.
Oleh karena itu, Syamsul mengembalikan persoalan ini ke lulusan sarjana hukum secara umum. Ia memaparkan bahwa dahulu gelar Mr (Meester in de rechten) memang cukup disegani. Namun, di awal kemerdekaan, gelar ini diubah menjadi sarjana hukum karena dianggap sebagai warisan Belanda.
Nah, pasca berganti gelar menjadi SH ini, lanjutnya, terjadi erosi kualitas. Pasalnya, sejak saat itu, bermunculan perguruan tinggi di sejumlah daerah beserta dengan fakultas hukum. “Yang pertama muncul itu memang fakultas hukum,” ujarnya.
Syamsul menjelaskan dengan munculnya banyak fakultas hukum itu maka kualitas tidak terjaga. “Mr itu dulu panutan. Disegani. Orang hebat dan terpandang. Tapi sekarang sudah terjadi erosi,” tukasnya.
Ditemui usai diskusi, Anggota KHN Frans Hendra Winarta setuju adanya penurunan kualitas sarjana hukum bila dibandingan antara sekarang dengan masa lalu. Ia mengatakan hal ini terjadi karena baik di Fakultas Hukum atau pendidikan khusus profesi advokat jarang disisipi materi yang menyangkut etika, moral dan integritas.
“Isi pendidikannya tidak menyinggung moral, integritas dan lain-lain. Tapi, hanya pengetahuan hukum. Jadinya kering,” ujarnya kepada hukumonline.
Seharusnya, lanjut Frans, pengetahuan hukum itu harus diimbangi dengan moral dan etika yang tinggi. Bila tidak ada salah satu dari itu, maka akan terjadi kepincangan. “Kalau ilmu hukum kurang, dan moralnya tinggi, ngga bisa, karena nanti dia kurang bisa memecahkan masalah hukum,” ujarnya.
Namun, sebaliknya, bila pengetahuan ilmu hukumnya tinggi, tetapi tidak didukung dengan moral yang tinggi maka akan terjadi kesewenang-wenangan. “Yang terjadi ya seperti tabrak lari, punya istri banyak, nyogok jaksa, nyogok hakim,” sindir Frans.
Frans menambahkan bahwa ada perbedaan karakteristik sekolah hukum di Amerika Serikat dan Indonesia. Di Amerika Serikat, seseorang yang sekolah hukum memang betul-betul diajarkan untuk menjalani profesi hukum, seperti pengacara. Namun, di Indonesia berbeda, lulusan hukum bahkan ada yang menjadi birokrat atau bankir.
Meski begitu, Frans tidak sependapat bila disebutkan bahwa banyaknya fakultas hukum menyebabkan penurunan kualitas sarjana hukum. “Bila dibandingkan dengan penduduk kita, sebenarnya tidak terlalu banyak, mungkin ada sekitar 300an, tapi masalahnya memang kontrol mutu. Kualitas yang kurang,” ujar pria yang juga berprofesi sebagai pengacara ini.
Frans menilai hal tersebut terjadi karena kurikulum yang tidak disesuaikan dengan kebutuhan kita. Ia mengatakan bahwa kurikulum fakultas hukum seharusnya bisa menjabarkan kebutuhan kita. “Misalnya, memperbanyak pelajaran hukum adat dan sebagainya,” pungkas Frans. (www.hukumonline.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar